HADIS TUJUH GOLONGAN YANG AKAN MENDAPATKAN NAUNGAN


Kepemimpinan di dalam Islam adalah suatu hal yang sangat diperhatikan, baik berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an maupun berdasarkan berbagai hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dimensi menjadi pemimpin maupun dimensi memilih pemimpin sama-sama telah memiliki syarat dan ketentuan syari'at yang wajib ditaati oleh seluruh mukallaf.

Selanjutnya, ketika seorang muslim menjadi pemimpin ataupun hendak memilih pemimpin dalam berbagai level dan komunitas, maka sebuah konsep evaluatif menjadi keniscayaan agar kepemimpinan yang tengah berjalan dan pemimpin yang hendak dipilih dapat menjadi washilah datangnya berkah dari langit dan bumi.

Allah Ta'ala telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai tabyin (penjelas) atas firman-firman-Nya. Kata demi kata, hingga kalimat demi kalimat yang disabdakan Nabi Tercinta terbebas dari nafsu insani karena ia adalah seorang manusia yang dibimbing wahyu Ilahi Robbi.

Konsep evaluatif tentang sejauh mana sebuah kepemimpinan sukses di hadapan Allah 'Azza wa Jalla secara tersirat telah disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat Beliau bersabda tentang tujuh (7) golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah Ta'ala pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.

Hadis tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari pada kitab Shahih-nya dan beberapa imam hadis lainnya. Berikut diantara sanad dan matan hadis tersebut yang tersaji pada Kitab Shahih Al-Bukhari.

قَالَ الإِمَامُ البُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ. (صحيح البخاري: كتاب الزكاة: بَابُ الصَّدَقَةِ بِالْيَمِينِ: 1: 306: 1423)
Imam Al-Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepada saya Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Ada tujuh (golongan orang beriman) yang akan mendapat naungan (perlindungan) dari Allah dibawah naunganNya (pada hari qiyamat) yang ketika tidak ada naungan kecuali naunganNya. Yaitu; Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan 'ibadah kepada Rabnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, "aku takut kepada Allah", seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri sendirian hingga kedua matanya basah karena menangis".

Keterangan Takhrij Al-Hadits
Imam Al-Bukhari menerima hadis tersebut dari 3 guru, dengan sanad yang berbeda-beda dan matan yang sedikit berbeda yaitu pada lafadz al-Imaamu al-‘Aadilu, diantaranya sanad yang telah disebutkan. Adapun tiga guru yang dimaksud adalah:
1. Musaddad bin Musarhad bin Musarbal
2. Muhammad bin Basysyar
3. Muhammad bin Sallaam.

Imam Al-Bukhari meletakkan hadis tersebut pada empat (4) tempat, yaitu:
1.       كتاب الزكاة: بَابُ الصَّدَقَةِ بِالْيَمِينِ، 1: 306: 1423.
         Kitab Zakat: Bab Shadaqah dengan Tangan Kanan, I: 306: 1423
2.      كتاب الأذان: بَاب مَنْ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ وَفَضْلِ الْمَسَاجِدِ: 1: 150: 660.
Kitab Adzan: Bab Orang yang Duduk di Suatu Masjid, Ia Menunggu Shalat (Fardhu) dan Keutamaan Masjid-masjid, I: 150: 660
3.     كتاب الرقاق: بَاب الْبُكَاءِ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ: 4: 144: 6479.
       Kitab Berbagai Kehalusan (Budi Pekerti): Bab Menangis karena Takut kepada Allah, IV: 144: 6479
4.      كتاب المحاربين: بَاب فَضْلِ مَنْ تَرَكَ الْفَوَاحِشَ: 4: 202: 6806. (بيروت- لبنان: دار الفكر، 2006)
Kitab tentang Para Pejuang: Bab Keutamaan Orang yang Meninggalkan Berbagai Perbuatan Keji, IV:
202: 6806. (Beirut-Libanon: Daar el-Fikr, tahun 2006)

Selain diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, hadis tersebut juga diriwayatkan juga oleh Imam-imam hadis sebagai berikut:
1. Imam Al-Baihaqi pada Kitab As-Sunan Al-Kubra
2Imam Malik pada Kitab Al-Muwaththo’
3Imam An-Nasai pada Kitab Sunan An-Nasai
4Imam Ibnu Hibban pada Kitab Shahih Ibnu Hibban
5Imam Ibnu Khuzaimah pada Kitab Shahih Ibnu Khuzaimah
6Imam Muslim pada Kitab Shahih Muslim
7Imam Abu ‘Awanah pada Kitab Musnad Abu ‘Awanah
8Imam Ahmad pada Kitab Musnad Ahmad
9. Imam Ibnu ‘Al-Mubarak pada Kitab Musnad Ibnu Al-Mubarak
10. Imam At-Tirmidzi pada Kitab Sunan At-Tirmidzi
11. Imam Ar-Rabi’ bin Habib pada Kitab Musnad Ar-Rabi’ bin Habib
12. Imam Ath-Thabrani pada Kitab Adl-Dlu’a. (Al-Maktabah Al-Syamilah).


Syarah Al-Hadits
Penyebutan jumlah “tujuh” di dalam hadits ini tidaklah merupakan pembatas, sehingga tidak dapat diartikan bahwa golongan yang akan dinaungi Allâh Ta’ala pada hari Kiamat hanya terbatas pada tujuh golongan ini saja. Menurut Ulama ahli ushul, istilah ini disebut dengan mafhûmul ‘adad ghairu murad, yaitu mafhum dari ‘adad (bilangan) itu tidak dimaksudkan. Sehingga apabila disebutkan tujuh, bukan berarti hanya tujuh ini saja.


Golongan lain yang mendapatkan naungan Allah Ta’ala adalah orang yang memberi kelonggaran kepada orang yang kesulitan membayar hutang kepadanya atau memutihkan hutang darinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللهُ فِي ظِلِّهِ
“Barangsiapa yang memberi kelonggaran kepada orang yang sedang kesulitan membayar hutang atau memutihkan hutang orang tersebut, niscaya Allah akan menaunginya dalam naungan Arsy-Nya (pada hari Kiamat).” Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3006.


Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ..
Mereka dinaungi oleh Allâh dalam naungan-Nya.

Ada pendapat bathil yang mengatakan bahwa mereka (tujuh golongan itu) dilindungi dari matahari, jadi antara mereka dan matahari terdapat Allâh. Ini adalah pendapat yang bathil, karena Allâh Azza wa Jalla di atas segala sesuatu sedangkan matahari dan golongan ini di bawah ‘Arsy Allâh. Jadi yang benar adalah mereka (tujuh golongan itu) akan dilindungi oleh Allâh di bawah ‘Arsy-Nya, karena Allâh di atas segala sesuatu dan berpisah dengan makhluk-Nya.

Nanti pada hari Kiamat, manusia sangat membutuhkan perlindungan Allâh Azza wa Jalla . Pada hari itu mereka dikumpulkan di tempat lapang yang sangat luas, tidak ada naungan apapun juga. Mereka dikumpulkan dalam keadaan telanjang, tidak memakai alas kaki, tidak ada sehelai benang pun di tubuhnya, laki-laki dan perempuansama. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ تُحْشَرُوْنَ إِلَى اللهِ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً
Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan dihimpun (pada hari Kiamat) menuju Allâh Azza wa Jalla dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan tidak dikhitan. (Shahih, HR. Al-Bukhâri, no. 3349; dan Muslim, no. 2860 -58-, dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma)

Kemudian matahari didekatkan di atas kepala-kepala manusia, hingga peluh keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Sebagian manusia, ada yang terendam sebatas mata kakinya, ada yang terendam sebatas lututnya, ada yang sampai pinggangnya, ada yang sampai pundaknya, bahkan ada yang sampai ke mulutnya. Keadaan mereka ini sesuai dengan amalan-amalan mereka.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُوْنَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيْلٍ
(Pada hari Kiamat) matahari akan didekatkan (oleh Allâh) kepada seluruh makhluk hingga hanya sejarak satu miil. (Shahih, HR. Muslim, no. 2864 -62-, dari Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu).

“Pada hari kiamat nanti, matahari didekatkan jaraknya terhadap makhluk hingga tinggal sejauh satu mil.” – Sulaim bin Amir (perawi hadits ini) berkata: “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil. Apakah ukuran jarak perjalanan, atau alat yang dipakai untuk bercelak mata?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sehingga manusia tersiksa dalam keringatnya sesuai dengan kadar amal-amalnya (yakni dosa-dosanya). Di antara mereka ada yang keringatnya sampai kedua mata kakinya. Ada yang sampai kedua lututnya, dan ada yang sampai pinggangnya, serta ada yang tenggelam dalam keringatnya. ” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat dengan meletakkan tangan ke mulut beliau.” (Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2864)



Pemahaman tentang Konsep Evaluatif Kepemimpinan
Bagaimanakah memahami hadis tersebut sebagai salah satu konsep evaluatif sebuah kepemimpinan apakah telah mampu menjadi washilah terbukanya berkah dari langit dan bumi?.

Pertama, tentunya bukan sebuah hal yang kebetulan saat Nabi menyebutkan satu demi satu dari tujuh golongan tersebut yang pertama kali disebut adalah Imaamun 'Adlun atau al-Imaamu al-'Aadilu yakni pemimpin yang adil. Setelah itu, barulah Nabi menyebutkan enam golongan yang lainnya.

Kedua, Saat menyebutkan tujuh golongan tersebut, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan kata penyambung wawu yang berarti "dan" antara penyebutan satu golongan kepada golongan yang lainnya. Lafadz Wa yang diartikan "dan" dalam tata bahasa Arab adalah bermakna li al-Maa'iyah (menunjukkan berbarengannya dua perkara atau lebih). Tergambar bahwa munculnya pemimpin yang 'adil tentunya sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya enam golongan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa enam golongan yang lainnya akan mengikuti kemunculannya saat pemimpinnya adalah pemimpin yang adil.

Pemimpin yang adil yang bagaimana? kalimat adil dalam hadis tersebut maknanya adalah sebuah sifat, saat melihat struktur kalimat imaamun 'adlun ataupun al-imaamu al-'aadilu. Merujuk kepada para ulama ahli hadis, ketika mengartikan sifat 'adil pada pribadi para rawi hadis, para ulama ahli hadis mengartikan 'adil tersebut diantaranya sebagai berikut:

وَالْمُرَادُ بِالعَدْلِ مَنْ لَهُ مَلَكَةٌ تَحْمِلُهُ عَلَى مُلَازَمَتِهِ التَّقْوَى وَالْمُرُوْءَةِ. وَالْمُرَادُ بِالتََّقْوَى اِجْتِنَابُ الأَعْمَالِ السَّيِّئَةِ مِنْ شِرْكٍ أَوْ
 فِسْقٍ أَوْ بِدْعَة
'Adil yang dimaksud adalah orang yang memiliki kekuatan jiwa yang membawanya untuk senantiasa bertaqwa dan menjaga muruah (kehormatan). Taqwa maksudnya adalah meninggalkan amalan-amalan dosa berupa syirik, fasiq, ataupun bid'ah. (Syaikh 'Abdur Ra'uf Al-Manawi, Al-Bawaqit wa ad-Duror syarh Nukhbatu al-Fikr, I: 71-72)


Pemimpin 'adil dalam makna taqwa dan menjaga muruah tentunya akan lebih mampu untuk menciptakan berbagai keadilan dalam arti umum. Pemimpin bersifat adil akan lebih mampu melaksanakan beberapa contoh bentuk keadilan sebagai berikut:
  1. Memandang sama antara orang miskin dan orang kaya, musuh dan kawan, kerabat dan orang jauh, bahwkan musuh dan pemimpin, hingga Ulama berkata: Jika ada dua orang menhadap qadhi, yang satu kafir dan yang satu muslim maka haram baginya untuk membedakan orang kafir itu dengan muslim dalam segala hal. Kedua orang itu harus dipersilahkan masuk dan didudukan ditemopat yang sama, sama- sama diajak bicara, bukan salah satunya, tidak bermuka manis dihadapan orang islam dan bermuka masam dihadapan orang kafir.
  2. Menegakkan hukum yang diwajibkan Allah kepada setiap orang hingga kepada anak dan keturunannya.
  3. Keadilan yang paling penting bagi seorang pemimpin adalaha menerapaka syariat Allah kepda manusia.

Pemimpin yang adil yang menghakimi manusia secara adil dan tidak mengikuti hawa nafsu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذابٌ شَدِيدٌ بِما نَسُوا يَوْمَ الْحِسابِ
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Qs. Shad: 26)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَماناتِ إِلى أَهْلِها وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً.
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs. An-Nisaa: 58)

Pemimpin yang adil takut terhadap apa yang diancamkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
نْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اَللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ma'qil Ibnu Yasar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat lalu ia mati pada hari kematiannya ketika ia menipu rakyatnya Allah pasti akan mengharamkannya masuk surga." HR. Muttafaq Alaihi.

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ya Allah barangsiapa menguasai salah satu urusan umatku lalu menyusahkan mereka maka berilah kesusahan padanya." Riwayat Muslim.

Bagaimanakah seorang pemimpin dikatakan telah berhasil dengan ke'adilannya? Jawabannya adalah ketika pemimpin tersebut saat kepemimpinannya mampu membarengi munculnya enam golongan lain yang akan sama-sama mendapatkan naungan dari Allah Ta'ala kelak di padang Mahsyar.

Al Qadhi Iyadh mengatakan: Yang dimaksud dengan imam adalah semua orang yang mengurus kemaslahatan kaum muslimin, baik dia seorang pemimpin atau hakim. Alasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan imam adil sebagai kategori pertama, karena di tangan dialah kemaslahatan publik kaum muslimin berada dan dipertaruhkan.

Pemimpin yang 'adil adalah pemimpin yang mampu membarengi lahirnya:
1. Generasi yang tumbuh dan berkembang dalam beribadah kepada Allah.
2. Generasi yang hatinya senantiasa terpaut ke masjid.
3. Generasi yang saling menyayangi karena Allah, saat mereka berkumpul ataupun berpisah diniatkan dan dalam bingkai mengharap dan menjaga ridlo Allah.
4. Generasi yang takut terhadap dosa zina, hingga saat seorang muslim diajak berzina oleh seorang wanita kaya raya, berpangkat, dan berkedudukan; ia menjawab, "Innii akhoofulLooh, -Sungguh aku takut kepada Allah-."
5. Generasi yang gemar bershadaqah dengan sembunyi-sembunyi karena takut terjangkit penyakit riya, hingga digambarkan saat bershadaqah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dishadaqahkan oleh tangan kanannya.
6. Generasi yang senantiasa berdzikir dengan sembunyi-sembunyi hingga air matanya berjatuhan karena mengingat dosa dan maksiat.

Artinya pemimpin yang jelek adalah pemimpin yang sebaliknya, yaitu pemimpin yang saat ia memimpin hanya menjadikan keluarga yang dipimpinnya atau rakyat yang menjadi lahan kepemimpinannya semakin jauh dari ibadah kepada Allah, tidak senang dan tidak peduli tentang beribadah di masjid apalagi menumbuh kembangkan pendidikan dan dakwah masjid, masyarakat saling sikut dan menjatuhkan karena kebersamaan yang semu dengan hanya mengejar duniawi tanpa pendekatan ukhrawi, masyarakat banyak terjerumus terhadap perzinaan sehingga berita perempuan hamil di luar nikah telah dianggap cerita biasa, infaq dan shadaqah dijadikan sebagai bahan meningkatkan prestasi dan prestise, bukan untuk meraih ridla Ilahi Rabbi, hal tersebut tergambar dengan berbagai ucapan dan perbuatan yang nampak dari para pelakunya, dan saat dzikir telah berubah menjadi seremonial belaka hingga menjadi alat kampanye para calon pejabat pemerintahan, maka ini semua ciri-ciri saat pemimpin yang tidak adil memimpin, pemimpin yang tidak taqwa, pemimpin yang tidak mampu menjaga muruah atau kehormatan; kehormatan diri, kehormatan agama, kehormatan keluarga, kehormatan masyarakat, serta kehormatan bangsa dan negara.


Pemahaman tersebut di atas bukan berarti setiap ada pelanggaran-pelanggaran demikian lantas menyalahkan para pemimpin, namun selayaknya para pemimpin menjadikan usaha dan evaluasi akan kepemimpinannya dengan apa yang telah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan tersebut.

Demikian pula saat memilih pemimpin, umat Islam perlu teliti tentang trade record para calon pemimpin tentang telah seberapa besar upaya para calon pemimpin tersebut dalam melahirkan enam golongan setelah pemimpin yang adil pada hadis tersebut.

Jika masyarakat biasa malas ke masjid tentunya itu adalah sebuah perbuatan dosa, bagaimana jika seorang pemimpin mulai dari ketua RT, RW, kepala Desa, Camat, Bupati, Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden malas ke masjid padahal ia seorang muslim, apakah itu perbuatan dosa pula? bukan itu bukan perbuatan dosa, namun itu adalah SUPER DOSA. Dikarenakan pemimpin itu tidak cinta masjid, tidak memperhatikan tumbuh kembang generasi muda dalam beribadah kepada Allah, tidak mencegah berbagai lahan perzinaan, dan pembiaran serta kelalaian lainnya padahal itu semua adalah dibawah wewenang dan tanggung jawabnya, sehingga menimbulkan berbagai kekacauan dan menghambat berbagai kebaikan, menghambat lahirnya enam golongan yang akan mendapatkan naungan Allah lainnya, maka itulah yang menyebabkan ia berbuat bukan sekedar dosa namun SUPER DOSA.

Semoga saat kita memimpin, Allah mampukan kita menjadi pemimpin yang dapat melahirkan enam golongan yang akan mendapatkan naungan lainnya. Semoga pula saat kita memilih pemimpin, kriteria-kriteria dari isyarat sabda Nabi tersebut menjadi tolak ukur pemilihan. Aamiin yaa Robbal 'Aalamiin.

Demikian, semoga bermanfaat.


Wallahu A'lam.

0856-2422-6367.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama