Maha
Adil Allah Jalla wa ‘Alaa yang akan membalas amal shalih dengan pahala
berlipat ganda dan akan membalas dosa dan maksiat dengan siksaan yang sebanding
dengan perbuatannya. Selain terkadang terdapat beberapa amalan ringan namun
berpahala besar, seperti bersedekah kepada tetangga, mengambil duri di tengah
jalan, dan lain sebagainya. Terkadang pula besar kecilnya pahala tergantung
berat dan ringannya amalan tersebut ketika dilaksanakan, tentunya dengan syarat
dan ketentuan yang berlaku berdasarkan arahan Allah Ta’ala dan teladan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semakin berat suatu amalan saat
dilaksanakan, maka akan semakin besar pula pahala yang akan didapatkan. Dalam
hal ini dikenal kaidah di kalangan para ulama, diantaranya dalam
kaidah
yang dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm.
320) disebutkan,
مَا
كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً
“Amalan
yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.”
Imam
Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur,
العَمَلُ
كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ
“Amalan
yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti
itu.”
Dasar
kaidah
di atas disimpulkan dari hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
وَلَكِنَّهَا
عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ
“Akan
tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.”
(HR. Muslim, no. 1211). Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan
kaidah
di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair (hlm. 320).
Adapun
kelengkapan hadis riwayat Muslim tersebut adalah tentang manasik hajji sebagai
berikut:
عَنْ
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَصْدُرُ النَّاسُ بِنُسُكَيْنِ
وَأَصْدُرُ بِنُسُكٍ وَاحِدٍ قَالَ « انْتَظِرِى فَإِذَا طَهَرْتِ فَاخْرُجِى إِلَى
التَّنْعِيمِ فَأَهِلِّى مِنْهُ ثُمَّ الْقَيْنَا عِنْدَ كَذَا وَكَذَا - قَالَ أَظُنُّهُ
قَالَ غَدًا - وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ - أَوْ قَالَ - نَفَقَتِكِ ».
dari
Ummul mukminin ia berkata; Saya berkata, "Wahai Rasulullah,
orang-orang menunaikan dua nusuk sementara saya hanya satu nusuk."
Beliau bersabda: "Jika kamu telah suci, maka keluarlah ke Tan'im dan
berihramlah (untuk umrah), kemudian temuilah kami di tempat ini dan ini -saya
menduga bahwa beliau mengatakan- esok hari, tetapi hendaklah sesuai dengan
bagianmu (pahalanya
tergantung pada usaha yang dikorbankan) -atau
beliau berkata- nafkahmu."
Sebagian
ulama memandang bahwa kaidah yang dijelaskan oleh Imam As-Suyuti dan Az-Zarkasi
di atas bertentangan dengan kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:
عَلَى
قَدْرِ الْمَنْفَعَةِ لاَ الْمَشَقَّةِ
Pahala
tergantung pada besarnya manfaat bukan kadar kesulitan.
Kaidah ini berkaitan
dengan salah satu perinsip taklîf dalam syari’at, yaitu meniadakan kesulitan
dan kesempitan. Dalam kaidah dijelaskan bahwa seorang hamba ketika beramal
tidak boleh sekedar bertujuan untuk menempuh kesulitan dalam amalan
tersebut, akan tetapi yang menjadi tujuan hendaknya adalah mengerjakan amalan
yang lebih bermanfaat baginya.
Imam As-Syathibi Rahimahullah
mengatakan,
... فإذا
كان قصد المكلف إيقاع المشقة فقد خالف قصد الشارع من حيث إن الشارع لا يقصد
بالتكليف نفس المشقة وكل قصد يخالف قصد الشارع باطل ... .
“Apabila maksud seorang
mukallaf sekedar mengerjakan kesulitan, maka sesungguhnya ia telah menyelisihi
maksud syari’at, karena syariat dalam memberikan taklif tidaklah bertujuan
memberikan kesulitan. Dan setiap tujuan yang menyelisihi tujuan syariat maka
itu adalah perkara yang bathil.” (Al-Muwaafaqaat: II: 129)
Dalil-dalil
yang menunjukkan eksistensi dan kandungan kaidah ini diantaranya adalah hadits
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ahuma riwayat al-Bukhâri :
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : بَيْنَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ
بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوْا : أَبُوْ إِسْرَائِيْلَ نَذَرَ أَنْ
يَقُوْمَ وَلاَ يَقْعُدَ وَلاَ يَسْتَظِلَّ وَلاَ يَتَكَلَّمَ وَيَصُوْمَ. فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مُرْهُ
فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
Dari
Ikrimah dari Ibnu Abbâs, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang berkhutbah tiba-tiba ada laki-laki yang berdiri. Lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menanyakan tentang orang itu, maka orang-orang menjawab, “Dia
adalah Abu Isrâ’il, ia telah bernadzar untuk berdiri dan tidak duduk, tidak
berteduh, tidak berbicara, dan berpuasa. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan
hendaklah ia meneruskan puasanya.”
Terlepas
dari perbedaan sudut pandang para ulama tersebut, keduanya benar sesuai dengan
syarat dan ketentuan masing-masing karena yang berbeda adalah sudut pandangnya.
Contoh
“Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang
tidak seperti itu” adalah shalat fardhu, diantara kelima shalat tersebut
terdapat tiga shalat yang lebih berat untuk dilaksanakan dibandingkan dua
shalat fardhu yang lainnya, yakni shalat ‘Ashar dan Shubuh; pada riwayat lain
yakni ‘Isya dan Shubuh.
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَثْقَلَ الصَّلَاةِ
عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَالْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا
لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi
orang-orang munafik adalah shalat ‘Isya dan Fajar (Shubuh). Kalaulah mereka
mengetahui (kebaikan) apa yang ada pada kedua shalat itu, pastilah mereka akan
mendatanginya walaupun (harus) sambil merangkak.” (HR Ahmad,
Al-Musnad, II: 472: 10100)
(132)- السادس
عشر : عن أبي موسى الأشعرِيِّ - رضي الله عنه - ، قَالَ : قَالَ رسولُ الله - صلى
الله عليه وسلم - : (( مَنْ صَلَّى البَرْدَيْنِ دَخَلَ الجَنَّةَ )) مُتَّفَقٌ
عَلَيهِ . (( البَرْدَانِ )) : الصبح والعصر .
132-
Hadis keenam belas: dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang (menjaga) dua shalat barod (dingin), maka ia masuk surga.” (HR
Muttafaq ‘alaih). Al-Bardaan (dua shalat barod) adalah
shalat Shubuh dan ‘Ashar.
Maha
Adil Allah Jalla wa ‘Alaa pula, yang selain Dia akan membalas amal
shalih dengan pahala berlipat ganda dan akan membalas dosa dan maksiat dengan
siksaan yang sebanding dengan perbuatannya; Allah Ta’ala pun “Ketika
Alfa (seorang hamba tidak mampu melaksanakan suatu amal shalih disebabkan masyaqqah),
maka Allah Menghitung Ada (yakni dengan tetap mencatat untuknya pahala
perbuatan sebagaimana hamba itu biasa mengerjakannya ketika ia mampu).”
Imam
Abu Zakariyya Yahya ibn Syarof An-Nawawi ad-Dimasyqa (631-676 H) Rahimahullah,
pada kitab Riyaadlush Shaalihiin dalam Bab Bayaan Katsrati Turuuq
al Khaiir (Bab Penjelasan tentang Banyaknya Jalan Kebaikan) hemat penulis, telah
memasukkan sebuah hadis tentang “Ketika Alfa Dihitung Ada”. Adapun
hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(133)-
السابع عشر : عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - : ((
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ
مُقِيماً صَحِيحاً )) رواه البخاري .
133. Hadis ketujuh belas:
Darinya (Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
seorang hamba sakit atau sedang safar (bepergian), maka dicatatlah untuknya
pahala amal perbuatan sebagaimana ia biasa mengerjakannya pada waktu muqim
(tidak bepergian) dan pada waktu sehat.”
(Riwayat Al-Bukhari)
Syarah
al-Hadits
Hadits
di atas menceritakan saat Yazid bin Abi Kabsyah puasa ketika safar (saat
perjalanan jauh), Abu Burdah lantas mengatakan padanya bahwa ia baru saja
mendengar Abu Musa menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
yang disebutkan di atas.
Imam
Bukhari membawakan hadits di atas dalam bab:
يُكْتَبُ لِلْمُسَافِرِ مِثْلُ
مَا كَانَ يَعْمَلُ فِى الإِقَامَةِ
“Dicatat
bagi musafir pahala seperti kebiasaan amalnya saat mukim.”
Dari
hadits itu, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan,
وَهُوَ فِي حَقّ مَنْ كَانَ
يَعْمَل طَاعَة فَمَنَعَ مِنْهَا وَكَانَتْ نِيَّته لَوْلَا الْمَانِع أَنْ يَدُوم
عَلَيْهَا
“Hadits
di atas berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan lantas terhalang dari
melakukannya. Padahal ia sudah punya niatan kalau tidak ada yang menghalangi,
amalan tersebut akan dijaga rutin.” (Fath Al-Bari, 6: 136)
قال
ابن بطال: هذا في أمر النوافل، أما صلاة الفرض فلا تسقط بسفر أو مرض
Ibn
Bathal menjelaskan: Hadis ini (berlaku) pada perkara ibadah-ibadah sunat.
Adapun shalat fardhu, maka tidaklah terputus (boleh ditinggalkan) disebabkan
safar ataupun sakit. (Muhammad Ibn ‘Allaan, Daliilul Faalihiin syarh
Riyaadhus Shaalihiin, I: 318)
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَبْدَ إِذَا كَانَ عَلَى طَرِيقَةٍ حَسَنَةٍ مِنَ الْعِبَادَةِ ثُمَّ
مَرِضَ قِيلَ لِلْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِهِ اكْتُبْ لَهُ مِثْلَ عَمَلِهِ إِذَا كَانَ
طَلِيقاً حَتَّى أُطْلِقَهُ أَوْ أَكْفِتَهُ إِلَىَّ
“Seorang
hamba jika ia berada pada jalan yang baik dalam ibadah, kemudian ia sakit, maka
dikatakan pada malaikat yang bertugas mencatat amalan, “Tulislah padanya
semisal yang ia amalkan rutin jika ia tidak terikat sampai Aku melepasnya atau
sampai Aku mencabut nyawanya.” (HR. Ahmad, 2: 203. Syaikh Syu’aib
Al-Arnauth menyatakan bahwa hadits ini shahih, sedangkan sanad
hadits ini hasan)
Amalan
yang dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu, sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى
اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan
yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun
jumlahnya sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783; dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha).
Dari
’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah.
Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab,
أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
”Amalan
yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.” HR. Muslim no. 782
’Alqomah
pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin,
bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal?
Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah
menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ
”Tidak. Amalan
beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara
kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.” HR. Muslim no. 783
Di
antaranya lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan
dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar
mencoba untuk merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ
مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ
أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
”Wahai
sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena
Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang
paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” HR. Muslim no. 784
Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir.Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى
يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
”Dan
sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al
Hijr: 99). Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
Ibnu
’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah
kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti
terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah
selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut
adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup. Lihat Zaadul
Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah.
Ibadah
seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى
الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ
“Kenalilah
Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” HR. Hakim. Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan
bahwa hadits ini shohih.
Semoga
Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Aamiin. Hanya Allah yang memberi
taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap
kebaikan menjadi sempurna. Wallaahu
A’lam.
by Bidang
Pendidikan.
@
Bidang Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan