SETELAH QURBAN SECARA KHUSUS, MARI BERQURBAN SECARA UMUM


Hari ini, 10 Dzulhijjah 1438 Hijriyyah bertepatan dengan tanggal 1 September 2017 Masehi, Alhamdulillah… kita telah sama-sama melaksanakan ibadah Sunnah mu’akkadah yaitu menyembelih hewan kategori bahiimatul-an’aam dalam bingkai ibadah udlhiyyah.

Muslim ataupun muslimah yang melaksanakan penyembelihan pada yaumun-nahri ataupun yaumut-tasyriq sering disebut dengan istilah Qurbani. Lafadz Qurbani apabali dimaknai maka artinya adalah “yang mendekatkan diri”. Adapun jika hendak ingin lebih mendekati dalam penggunaan istilah untuk menggambarkan seseorang yang menyembelih pada hari raya Iedul Adha, maka istilah mudlahhi adalah lebih tepat. Mudlahhi artinya penyembelih atau yang menyembelih. Namun walaupun demikian, penggunaan Qurbani pun tidak salah dan tidak merubah sah dan tidak sahnya sembelihan yang telah dan akan dilaksanakan.

Menarik untuk dicermati adalah penggunaan istilah Qurbani. Lafadz Qurban berasal dari pecahan kata Qaruba, Yaqrubu, Qurbaanan; yang artinya “mendekatkan diri.”
Ù‚َرُبَ-ÙŠَÙ‚ْرُبُ-Ù‚ُرْبَانًا.

Pemaknaan Qurban, dilihat dari aspek lughawi dan syar’i memiliki makna yang berbeda. Pertama, Qurban secara lughawi atau bahasa artinya “mendekatkan diri”, maka pendekatan diri yang dimaksud adalah ‘Am atau muthlaq yakni umum. Berbagai ibadah yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala maka hal tersebut adalah Qurban dalam arti umum.

Kedua, Qurban dari aspek syar’i adalah suatu sembelihan yang dilaksanakan dengan hanya mengharap ridla Allah, dilaksanakan pada tanggal 10 dzulhijjah atau pada hari-hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Inilah pengertian Qurban secara khas atau muqayyad yakni bermakna khusus.

Penting bagi umat Islam memahami kedua pemaknaan Qurban tersebut sebagai bagian dari dimensi atau pilar aqidah dalam pelaksanaan qurban. Diantara pemahaman dan keyakinan yang perlu ditanamkan dari dua pemaknaan Qurban tersebut adalah:
  1. Bahwa Qurban yang bersifat khas mesti menjadi gambaran qurban yang bersifat ‘Am; atau dengan kata lain kemampuan berqurban setiap tahun mesti berbanding lurus dengan qurban setiap waktu shalat, qurban setiap terkena wajib zakat, qurban dalam bentuk thalabul ‘ilmi, dan qurban secara umum lainnya.
  2. Bahwa Allah Maha Mengetahui isi hati, apakah niatnya seseorang berqurban secara khas namun ketika menerima perintah senantiasa abai dan ketika menerima larangan senantiasa membangkang. Jangan sampai qurban khas-nya tersebut hanya karena malu oleh tetangga saat takut disebut orang miskin yang tidak berqurban.
  3. Bahwa Allah benar-benar tidak menerima daging dan darahnya, namun yang Allah terima adalah ketaqwaannya, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. Al-Hajj ayat 37:

Ù„َÙ†ْ ÙŠَنالَ اللَّÙ‡َ Ù„ُØ­ُومُها Ùˆَلا دِماؤُها ÙˆَلكِÙ†ْ ÙŠَنالُÙ‡ُ التَّÙ‚ْوى Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ ÙƒَذلِÙƒَ سَØ®َّرَها Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„ِتُÙƒَبِّرُوا اللَّÙ‡َ عَلى ما Ù‡َداكُÙ…ْ ÙˆَبَØ´ِّرِ الْÙ…ُØ­ْسِÙ†ِينَ

Setelah Qurban khas ini berakhir, maka artinya kita akan bersama-sama menuju qurban-qurban yang lainnya yang bersifat ‘Am; agar qurban khas ini tidak terkesan seremonial belaka, tidak terkesan rutinitas belaka, manakala qurban khas tersebut tidak berbanding lurus dengan Qurban ‘Am.

Semoga, ‘Aamiin.
Wallahu A’lam.

0856-2422-6367.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama