Wudlu
merupakan salah satu kaifiyat thaharah. Jika
hadats besar hilang dengan cara melaksanakan al-ghuslu (mandi janabat),
maka hadats kecil hilang dengan cara melaksanakan wudlu. Adapun tayammum
dilaksanakan ketika tidak mampu melaksanakan al-Ghuslu ataupun wudlu.
Imam Ash-Shan’aniy mendefinisikan wudlu sebagai berikut:
فِي الْقَامُوسِ : الْوُضُوءُ
يَأْتِي بِالضَّمِّ : الْفِعْلُ ، وَبِالْفَتْحِ مَاؤُهُ وَمَصْدَرٌ أَيْضًا ، أَوْ
لُغَتَانِ ، وَيَعْنِي بِهِمَا الْمَاءَ.
Dalam
Al Qamus disebutkan, jika kata wudhu ditulis dengan harakat dhamah
menunjukkan arti perbuatan (الْفِعْلُ), yakni perbuatan wudhu itu sendiri. Dan
jika ditulis dengan harakat fathah artinya air yang digunakan untuk
berwudhu, demikian juga bentuk mashdar-nya. Terkadang makna yang
dimaksud dari keduanya adalah air yang digunakan berwudhu.
وَاعْلَمْ أَنَّ الْوُضُوءَ
مِنْ أَعْظَمِ شُرُوطِ الصَّلَاةِ ، وَقَدْ ثَبَتَ عِنْدَ الشَّيْخَيْنِ مِنْ حَدِيثِ
" أَبِي هُرَيْرَةَ " مَرْفُوعًا { إنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ
إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ } وَثَبَتَ حَدِيثُ : { الْوُضُوءُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
} وَأَنْزَلَ اللَّهُ فَرِيضَتَهُ مِنْ السَّمَاءِ فِي قَوْلِهِ : { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إذَا قُمْتُمْ إلَى الصَّلَاةِ } ؛ الْآيَةَ وَهِيَ مَدَنِيَّةٌ . وَاخْتَلَفَ
الْعُلَمَاءُ هَلْ كَانَ فَرْضُ الْوُضُوءِ بِالْمَدِينَةِ أَوْ بِمَكَّةَ ؟ فَالْمُحَقِّقُونَ
عَلَى أَنَّهُ فُرِضَ بِالْمَدِينَةِ ، لِعَدَمِ النَّصِّ النَّاهِضِ عَلَى خِلَافِهِ
.
Perlu
diketahui, wudhu adalah termasuk syariat shalat yang paling agung. Telah
ditegaskan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah RA
secara marfu: “Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang dari
kalian jika ia berhadats, hingga ia berwudhu.” [Shahih: Al Bukhari 135,
Muslim 225]. Dan ditegaskan oleh hadits: ‘Wudhu adalah bagian dari iman.” [Shahih:
Muslim 223 dengan lafazh: (الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ) ‘Bersuci itu
bagian dari iman’]. Mengenai difardhukan wudhu ini. Allah SWT berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kami hendak mengerjakan shalat....” (QS.
Al-Maidah [5]: 6), ayat ini termasuk ayat-ayat Madaniyah. Para ulama berbeda
pendapat; apakah kewajiban berwudhu ini disyariatkan di Madinah ataukah di
Makkah? Para peneliti berpendapat bahwa wudhu difardhukan di Madinah karena
tidak ada nash yang berlawanan dengannya. (Subulus Salam syarh Bulughul
Maram, I: 55)
Terdapat
beberapa dalil tentang keutamaan wudlu. Imam Abu Zakariyya Yahya ibn Syarof
An-Nawawi ad-Dimasyqa (631-676 H) Rahimahullah, pada kitab Riyaadlush
Shaalihiin dalam Bab Bayaan Katsrati Turuuq al Khaiir (Bab
Penjelasan tentang Banyaknya Jalan Kebaikan) telah memasukkan dua hadis tentang
“Antara Wudlu dan Dosa”. Adapun hadis yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Pertama,
[129] الثالث عشر : عَنْهُ : أنَّ رَسُول الله - صلى الله عليه
وسلم - قَالَ : « إِذَا تَوَضَّأ العَبْدُ المُسْلِمُ ، أَو المُؤمِنُ فَغَسَلَ
وَجْهَهُ خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَينهِ مَعَ
المَاءِ ، أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ المَاءِ ، فَإِذا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ
يَدَيهِ كُلُّ خَطِيئَة كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ المَاءِ ، أَوْ مَعَ آخِرِ
قَطْرِ المَاءِ ، فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيئَةٍ مشتها
رِجْلاَهُ مَعَ المَاء أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ المَاءِ حَتَّى يَخْرُجَ نَقِيّاً
مِنَ الذُّنُوبِ » . رواه مسلم .
129.
Ketigabelas: Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Jikalau seseorang hamba muslim ataupun mu'min berwudhu', kemudian ia membasuh
mukanya, maka keluarlah dari mukanya itu setiap kesalahan yang dilihat olehnya dengan
menggunakan kedua matanya bersama dengan air atau bersama dengan tetesan air
yang terakhir. Selanjutnya apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah
dari kedua tangannya itu semua kesalahan yang diambil - dilakukan - oleh kedua
tangannya bersama dengan air atau bersama tetesan air yang terakhir. Kemudian
apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah semua kesalahan yang dijalani
oleh kedua kakinya itu bersama dengan air atau bersama dengan tetesan air yang
terakhir, sehingga keluarlah orang tersebut dalam keadaan bersih dari semua
dosa." (Riwayat Muslim)
Takhrij
al-Hadits
1.
Muslim,
Shahih Muslim: Kitab al-Wudlu: Bab Khuruuj al-Khathaayaa Ma’a Maa-i al-Wudlu
(Keluarnya berbagai dosa bersama air wudlu), I: 148: 600. (Al-Maktabah
asy-Syamilah)
2.
At-Tirmidzi,
Sunan At-Tirmidzi: Abwab ath-Thaharah ‘an Rasulillah saw: Bab Maa jaa-a fii
fadhli ath-Thuhuur (Penjelasan tentang keutamaan bersuci), I/ 5: 84: 2.
(Beirut: Dar al-Fikr, 2009)
Syarah
al-Hadits
Syaikh
Faishal ibn ‘Abdul ‘Aziz Aali Mubarak menjelaskan:
فِيْ
هذَا الحَدِيْثِ : فَضْلُ الوُضُوْءِ ، وَأَنَّهُ يَمْحُوْ خَطَايَا الجَوَارِحِ وَيُكَفِّرُ
الذُّنُوْبَ.
Hadis
ini menunjukkan keutamaan berwudlu, yang wudlu tersebut akan membersihkan
berbagai kesalahan anggota badan dan akan menghapus berbagai dosa. (Tatriz
Riyadhus Shalihin, I: 111)
Kedua,
[131] الخامس عشر : عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى
الله عليه وسلم - : « ألا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا
وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ » قَالُوا : بَلَى ، يَا رسولَ اللهِ ، قَالَ : «
إِسْبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى المَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الخُطَا إِلَى المَسَاجِدِ ،
وَانْتِظَارُ الصَّلاةِ بَعْدَ الصَّلاةِ فَذلِكُمُ الرِّبَاطُ » . رواه مسلم .
131. Kelimabelas:
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sukakah engkau semua saya tunjukkan pada sesuatu amalan yang dengannya
itu Allah akan menghapuskan segala macam kesalahan serta mengangkat pula
dengannya tadi sampai beberapa derajat?" Para sahabat menjawab;
"Baik, ya Rasulullah." Beliau s.a.w. bersabda: "Yaitu [1] isbaaghul
wudlu (menyempurnakan wudhu) sekalipun menghadapi kesukaran-kesukaran
banyaknya, [2] melangkahkan kaki untuk pergi ke masjid serta [3] menantikan
shalat setelah selesai shalat yang satunya. Yang sedemikian itulah yang
dinamakan ar-Ribath (perjuangan, kewaspadaan)." (Riwayat
Muslim)
Takhrij
al-Hadits
1. Malik ibn Anas, Al-Muwaththa’: Bab Intidzar ash-Shalah
wa al-Masyi ilaiha (Menunggu shalat serta berjalan menuju -tempat
pelaksanaan-nya), I: 161: 384
2. Ahmad, Musnad Ahmad: Musnad Abu Hurairah: II: 277: 7715
3. Muslim, Shahih Muslim: 251
4. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi: 51
5. An-Nasai, Sunan An-Nasai: 143. (Al-Maktabah
asy-Syamilah)
Syarah
al-Hadits
Pada
hadis riwayat Imam Malik dan Imam Ahmad, lafadz “fa dzaalikum ar-ribaath” disebut
tiga kali; hal tersebut secara lafdziyah menunjukkan kepada taukid (penegasan)
bahwa sungguh ketiga amal tersebut adalah ar-Ribaath. Namun
pada riwayat Imam Ahmad pun terdapat hadis yang lafadz tersebut hanya disebut
satu kali. Wallahu A’lam.
Syaikh
Faishal ibn ‘Abdul ‘Aziz Aali Mubarak menjelaskan:
إِسْبَاغُ الوُضُوْءِ : اِسْتِيْعَابُ
أَعْضَائِهِ بِالغُسْلِ . وَسُمِّيَتْ هذِهِ الثَّلَاثُ رِبَاطًا ؛ لِأنَّ أَعْدَى
عَدُوٍّ لِلإِنْسَانِ نَفْسُهُ ، وَهذِهِ الأَعْمَالُ تَسُدُّ طُرُقُ الشَّيْطَانِ
وَالهَوَى عَنِ النَّفْسِ ، فَإِنَّ جِهَادَ النَّفْسِ هُوَ الجِهَادُ الأَكْبَرُ
.
Isbaaghul
wudlu yakni mengaliri (dengan air) anggota-anggota tubuh (yang
diwudluinya) sambil dicuci (digosok). Dinamakan ketiga amalan ini
sebagai ribath (perjuangan), karena yang paling sulit
dilawan bagi diri manusia. Serta amal-amal ini yang akan merintangi, menutup,
menyumbat, menghalang-halangi berbagai godaan setan dan hawa nafsu terhadap
diri; karena sesungguhnya jihad an-nafs (jihad melawan diri sendiri)
merupakan jihad yang paling besar. (Tatriz Riyadhus Shalihin, I: 112)
Terdapat
pula hadis yang semakna, yaitu pada kitab Musnad Ahmad sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلى الله عَليه وسَلم قَالَ مُنْتَظِرُ الصَّلاَةِ مِنْ بَعْدِ الصَّلاَةِ
كَفَارِسٍ اشْتَدَّ بِهِ فَرَسُهُ فِي سَبِيلِ اللهِ عَلَى كَشْحِهِ تُصَلِّي عَلَيْهِ
مَلاَئِكَةُ اللهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ، أَوْ يَقُومُ وَهُوَ فِي الرِّبَاطِ الأَكْبَرِ.
Dari
Abu Hurairah ra., bahwa sanya Rasulullah saw. bersabda, “Orang
yang menunggu-nunggu waktu shalat setelah melaksanakan shalat itu bagaikan
seorang penunggang kuda yang bersungguh-sungguh dalam penunggangannya
(perjuangannya) fi sabilillah (di jalan Allah) dalam mengusir musuh. Para
malaikat Allah akan bershalawat (mendo’akan) kepadanya selama ia belum
berhadats atau beranjak (pergi); dan ini adalah dalam rangka ar-Ribaath
al-Akbar (perjuangan, kewaspadaan yang besar).” (HR
Ahmad, Musnad Ahmad, III: 2380: 8745)
Berkaitan
dengan ar-Ribaath, terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menggunakan
lafadz tersebut, diantaranya:
Pertama,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ
مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِباطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَما تُنْفِقُوا
مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ.
Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat (ribaath al-khail) untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs al-Anfal/ 8:
60)
Syaikh
DR. Wahbah Az-Zuhaili meng-i’rab-kan ayat di atas di antaranya sebagai
berikut:
تُرْهِبُونَ بِهِ الهاء في
بِهِ إما أن تعود على مَا أو على الرباط ، أو على الإعداد المفهوم من قوله : وَأَعِدُّوا.
Lafadz
turhibuuna bihi (menggetarkan dengan persiapan itu); dlamir ha pada
lafadz bihi (dengan persiapan itu) bisa kembali kepada lafadz maa
(apa saja), atau kembali kepada lafadz ar-ribaath (-kuda-kuda- yang
ditambat), atau kembali kepada al-i’daad (permusuhan, pada ayat itu
berbunyi: ‘aduwwalloh); ini semua adalah yang dipahami dari firman
Allah: Wa a’idduu (dan siapkanlah). (At-Tafsir Al-Munir, 10:
48)
Kedua,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اصْبِرُوا وَصابِرُوا وَرابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
Hai
orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah -ribath- bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu beruntung. (Qs Ali Imran/ 3: 200)
Al-Hafidz
Isma’il ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas yang dikelompokkan dengan satu
ayat sebelumnya diantaranya sebagai berikut:
قَوْله تَعَالَى " يَا
أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اِصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابَطُوا " قَالَ الْحَسَن
الْبَصْرِيّ أُمِرُوا أَنْ يَصْبِرُوا عَلَى دِينهمْ الَّذِي اِرْتَضَاهُ اللَّه لَهُمْ
وَهُوَ الْإِسْلَام فَلَا يَدَعُوهُ لِسَرَّاء وَلَا لِضَرَّاء وَلَا لِشِدَّةٍ وَلَا
لِرَخَاءٍ حَتَّى يَمُوتُوا مُسْلِمِينَ وَأَنْ يُصَابِرُوا الْأَعْدَاء الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ دِينهمْ. وَكَذَلِكَ قَالَ غَيْر وَاحِد مِنْ عُلَمَاء السَّلَف.
Firman
Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah -ribath- bersiap siaga (di perbatasan
negerimu)”. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Mereka diperintahkan untuk
bersabar dalam menjalankan agama mereka yang diridhai oleh Allah, yaitu agama
Islam. Janganlah mereka meninggalkannya, baik dalam keadaan suka maupun duka
dan dalam keadaan miskin maupun kaya, hingga mereka mati dalam keadaan memeluk
agama Islam. Hendaklah mereka teguh bersabar dalam menghadapi musuh-musuh yang
menyembunyikan agama mereka. Hal yang sama dikatakan pula bukan oleh hanya
seorang dari kalangan ulama salaf.”
وَأَمَّا الْمُرَابَطَة فَهِيَ
الْمُدَاوَمَة فِي مَكَان الْعِبَادَة وَالثَّبَات وَقِيلَ اِنْتِظَار الصَّلَاة بَعْد
الصَّلَاة قَالَهُ اِبْن عَبَّاس وَسَهْل بْن حُنَيْف وَمُحَمَّد بْن كَعْب الْقَرَظِيّ
وَغَيْرهمْ. (Tafsir Ibnu Katsir:
Qs Ali Imran: 200)
Adapun
murabathah (semakna dengan ar-ribath) ialah menetapi suatu tempat
ibadah dan tidak bergeming darinya. Menurut pendapat lain: (ialah)
menunggu (waktu) shalat (lain) setelah mengerjakan shalat. Demikian yang
dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas, Sahl ibn Hunaif, Muhammad ibn Ka’ab Al-Qaradzi,
dan ulama yang lainnya.
Selanjutnya,
Al-Hafidz mengutip hadis sebagaimana yang telah dikutip pula oleh Imam
An-Nawawi pada Riyadhus Shalihin hadis nomor 131 dengan sedikit
perbedaan lafadz dan beberapa hadis lainnya. Kemudian Al-Hafidz
menjelaskan diantaranya sebagai berikut:
وَقِيلَ الْمُرَاد بِالْمُرَابَطَةِ
هَهُنَا مُرَابَطَة الْغَزْو فِي نَحْو الْعَدُوّ وَحِفْظ ثُغُور الْإِسْلَام وَصِيَانَتهَا
عَنْ دُخُول الْأَعْدَاء إِلَى حَوْزَة بِلَاد الْمُسْلِمِينَ وَقَدْ وَرَدَتْ الْأَخْبَار
بِالتَّرْغِيبِ فِي ذَلِكَ وَذِكْرِ كَثْرَة الثَّوَاب فِيهِ
Pendapat
lain mengatakan, yang dimaksud dengan murabathah dalam ayat ini ialah
bersiap siaga di perbatasan negeri terhadap ancaman musuh, menjaga tapal batas
negeri Islam, dan melindunginya dari serangan musuh yang hendak menjarah
negeri-negeri Islam. Sungguh banyak hadis yang menganjurkan hal ini, dan
disebutkan bahwa tugas ini pahalanya besar sekali. (Tafsir Ibnu Katsir:
Qs Ali Imran: 200)
Dari
sekian banyak hadis tentang murabathah bermakna bersiap siaga di
perbatasan negeri terhadap ancaman musuh, diantara hadis yang disodorkan
Al-Hafidz adalah sebagai berikut:
فَرَوَى الْبُخَارِيّ فِي
صَحِيحه عَنْ سَهْل بْن سَعْد السَّاعِدِيّ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ " رِبَاط يَوْم فِي سَبِيل اللَّه خَيْر مِنْ الدُّنْيَا وَمَا
عَلَيْهَا " .
Imam Al-Bukhari pada kitab Shahih-nya
meriwayatkan melalui jalur Sahl ibn Sa’ad As-Saa’idiy ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Ribaath (Bersiap siaga di
perbatasan) selama sehari dalam jihad di jalan Allah lebih baik daripada dunia
dan semua yang ada di dalamnya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Qs Ali Imran: 200)
Secara
umum, Rasulullah saw. tentang penghapusan dosa dengan melaksanakan
berbagai ibadah adalah melalui sabdanya diantaranya sebagai berikut:
[130] الرابع عشر : عَنْهُ ، عن رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم
- قَالَ : « الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ ، وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ ، وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّراتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الكَبَائِرُ » .
رواه مسلم .
130.
Keempatbelas: Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Shalat lima waktu, dari Jum'at yang satu ke Jum'at yang berikutnya, dari
Ramadhan yang satu ke Ramadhan yang berikutnya itu dapat menjadi penghapus
dosa-dosa antara jarak keduanya itu, jikalau dosa-dosa besar dijauhi."
(Riwayat Muslim)
Takhrij
al-Hadits
1. Muslim, Shahih Muslim: 233
2. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi: 214. (Al-Maktabah
asy-Syamilah)
Syarah
al-Hadits
Imam
An-Nawawi pada kitab Riyadhus Shalihin menyimpan hadis di atas setelah
nomor 129 dan sebelum nomor 131.
Syaikh
Faishal ibn ‘Abdul ‘Aziz Aali Mubarak menjelaskan:
فِيْ
هذَا الحَدِيْثِ : سَعَةُ رَحْمَةِ اللهِ تَعَالَى ، وَأَنَّ الْمُدَوَامَةَ عَلَى
الفَرَائِضِ تُكَفِّرُ الصَّغَائِرَ مِنَ الذُّنُوْبِ ، وَقَالَ اللهُ تَعَالَى : "الَّذِينَ
يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ
وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ" [ النجم (32) ] .
Hadis
ini menunjukkan akan luasnya rahmat Allah Ta’ala, serta menunjukkan
bahwa mudawamah (konsisten) dalam melaksanakan berbagai kewajiban akan menghapus
dosa-dosa yang kecil. Firman Allah Ta’ala, “(Yaitu) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya.” [Qs
an-Najm/ 53: 32]. (Tatriz Riyadhus Shalihin, I: 111)
Antara
Wudlu dan Dosa; maka wudlu dapat
menghapus dosa-dosa kecil selama tidak melakukan dosa besar.
Antara
Wudlu dan Dosa; maka bersungguh-sungguh
dalam melaksanakan wudlu dalam kondisi apapun merupakan bagian dari ar-Ribaath.
ar-Ribaath
intinya adalah waspada, berjuang tak kenal lelah,
senantiasa memelihara setiap batasan dari Allah dan Rasul-Nya, memperhatikan
setiap kewajiban dan senantiasa ingin terdepan, berusaha tepat dalam setiap
bentuk taat.
Pribadi
ar-Ribaath akan mendapatkan maghfirah dan pahala dari
Allah Ta’ala serta dido’akan oleh para Malaikat-Nya.
Pada
akhirnya, pribadi muslim yang berkarakter ar-Ribaath, maka ia
akan senantiasa teliti dalam beribadah, diantaranya wudlu.
Pribadi
ar-Ribaath tidak mungkin bermalas-malasan, banyak menunda-nunda,
berlama-lama dalam suatu perkata yang tidak ada ataupun kurang manfaatnya.
Jangankan menyia-nyiakan amalan-amalan yang besar nan berat, wudlunya saja
begitu ia waspadai.
Semoga
kita termasuk para generasi muda Islam yang berkarakter ar-Ribaath.
Aamiin. Wallaahu A’lam.
by Bidang
Pendidikan.
@
Bidang Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan