Al-Ustadz Amin, “Keputusan Dewan Hisbah: Dapat Ruku Tidak Dapat Rakaat”

Loskulalet-Sukamanah-Pangalengan, 26 September 2018 sekitar pukul 16.00 s.d 17.30 WIB. Bertempat di Masjid Al-Hikmah 2, Al-Ustadz Amin Muchtar hadir dengan judul makalah bahasan “Keputusan Dewan Hisbah: Dapat Ruku Tidak Dapat Rakaat.” Tertera pada layar powerpoint kajian Al-Ustadz diberi judul, Genealogi Pemikiran Hukum Persis: Dapat Ruku Imam Tidak Dapat Rakaat.


Kajian Rutin Bulanan ini secara bergiliran diselenggarakan di Masjid-masjid yang ada dibawah tanggung jawab Pimpinan Ranting Persatuan Islam (PERSIS) Desa Sukamanah. Adapun Masjid-masjid yang biasa menyelenggarakan kajian ini adalah Masjid Al-Hikmah 1 Citere, Masjid Al-Hikmah 2 Loskulalet, Masjid Nurul Iman Hegarmanah, dan Masjid Al-Jihad Citere Gapensi.


Waktu kajian ditetapkan pada Rabu keempat setiap bulannya dengan mengundang seluruh warga masyarakat yang ada di kecamatan Pangalengan.


Pada kesempatan tersebut, Al-Ustadz mengawali kajiannya dengan terlebih dahulu mengenalkan beberapa tokoh utama Persis seperti A. Hassan, KH. E. Abdurrahman, dan yang lainnya. Al-Ustadz pun memperlihatkan beberapa karya fenomenal mereka yang masih ada manuskripnya, diantaranya Kitab Soal-Jawab karya Al-Ustadz A. Hassan, Kata Berjawab karya Al-Ustadz Abdul Qodir Hassan, Istifta sebagai Kumpulan Fatwa KH. E. Abdurrahman pada Majalah Risalah, dan lain sebagainya.

Tahun 2023 mendatang, saat Persatuan Islam (PERSIS) berusia seabad, Al-Ustadz berharap seluruh karya Persatuan Islam sejak zaman A. Hassan hingga sekarang dapat terdokumentasikan dan terhimpun dalam sebuah karya berjudul Ensiklopedi Fikih Persatuan Islam (PERSIS).

Terkait telaah masalah keputusan Dewan Hisbah: Dapat Ruku Tidak Dapat Rakaat; menurut Al-Ustadz, menggunakan dua pendekatan “Produsen” Fatwa Persis. Pertama, Pendekatan Ulama Salaf (A. Hassan, dkk.). Kedua, Pendekatan Ulama Khalaf-Muta'akhkhirin Persis (Dewan Hisbah).

Pertama, Pendekatan Ulama Salaf (A. Hassan, dkk.). Ulama Salaf Persatuan Islam sekurang-kurangnya diwakili oleh A. Hassan (1887-1954) dan kedua murid beliau yaitu KH. Abdul Qadir Hassan (1914-1984) dan KH. E. Abdurrahman (1912-1983) dengan tanpa memandang kecil guru Persis selain A. Hassan dan murid A. Hassan lainnya. Al-Ustadz menjelaskan panjang lebar jawaban A. Hassan dalam buku Soal-Jawab saat ditanya tentang hukum seorang masbuk mendapati imam ruku, intinya menurut A. Hassan bahwa orang itu tidak dapat rakaat dan harus menambah rakaatnya.


Al-Ustadz menggambarkan bahwa pada Kitab Soal-Jawab karya A. Hassan, pertanyaan tentang dapat ruku tidak dapat rakaat itu tertulis sebagai berikut, Sual: Apakah seorang ma’mum dapat seraka’at kalau ia tidak dapat membatja Al-Fatihah bersama imam pada raka’at jang pertama, tjuma ia dapat turut imam diwaqtu imam sedang ruku’ sadja?


Pertanyaan tersebut oleh A. Hassan dijawab panjang lebar sambil membubuhkan hadis-hadis terkait. Adapun ringkasan jawaban Beliau adalah sebagai berikut.

Ringkasan:
ü  Orang jang sembahjang sendiri atau orang jang djadi imam, sudah tentu wadjib membatja Al-Fatihah.
ü  Pada pendapat segolongan ‘ulama, bahwa ma’mum djuga wajib membatja Al-Fatihah.
ü  Pada pendapat segolongan lain, bahwa ma’mum jang dapat mendengar batjaan imamnja itu tidak boleh membatja Al-Fatihah. Dan ma’mum jang tidak dapat mendengar batjaan imamja itu wadjib membatja Al-Fatihah.
ü  Pendapat golongan jang kedua ini, ada lebih quat daripada pendapat jang pertama.
ü  Pendeknja, bahwa seorang ma’mum itu, wadjib membatja Al-Fatihah pada tiap-tiap satu raka’at, atau wadjib ia dapat mendengar batcaan imamnja.
ü  Adapun orang jang dapat turut imam jang sedang didalam ruku’ itu, sudak tentu tidak dapat membatja Al-Fatihah sendiri, dan djuga tidak dapat mendengar batjaan imamnja. Lantaran itu, sudah tentu ia tidak dapat raka’at itu. (Soal-Djawab A. Hassan DKK., Jilid 1 Hal. 139-142, Terbitan C. V. Diponegoro. Thn. 1968). Demikian Al-Ustadz menjelaskan.

Al-Ustadz menyelingi bahasannya dengan mengingatkan betapa pentingnya mengenalkan guru dan orang tua keilmuan di Persatuan Islam. Diantaranya karena keinginan kuat para ulama Persis terdahulu yang ingin menyelamatkan umat dalam berakidah, beribadah dan bermu’amalah. Bukan sekedar fatwanya namun juga sejarah hingga suatu keputusan hukum itu lahir.


Selanjutnya, Al-Ustadz menjelaskan fatwa KH. E. Abdurrahman pada rubrik Istifta dalam majalah Risalah tentang masalah yang sama namun dengan gaya pertanyaan membandingkan Kitab Fiqih Islam karya H. Sulaeman Rasjid bahasan tentang ‘Hukum Masbuk’ yang berpendapat dapat ruku dapat rakaat dibandingkan dengan pendapat lain yang mengatakan dapat ruku tidak dapat rakaat.


Pada tahun 1962 tersebut intinya Al-Ustadz KH. E. Abdurrahman pun mengatakan bahwa ketika seorang makmum mendapatkan imam sedang ruku, maka makmum tidak otomatis dihitung mendapatkan rakaat tersebut dan makmum itu wajib menambah rakaatnya. KH. E. Abdurrahman menyodorkan berbagai hadis terkait masalah tersebut DIANTARANYA bahwa lafadz rak’atan pada hadis riwayat Muslim tidak bisa diartikan ruku tetapi mesti diartikan rakaat, kecuali ada qarinah yang menunjukkan akan hal tersebut. Hadis itu pula yang sebelumnya oleh A. Hassan dipandang sebagai hadis yang memiliki arti yang luas, maksudnya tidak bisa langsung diartikan dapat ruku dapat rakaat.


Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut.
« مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ ».
KH. E. Abdurrahman mengartikan: “Barang siapa dapat sembahyang yang satu rakaat bersama imam, maka berarti ia telah dapat sembahyang itu.


Selain menjawab pertanyaan tersebut, KH. E. Abdurrahman pun mengkritisi pengutipan hadis pada buku yang diajukan penanya, menandakan betapa telitinya Al-Ustadz pada masa dimana masih terbatasnya kitab rujukan.


Al-Ustadz menjelaskan, bahwa majalah Risalah kala itu pelanggannya hingga mencapai negara Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam.


Selanjutnya, Al-Ustadz menyampaikan keputusan Dewan Hisbah sebagai pendekatan kedua. Kedua, Pendekatan Ulama Khalaf-Muta'akhkhirin Persis (Dewan Hisbah); adalah merupakan pengukuhan dari fatwa A. Hassan dan KH. E. Abdurrahman sebelumnya. Sidang Dewan Hisbah yang membahas masalah tersebut digelar pada tahun 2007 yang bertempat di PC Persis Banjaran, 03 Rabi’uts Tsani 1428 H/ 21 April 2007 M sebagai Sidang Dewan Hisbah II pasca Muktamar XIII Persatuan Islam dengan kesimpulan yang sama bahwa dapat ruku tidak lantas otomatis dapat rakaat.


Al-Ustadz pun menjelaskan bahwa fatwa ini sesungguhnya telah ditegaskannya melalui fatwa Abu Huraerah, penjelasan Imam Al-Bukhari, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan Imam Asy-Syawkani. Hal ini perlu disampaikan sebagai sebuah penegasan bahwa sejatinya Persatuan Islam (PERSIS) memiliki isnad atau sanad ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan.


Demikian diantara yang disampaikan Al-Ustadz dari sekian banyak taburan mutiara Islam yang beliau sampaikan. Wallahu A’lam.

               
By Tim Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan (Raka Ahsan Fauzi, Ridwan Firdaus, Ahmad Ibrahim, Deden Abdurrahman, dkk.)

Editor by Bidang Pendidikan PC Pemuda Persis Pangalengan.

@ Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.

4 Komentar

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

  1. جزاكم الله خيرا كثيرا...👍👍👍

    BalasHapus
  2. Bagaimana kalau didapati imam sedang membaca alfatihahnya ditengah2 surat? Apakah tetap dianggap ketinggalan atau dianggap satu rakaat?

    BalasHapus
  3. Saya Ayi Darmana, dari Banjaran.
    Mohon izin ustad : Bagaimana dengan riwayat Abu Daud
    disebutkan bahwa Abu Bakrah ruku’ sebelum masuk shaf, kemudian ia berjalan menuju shaf. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata, “Siapa di antara kalian yang tadi ruku’ sebelum masuk shaf lalu ia berjalan menuju shaf?” Abu Bakrah mengatakan, “Saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan terus semangat padamu. Namun seperti itu jangan diulangi.” (HR. Abu Daud, no. 684. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

    bukankah abu Barkah tidak menambah rakaat (Rasulullah tidak perintahkan menambah rakaat) ! dan kita tahu beliau datang saat imam lagi ruku (abu barkah begitu masuk masjid segera ruku sambil jalan untuk masuk shaf). jika hadits ini diterima (shahih) maka sudah mafhum bahwa mengikuti ruku sudah terhitung masuk rakaat.

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama