Pangalengan-Kab.Bandung,
09 Oktober 2018 M/ 29 Muharram 1440 H. Sekitar pukul 15.45 s/d 16.50 WIB
bertempat di Masjid Nurul Yaqin RW 06 Kp. Cipanas, KH. Zae Nandang hadir pada
Acara Pengajian Rutin Selasa Kedua Pimpinan Ranting Persis Desa Margamukti.
Pengajian rutin ini
senantiasa digelar secara bergilir pada jama’ah-jama’ah yang berada di naungan
tanggung jawab Pimpinan Ranting Persis Desa Margamukti. Masjid-masjid jama’ah yang senantiasa tergilir adalah
Masjid Nurul Huda Cipanas, Masjid Nurul Yaqin Cipanas, Masjid Al-Falah
Rancamanyar, Masjid Al-Faruq Rancamanyar, dan Masjid Urwatul Wutsqa Loscimaung.
Al-Ustadz Rofiki
Nugraha sebagai pembawa acara mengatakan bahwa berkumpulnya kita di tempat ini
bukan hanya untuk mencari ilmu, namun juga sebagai upaya menjauhkan diri dan
keluarga dari siksa api neraka.
Al-Ustadz KH. Zae
Nandang pun mengawali pembahasannya dengan mengingatkan para hadirin bahwa
berkumpulnya kita di sini adalah hendak menjaga Agama. Jika perkumpulan seperti
ini berhenti, maka hancurlah Agama ini.
Diantara kasus
penghancuran Agama adalah fenomena Islam Nusantara yang mengajarkan shalat berbahasa
Indonesia. Mereka berdalih bahwa hal itu tidaklah melanggar Undang-undang yang
berlaku di negeri ini.
Hari ini pula,
menurut Al-Ustadz, sedang dalam kondisi banyaknya kebohongan. Seolah-olah
suasana perpolitikan ini identik dengan kebohongan.
Kita sebagai umat
Islam harus tetap berada pada sikap ash-Shidqu (jujur). Ash-Shidqu itu
harus berada pada berbagai aspek. Pertama, qaulan (perkataan). Kedua,
Fi’lan (perbuatan). Dan Ketiga, ‘Ahdan (keputusan). Seluruhnya harus
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita harus menjadi kelompok yang menjadi
alat pengukur kebenaran bagi orang lain.
Selanjutnya,
Al-Ustadz membuka sesi pertanyaan. Terdapat 17 pertanyaan yang Al-Ustadz jawab
kali ini, baik butir pertanyaan yang ditulis oleh mustami’ pada secarik kertas,
ataupun lontaran pertanyaan yang langsung disampaikan melalui lisan.
Pertanyaan Pertama: Adakah
penyakit ‘ain? Al-Ustadz
menjawab bahwa memang terdapat berbagai keterangan dalil-dalil yang shahih
tentangnya. Penglihatan itu sangat berpengaruh dalam kehidupan. Penglihatan
dapat menimbulkan hasud. Penglihatan dapat membuka pintu perzinaan, itulah
mengapa terdapat perintah tentang menundukkan pandangan. Terdapat pula do’a
melindungkan diri dari penyakit ‘ain.
*Keterangan tambahan
(red.):
Ibnu Abbas menceritakan,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembacakan doa
perlindungan untuk kedua cucunya,
أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ
شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Aku memohon
perlindungan dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari semua godaan
setan dan binatang pengganggu serta dari pAndangan mata buruk. (HR. Abu Daud
3371, dan dishahihkan al-Albani).*
Pertanyaan Kedua:
Apakah buah pala itu haram? Karena padanya mengandung zat memabukkan. Al-Ustadz menjawab
bahwa pada buah anggur pun ada zat memabukkan, pada cuka pula ada, pada tape
(Sunda: peuyeum) juga ada. Artinya selama tidak diproses menjadi khamr
(sesuatu yang memabukkan), maka tidak haram. Begitu pula buah pala,
sepanjang belum sampai pada derajat muskirun (مسكر, memabukkan),
maka ia tidak haram.
Pertanyaan Ketiga:
Samakah fasik dengan munafik? Bagaimana kaitan keduanya dengan ucapan dan
tindakan?. Al-Ustadz
menjawab:
اَلْفِسْقُ: اَلْخُرُوْجُ مِنَ الطَّاعَةِ
Fasik artinya adalah keluar dari suatu ketaatan. Adapun munafik
berasal dari kata nafaqa (نفق, kosong),
yakni mengosongkan diri dari keimanan itulah munafik. Al-Qur’an menjelaskan
bahwa orang munafik itu jasadnya ada di hadapan Rasulullah Saw namun
hatinya kosong dari keimanan kepada Beliau, mereka tidak menampakkan
kemunafikan di hadapan Rasulullah Saw dan para sahabatnya karena
berbagai pertimbangan (takut, dll.) dalam lingkungan muslim.
Fasik ialah keluar dari ketaatan yang mencakup pada
akidah, ibadah, dan mu’amalah. Fasik pada akidah yaitu melakukan kufur, syirik, dll.
Fasik pada ibadah adalah melaksanakan ibadah tanpa dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
fasik pada mu’amalah adalah dalam pergaulan tidak mengikuti ajaran Allah dan
Rasul-Nya. Munafik bagian dari fasik, tetapi tidak setiap
fasik adalah munafik.
Pertanyaan Keempat:
Laki-laki yang muqim (tidak bepergian safar) apakah boleh mengganti Ibadah
Jum’at dengan Shalat Dzuhur?. Al-Ustadz menjawab bahwa laki-laki yang
muqim tetap wajib Jum’at. Artinya jika seorang laki-laki kesiangan ibadah
Jum’atnya, maka ia mesti mengajak seorang laki-laki untuk menemani ibadah
Jum’atnya. Al-Ustadz kemudian dengan tersenyum menganjurkan supaya yang menjadi
ma’mum adalah laki-laki yang kesiangan itu agar dinasihati agar ke depannya
tidak bersikap lalai oleh saudara yang menemaninya ibadah Jum’at. Jika masbuq
Jum’at, maka wajib berjama’ah dengan menambah kekurangan raka’at sambil bacaan
dijaharkan. Adapun laki-laki yang sakit, maka tidak wajib Jum’at dan bisa diganti
dengan shalat Dzuhur. Hanya saja, tidak ada dalil yang mengatur batasan
sakitnya, maka itu kembali kepada ukuran keimanan.
*Keterangan tambahan
(red.):
Dari Thoriq bin
Syihab, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى
جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ
مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at itu
wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita,
anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).*
Pertanyaan Kelima:
Bagaimanakah pengobatan ‘ain itu?. Al-Ustadz menjawab, pertama, berobatlah
secara aqliyyah (dimengerti dengan akal, logis).
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- :« إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ ».
Dari Abu Darda ra. ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah menurunkan penyakit dan berbagai
obat. Dan Dia telah menjadikan bagi setiap penyakit itu ada berbagai
obatnya, maka berobatlah kalian dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu
yang haram.” (HR Al-Baihaqi dan Abu Dawud)
Berobat syar’i mensyaratkan jangan memakai unsur kemusyrikan. Silahkan berobat,
tetapi tetap berdo’a kepada Allah dan hati-hati do’a-do’a itu jangan dirubah
menjadi jampi-jampi.
Pertanyaan keenam: Masbuq saat ‘Ied, bagaimanakah tata
caranya? Bagaimana hitungan takbirnya?. Al-Ustadz menjawab, ikuti saja imam, maka
patokannnya ma’mum mengikuti imam. Mengikuti imam itu saat imam bagaimana pun gerakannya,
maka jumlah bilangan takbir sesuai dengan bilangan takbir imam. Umpamanya masbuq
pada raka’at pertama saat sujud, maka cepatlah ikut sujud, kemudian ikuti
hingga salam, setelah salam bangkitlah kembali dengan 5 kali takbir sambil
menjaharkan shalat, kenapa jadi dua kali 5 kali takbirnya? Kan seharusnya yang
pertama 7 kali dan yang kedua 5 kali, jawabnya karena yang pertama adalah raka’at
ta’at pada imam, adapun yang kedua adalah raka’at kita tinggal satu lagi karena
masbuq, jadi fokusnya pada dua raka’at itu dan shalat seperti ini adalah sah. Contoh
lain, bagaimana jika masbuq saat sedang tahiyyat, maka segeralah ikut, lalu
menambah 2 raka’at yang raka’at pertamanya 7 takbir dan raka’at kedua 5 kali
takbir dan shalatnya dijaharkan.
Pertanyaan ketujuh: Bagaimana hukum berobat dengan darah
ular? Jawab Al-Ustadz bahwa sebagaimana
telah dijelaskan bahwa tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram. Perlu diingat bahwa
mau berobat dengan sesuatu yang halal ataupun berobat dengan sesuatu yang
haram, pada hakikatnya yang menyembuhkan bukanlah obat itu tetapi Allah, maka
inilah yang wajib ditanamkan di dalam hati kita masing-masing.
Dewan Hisbah telah menetapkan keputusan darah yang
mengalir (daaman mashfuuhan) adalah haram dikonsumsi termasuk dijadikan
obat. Sekarang
bagaimana dengan hukum daging ular? Maka itu boleh dimakan karena tidak
termasuk 4 hal yang diharamkan Allah dalam Al-Qur’an, namun ada hadis yang
mengatakan tidak boleh memakan hewan yang bertaring dan berkuku panjang, maka
para ulama memandang bahwa memakan daging ular adalah makruh dan tidak sampai
kepada hukum haram. Artinya haram itu terbagi dua, ada haram jaazim (pasti
haramnya, harus benar-benar ditinggalkan) dan haram ghair jaazim (tidak
pasti haramnya dalam artian makruh -dibenci-), keduanya ditentukan dengan
memperhatikan qarinah (isyarat petunjuk, penjelas).
*Keterangan tambahan:
Ayat tentang empat hal yang diharamkan Allah Ta’ala dalam
Al-Qur’an:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3)
Hadis-hadis tentang larangan memakan hewan yang bertaring
dan berkuku panjang:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
كُلُّ
ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya
adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ
السِّبَاعِ .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim
no. 1932)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang
mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)*
Pertanyaan kedelapan: Menyikapi orang-orang munafik di
sekeliling kita harus bagaimana? Al-Ustadz
menjawab bahwa hal itulah yang telah benar-benar dialami oleh Rasulullah saw,
namun Beliau menggambarkan diantaranya bahwa hak tetangga tetaplah ada,
baik ia orang munafik ataupun bukan. Sedangkan tentang orang-orang munafik,
Allah telah tegas menggambarkan:
...
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ.
... dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu
benar-benar pendusta. (QS al-Munafiqun: 1)
Artinya umat Islam wajib berhati-hati menghadapi
orang-orang munafik dan jangan menaruh kepercayaan berupa tanggung jawab dan jabatan
atau apapun itu kepada mereka. Perhatikan bagaimana pada zaman
Rasulullah saw orang-orang munafik itu senantiasa menjadi benalu, pada
zaman Abu Bakar ra juga, hingga di zaman Umar bin Khaththab ra pun
sang khalifah Umar bin Khaththab ra dibunuh tidak lepas dari peran orang-orang
munafik. Zaman Utsman bin ‘Affan ra orang-orang munafik semakin
tidak terbendung dan sangat merusak, diantaranya muncul gerakan khawarij dan
lain sebagainya.
Pertanyaan kesembilan: Bagaimanakah membedakan mandi syar’i
dengan mandi ‘urfi? Al-Ustadz menjawab bahwa mandi syar’i
adalah mandi sesuai syari’at, adapun mandi ‘urfi adalah mandi biasa. Pembeda
antara keduanya adalah pada niat dan tata cara, maka jika seseorang mandi syar’i
namun tidak niat bersuci maka ia belum bersuci. Ataupun jika seseorang
berniat mandi syar’i namun dengan cara mandi ‘urfi maka ia belum dikatakan
bersuci.
Pertanyaan kesepuluh: Hari ini banyak musibah, tetapi
makin banyak yang maksiat, kita harus bagaimana? Al-Ustadz menjawab bahwa bencana itu terbagi dua, pertama, bencana sebagai musibah; dan kedua,
bencana telah sampai kepada tingkatan
adzab. Kita tidak diberi hak untuk berdakwah dengan cara memaksa,
maka laksanakan terus dakwah tanpa henti dan tanpa kenal lelah namun tetap
tidak memaksa. Allah Ta’ala mengingatkan:
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk. (QS Al-Qashash: 56)
أَفَمَنْ
زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ
يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap
baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan
orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka
janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
(QS Fathir: 8)
Pertanyaan kesebelas: Memberikan HP kepada anak, lantas
dipakai maksiat, apakah kita kebagian dosanya? Jawab Al-Ustadz, umpamanya ada yang membunuh menggunakan
sebilah golok, apakah pembuat golok kebagian dosanya? Tergantung, jika ia tidak
mengetahui dari awal bahwa goloknya akan dipakai membunuh, maka ia tidak ikut
berdosa; namun jika sang pembeli dari awal telah jujur akan menggunakan golok
itu untuk membunuh bahkan meminta dibuatkan golok khusus untuk membunuh, maka
tukang golok itu ikut berdosa, demikian juga tentang kasus yang ditanyakan.
Pertanyaan keduabelas: Bagaimana jika arah kiblat imam
kurang tepat, lantas kita membedakan diri arah kiblatnya dengan arah imam? Al-Ustadz menjawab bahwa usaha itu harus, namun jika
kurang tepat setelah berusaha setepat mungkin pada arah kiblat maka tidak
apa-apa karena bunyi ayatnya juga syathrun (شطر)
yakni bukan berarti harus benar-benar tepat, tetapi diusahakan setepat mungkin.
Firman Allah Ta’ala:
قَدْ
نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَٮٰهَا
ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ
فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ
لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغٰفِلٍ عَمَّا
يَعْمَلُونَ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.Dan dimana saja
kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Baqarah: 144)
Pertanyaan ketigabelas: Bagaimanakah hukum membangun
pesantren, masjid, atau madrasah dari dana Bank yang riba? Jawab Al-Ustadz bahwa memang bangunannya akan jadi dan
akan tuntas, namun akan menimbulkan berbagai kejelekan dan masalah, maka
membangun pesantren, masjid, dan madrasah itu harus sabar karena kita menginginkan
kebersihan di dalamnya, maka bersabarlah! Pertanyaan ini mungkin
menyindir para aghniya untuk lebih memperhatikan pesantren, masjid, dan
madrasah.
Pertanyaan keempatbelas: Bagaimanakah caranya rujuk dari
perceraian? Jawab Al-Ustadz bahwa saat masa tiga
kali haidl itu adalah masa negosiasi apakah mau rujuk lagi atau tidak, maka
jika hendak rujuk dengan akad bahwa suami hendak rujuk dan istri menerima
artinya itu sudah sah, tidak usah seperti nikah pertama prosesinya, yang
penting ada akad atau pernyataan bahwa keduanya telah siap rujuk. Akad itu
bukan seperti yang kita kenal harus seperti itu ucapannya, terkadang isyarat
bisa berarti akad, seperti menikahkan pengantin yang keduanya bisu dengan
menggunakan isyarat pernah terjadi di Kecamatan Kutawaringin – Kabupaten Bandung
dan nikahnya sah. Tentu pada prosesi akad itu harus ada saksi yang memandang
sah atau tidaknya, itu yang penting.
Bagaimana dengan pisah ranjang, apakah termasuk talak? Jika
tidak ada akad talak ya tidak termasuk. Bahkan dalam hukum pernikahan ada yang
disebut hukum ilaa, yakni suami pergi dahulu dari rumah untuk beberapa
saat seperti yang pernah dilakukan Nabi saw saat menghadapi suatu
masalah di rumah tangga yang cukup berat, Beliau pernah meninggalkan rumah dan
membuat penginapan sendiri selama satu bulan hingga masalah itu pun selesai.
Pertanyaan kelimabelas: Apakah melamunkan hendak
melakukan maksiat itu adalah maksiat? Jawab
Al-Ustadz bahwa sebelum lamunan itu berbuah amal maka bukanlah maksiat, namun
Al-Ustadz menyindir jika yang dimaksud adalah melamunkan hal yang berbau intim,
kata Al-Ustadz, “Jang naon ngalamunkeun nu pimaksiateun ari aya
pamajikan di imah mah (Untuk apa melamunkan yang akan membawa kepada maksiat
jika di rumah telah hadir istri yang sah).”
Pertanyaan keenambelas: Bagaimanakah kiat sukses dalam
mencari ilmu? Al-Ustadz menjawab bahwa dahulu ada
seorang pemuda yang telah menikah dan mendapatkan informasi bahwa istri yang
dia nikahi adalah saudara sesusunya, maka ia pun menempuh perjalanan sepanjang +-
560 KM dari Mekah ke Madinah untuk membuktikannya. Imam Al-Bukhari dalam Kitab Shahih
Al-Bukhari Kitab Al-‘Ilm memasukkan hadis tersebut pada pembahasan mestinya
ada kesabaran dalam mencari ilmu. Mencari ilmu itu harus sabar, harus siap cape
(Neangan elmu mah kudu sabar, kudu daek cape), demikian tegas Al-Ustadz.
*Keterangan tambahan:
وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ اَلْحَارِثِ; ( أَنَّهُ تَزَوَّجَ
أُمَّ يَحْيَى بِنْتَ أَبِي إِهَابٍ, فَجَاءَتْ اِمْرَأَةٌ فَقَالَتْ: قَدْ
أَرْضَعْتُكُمَا, فَسَأَلَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: كَيْفَ وَقَدْ
قِيلَ? فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ )
أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Uqbah Ibnu al-Harits bahwa ia telah menikah dengan
Ummu Yahya Binti Abu Ihab, lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: Aku
telah menyusui engkau berdua. Kemudian ia bertanya kepada Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Bagaimana lagi, sudah ada orang
yang mengatakannya." Lalu Uqbah menceraikannya dan wanita itu kawin
dengan laki-laki lainnya. Riwayat Bukhari. (Al-Hafidz Ibnu Hajar, Bulughul
Maram: Kitab an-Nikah)
قال
الامام البخاري: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ قَالَ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ قَالَ
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ
أَنَّهُ تَزَوَّجَ ابْنَةً لِأَبِي إِهَابِ بْنِ عَزِيزٍ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ
فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُ عُقْبَةَ وَالَّتِي تَزَوَّجَ فَقَالَ لَهَا
عُقْبَةُ مَا أَعْلَمُ أَنَّكِ أَرْضَعْتِنِي وَلَا أَخْبَرْتِنِي فَرَكِبَ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ فَسَأَلَهُ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ وَقَدْ قِيلَ
فَفَارَقَهَا عُقْبَةُ وَنَكَحَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ
Imam Al-Bukhari berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Muqotil Abu Al Hasan berkata, telah mengabarkan kepada kami Abdullah
berkata, telah mengabarkan kepada kami Umar bin Sa'id bin Abu Husain
berkata, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abu Mulaikah dari 'Uqbah
bin Al Harits; bahwasanya dia menikahi seorang perempuan putri Ibnu Ihab
bin 'Aziz. Lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: "Aku pernah
menyusui 'Uqbah dan wanita yang dinikahinya itu". Maka 'Uqbah berkata
kepada perempuan itu: "Aku tidak tahu kalau kamu pernah menyusuiku dan
kamu tidak memberitahu aku." Maka 'Uqbah mengendarai kendaraannya menemui
Rasul shallallahu 'alaihi wasallam di Madinah dan menyampaikan masalahnya. Maka
Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "harus bagaimana lagi,
sedangkan dia sudah mengatakannya". Maka 'Uqbah menceraikannya dan menikah
dengan wanita yang lain. (HR Shahih Al-Bukhari)
Imam Al-Bukhari menyimpan hadis di atas pada Kitab Shahihnya
yaitu pada Kitab al-‘Ilmi Bab Bepergian
untuk mencari jawaban tentang masalah yang terjadi dan mengajarkan kepada
keluarganya (بَاب الرِّحْلَةِ فِي الْمَسْأَلَةِ النَّازِلَةِ
وَتَعْلِيمِ أَهْلِهِ) hadis nomor
88.*
Pertanyaan ketujuhbelas: Apakah utang berpengaruh terhadap
sulitnya menerima rejeki? Jawab Al-Ustadz
bahwa seluruh makhluk oleh Allah Ta’ala telah dijamin rejekinya. Rejeki itu ada
dua, ada rejeki yang kita telah rasakan bahkan sedang dirasakan, dan ada rejeki
yang kita impikan. Kita sering salah dalam berfikir, kita menuduh ini dan itu
hingga rejeki terasa sulit padahal kita sedang dan telah merasakan berbagai
rejeki, diantaranya rejeki makan, tidur, dan lain sebagainya, maka janganlah
memandang kecil pada rejeki atau bahkan menuduh belum mendapatkan rejeki hanya
karena rejeki yang kita impikan belum tercapai.
Demikian diantaranya yang disampaikan oleh Al-Ustadz yang
beliau merupakan Sekretaris Dewan Hisbah PP Persis periode sekarang.
Diakhir acara, Al-Ustadz Rofiki Nugraha sebagai MC mengajak
jama’ah untuk peduli pada saudara-saudara yang mengalami bencana di Palu dan
sekitarnya, setelah sebelumnya Beliau bersama Tim dari PP Persis dan otonom
telah menjadi bagian dari relawan yang dikirim ke Lombok. Al-Ustadz Rofiki
mengatakan bahwa bantuan yang disalurkan ke Persis tidak hanya digunakan untuk
makanan, tetapi juga digunakan untuk membangun rumah hunian sementara, mushalla,
dan lain sebagainya. Alhamdulillah, di Lombok, Persis telah berhasil
membangun 5 musholla.
Al-Ustadz Rofiki Nugraha yang merupakan Ketua PC Pemuda
Persis Pangalengan pun mengingatkan bahwa PC Persis Pangalengan bekerjasama beserta
otonom akan mengadakan Tabligh Akbar bersama Al-Ustadz H. Eka Permana Habibillah
(Ketua Umum PP Permuda Persis) pada Ahad ketiga bulan Oktober dalam rangka
penggalangan dana untuk korban bencana Palu dan sekitarnya. Ikhwatu Iman diajak
untuk mesukseskan acara tersebut sambil mengundang seluruh saudara, tetangga,
dan kerabat. Wallahu A’lam.
by Tim Liputan (Sandi
Adrian, dkk.).
Editor by Bidang Pendidikan PC Pemuda Persis
Pangalengan.
@ Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan