APLIKASI KAIDAH JARH TA’DIL

رَدُّ التَّزْكِيَّةِ بِالظَّاهِرِ
Penolakan Terhadap Pujian yang (Hanya) Disebabkan Melihat Dzahir (Aspek ‘Adalah) Saja

بسم الله الرحمن الرحيم
Contoh Hadis
قَالَ الطَّبرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عِيْسَى بْنُ مُحَمَّدِ السِّمْسَار قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَوَيْهِ الهَرَوِي قَالَ حَدَّثَنَا غَسَّانُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ طَهْمَانِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ اَبِيْ لَيْلَى عَنْ عَطَاءٍ عَنْ اَبِيْ الخَلِيْلِ عَنْ اَبِيْ قَتَادَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يَكُوْنُ مَعَهُ الهَدْيُ تَطَوُّعًا فَيَعْطَبُ قَبْلَ اَنْ يَبْلُغَ قَالَ يَنْحَرْهَا ثُمَّ يُلَطِّخْ نَعْلَهَا بِدَمِهَا ثُمَّ يَضْرِبْ بِهَا جَنْبَهَا وَلَا يَأْكُلْ مِنْهَا فَإِنْ اَكَلَ مِنْهَا وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا. (المعجم الأوسط: 5: 138: 4888)
Imam Ath-Thabrani berkata: Telah menjelaskan kepada kami ‘Isa bin Muhammad as-Simsar: Telah menjelaskan kepada kami Muhammad bin ‘Umarawaih Al-Harawiy: Telah menjelaskan kepada kami Ghassan bin Sulaiman: Telah menjelaskan kepada kami Ibrahim bin Thahman, dari Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Laila, dari ‘Atha, dari Abu al-Khalil, dari Abu Qatadah ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seorang lelaki yang -hewan- hadyu yang tathawwu’ (sunat) bersamanya rusak (cacat) sebelum ia sampai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sembelihlah hewan itu, kemudian lumurilah sendalnya dengan darahnya (hewan itu), lalu pukullah dengan (bagian)nya lambungnya (hewan itu), dan janganlah dia memakannya, maka jika ia memakannya, wajiblah ia menggantinya.”  (Mu’jam Al-Ausath, V: 138: 4888)

Jarh Ta’dil Al-Hadits
قال بن حبان: غسان بن سليمان الهروي يروى عن إبراهيم بن طهمان وسفيان الثوري روى عنه محمد بن عمرويه الهروي الذي كان ببغداد وهو أخو مالك بن سليمان غسان صدوق ومالك واه. (الثقات: 9: 1)
Ibnu Hibban berkata: Ghassan bin Sulaiman Al-Harawiy meriwayatkan dari Ibrahim bin Thahman dan Sufyan Ats-Tsauri. Meriwayatkan darinya Muhammad bin ‘Umarawaih Al-Harawiy yang keadaannya di Baghdad. Ia (Ghassan) adalah saudara Malik bin Sulaiman. Ia shaduq (jujur) dan Malik “wah”.[1] (Ats-Tsiqat, IX: 1)

Ungkapan yang sama ditemukan hanya pada 1 (satu) kitab Jarh Ta’dil menurut yang ditemukan penulis dari Al-Maktabah Asy-Syamilah, yaitu pada Kitab Ats-Tsiqat mimman lam yaqo’ fi al-Kutub as-Sittah sebagai berikut:
قال أبو الفداء زين الدين قاسم بن قُطْلُوْبَغَا السُّوْدُوْنِي: غسان بن سليمان الهَرَوي. يروي عن: إبراهيم بن طَهْمَان، وسفيان الثوري. روى عنه محمد بن عمرويه الهروي الذي كان ببغداد، وهو أخو مالك بن سليمان بن غسان، صدوق، ومالك واهٍ. وقال الخليلي: روى عن مالك وهو كبير. (الثقات ممن لم يقع في الكتب الستة: 7: 482)

Rawi tersebut yang bernama Ghassan bin Sulaiman tidak muncul pada kitab-kitab Jarh Ta’dil selain pada dua kitab yang disebutkan di atas menurut penemuan penulis menggunakan Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Pemahaman
Rawi bernama Ghassan bin Sulaiman Al-Harawiy hanya dipandang ‘adil oleh Ibnu Hibban saja, dengan predikat shaduq (jujur) dan tanpa penjelasan apapun lagi. Sedangkan tidak ditemukan ta’dil dari ulama selainnya.
Ta’dil predikat shaduq dari Ibnu Hibban yang merupakan ulama tasahhul dalam mentsiqatkan rawi dengan tidak diiringi dengan penilaian ta’dil dari ulama lain, maka penulis nilai bahwa penilaian ini tertolak sebagaimana kaidah, Radd at-tazkiyyah bi adz-dzaahir (Penolakan Terhadap Pujian yang -Hanya- Disebabkan Melihat Dzahir -Aspek ‘Adalah- Saja), dengan pertimbangan empat hal sebagai berikut:
1.      Bahwa Ibnu Hibban hanya menilai dari aspek ‘adalah saja tanpa aspek dhabt dengan mengatakan shaduq pada rawi bernama Ghassan bin Sulaiman Al-Harawiy.
2.      Penilain Ibnu Hibban tersebut ditolak berdasarkan kaidah, Radd at-tazkiyyah bi adz-dzaahir (Penolakan Terhadap Pujian yang -Hanya- Disebabkan Melihat Dzahir -Aspek ‘Adalah- Saja).
3.      Ketiadaan penilaian dari ulama Jarh Ta’dil lain selain Ibnu Hibban tentang rawi bernama Ghassan bin Sulaiman Al-Harawiy mengindikasikan ketasahhulan Ibnu Hibban dalam memandang shaduq pada rawi tersebut.
4.      Tidak adanya seorang ulama Jarh Ta’dil pun yang menjarh Ghassan bin Sulaiman Al-Harawiy, tidak lantas menjadikan rawi tersebut dipandang atau dihukumi tsiqat.

by Bidang Pendidikan bekerjasama dengan Bidang Kominfo.




[1] aduh, ah  وَا : حَرفُ نِداءٍ مختصٍّ بالنُدبَةِ ah (sebagai pernyataan kagum atau menyesal)  واه و واهى له أو به 

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama