Allah Jalla wa ‘Alaa sebagai
Rabb Maha Kuasa untuk melipat gandakan pahala berbagai amal shalih, maka
bisa jadi sebuah amal itu kecil namun mendapatkan pahala yang besar, pun bisa
jadi sebaliknya. Bisa jadi pula amal itu besar dan besar pula pahalanya,
ataupun amalan itu kecil dan kecil pula pahalanya. Pada akhirnya, besar dan
kecilnya pahala dari suatu amalan berpulang kepada apa yang telah diisyaratkan
Allah dalam Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
Al-Hadits Ash-Shahihah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
... وَاللَّهُ يُضاعِفُ لِمَنْ
يَشاءُ ، وَاللَّهُ واسِعٌ عَلِيمٌ [البقرة 2/ 261]
... Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Qs al-Baqarah/ 2: 261)
Imam Abu Zakariyya Yahya
ibn Syarof An-Nawawi ad-Dimasyqa (631-676 H) Rahimahullah, pada kitab
fenomenalnya yang diberi nama Riyaadlush Shaalihiin (Taman Orang-orang
yang Shalih) dalam rangkaian bab-bab pendahuluan tepatnya pada Bab Bayaan
Katsrati Turuuq al Khaiir (Bab Penjelasan tentang Banyaknya Jalan Kebaikan)
sekurang-kurangnya telah memasukkan empat hadis tentang amal-amal yang “kecil
dalam peran, namun besar dalam balasan”. Hadis-hadis tersebut bernomor urut
124, 125, 126, dan 127 berdasarkan Kitab Riyaadlush Shaalihiin cetakan Daarus
Salaam (Kairo-Mesir, tahun 2013 M/ 1434 H cetakan ke-13). Adapun
hadis-hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama,
(124)- الثامن : عَنْهُ (أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه) ، قَالَ
: قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : (( يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ ، لاَ
تَحْقِرنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شاةٍ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ . قَالَ
الجوهري : الفرسِن منَ البَعيرِ كالحَافِرِ مِنَ الدَّابَةِ قَالَ : وَرُبَّمَا
اسْتُعِيرَ في الشَّاةِ.
124. Kedelapan:
Dari Abu Hurairah r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai kaum
muslimat - wanita Islam, janganlah seseorang tetangga
itu menghinakan tetangganya, sekalipun yang diberikan oleh tetangganya itu
hanya berupa kaki kambing." (Muttafaq 'alaih) Imam al-Jauhari
berkata: Al-Firsin, artinya kaki binatang umumnya dipergunakan untuk
kaki unta, sebagaimana halnya lafaz At-Hafir dipergunakan untuk
menerangkan kaki ternak yang lain-lain. Tetapi adakalanya Al-Firsin itu
digunakan sebagai kata isti'arah (pinjaman) untuk menerangkan kaki kambing.
Takhrij
al-Hadits
1.
Al-Bukhari, Shahih
Al-Bukhari, Bab al-Hadldlu ‘ala al-Hibah (Anjuran untuk Berhibah), juz 3: halaman
201: hadis nomor 2566; Bab Laa Tahqiranna Jaaratun li Jaaratihaa (Janganlah
seseorang tetangga itu menghinakan tetangganya), 8: 12: 6017.
2.
Muslim, Shahih
Muslim, Bab al-Hatstsi ‘alaa ash-Shadaqah wa lau bil-Qaliil wa Laa Tumtana’u
minal-Qaliil li-htiqaarihi (Anjuran untuk Bershadaqah walaupun dengan sedikit
dan janganlah dipersulit dari yang sedikit itu untuk menghinakan -tetangga-nya),
3: 93: 2426.
3.
Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad
Abu Hurairah, hadis nomor 7591,
8066, 9580, 10402, 10575 (asy-Syamilah)
Syarah
al-Hadits
Hadis di atas mengandung dua macam pengertian yaitu: Pertama:
Orang yang diberi jangan sekali-kali menghinakan tetangganya yang memberikan
sesuatu kepadanya, sekalipun berupa kaki kambing. Uraian inilah yang kami
cantumkan di atas dan sesuai pula dengan penafsiran yang dapat kita periksa
dalam kitab Dalilul Falihin syarah Riyadhus Shalihin, yang
dikarang oleh Syekh 'Alan ash-Shiddiqi asy-Syafi'i al-Makki yang wafat pada
tahun 1057 Hijriyah -Rahimahullahu Ta'ala rahmatan wasi'ah- yakni dalam
jilid kedua halaman 128, diterbitkan oleh "Darul Kitabil 'Arabi",
Beirut Libanon.
Jadi yang diberi
hendaknya bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada pemberinya, meskipun
apa yang diberikan itu baginya tidak berarti. Sebabnya orang yang diberi itu
dilarang menghinakan pemberian orang lain, sekalipun sedikit nilainya, karena
pada umumnya orang yang enggan berterima kasih pada
pemberian sedikit, ia enggan pula berterima kasih pada pemberian yang banyak. Dalam sebuah Hadis lain di sebutkan:
pemberian sedikit, ia enggan pula berterima kasih pada pemberian yang banyak. Dalam sebuah Hadis lain di sebutkan:
لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ
لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
"Tidak
bersyukur kepada Allah orang yang enggan bersyukur kepada sesama
manusia." (Hr Ahmad, no. 7939)
Kedua:
Dapat pula diberi penafsiran bahwa orang yang mem-beri itu
jangan sekali-kali menghinakan kecilnya pahala yang akan diperolehnya dengan
jalan memberikan sedekah atau hadiah yang disampaikan kepada tetangganya,
meskipun hanya berupa kaki kambing. Ini sebagai sindiran karena yang diberikan
itu amat sedikitnya, kurang berharga atau tidak berarti.
Jadi memberi itu
sekalipun sedikit adalah lebih baik daripada tidak memberi samasekali. Dalam
persoalan pahalanya, Allah Ta'ala berfirman: "Barangsiapa yang
melakukan kebaikan - meskipun - itu seberat debu (biji sawi atau semut kecil),
maka ia akan mengetahuinya (yakni mendapatkan pahalanya)." Penjelasan
ini sesuai dengan catatan yang ditulis oleh Al-Ustadz Ridhwan Muhammad Ridhwan
dalam kitab Riyadhus Shalihin yang diterbitkan oleh "Darul Kitabil 'Arabi",
Beirut Libanon.
Kedua pendapat di atas
itu sama-sama dapat dipakainya, yakni baik bagi pemberi atau yang diberi. Yang memberi
jangan menghina kecilnya pahala, sebab yang disedekahkan atau dihadiahkan hanya
sedikit sekali, sedang yang diberipun jangan menghina orang yang memberi, sebab
sedekah atau hadiah yang disampaikan kepadanya itu hanya sedikit dan kurang
berharga, yaitu kaki kambing atau lain-lain yang sifatnya tidak bernilai tinggi
atau tidak mahal harganya. (-Terjemah- Riyadhus Shalihin -Taman Orang
Orang Sholeh- e-book hlm. 128)
Kedua,
(125)- التاسع : عَنْهُ (أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه)، عن
النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم -، قَالَ: (( الإيمانُ بِضْعٌ وَسَبعُونَ أَوْ
بِضعٌ وسِتُونَ شُعْبَةً : فَأفْضَلُهَا قَولُ : لا إلهَ إلاَّ اللهُ ،
وَأَدْنَاهَا إمَاطَةُ الأذَى عَنِ الطَّريقِ ، والحياءُ شُعبَةٌ مِنَ الإيمان ))
مُتَّفَقٌ عَلَيهِ . ((
البِضْعُ )) من ثلاثة إِلَى تسعة بكسر الباء وقد تفتح. وَ(( الشُّعْبَةُ )) :
القطعة. (Muttafaq 'alaih)
125. Kesembilan: Dari
Abu Hurairah r.a. pula dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Iman itu ada
tujuhpuluh lebih atau enampuluh lebih cabangnya. Maka yang terutama sekali
ialah ucapan La ilaha illallah, sedang yang terendah sekali ialah melemparkan
apa-apa yang berbahaya dari jalan. Perasaan malu adalah salah satu cabang dari
keimanan."
Takhrij
al-Hadits
1. Muslim, Shahih Muslim, Bab Syu’ab al-Iman (Berbagai
Cabang Iman), 1: 46: 162.
2. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Bab Umuuri al-Iman (Berbagai
perkara tentang Iman), 1: 12: 9. Dan dalam Kitab al-Adabul Mufrad, no.
598.
3. Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad Abu Hurairah, hadis nomor 9748. (al-Maktabah asy-Syamilah)
Syarah
al-Hadits
Sabda Nabi saw., “Iman
itu ada tujuhpuluh lebih atau enam puluh lebih cabangnya”. Bidl’un (بِضْعٌ): Bilangan
antara tiga hingga sembilan. Syu’batun (شُعْبَةٌ): Bagian atau cabang, jamaknya Syu’abun
(شُعَبٌ). (Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali, Bahjatun Nadzirin syarh Riyadhus Shalihin, I:
205)
Hadis ini menunjukkan
bahwa iman mencakup keyakinan (diantaranya keyakinan terhadap Laa ilaaha
illallaah) dan perbuatan hati (diantaranya malu), amalan anggota badan (diantaranya
melemparkan apa-apa yang berbahaya dari jalan), perkataan lisan (diantaranya
ucapan Laa ilaaha illallaah), serta semua yang bisa mendekatkan diri
kepada Allah ‘Azza wa Jalla, juga segala yang dicintai dan diridhai-Nya,
baik yang wajib maupun yang mustahab. Itu semua masuk dalam iman.
Sebagaimana definisi iman:
اِنَّ الاِيْمَانَ تَصْدِيْقٌ
بِالقَلْبِ وَالقَوْلُ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالجَوَارِحِ
.
Iman adalah membenarkan
dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. (Al-Alukaa-i,
Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 4: 849)
وَكَانَ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
يَذْهَبُ إِلَى أَنَّ الإِيْمَانَ قَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالأَرْكَانِ وَاعْتِقَادٌ
بِالقَلْبِ يَزِيْدُ بِالطَّاعَةِ وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَّةِ وَيَقْوَى بِالعِلْمِ
وَيَضْعَفُ بِالْجَهْلِ وَبِالتَّوْفِيْقِ يَقَعُ وَأَنَّ الإِيْمَانَ اِسْمٌ يَتَنَاوَلُ
مُسْمِيَّاتٍ كَثِيْرَةً مِنْ أَفْعَالٍ وَأَقْوَالٍ وَذَكَرَ الحَدِيْثَ عَنِ النَّبِيِّ
ص - قَالَ اَلْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً أَفْضَلُهَا قَوْلٌ لَا إِلهَ
إِلَّا اللهُ وَأَدْنَاهاَ إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ.
Ahmad ibn Hanbal
berpendapat bahwa iman itu perkataan dengan lisan, pengamalan dengan anggota
badan, dan keyakinan dengan hati. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan melakukan kemaksiatan. Menguat dengan (adanya) ilmu dan melemah dengan
(membiarkan diri dalam) kebodohan. Dan dengan hidayah taufik (iman itu)
akan (mengalami) keberlangsungan. Dan iman adalah ismun yang didapatkan
dari berbagai amalan yang banyak yang telah ditentukan dari berbagai perbuatan
dan perkataan. Imam Ahmad menyebutkan sebuah hadis dari Nabi saw. beliau
bersabda, “Iman itu ada tujuhpuluh lebih cabangnya. Maka yang terutama
sekali ialah ucapan La ilaha illallah, sedang yang terendah sekali ialah melemparkan
apa-apa yang berbahaya dari jalan.” (Al-‘Aqidah Ahmad ibn Hanbal,
1: 117)
Iman memiliki cabang
serta tingkatan. Sebagian di antaranya jika ditinggalkan bisa menyebabkan
kekufuran; sebagian yang lain jika ditinggalkan adalah dosa, baik dosa kecil ataupun
dosa besar; dan sebagian yang lain jika ditinggalkan akan menyebabkan hilangnya
kesempatan memperoleh pahala dan menyia-nyiakan ganjaran.
Sabda Nabi saw., “Maka
yang terutama sekali ialah ucapan Laa ilaaha illallaah”. Imam Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah mengatakan,
وَأَشْهَدُ
أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ كَلِمَةٌ قَامَتْ بِهَا
الأَرْضُ السَّمَاوَاتِ وَخُلِقَتْ لِأَجَلِهَا جَمِيْعُ الْمَخْلُوْقَاتِ وَبِهَا
أَرْسَلَ اللهُ تَعَالَى رُسُلَهُ وَأَنْزَلَ
كُتُبَهُ وَشَرَعَ شَرَائِعَهُ وَلِأَجَلِهَا نُصِبَتِ الْمَوَازِيْنُ وَوُضِعَتِ
الدَّوَاوِيْنُ وَقَامَ سَوْقَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ وَبِهَا انْقَسَمَتِ الخَلِيْقَةَ
إِلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالكُفَّارِ وَالأَبْرَارِ وَالفُجَّارِ فَهِىَ مُنْشِأُ
الخَلْقِ وَالأَمْرِ وَالثَّوَابِ وَالعِقَابِ وَهِيَ الحَقُّ الَّذِيْ خُلِقَتْ لَهُ
الخَلِيْقَةُ وَعَنْهَا وَعَنْ حُقُوْقِهَا السُّؤَالُ وَالحِسَابُ وَعَلَيْهَا يَقَعُ
الثَّوَابُ وَالعِقَابُ وَعَلَيْهَا نُصِبَتِ القِبْلَةُ وَعَلَيْهَا أُسِّسَتِ الْمِلَّةُ
وَلِأَجَلِهَا جُرِدَتْ سُيُوْفُ الجِهَادُ وَهِيَ حَقُّ اللهِ عَلَى جَمِيْعِ العِبَادِ
فَهِيَ كَلِمَةُ الإِسْلَامِ وَمِفْتَاحُ دَارِ السَّلَامِ وَعَنْهَا يُسْأَلُ الأَوَّلُوْنَ
وَالآخِرُوْنَ فَلَا تَزُوْلُ قَدَمَا العَبْدِ بَيْنَ يَدَىِ اللهِ حَتَّى يُسْأَلُ
عَنْ مَسْأَلَتَيْنِ: مَاذَا كُنْتُمْ تَعْبُدُوْنَ؟ وَمَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِيْنَ؟
فَجَوَابُ الأُوْلَى بِتَحْقِيْقِ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مَعْرِفَةً وَإِقْرَارًا
وَعَمَلًا وَجَوَابُ الثَّانِيَةِ بِتَحْقِيْقِ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ مَعْرِفَةً
وَإِقْرَارًا وَانْقِيَادًا وَطَاعَةً.
Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah (sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah.
Kalimat yang menjadi tegak dengannya langit dan bumi. Semua makhluk diciptakan
karena kalimat ini. Dengan (membawa misi) kalimat itu, Allah ‘Azza wa Jalla mengutus
para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya, dan menetapkan syari’at-Nya. Dengan
sebab kalimat itulah mizan (timbangan) diadakan, diletakkan
catatan-catatan amal, serta manusia digiring menuju surga atau neraka. Dengan
sebab kalimat ini, makhluk terbagi menjadi dua: mukmin dan kafir, serta yang
baik dan yang jahat. Kalimat itu adalah pangkal dari penciptaan, perintah,
pahala, dan siksa. Ia adalah kebenaran yang karenanya makhluk diciptakan.
Tentangnya dan tentang hak-haknya diadakan pertanyaan dan hisab (perhitungan).
Atas dasar kalimat itulah ada pahala dan siksa, kiblat dipancangkan, dan
azas-azas agama diletakkan. Dan karena kalimat inilah pedang-pedang jihad
dihunus. Dia adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segenap
makhluk-Nya. Dia adalah kalimat Islam dank unci negeri kesejahteraan (Surga).
Tentangnyalah makhluk yang pertama dan yang terakhir akan ditanya. Sungguh,
kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla
sampai dia ditanya tentang dua pertanyaan: [1] Apa yang dahulu engkau
ibadahi?, [2] Bagaimana sambutanmu terhadap para Rasul?. Jawaban pertanyaan
pertama ialah dengan mewujudkan (syahadat) “Laa ilaaha illallaah (tidak ada
ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah)” dalam ilmu
(pengetahuan), pengakuan, dan pengamalan. Sedang jawaban pertanyaan kedua
adalah dengan mewujudkan (syahadat) “bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah utusan Allah” baik dalam ilmu (pengetahuan), pengakuan,
kepatuhan, dan ketaatan. (Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Zaadul Ma’aad
fii Hadyi Khair al-‘Ibaad, I: 35)
Sabda Nabi saw., “sedang
yang terendah sekali ialah melemparkan apa-apa yang berbahaya dari jalan”.
Menyingkirkan gangguan dari jalan kaum Muslimin mempunyai banyak keutamaan,
diantaranya:
· Menghilangkan gangguan dari kaum Muslimin adalah shadaqah
· Memperlancar jalan kaum Muslimin
· Memudahkan orang untuk melewati jalan tersebut
· Termasuk tolong menolong dalam kebaikan
· Allah akan mengampuni dosa orang tersebut
· Allah akan memasukkan orang tersebut ke dalam surga.
Sebagaimana sabda Nabi saw. diantaranya:
Hadis di atas (Riyadhus
Shalihin, no. 125) kemungkinan besar lafadznya mengambil dari riwayat Imam
Muslim dan Imam Ahmad. Adapun pada Kitab Shahih Al-Bukhari yang menjadi
kemiripan adalah dari segi ungkapan bahwa “Iman itu ada enampuluh lebih
cabang”. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim juga membubuhkan pada
masing-masing kitab Shahih-nya, begitu pula Imam Ahmad pada kitab Musnad-nya
beberapa hadis yang mirip dengan hadis di atas yang hemat penulis berkaitan
langsung dengan pembahasan “Kecil dalam Peran, Namun
Besar dalam Balasan”. Adapun hadis-hadis yang dimaksud diantaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ
سُلَامَى مِنْ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ يَعْدِلُ
بَيْنَ الِاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا
أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ وَكُلُّ
خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَيُمِيطُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
صَدَقَةٌ. (صحيح البخاري: 4: 56: 2989، صحيح مسلم: 3: 83: 2382)
Dari Abu Hurairah radliyallahu
‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap ruas tulang pada manusia wajib atasnya shadaqah dan setiap hari
terbitnya matahari seseorang yang mendamaikan antara dua orang yang bertikai
adalah shadaqah dan menolong seseorang untuk menaiki hewan tunggangannya lalu
mengangkat barang-barangnya ke atas hewan tunggangannya adalah shadaqah dan
ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dijalankan menuju
shalat adalah shadaqah dan menyingkirkan sesuatu yang bisa menyakiti (atau
menghalangi) orang dari jalan adalah shadaqah.” (Bukhari, no.
2989; Muslim, no. 2382)
عَنْ أَبِى بَرْزَةَ الأَسْلَمِىِّ
أَنَّ أَبَا بَرْزَةَ قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَسَى أَنْ تَمْضِىَ وَأَبْقَى بَعْدَكَ فَزَوِّدْنِى
شَيْئًا يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« افْعَلْ كَذَا افْعَلْ كَذَا - أَبُو بَكْرٍ نَسِيَهُ - وَأَمِرَّ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
». (صحيح مسلم: 8: 35: 6840)
Dari Abu Barzah Al-Aslamiy,
bahwa Abu Barzah radliyallahu ‘anhu berkata; Aku berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; “Ya Rasulullah, aku tidak
tahu apakah aku masih hidup sepeninggalmu atau tidak, maka bekalilah aku dengan
sesuatu yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lakukanlah ini dan itu.” Abu Bakr (ibn
Syu’aib -diantara rawi-) -lupa tentang apa yang diperintahkan beliau kepadanya-
juga orang itu disuruh menyingkirkan benda berbahaya dari jalan. (Muslim,
Shahih Muslim, 8: 35: 6840)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ
عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَرْبَعُونَ خَصْلَةً أَعْلَاهُنَّ مَنِيحَةُ الْعَنْزِ مَا مِنْ عَامِلٍ
يَعْمَلُ بِخَصْلَةٍ مِنْهَا رَجَاءَ ثَوَابِهَا وَتَصْدِيقَ مَوْعُودِهَا إِلَّا أَدْخَلَهُ
اللَّهُ بِهَا الْجَنَّةَ قَالَ حَسَّانُ فَعَدَدْنَا مَا دُونَ مَنِيحَةِ الْعَنْزِ
مِنْ رَدِّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ وَإِمَاطَةِ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
وَنَحْوِهِ فَمَا اسْتَطَعْنَا أَنْ نَبْلُغَ خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً. (صحيح البخاري:
3: 166: 2631)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallahu
‘anhuma ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat puluh kebiasaan baik, yang tertingginya adalah memberi seekor
kambing. Tidaklah seseorang beramal dari perbuatan-perbuatan kebaikan tersebut
dengan harapan dia mengharap pahala darinya dan membenarkan apa yang dijanjikan
padanya, melainkan Allah memasukkannya dengan amalnya ke dalam surga.” Hassaan
berkata: “Maka kami menghitung kebiasaan baik itu setelah pemberian kambing
mulai dari menjawab salam, menjawab orang yang bersin, menyingkirkan halangan
dari jalan dan yang semisalnya namun kami tidak sanggup untuk sampai pada lima
belas kebaikan baik tersebut.” (Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, no.
2631)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ
أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا إِمَاطَةَ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِئِ أَعْمَالِهَا النُّخَاعَةَ، قَالَ
عَارِمٌ، تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ لاَ تُدْفَنُ. وَقَالَ يُوْنُسُ: النُّخَاعَةُ تَكُوْنُ
فِيْ المَسْجِدِ لَا تُدْفَنُ. (مسند أحمد: 5: 180: 21567)
Dari Abu Dzar radliyallahu
‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Semua amalan umatku diperlihatkan padaku, yang baik ataupun yang buruk. Aku
mendapati di antara amal baik mereka adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan
di antara amal buruk mereka adalah meludah.” ‘Arim (salahsatu rawi)
menyebutkan, “Yaitu meludah dalam masjid.” Dan Yunus (rawi) menyebutkan, “Yaitu
ludah di masjid yang tidak dikubur.” (Ahmad, Musnad Ahmad, 5: 180:
21567)
Sabda Nabi saw., “Perasaan
malu adalah salah satu cabang dari keimanan”. Malu itu adalah sifat
terpuji, tetapi tidak patut malu dalam hal kebenaran. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللهُ
لَا يَسْتَحْيِيْ مِنَ الحَقِّ.
“...
Allah tidak malu (menerangkan) yang benar ... .” (Qs al-Ahzab/
33: 53)
Imam Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyyah Rahimahullah berkata,
وَالحَيَاءُ مِنَ الحَيَاةِ
وَمِنْهُ الحَيَا لِلْمَطَرِ لَكِنْ هُوَ مَقْصُوْرٌ وَعَلَى حَسَبِ حَيَاةِ القَلْبِ
يَكُوْنُ فِيْهِ قُوَّةُ خَلْقِ الحَيَاءِ وَقِلَّةُ الحَيَاءِ مِنْ مَوْتِ القَلْبِ
وَالرُّوْحِ فَكُلَّمَا كَانَ القَلْبُ أَحْيَى كَانَ الحَيَاءُ أَتَمَّ. قَالَ الجُنَيْدُ
رَحِمَهُ اللهُ: اَلْحَيَاءُ رُؤْيَةُ الآلَاءِ وَرُؤْيَةُ التَّقْصِيْرِ فَيَتَوَلَّدُ
بَيْنَهُمَا حَالَةً تُسَمَّى الحَيَاءُ وَحَقِيْقَتُهُ خُلُقٌ يُبْعَثُ عَلَى تَرْكِ
القَبَائِحِ وَيَمْنَعُ مِنَ التَّفْرِيْطِ فِيْ حَقِّ صَاحِبِ الحَقِّ.
“Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang
berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-haya (hujan), tetapi makna
ini tidak masyhur. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat
malu seseorang. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar
kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu
pula rasa malu menjadi lebih sempurna.” Al-Junaid Rahimahullah berkata:
“Rasa malu yaitu menyadari kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan rasa
malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotifasi untuk meninggalkan keburukan dan
mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.” (Ibnul Qayyim, Madaarij
as-Saalikin baina Manaazil Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin, 2: 259)
Ketiga,
(126)- العاشر : عَنْهُ (أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه) : أنَّ
رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( بَينَما رَجُلٌ يَمشي بِطَريقٍ
اشْتَدَّ عَلَيهِ العَطَشُ ، فَوَجَدَ بِئراً فَنَزَلَ فِيهَا فَشربَ ، ثُمَّ
خَرَجَ فإذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يأكُلُ الثَّرَى مِنَ العَطَشِ ، فَقَالَ الرَّجُلُ
: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الكَلْبُ مِنَ العَطَشِ مِثلُ الَّذِي كَانَ قَدْ بَلَغَ
مِنِّي فَنَزَلَ البِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ مَاءً ثُمَّ أمْسَكَهُ بفيهِ حَتَّى
رَقِيَ، فَسَقَى الكَلْبَ، فَشَكَرَ الله لَهُ، فَغَفَرَ لَهُ )) قالوا : يَا
رَسُول اللهِ ، إنَّ لَنَا في البَهَائِمِ أَجْراً ؟ فقَالَ : (( في كُلِّ كَبِدٍ
رَطْبَةٍ أجْرٌ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ . وفي رواية للبخاري : (( فَشَكَرَ اللهُ
لَهُ ، فَغَفَرَ لَهُ ، فأدْخَلَهُ الجَنَّةَ )) وفي رواية لهما : (( بَيْنَما
كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْ كَادَ يقتلُهُ العَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ
مِنْ بَغَايَا بَنِي إسْرَائِيل ، فَنَزَعَتْ مُوقَها فَاسْتَقَتْ لَهُ بِهِ فَسَقَتْهُ
فَغُفِرَ لَهَا بِهِ )) . ((
المُوقُ )) : الخف . وَ(( يُطِيفُ )) : يدور حول (( رَكِيَّةٍ )) : وَهِي البئر.
126. Kesepuluh: Dari Abu
Hurairah r.a. lagi bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pada suatu
ketika ada seorang lelaki berjalan di suatu jalan, ia sangat merasa haus, lalu
menemukan sebuah sumur, kemudian turun di dalamnya terus minum. Setelah itu
iapun keluarlah. Tiba-tiba ada seekor anjing mengulur-ulurkan lidahnya sambil
makan tanah karena hausnya, Orang itu berkata - dalam hati; "Niscayalah
anjing ini telah sampai pada kehausan sebagaimana yang telah sampai padaku tadi." lapun turun lagi ke
dalam sumur lalu memenuhi sepatu khufnya dengan air, kemudian memegang sepatu
itu pada mulutnya, sehingga ia keluar dari sumur tadi, terus memberi minum pada
anjing tersebut. Allah berterima kasih pada orang tadi dan memberikan
pengampunan padanya." Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, apakah
sebenarnya kita juga memperoleh pahala dengan sebab memberi - makan minum -
pada golongan binatang?" Beliau s.a.w. menjawab: "Dalam setiap hati
yang basah - maksudnya setiap sesuatu yang hidup yang diberi makan minum - ada
pahalanya." (Muttafaq 'alaih) Dalam sebuah riwayat dari Imam
Bukhari disebutkan demikian: "Allah lalu berterima kasih pada orang
tersebut, kemudian memberikan pengampunan padanya, lalu memasukkannya ke dalam
syurga." Dalam riwayat lain dari Bukhari dan Muslim disebutkan pula: "Pada
suatu ketika ada seekor anjing berputar putar di sekitar sebuah sumur, hampir
saja ia terbunuh oleh kehausan, tiba-tiba ada seseorang pezina - perempuan -
dari golongan kaum pelacur Bani Israil melihatnya. Wanita itu lalu melepaskan
sepatunya kemudian mengambilkan air untuk anjing tadi dan meminumkan air itu
padanya, maka dengan perbuatannya itu diampunilah wanita tersebut.”
Takhrij
al-Hadits
1. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Bab Fadhl Saqyi al-Maa-i
(Keutamaan Memberi Minum), 6: 99: 2363; Bab Rahmat an-Naas wa al-Bahaaim
(Kasihsayang Manusia dan Binatang), 15: 192: 6008.
2. Muslim, Shahih Muslim, Bab Fadhli Saaqi al-Bahaaim
al-Muhtaramah wa Ith’aamihaa (Keutamaan memberi minum binatang yang muhtaram
dan memberinya makan), 7: 44: 5996.
3. Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad Abu Hurairah, hadis nomor 8519, 10281, 9109, 10984. (asy-Syamilah)
Syarah
al-Hadits
Imam An-Nawawi tentang
hadis di atas beliau berkata:
فِيْهِ
الحَثُّ عَلَى الإِحْسَانِ إِلَى الحَيَوَانِ الْمُحْتَرَمِ، وَهُوَ مَا لَا يُؤْمَرُ
بِقَتْلِهِ. (شرح صحيح مسلم 7/408)
Hadis di atas mengandung
suatu anjuran supaya kita semua berbuat baik terhadap segala macam binatang
yang muhtaram atau yang dimuliakan. Yang dimaksudkan binatang muhtaram ialah
binatang yang menurut agama Islam tidak boleh dibunuh. (Syarah Shahih
Muslim, 7: 408)
Keempat,
(127)- الحادي عشر : عَنْهُ (أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه)، عن
النَّبيّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( لَقدْ رَأيْتُ رَجُلاً يَتَقَلَّبُ
في الجَنَّةِ في شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَرِيقِ كَانَتْ تُؤذِي
المُسْلِمِينَ )) رواه مسلم . وفي رواية : (( مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهرِ طَرِيقٍ، فَقَالَ
: وَاللهِ لأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ المُسْلِمينَ لا يُؤذِيهِمْ ، فَأُدخِلَ
الجَنَّةَ )) . وفي رواية لهما : (( بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشي بِطَريقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوكٍ
عَلَى الطريقِ فأخَّرَه فَشَكَرَ اللهُ لَهُ ، فَغَفَرَ لَهُ )) .
127. Kesebelas:
Dari Abu Hurairah r.a. lagi dari Nabi s.a.w. sabdanya: "Niscayalah saya
telah melihat seseorang yang bersuka-ria dalam syurga dengan sebab memotong
sebuah pohon dari tengah jalanan yang pohon itu membuat kesusahan bagi kaum
Muslimin." (Riwayat Muslim) Dalam riwayat Muslim yang lain
disebutkan demikian: "Pada suatu ketika ada seorang lelaki berjalan
melalui sebuah cabang pohon yang melintang di tengah jalanan, kemudian ia
berkata: "Demi Allah, niscayalah pohon ini hendak kulenyapkan dari jalanan
kaum Muslimin supaya ia tidak membuat kesukaran pada mereka itu." Orang
tersebut lalu dimasukkan dalam syurga. Dalam riwayat Bukhari (Shahih Al-Bukhari, no. 652 dan
2472) dan Muslim (Shahih Muslim, no. 5835; keduanya diterima dari
sahabat Abu Hurairah) pula disebutkan demikian: "Pada suatu
ketika ada seorang lelaki yang berjalan di jalanan. Ia menemukan cabang dari
sebuah pohon berduri pada jalanan itu, kemudian cabang berduri itu disingkirkan
olehnya. Allah lalu berterima kasih kepada orang tadi dan memberikan
pengampunan kepadanya."
Takhrij
al-Hadits
Muslim, Shahih Muslim, Bab Fadhli Izaalah al-Adzaa ‘an
ath-Tariq (Keutamaan menghilangkan sesuatu yang menyusahkan dari jalan raya), 8:
34: 6837. (al-Maktabah asy-Syamilah)
Sejatinya, amal shalih
sekecil apapun, ketika dilaksanakan dengan niat ikhlas hanya mengharap ridla
Allah dan padanya tidak terdapat pelanggaran terhadap aturan Allah dan
Rasul-Nya; maka Allah Jalla wa ‘Alaa akan membalas dengan pahala yang
besar nan berlipat ganda. In Syaa Allah. Aamiin.
Bahasan ini pun lebih
memperkuat keyakinan bahwa sungguh orang yang berilmu tidaklah sama dengan
orang yang tidak memiliki ilmu. Bagi yang berilmu, menyingkirkan duri saja
menjadi pahala. Wallahu A’lam.
by Bidang
Pendidikan bekerjasama dengan Bidang Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.
Kajian selengkapnya
dapat ditemukan In Syaa Allah pada hari Sabtu, 7 April 2018 Isya di
Masjid Nurul Huda Cipanas Margamukti Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan