PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN AL-FATIHAH DI DALAM SHALAT [11]


الْكَلَام عَلَى مَا يَتَعَلَّق بِهَذَا الْحَدِيث مِمَّا يَخْتَصّ بِالْفَاتِحَةِ مِنْ وُجُوه
Kalam-kalam yang Berkaitan dengan Hadis ini tentang Surat Al-Fatihah dari Berbagai Segi Secara Khusus

" أَحَدهَا" أَنَّهُ قَدْ أُطْلِق فِيهِ لَفْظ الصَّلَاة وَالْمُرَاد الْقِرَاءَة كَقَوْلِهِ تَعَالَى : " وَلَا تَجْهَر بِصَلَاتِك وَلَا تُخَافِت بِهَا وَابْتَغِ بَيْن ذَلِكَ سَبِيلًا "
Salahsatunya: Sungguh terkadang lafadz shalat itu dimutlakkan padanya (Al-Fatihah) dan maksudnya adalah membaca (Al-Fatihah), sebagaimana firman Allah Ta’ala: dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.

أَيْ بِقِرَاءَتِك كَمَا جَاءَ مُصَرَّحًا بِهِ فِي الصَّحِيح عَنْ اِبْن عَبَّاس وَهَكَذَا قَالَ فِي هَذَا الْحَدِيث" قَسَمْت الصَّلَاة بَيْنِي وَبَيْن عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفهَا لِي وَنِصْفهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ "
Yakni “dengan bacaanmu”, sebagaimana telah dijelaskan secara terang tentangnya pada sebuah hadis shahih dari Ibnu ‘Abbas, dan hadis itu menjelaskan padanya, “Aku membagi shalat antara Aku dan HambaKu menjadi dua bagian. Maka setengahnya untukku dan setengahnya [lagi] untuk hambaKu. Dan bagi hambaku apa-apa yang dia meminta.

ثُمَّ بَيَّنَ تَفْصِيل هَذِهِ الْقِسْمَة فِي قِرَاءَة الْفَاتِحَة فَدَلَّ عَلَى عَظَمَة الْقِرَاءَة فِي الصَّلَاة وَأَنَّهَا مِنْ أَكْبَر أَرْكَانهَا إِذْ أُطْلِقَتْ الْعِبَادَة وَأُرِيد بِهَا جُزْء وَاحِد مِنْهَا وَهُوَ الْقِرَاءَة كَمَا أُطْلِق لَفْظ الْقِرَاءَة وَالْمُرَاد بِهِ الصَّلَاة فِي قَوْله" وَقُرْآن الْفَجْر إِنَّ قُرْآن الْفَجْر كَانَ مَشْهُودًا " وَالْمُرَاد صَلَاة الْفَجْر كَمَا جَاءَ مُصَرَّحًا بِهِ فِي الصَّحِيحَيْنِ أَنَّهُ يَشْهَدهَا مَلَائِكَة اللَّيْل وَمَلَائِكَة النَّهَار
Kemudian dijelaskan secara terperinci pembagian ini dalam bacaan Al-Fatihah, maka menunjukkan atas keagungan bacaan di dalam shalat. Dan bahwa Al-Fatihah adalah diantara rukun shalat yang paling besar, ketika disebutkan ibadah itu sedangkan maksudnya ialah salahsatu bagian darinya yaitu bacaan (al-Fatihah). Sebagaimana disebutkan lafadz qira’ah (bacaan) sedangkan maksudnya adalah shalat, pada firman-Nya: “dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” Yang dimaksud adalah shalat fajar (shubuh), sebagaimana telah dijelaskan secara terang tentangnya pada kitab Ash-Shahihain bahwa sanya Para Malaikat malam dan Para Malaikat siang menyaksikannya.

فَدَلَّ هَذَا كُلّه عَلَى أَنَّهُ لَا بُدّ مِنْ الْقِرَاءَة فِي الصَّلَاة وَهُوَ اِتِّفَاق مِنْ الْعُلَمَاء وَلَكِنْ اِخْتَلَفُوا فِي مَسْأَلَة نَذْكُرهَا فِي الْوَجْه الثَّانِي وَذَلِكَ أَنَّهُ هَلْ يَتَعَيَّن لِلْقِرَاءَةِ فِي الصَّلَاة غَيْر فَاتِحَة الْكِتَاب أَمْ تُجْزِئ هِيَ أَوْ غَيْرهَا ؟
Ini semua menunjukkan bahwa diharuskan al-Qira’ah (membaca Al-Fatihah) di dalam shalat, dan ini merupakan kesepakatan para ulama. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang suatu masalah yang kami (Ibnu Katsir) akan menjelaskannya pada cara yang kedua. Yaitu apakah suatu kemestian qira’ah (membaca) pada shalat selain Fatihatul Kitab ataukah dicukupkan dengan al-Fatihah atau selainnya? .

عَلَى قَوْلَيْنِ مَشْهُورَيْنِ فَعِنْد أَبَى حَنِيفَة وَمَنْ وَافَقَهُ مِنْ أَصْحَابه وَغَيْرهمْ : أَنَّهَا لَا تَتَعَيَّن بَلْ مَهْمَا قَرَأَ بِهِ مِنْ الْقُرْآن أَجْزَأَهُ فِي الصَّلَاة وَاحْتَجُّوا بِعُمُومِ قَوْله تَعَالَى : " فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآن "
Atas dua pendapat yang masyhur (terkenal) itu menurut Abu Hanifah dan orang-orang yang mengikutinya dari  para  sahabatnya  dan  lain  sebagainya:  Bahwa  tidak  menjadi  keharusan (membaca Al-Fatihah) bahkan bilamana membaca sebagian dari Al-Qur’an hal itu dipandang cukup di dalam shalat, mereka berhujjah dengan keumuman firman Allah Ta’ala, “karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari Al-Qur’an.” (QS Al-Muzzammil: 20)

وَبِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة فِي قِصَّة الْمُسِيء فِي صَلَاته أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ " إِذَا قُمْت إِلَى الصَّلَاة فَكَبِّرْ ثُمَّ اِقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَك مِنْ الْقُرْآن " قَالُوا فَأَمَرَهُ بِقِرَاءَةِ مَا تَيَسَّرَ وَلَمْ يُعَيِّنْ لَهُ الْفَاتِحَة وَلَا غَيْرهَا فَدَلَّ عَلَى مَا قُلْنَا .
Telah disebutkan pula hal tersebut dalam kitab Ash-Shahihain dari hadis Abu Hurairah tentang kisah orang yang salah shalatnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apabila engkau berdiri hendak shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah yang mudah bagimu dari Al-Qur’an.” Menurut mereka, maka Nabi Saw memerintahkannya untuk membaca apa yang mudah dan tidak dijelaskan kepadanya bahwa itu Al-Fatihah dan bukan surat selainnya, maka itu menjadi dalil atas apa yang mereka katakan.

" وَالْقَوْل الثَّانِي " أَنَّهُ تَتَعَيَّن قِرَاءَة الْفَاتِحَة فِي الصَّلَاة وَلَا تُجْزِئ الصَّلَاة بِدُونِهَا وَهُوَ قَوْل بَقِيَّة الْأَئِمَّة مَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأَحْمَد بْن حَنْبَل وَأَصْحَابهمْ وَجُمْهُور الْعُلَمَاء وَاحْتَجُّوا عَلَى ذَلِكَ بِهَذَا الْحَدِيث الْمَذْكُور حَيْثُ قَالَ صَلَوَات اللَّه وَسَلَامه عَلَيْهِ " مَنْ صَلَّى صَلَاة لَمْ يَقْرَأ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآن فَهِيَ خِدَاج"
Pendapat kedua, bahwasanya diharuskan membaca Al-Fatihah di dalam shalat dan tidak sah shalat dengan tanpa Al-Fatihah. Hal tersebut merupakan pendapat imam-imam lainnya seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal dan sahabat-sahabat mereka serta jumhur Ulama. Mereka berhujjah terhadap hal tersebut dengan hadis yang disebutkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang shalat suatu shalat yang tidak membaca pada Ummul Qur’an, maka shalatnya itu khidaj.”

وَالْخِدَاج هُوَ النَّاقِص كَمَا فُسِّرَ بِهِ فِي الْحَدِيث " غَيْر تَمَام " . وَاحْتَجُّوا أَيْضًا بِمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ حَدِيث الزُّهْرِيّ عَنْ مَحْمُود بْن الرَّبِيع عَنْ عُبَادَة بْن الصَّامِت قَالَ : قَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " لَا صَلَاة لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَاب " .
Khidaj yaitu an-naaqish (kurang), sebagaimana ditafsirkan dalam sebuah hadis: ghairu tamaam (tidak sempurna). Mereka pun berhujjah juga dengan hadis yang dijelaskan pada kitab Ash-Shahihain dari hadis Az-Zuhriy dari Mahmud ibn ar-Rabi’, dari ‘Ubadah ibn ash-Shamit ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul kitaab.”

وَفِي صَحِيح اِبْن خُزَيْمَةَ وَابْن حِبَّان عَنْ أَبِي هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" لَا تُجْزِئ صَلَاة لَا يُقْرَأ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآن " وَالْأَحَادِيث فِي هَذَا الْبَاب كَثِيرَة وَوَجْه الْمُنَاظَرَة هَهُنَا يَطُول ذِكْره وَقَدْ أَشَرْنَا إِلَى مَأْخَذهمْ فِي ذَلِكَ رَحِمَهمْ اللَّه .
Pada Shahih Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca padanya Ummul Qur’an.” Dan hadis-hadis pada bab ini adalah banyak. Perbedaan pendapat tentang ini cukup panjang penjelasannya, dan sungguh kami (Ibnu Katsir) telah mengisyaratkan dalil-dalil mereka Rahimahumullah dalam hal tersebut.

ثُمَّ إِنَّ مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَجَمَاعَة مِنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُ تَجِب قِرَاءَتهَا فِي كُلّ رَكْعَة . وَقَالَ آخَرُونَ : إِنَّمَا تَجِب قِرَاءَتهَا فِي مُعْظَم الرَّكَعَات
Adapun pendapat Asy-Syafi’i dan segolongan dari ahli ilmu, bahwa sanya wajib membacanya pada setiap raka’at. Para ulama lain mengatakan: Tiada lain wajib membacanya pada sebagian besar raka’at.

وَقَالَ الْحَسَن وَأَكْثَر الْبَصَرِيِّينَ: إِنَّمَا تَجِب قِرَاءَتهَا فِي رَكْعَة وَاحِدَة مِنْ الصَّلَوَات أَخْذًا بِمُطْلَقِ الْحَدِيث "لَا صَلَاة لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَاب".
Al-Hasan dan kebanyakan ulama Bashrah berpendapat: Tiada lain wajib membacanya pada satu raka’at dari shalat, karena berpegang dengan kemutlakan hadis: “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab.”

وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة وَأَصْحَابه وَالثَّوْرِيّ وَالْأَوْزَاعِيّ: لَا تَتَعَيَّن قِرَاءَتهَا بَلْ لَوْ قَرَأَ بِغَيْرِهَا أَجْزَأَهُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: "فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْ الْقُرْآن" وَاَللَّه أَعْلَم.
Abu Hanifah dan para sahabatnya, Ats-Tsauriy dan Al-Auza’iy berpendapat: Bukan ketentuan membacanya (Al-Fatihah), bahkan walaupun membaca selainnya itu telah mencukupkannya, berdasarkan firman-Nya Ta’ala, “karena itu, bacalah apa yang mudah bagi kalian dari Al-Qur’an.” Wallahu A’lam.

وَقَدْ رَوَى اِبْن مَاجَهْ مِنْ حَدِيث أَبِي سُفْيَان السَّعْدِيّ عَنْ أَبِي نَضْرَة عَنْ أَبِي سَعِيد مَرْفُوعًا " لَا صَلَاة لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ فِي كُلّ رَكْعَة بِالْحَمْدِ وَسُورَة فِي فَرِيضَة أَوْ غَيْرهَا " وَفِي صِحَّة هَذَا نَظَر وَمَوْضِع تَحْرِير هَذَا كُلّه فِي كِتَاب الْأَحْكَام الْكَبِير وَاَللَّه أَعْلَم .
Sungguh Ibnu Majah telah meriwayatkan pula dari hadis Abu Sufyan As-Sa’diy, dari Abu Nadlrah, dari Abu Sa’id secara marfu’, “Tidak sah shalat bagi seseorang yang tidak membaca pada setiap raka’atnya surat Al-Hamdu dan surat lainnya dalam shalat faridlah (wajib) ataupun shalat lainnya.” Keshahihan hadis ini masih diperbincangkan dan pembahasan rincian semua ini dalam kitab Al-Ahkaam Al-Kabiir. Wallahu A’lam. (Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzim, I dari 4 Jilid: hlm 20. Beirut-Libanon: Dar el-Fikr, 2011)


by Bidang Pendidikan PC Pemuda Persis Pangalengan.

@ Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama