Masjid Nurul Iman –
Hegarmanah – Sukamanah – Pangalengan. Al-Ustadz Amin Saefullah Muchtar sekitar
pukul 20.00 s/d 21.30 WIB yang merupakan anggota Dewan Hisbah dan Ketua Dewan
Pembina Pesantren Ibnu Hajar Bandung hadir membawakan materi kedua pada rangkaian
kajian rutin Rabu ke-4 Pimpinan Ranting PERSIS Desa Sukamanah Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat berjudul, GENEALOGI
PEMIKIRAN HUKUM PERSIS, “MENGANGKAT IMAM DI ANTARA MA’MUM YANG MASBUQ”.
Beliau mengawali kajiannya dengan mengutip ayat berikut ini:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
[النحل 16/ 43].
…maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui … (QS An-Nahl/ 16: 43)
Selanjutnya, Al-Ustadz menjelaskan
bahwa malam ini kita akan melanjutkan pembahasan materi keputusan-keputusan
sidang Dewan Hisbah sebagai sebuah upaya dalam rangka “membulatkan” fiqih
Persis agar tidak “benjol”. Para guru dan orangtua kita sedang mengupayakan agar “bulat” nya fiqih Persis,
maka jangankan hingga “pudar”, hingga “benjol” saja jangan. Itulah mengapa
Dewan Hisbah tidak akan Lelah dalam membedah ragam keputusan baik secara resmi struktural
ataupun melalui kajian-kajian rutin.
Dewan Hisbah telah
melakukan sosialisasi sebanyak 12 putaran di wilayah Jawa Barat yang etape
terakhir di kota dan kabupaten Tasik, maka Insya Allah di bulan November akan
memulai kembali di Banten, Jakarta, dan tentunya berkeliling ke seluruh wilayah
Indonesia. Medan sudah meminta kepada Ustadz Zae untuk didahulukan dalam jadwal
sosialisasi.
Beberapa permasalahan
yang segera untuk disampaikan itu kurang lebih ada 10 masalah, yakni 9 kaitan
dengan ibadah mahdlah dan 1 kaitan dengan libas (pakaian) objek isbal
(melabuhkan pakaian melebihi kedua mata kaki). Kini tengah disiapkan draft
sejenis buku saku tentang bahasan permasalahan-permasalahan tersebut.
Materi yang telah
kita bahas (di Pangalengan) adalah hukum ilzaq, meluruskan antara bahu
dengan bahu, kaki dengan kaki ma’mum sebelum shalat. Telah dibahas pula
hukum masbuq mendapati ruku’ imam. Maka malam ini akan membahas Hukum
Mengangkat Imam di Antara Ma’mum yang Masbuq.
Makalah yang
dibagikan oleh Al-Ustadz kala itu adalah potokopi lembar keputusan sidang Dewan
Hisbah tentang Hukum Mengangkat Imam di Antara Ma’mum yang Masbuq.
Dimana Al-Ustadz pada saat keputusan itu dibuat beliau telah terlibat menjadi
“Tim Dapur”, di zamannya Ustadz Wawan Shofwan Shalehuddin (saat menjabat
sekretaris Dewan Hisbah). Keputusan tentang hal itu terdapat pada buku Kumpulan
Keputusan Sidang Dewan Hisbah tentang Akidah dan Ibadah yang menghimpun
keputusan sejak tahun 1983 s/d 2005 seri pertama. Seri keduanya adalah 2006 s/d
2017, maka hingga buku kumpulan keputusan-keputusan Sidang Dewan Hisbah sampai
tahun 2017 perlu dibuat kembali. Sekarang sedang diupayakan seri selanjutnya
yang mana buku-buku produk keputusan sidang Dewan Hisbah selalu menjadi best
seller di kalangan umat Islam. Pada masa kepemimpinan KH. Aceng Zakaria
(sebagai Ketua Umum PP Persis) dan KH. Muhammad Romli (sebagai Ketua Dewan
Hisbah) hari ini tengah diupayakan agar keputusan-keputusan Dewan Hisbah dapat
dibukukan per tema pembahasan, umpamanya bab shalat terpisah, bab haji
terpisah, dan lain sebagainya.
Karya-karya best
seller tersebut pula yang telah dan akan menjadi “perekat” bagi warga di
lingkungan Jam’iyyah Persis, walaupun bagi kami Tim Kesektariat Dewan Hisbah
hal tersebut adalah amanah dari Pimpinan dan Umat yang cukup berat. Agar
“warna” dapat tetap dipelihara, serta pola pikir dan pola sikap sesuai dengan
apa-apa yang ditetapkan oleh para guru dan pimpinan kita.
Al-Ustadz tidak bosan
untuk mengingatkan tentang pentingnya mengenal genealogi keilmuan tentang
fatwa-fatwa ilmiah para ulama Persatuan Islam. Terutama untuk generasi muda di
Jam’iyyah. Terdapat tiga aspek dalam telaah keputusan fatwa Persatuan Islam. Pertama,
aspek Produsen Pembuat Fatwa tersebut. Kedua, setiap produk
hukum tidak lahir dari ruang kosong, pasti ada latar belakang, sejarah
penetapan hukum, inilah yang kami sebut Tarikh Tasyri’ Fatwa Persis.
Ketiga, maka tidak mungkin produk lahir tanpa ada racikan, tanpa resep,
maka inilah yang kami sebut dengan metodologi pengambilan hukum dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah, Manhaj Istinbath, atau Thuruqul Istinbath Fatwa
Persatuan Islam.
Khusus untuk Produsen
Fatwa Persis, terbagi dua; Pertama, Generasi Ulama Salaf Persis yakni
diantaranya KH. A. Hassan dan kedua muridnya yakni KH. A. Qadir Hassan
dan KH. E. Abdurrahman, dengan tanpa menafikan peran dan fungsi para
ulama dan pendiri Persis seperti KH. Muhammad Yunus dan KH. Zamzam yang
Al-Ustadz Amin Muchtar dan timnya masih meneliti jejak genealogi keilmuan
mereka termasuk genealogi keilmuan A. Hassan. dan Kedua, Generasi Ulama
Khalaf-Muta’akhkhirin Persis yakni para ulama Dewan Hisbah. Aspek genealogi
keilmuan Persis pada hari ini menjadi sebuah kemestian untuk dimunculkan saat
sebagian pihak meragukan isnad ilmu para ulama Persis, demikian
Al-Ustadz menegaskan.
Al-Ustadz bercerita
bahwa ketika beliau dahulu dibina oleh ulama Dewan Hisbah seperti KH. Usman Shalehuddin
Allohu Yarham, para murid beliau “diharamkan” membaca kitab klasik
seperti Fathul Bari karya Ibnu Hajar apalagi berpendapat sendiri sebelum
membaca karya para orang tua, yakni Soal-Djawab karya A. Hassan, Kata
Berjawab karya Abdul Qadir Hassan, ataupun Istifta-nya KH. E.
Abdurrahman.
Di era tahun 90-an,
kata Al-Ustadz, adalah sebuah aib jika seorang kader ulama Persis tidak
mengenal karya para orangtuanya. Artinya saat membedah suatu masalah,
sebelumnya diteliti terlebih dahulu apakah masalah itu pernah dibahas oleh
ulama Persis sebelumnya, ataukah melanjutkan.
Termasuk masalah “MENGANGKAT
IMAM DI ANTARA MA’MUM YANG MASBUQ”, kita cek di buku Soal-Djawab yang
berisi 507 fatwa, karya sekitar tahun 1930an. Kemudian kita lacak juga pada
karya murid A. Hassan yakni Kata Berjawab tulisan Abdul Qadir Hassan
tahun 1954-1984. Juga kita lacak pada Istifta KH. E. Abdurrahman karya
sekitar tahun 1962-1983 yang berisi 700 fatwa.
Al-Ustadz bercerita
pula bahwa diantara karya fenomenal A. Hassan adalah buku Pengajaran Shalat.
Cetakan pertama yang masih menggunakan bahasa melayu, buku tersebut diiklankan
di salahsatu situs jual-beli online dengan harga 25 juta yang terdiri
dari 4 jilid cetakan Penerbit Firdaus Bandung yang kini penerbitnya pun telah
tiada. Pengamat buku mengatakan bahwa sebuah buku dikatakan abadi ketika buku
tersebut terus beredar selama seratus tahun, maka buku Pengajaran Shalat A.
Hassan adalah satu dari 4 buku yang abadi senantiasa beredar di Indonesia
hingga kini.
Selanjutnya,
Al-Ustadz memperlihatkan beberapa poto bersama deretan anggota Dewan Hisbah
sejak zaman dahulu hingga sekarang. Produk ijtihad Dewan Hisbah hingga 2018
kurang lebih telah mengeluarkan sekitar 209 keputusan termasuk tentang akidah
termasuk tentang Syi’ah, tentang ibadah mahdhah, juga termasuk tentang mu’amalah
di bidang ekonomi, medis, dan lainnya. Keputusan terakhir Dewan Hisbah adalah
tentang Thuruqul Istinbath yang dibahas di Bangil. Semua ini adalah
upaya ulama dan orangtua kita agar dapat diselamatkan dalam bidang akidah,
ibadah, dan mu’amalah. Jika dibandingkan dengan perjuangan orangtua, kita
termasuk generasi yang enak, tinggal “menyantap” apa yang telah “diracik” oleh
para ulama.
Dilihat dari aspek Tarikh
Tasyri’ Fatwa Persis, fatwa tentang “MENGANGKAT IMAM DI ANTARA MA’MUM YANG
MASBUQ” kita temukan pada catatan produk istihad di tahun 1962-1983 yaitu
pada zaman murid A. Hassan yakni KH. E. Abdurrahman, sedangkan pada buku Soal-Djawab
karya A. Hassan tentang masalah ini belumlah ditemukan.
Kita temukan pula
bahasan ini pada produk ijtihad generasi Khalaf Ulama Persis yaitu pada
tahun 2004 telah diadakan sidang Dewan Hisbah yang bertempat di Pesantren
Persis PC. Lembang yang ketika itu kecamatan Lembang masih bagian dari
Kabupaten Bandung, kini telah beralih ke Kabupaten Bandung Barat.
Sebelumnya kita
perhatikan terlebih dahulu bagaimana jawaban KH. E. Abdurrahman ketika ditanya
oleh salah seorang pembaca Majalah Risalah tentang masalah tersebut. Pertanyaannya
kurang lebih: “Orang shalat berjama’ah, setelah selesai, ada beberapa orang
yang masih salat karena ketinggalan beberapa raka’at, apakah perlu ada imam
lagi yang memimpin jama’ah yang kedua? Demikian lagi yang ketiga dan yang
lainnya?.”
KH. E. Abdurrahman
menjawab, “Makmum yang masbuq seumpamanya ia bermakmum salat dzuhur, setelah
imam tahiyyat awwal, maka apabila setelah tahiyyat akhir dan salam, dia orang
yang masbuq tidak turut salam, tapi ia wajib menyempurnakan shalatnya berpisah
dengan imam tersebut, ia salat munfarid tanpa imam.” Jika shalatnya sendiri,
tegas Al-Ustadz.
Hadis yang digunakan
oleh KH. E. Abdurrahman adalah kasus masbuqnya Nabi saw dan bermakmum
kepada sahabat Abdurrahman bin ‘Aur ra yang sedang mengimami suatu jama’ah.
Namun lafadz yang digunakan adalah hadis yang tanpa menjelaskan bahwa Nabi Saw.
saat masbuq berjama’ah kembali dengan sahabat Mughiroh (bin Syu’bah ra.).
Nabi saw. menamatkan shalatnya secara munfarid.
Kemudian, walaupun KH.
E. Abdurrahman hanya menyuguhkan dalil yang menunjukkan munfaridnya Nabi saw
saat menamatkan raka’at ketika masbuq, KH. E. Abdurrahman kemudian
menjelaskan, “Bila makmum yang masbuq lebih dari satu, tentu lebih afdhol bila
berjam’ah daripada munfarid.” Selain kasus ini, KH. E. Abdurrahman juga
mencontohkan orang yang shalat saat masuk ke masjid sudah tidak ada orang lain
(yang shalat), dikarenakan sudah tuntas (berjama’ahnya), maka jangan dibiarkan
sendirian, maka seseorang menemani, supaya mendapatkan pahala berjama’ah,
berarti bagi yang sudah shalat fardhu maka menemaninya ini adalah menjadi sunat
baginya, dan adapun bagi yang baru shalat fardhu ini adalah shalat wajib
baginya, maka inilah yang KH. E. Abdurrahman menyebutnya dengan istilah Salat
Sidkah (shodaqoh).
Ketika makmum yang
masbuq kemudian beralih menjadi imam diantara makmuk yang masbuq lainnya hal
itu telah dicontohkan Rasulullah saw. ketika hendak mengambil afdhaliyyah.
KH. E. Abdurrahman menceritakan riwayat tentang saat Abu Bakar mengimami para
shahabat, kemudian Nabi saw datang menggantikan Abu Bakar karena Abu Bakar
tidak sanggup mengimami Nabi saw., berarti andaikata timbul permasalah
bagaimana hukum saat makmum berubah fungsi menjadi imam, maka riwayat ini
menjadi saksi memang pernah terjadi hal demikian.
Kemudian KH. E. Abdurrahman
menyodorkan hadis umum,
«إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ
أَحَدُهُمْ، وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ (أَقْرَؤُهُمْ القرآن)»
“Apabila mereka
bertiga hendaklah mengimami salah seorang dari mereka, dan yang paling berhak
untuk mengimami diantara mereka adalah yang paling mengerti akan Al-Qur’an.” (HR Ahmad,
Muslim, An-Nasai)
Jika berjama’ah di
antara yang masbuq tinggal dua orang umpamanya, siapa yang layak menjadi imam? Kita
suka mengukurnya siapa diantara keduanya yang paling sedikit kekurangan. Padahal
tidak ada dalilnnya bahwa yang berhak menjadi imam adalah yang paling sedikit
kekurangan, tetap saja ukurannya adalah hadis di atas. Hadis ini tidak
membatasi kejadian normal dari awal, tanpa melihat kondisi masing-masing
masbuqnya.
Kemudian, keputusan
KH. E. Abdurrahman itu dikukuhkan dengan tambahan-tambahan catatan dalil yang
dianggap perlu dijelaskan secara terperinci seandainya ditemukan dalil baru
atau dalil yang lebih lengkap.
Pada Sidang tahun
2004 di Lembang, Dewan Hisbah menetapkan
istinbath atau menetapkan hukum: “Berjama’ah di antara makmum yang masuk
itu lebih utama.” Jadi keputusan Dewan Hisbah ini bukanlah keputusan yang baru
dan bukan keputusan yang menentang keputusan orangtua, tetapi mengukuhkan apa
yang pernah ditetapkan. Maka hadis-hadisnya dilengkapi oleh Dewan Hisbah. Pertama,
yang tadi Ustadz Abdurrahman gunakan, dalil tentang keutamaan shalat berjama’ah
bersifat umum, tidak hanya bagi yang berjama’ah sejak awal, maka kalimat:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: إِذَا كُنْتُمْ
ثَلَاثَةَ فَصَلُّوْا جَمِيْعًا فَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ. رواه أحمد ومسلم
والنسائي
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apabila kalian
bertiga, shalatlah secara berjamaah, hendaklah salahseorang di antara kalian
menjadi imam.” H.R. Ahmad, Musnad Ahmad I : 447, Muslim, Shahih
Muslim I : 378, An Nasai, As Sunanul Kubra I : 214. (Kumpulan Keputusan Sidang
Dewan Hisbah Persatuan Islam -Persis- tentang Akidah dan Ibadah, 2008: 217) Juga
berlaku keutamaan ini bagi yang masbuq, demikian Al-Ustadz menjelaskan.
Kemudian hadis yang lebih
tegas untuk ukuran fadlilah, bahwa Rasul Saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
"صَلَاةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ
دَرَجَةً. متفق عليه
Dari Ibnu Umar, ia
berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Shalat berjama’ah itu mengungguli shalat
sendiri dengan duapuluh tujuh derajat’.” H.R. Muttafaq Alaih,
Shahih Al Bukhari I : 231, Shahih Muslim I : 450. (Kumpulan Keputusan Sidang
Dewan Hisbah Persatuan Islam -Persis- tentang Akidah dan Ibadah, 2008: 217) Hadis
ini pun sama tidak menjelaskan ada ketentuan bahwa berjamaahnya harus dari
awal, tegas Al-Ustadz.
Selanjutnya Al-Ustadz
memperagakan shalat berjama’ah dengan meminta 2 orang mustami untuk maju ke
depan.
Kemudian, apa yang
telah disampaikan oleh KH. E. Abdurrahman lantas diperkuat oleh Dewan Hisbah
dengan mencantumkan teks hadis saat kejadian Abu Bakar mengimami jamaah yang
kemudian Nabi Saw beralih menggantikannya.
Kami (Tim Liputan)
suguhkan teks hadisnya sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمَّا ثَقُلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَ بِلَالٌ يُؤْذِنُهُ بِالصَّلَاةِ فَقَالَ
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ وَإِنَّهُ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لَا يُسْمِعْ
النَّاسَ فَلَوْ أَمَرْتَ عُمَرَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ
بِالنَّاسِ قَالَتْ فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ قُولِي لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ
أَسِيفٌ وَإِنَّهُ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لَا يُسْمِعْ النَّاسَ فَلَوْ أَمَرْتَ
عُمَرَ فَقَالَتْ لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ
بِالنَّاسِ قَالَتْ فَأَمَرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ قَالَتْ فَلَمَّا
دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ وَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَقَامَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ وَرِجْلَاهُ تَخُطَّانِ
فِي الْأَرْضِ قَالَتْ فَلَمَّا دَخَلَ الْمَسْجِدَ سَمِعَ أَبُو بَكْرٍ حِسَّهُ
ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قُمْ مَكَانَكَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى
جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا
يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
Dari Aisyah, ia
mengatakan, “Ketika Rasulullah Saw sakitnya semakin berat, Bilal datang
memberitahu salat kepada beliau, beliau bersabda, ‘Suruhlah oleh kalian Abu
Bakar untuk mengimami jamaah’. Aisyah berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya
Abu Bakar itu seorang yang mudah menangis, bahwa ia apabila berdiri di tempat
anda mengimami, suaranya tidak akan terdengar’. Bagaimana kalau anda suruh Umar
saja’. Beliau bersabda, ‘Suruh oleh kalian Abu Bakar untuk mengimami jamaah’.
Aisyah berkata, ‘Aku berkata kepada Hafshah, ‘Katakanlah olehmu bahwa Abu Bakar
itu seorang yang mudah menangis, bahwa ia apabila berdiri di tempat anda mengimami,
suaranya tidak akan terdengar’ Bagaimana kalau anda suruh Umar saja’ Maka
ketika oleh Hafshah dikatakan kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya
kalian ini kawan-kawan Nabi Yusuf, Suruh oleh kalian Abu Bakar untuk mengimami jamaah’.
Ia berkata lagi, ‘Maka Abu Bakar mengimami jamaah. Dan tatkala ia telah mulai
mengimami, Rasulullah Saw merasa sakitnya sedikit ringan, beliau berdiri dengan
kedua kaki digusur dan berjalan dipapah oleh dua orang, maka ketika Rasulullah
Saw masuk masjid, Abu Bakar merasakan kehadiran beliau, ia berusaha akan
mundur, tetapi Rasulullah Saw berisarat dengan tangan beliau agar tetap di
tempat. Maka datanglah Rasulullah Saw dan berdiri di sebelah kiri Abu Bakar.
Maka Rasulullah Saw shalat sambil duduk dan Abu Bakar sambil berdiri, Abu Bakar
mengikuti shalat Nabi dan jamaah mengikuti shalat Abu Bakar.” H.R. Muslim,
Shahih Muslim I : 313. (Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam -Persis-
tentang Akidah dan Ibadah, 2008: 217-219)
Terakhir, kejadian aktual
Nabi Saw berjamaah saat shalat shubuh dengan Mughirah dalam peristiwa
perang Tabuk.
Kami (Tim Liputan)
suguhkan teks hadisnya sebagai berikut:
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ ... ثُمَّ رَكِبَ
وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ
يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً
فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ
يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي
سَبَقَتْنَا
Dari Al Mughirah bin
Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah Saw ketinggalan demikian juga aku. . .kemudian
beliau menaiki kendaraan beliau dan aku pun berkendaraan bersama beliau. Maka kami
sampai kepada orang-orang, ternyata mereka sedang melaksanakan salat dan
Abdurrahman bin Auf yang mengimami mereka, dan telah salat satu rakaat. Maka tatkala
Abdurrahman bin Auf merasa bahwa Nabi datang ia bermaksud untuk mundur, tetapi
Nabi berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap mengimami mereka. Tatkala Abdurrahman
bin Auf (dengan jamaah) salam (selesai dari salatnya) Nabi Saw berdiri dan aku
pun berdiri, lalu kami melaksanakan salat yang ketinggalan itu.” H.R. Muslim,
Shahih Muslim, I : 230. (Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam -Persis-
tentang Akidah dan Ibadah, 2008: 219)
Alasan mengapa
masalah ini hingga disidangkan karena ada pihak yang membid’ahkan, disebutnya
shalat berantai.
Ada dua pertanyaan, pertama,
merujuk kepada hadis di atas, darimana kesimpulan bahwa akhirnya Rasulullah
Saw berjamaah dengan Mughirah? Kedua, siapa ketika itu yang
menjadi imam?.
Jawabannya adalah
dari kalimat:
فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
Tatkala Abdurrahman
bin Auf (dengan jamaah) salam (selesai dari salatnya) Nabi Saw berdiri dan aku
pun berdiri, lalu kami melaksanakan salat yang ketinggalan itu.
Qooma An-Nabiy wa
qumtu (Nabi Saw berdiri dan aku pun berdiri), lafadz ini oleh pihak
yang membid’ahkan dianggap masih ihtimal (ada banyak kemungkinan). Maka
oleh Dewan Hisbah diuraikan dalam lampiran tentang keputusan tersebut, bahwa
ada riwayat yang mengikat dengan ungkapan, wa qumtu ma’ahu, Nabi berdiri
dan aku (Mughirah) pun berdiri bersama beliau Saw.
فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَقُمْتُ
مَعَهُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِى سُبِقْنَا
HR. Al-Baihaqi, as-Sunanul
Kubra, III:92, No. 4.922, as-Sunanus Sughra, I:99, No. 124. Sebab apa artinya “bersama-sama”
jika tidak berjamaah.
Kedua, dari lafadz mana pada
hadis tersebut bahwa Nabi Saw menunjukkan menjadi imam? Jawabannya:
Lafadz, قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا menunjukkan bahwa Mughirah berdiri saat Nabi Saw berdiri,
jadi Mughirah mengikuti Nabi Saw.
Demikian diantara
yang disampaikan oleh Al-Ustadz dengan beberapa penyampaian yang diringkas
dengan tanpa merubah substansi yang disampaikan. Insya Alloh. Wallohu
A’lam.
Rabu, 23 Oktober 2018.
by Tim Liputan (Fahrevi,
Deden, dkk.)
Editor by Bidang
Pendidikan PC Pemuda Persis Pangalengan.
@ Kominfo PC Pemuda
Persis Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan