قَالَ
اللَّه تَعَالَى" خُذْ الْعَفْو وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِض عَنْ
الْجَاهِلِينَ وَإِمَّا يَنْزَغَنَّك مِنْ الشَّيْطَان نَزْغ فَاسْتَعِذْ
بِاَللَّهِ إِنَّهُ سَمِيع عَلِيم "
Allah Ta’ala berfirman, “Jadilah engkau pema'af dan
suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka
berlindunglah kepada Allah.” (QS Al-A’raf/ 7: 199-200)
وَقَالَ
تَعَالَى "اِدْفَعْ بِاَلَّتِي هِيَ أَحْسَن السَّيِّئَة نَحْنُ أَعْلَم
بِمَا يَصِفُونَ وَقُلْ رَبّ أَعُوذ بِك مِنْ هَمَزَات الشَّيَاطِين وَأَعُوذ بِك
رَبّ أَنْ يَحْضُرُونِ"
Dan firman Allah Ta’ala, “Tolaklah perbuatan buruk
mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan
katakanlah: "Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan
syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan
mereka kepadaku.” (QS Al-Mu’minun/ 23: 96-98)
وَقَالَ
تَعَالَى " اِدْفَعْ بِاَلَّتِي هِيَ أَحْسَن فَإِذَا الَّذِي بَيْنك
وَبَيْنه عَدَاوَة كَأَنَّهُ وَلِيّ حَمِيم وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ
صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظّ عَظِيم وَإِمَّا يَنْزَغَنَّك مِنْ
الشَّيْطَان نَزْغ فَاسْتَعِذْ بِاَللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيع الْعَلِيم
"
Dan firman Allah Ta’ala, “Tolaklah (kejahatan itu)
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia
ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan
suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Fushshilat/ 41: 34-36)
فَهَذِهِ
ثَلَاث آيَات لَيْسَ لَهُنَّ رَابِعَة فِي مَعْنَاهَا وَهُوَ أَنَّ اللَّه
تَعَالَى يَأْمُر بِمُصَانَعَةِ الْعَدُوّ الْإِنْسِيّ وَالْإِحْسَان إِلَيْهِ
لِيَرُدّهُ عَنْهُ طَبْعه الطَّيِّب الْأَصْل إِلَى الْمُوَالَاة وَالْمُصَافَاة
وَيَأْمُر بِالِاسْتِعَاذَةِ بِهِ مِنْ الْعَدُوّ الشَّيْطَانِيّ لَا مَحَالَة
إِذْ لَا يَقْبَل مُصَانَعَة وَلَا إِحْسَانًا وَلَا يَبْتَغِي غَيْر هَلَاك اِبْن
آدَم لِشِدَّةِ الْعَدَاوَة بَيْنه وَبَيْن أَبِيهِ آدَم مِنْ قَبْل
Ketiga ayat ini, tidak ada baginya (setelahnya) ayat keempar
yang semakna dengannya, yaitu Allah Ta’ala memerintahkan agar bersikap
diplomasi kepada musuh dari kalangan manusia dan berbuat ihsan kepadanya
agar ia kembali (sadar) kepada watak aslinya yang baik, (yakni) kembali
bersahabat dan rukun. Allah pun memerintahkan untuk memohon perlindungan
kepada-Nya dari musuh kalangan setan, tidak boleh tidak, ketika setan tidak
akan menerima diplomasi dan tidak pula perilaku ihsan dan setan tidak
membutuhkan (apapun) selain kecelakaan keturunan Adam menunjukkan betapa
kerasnya permusuhan antara setan dengan nenek moyangnya manusia (yakni) Adam di
masa lalu,
كَمَا
قَالَ تَعَالَى" يَا بَنِي آدَم لَا يَفْتِنَنَّكُمْ الشَّيْطَان كَمَا
أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنْ الْجَنَّة "
Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Hai anak Adam, janganlah
sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan
kedua ibu bapamu dari surga.” (QS Al-A’raf/ 7: 27)
وَقَالَ
تَعَالَى " إِنَّ الشَّيْطَان لَكُمْ عَدُوّ فَاِتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبه لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَاب السَّعِير "
Dan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya
syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni
neraka yang menyala-nyala.”
وَقَالَ
" أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّته أَوْلِيَاء مِنْ دُونِيّ وَهُمْ لَكُمْ
عَدُوّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا "
Dan firman Allah Ta’ala, “Patutkah kamu mengambil dia
dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka
adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi
orang-orang yang zalim.” (QS Al-Kahfi/ 18: 50)
وَقَدْ
أَقْسَمَ لِلْوَالِدِ آدَم عَلَيْهِ السَّلَام أَنَّهُ لَهُ لَمِنْ النَّاصِحِينَ
وَكَذَبَ فَكَيْف مُعَامَلَته لَنَا وَقَدْ قَالَ "فَبِعِزَّتِك لَأُغْوِيَنَّهُمْ
أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادك مِنْهُمْ الْمُخْلَصِينَ"
Sungguh ia (Iblis) telah bersumpah kepada nenek moyang (manusia),
yakni Adam a.s., bahwa dia (Adam) benar-benar termasuk orang-orang yang
menasihatinya. Dan (ternyata) Iblis berdusta, maka (akan) bagaimanakah
perlakuannya kepada kita? Sungguh Allah telah berfirman, “Iblis menjawab:
"Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.”
وَقَالَ
تَعَالَى" فَإِذَا قَرَأْت الْقُرْآن فَاسْتَعِذْ بِاَللَّهِ مِنْ
الشَّيْطَان الرَّجِيم إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَان عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَلَى رَبّهمْ يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانه عَلَى الَّذِينَ
يَتَوَلَّوْنَهُ وَاَلَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ "
Dan firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu membaca Al
Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang
terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan)
hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang
yang mempersekutukannya dengan Allah.”
قَالَتْ
طَائِفَة مِنْ الْقُرَّاء وَغَيْرهمْ يَتَعَوَّذ بَعْد الْقِرَاءَة وَاعْتَمَدُوا
عَلَى ظَاهِر سِيَاق الْآيَة وَلِدَفْعِ الْإِعْجَاب بَعْد فَرَاغ الْعِبَادَة
وَمِمَّنْ ذَهَبَ إِلَى ذَلِكَ حَمْزَة فِيمَنْ نَقَلَهُ عَنْهُ اِبْن فلوفا
وَأَبُو حَاتِم السِّجِسْتَانِيّ حَكَى ذَلِكَ أَبُو الْقَاسِم يُوسُف بْن عَلِيّ
بْن جُنَادَة الْهُذَلِيّ الْمَغْرِبِيّ فِي كِتَاب الْعِيَادَة الْكَامِل
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة أَيْضًا وَهُوَ غَرِيب وَنَقَلَهُ مُحَمَّد بْن
عُمَر الرَّازِيّ فِي تَفْسِيره عَنْ اِبْن سِيرِينَ فِي رِوَايَة عَنْهُ قَالَ :
وَهُوَ قَوْل إِبْرَاهِيم النَّخَعِيّ وَدَاوُدَ بْن عَلِيّ الْأَصْبَهَانِيّ
الظَّاهِرِيّ
Segolongan ulama ahli qurro
dan yang lainnya
mengatakan bahwa ta’awwudz
dilakukan setelah qira’ah.
Mereka berkeyakinan atas dzahirnya susunan ayat, dan
untuk menolak rasa ‘ujub setelah menuntaskan ibadah itu. Ulama yang
berpendapat demikian ialah Hamzah, berdasarkan apa yang telah ia nukil dari Ibn
Falufa dan Abu Hatim AS-Sijistaniy. Hal ini diriwayatkan oleh Abul Qasim Yusuf
ibn ‘Ali ibn Junadah Al-Hudzaliy Al-Maghribiy pada Kitab Al-‘Ibadah
Al-Kaamil. Ia meriwayatkan pula dari Abu Hurairah juga yang hadis itu gharib,
lalu dinukil oleh Muhammad ibn ‘Umar Ar-Raziy pada tafsirnya dari Ibn Sirin
dalam suatu riwayatnya ia mengatakan bahwa pendapat ini adalah perkataan Ibrahim
An-Nakha’i dan Dawud ibn ‘Ali Al-Ashbahaniy Adz-Dzahiriy.
وَحَكَى
الْقُرْطُبِيّ عَنْ أَبِي بَكْر بْن الْعَرَبِيّ عَنْ الْمَجْمُوعَة عَنْ مَالِك
رَحِمَهُ اللَّه : أَنَّ الْقَارِئ يَتَعَوَّذ بَعْد الْفَاتِحَة وَاسْتَغْرَبَهُ
اِبْن الْعَرَبِيّ !
Al-Qurthubiy meriwayatkan dari Abu Bakar ibn ‘Arabiy dari
sejumlah ulama, dari Malik Rahimahullah, bahwa seorang qari mengucapkan
ta’awwudz setelah Al-Fatihah. Akan tetapi Ibn Al-‘Arabiy menilainya gharib
(aneh).
وَحَكَى
قَوْلًا ثَالِثًا وَهُوَ الِاسْتِعَاذَة أَوَّلًا وَآخِرًا جَمْعًا بَيْن
الدَّلِيلَيْنِ نَقَلَهُ الرَّازِيّ .
Dan menurut pendapat ketiga, isti’adzah dibaca
ketika permulaan dan akhir, karena menggabungkan antara dua dalil. Demikian Ar-Razi
menukilnya.
وَالْمَشْهُور
الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُور أَنَّ الِاسْتِعَاذَة إِنَّمَا تَكُون قَبْل
التِّلَاوَة لِدَفْعِ الْمُوَسْوِس عَنْهَا وَمَعْنَى الْآيَة عِنْدهمْ "
فَإِذَا قَرَأْت الْقُرْآن فَاسْتَعِذْ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم
" أَيْ إِذَا أَرَدْت الْقِرَاءَة
(Pendapat) yang masyhur (terkenal) adalah yang
dijadikan pegangan oleh Jumhur ulama, bahwa isti’adzah tiada lain
dilakukan sebelum tilawah, untuk menolak bisikan (yang mengganggu)
bacaan. Menurut mereka, makna ayat, “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah
kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” yakni
apabila bermaksud untuk qira’ah (membaca).
كَقَوْلِهِ
تَعَالَى " إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاة فَاغْسِلُوا وُجُوهكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ " الْآيَة أَيْ إِذَا أَرَدْتُمْ الْقِيَام وَالدَّلِيل عَلَى
ذَلِكَ الْأَحَادِيث عَنْ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِذَلِكَ .
Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “apabila kamu mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu”, al-ayat. Yakni apabila kalian bermaksud
untuk mengerjakan shalat. Dalil ini berdasarkan atas hadis-hadis tersebut dari
Rasulullah Saw. tentangnya.
قَالَ
الْإِمَام أَحْمَد بْن حَنْبَل رَحِمَهُ اللَّه حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْن الْحَسَن
بْن أَنَس حَدَّثَنَا جَعْفَر بْن سُلَيْمَان عَنْ عَلِيّ بْن عَلِيّ الرِّفَاعِيّ
الْيَشْكُرِيّ عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّل النَّاجِيّ عَنْ أَبِي سَعِيد الْخُدْرِيّ
قَالَ : كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ
اللَّيْل فَاسْتَفْتَحَ صَلَاته وَكَبَّرَ قَالَ " سُبْحَانك اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِك وَتَبَارَكَ اِسْمك وَتَعَالَى جَدّك وَلَا إِلَه غَيْرك - ثُمَّ
يَقُول - لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ثَلَاثًا ثُمَّ يَقُول أَعُوذ بِاَللَّهِ
السَّمِيع الْعَلِيم مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم مِنْ هَمْزه وَنَفْخه وَنَفْثه
"
Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah berkata: Telah
menjelaskan kepada kami Muhammad ibn Al-Hasan ibn Anas, telah menjelaskan
kepada kami Ja’far ibn Sulaiman, dari ‘Ali ibn ‘Ali Ar-Rifa’i Al-Yasykuriy,
dari Abu Al-Mutawakkil An-Naajiy, dari Abu Sa’id Al-Khudriy ia berkata:
Rasulullah Saw. apabila berdiri (shalat) dari sebagian malamnya beliau
membuka shalatnya dengan takbir lantas berkata, “SUBHAANAKA ALLOOHUMMA WA BI
HAMDIKA WA TABAROKASMUKA WA TA’AALA JADDUKA WA LAA ILAAHA GHOIRUKA (Maha Suci Engkau,
ya Allah, dengan memuji kepada Engkau, Maha berkah asma-Mu, Maha tinggi
keagungan-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau)” kemudian Nabi Saw.
membaca, “LAA ILAAHA ILLALLOOH (Tidak ada Tuhan selain Allah)” tiga
kali, kemudian beliau membaca, “A’UUDZU BILLAAHIS SAMII’IL ‘ALIIMI MINASY SYAITHOONIRROJIIM
MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIHI (Aku
berlindung kepada Allah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari setan
yang terkutuk dari godaannya, sifat takaburnya, dan embusan rayuannya).”
وَقَدْ
رَوَاهُ أَهْل السُّنَن الْأَرْبَعَة مِنْ رِوَايَة جَعْفَر بْن سُلَيْمَان عَنْ
عَلِيّ بْن عَلِيّ وَهُوَ الرِّفَاعِيّ وَقَالَ التِّرْمِذِيّ : هُوَ أَشْهَر
شَيْء فِي هَذَا الْبَاب وَقَدْ فُسِّرَ الْهَمْز بِالْمُوتَةِ وَهِيَ الْخَنْق
وَالنَّفْخ بِالْكِبْرِ وَالنَّفْث بِالشِّعْرِ .
Sungguh telah meriwayatkan pula hadis ini para pemilik
kitab Sunan yang empat melalui riwayat Ja’far ibn Sulaiman, dari ‘Ali
ibn ‘Ali Ar-Rifa’i. at-Tirmidzi berkata: Hadis ini yang paling terkenal pada
bab ini. At-Tirmidzi menafsirkan lafadz al-Hamz dengan makna al-muutatu,
“cekikan” yakni al-khanqu, “kesempitan”. An-Nafkhu diartikan al-kibru,
“kesombongan”. Dan an-Naftsu dimaknai asy-syi’ru, “sya’ir.”
كَمَا
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْن مَاجَهْ مِنْ حَدِيث شُعْبَة عَنْ عَمْرو بْن مُرَّة
عَنْ عَاصِم الْعَنَزِيّ عَنْ نَافِع بْن جُبَيْر الْمُطْعِم عَنْ أَبِيهِ قَالَ :
رَأَيْت رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه تَعَالَى عَلَيْهِ وَعَلَى آلِه وَسَلَّمَ
حِين دَخَلَ فِي الصَّلَاة قَالَ " اللَّه أَكْبَر كَبِيرًا ثَلَاثًا
الْحَمْد لِلَّهِ كَثِيرًا ثَلَاثًا سُبْحَان اللَّه بُكْرَة وَأَصِيلًا ثَلَاثًا
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذ بِك مِنْ الشَّيْطَان مِنْ هَمْزه وَنَفْخه وَنَفْثه
"
Sebagaimana Abu Dawud dan Ibn Majah meriwayatkannya dari
hadis Syu’bah, dari ‘Amr ibn Murroh, dari ‘Ashim Al-‘Anaziy, dari Nafi ibn
Jubair Al-Muth’im, dari ayahnya ia berkata: Aku melihat Rasulullah Saw.
ketika memulai shalat beliau berkata, “ALLAHU
AKBAR KABIIRAA (Allah yang
Maha besar dengan
kebesaran yang
sesungguhnya)” Nabi
Saw. menyebutkannya tiga kali, “ALHAMDULILLAAHI KATSIIROO (Segala
puji bagi Allah sebanyak-banyaknya)” Nabi Saw. menyebutkannya tiga
kali, “SUBHAANALLOOHI BUKROTAN WA ASHIILAN (Maha suci Allah di pagi dan
petang hari)” Nabi Saw. menyebutkannya tiga kali, “ALLOOHUMMA
INNII A’UUDZU BIKA MINASY-SYAITHOONI MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIHI (Ya
Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari setan; dari dari godaannya, sifat
takaburnya, dan embusan rayuannya).”
قَالَ
عُمَر : وَهَمْزه الْمُوتَة وَنَفْخه الْكِبْر وَنَفْثه الشِّعْر.
Menurut ‘Umar, hamzihi artinya al-mutatu (kesempitan
darinya setan), nafkhihi artinya al-kibru (kesombongan), dan naftsihi
artinya asy-syi’ru (sya’irnya setan).
وَقَالَ
اِبْن مَاجَهْ: حَدَّثَنَا عَلِيّ بْن الْمُنْذِر حَدَّثَنَا اِبْن فُضَيْل
حَدَّثَنَا عَطَاء بْن السَّائِب عَنْ أَبِي عَبْد الرَّحْمَن السُّلَمِيّ عَنْ
اِبْن مَسْعُود عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذ
بِك مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم وَهَمْزه وَنَفْخه وَنَفْثه قَالَ : هَمْزه
الْمُوتَة وَنَفْخه الْكِبْر وَنَفْثه الشِّعْر
Ibn Majah berkata: Telah menjelaskan kepada kami ‘Ali ibn
Al-Mundzir, telah menjelaskan kepada kami Ibn Fudhail, telah menjelaskan kepada
kami ‘Atho ibn as-Saaib, dari Abu Abdirrahman As-Sulamiy, dari Ibn Mas’ud, dari
Nabi Saw. beliau bersabda, “ALLOOHUMMA
INNII A’UUDZU BIKA MINASY SYAITHOONIR ROJIIM WA HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIHI (Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari setan
yang terkutuk, dan godaannya, sifat takaburnya, dan embusan rayuannya).” Ibnu Majah berkata: hamzihi artinya al-mutatu
(kesempitan darinya setan), nafkhihi artinya al-kibru
(kesombongan), dan naftsihi artinya
asy-syi’ru (sya’irnya setan).
وَقَالَ
الْإِمَام أَحْمَد : حَدَّثَنَا إِسْحَاق بْن يُوسُف حَدَّثَنَا شَرِيك عَنْ
يَعْلَى بْن عَطَاء عَنْ
رَجُل حَدَّثَهُ
أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيّ يَقُول : كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاة كَبَّرَ ثَلَاثًا ثُمَّ
قَالَ " لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ثَلَاث مَرَّات وَسُبْحَان اللَّه
وَبِحَمْدِهِ ثَلَاث مَرَّات " ثُمَّ قَالَ " أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ
الشَّيْطَان الرَّجِيم مِنْ هَمْزه وَنَفْخه وَنَفْثه "
Imam Ahmad berkata: Telah menjelaskan kepada kami Ishaq
ibn Yusuf, telah menjelaskan kepada kami Syarik, dari Ya’la ibn ‘Atha, dari
seorang lelaki yang ia menjelaskannya bahwa ia mendengar Abu Umamah Al-Bahiliy
berkata: Rasulullah Saw. apabila berdiri hendak melaksanakan shalat
beliau takbir tiga kali kemudian mengucapkan “LAA ILAAHA ILLALLOOH (Tiada Tuhan
selain Allah)” tiga kali, “SUBHAANALLOOHI WA BI HAMDIHI (Maha suci Allah
dengan memuji kepada-Nya)” tiga kali, kemudian beliau membaca, “A’UUDZU
BILLAAHI MINASY SYAITHOONIR ROJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIHI.”
وَقَالَ
الْحَافِظ أَبُو يَعْلَى أَحْمَد بْن عَلِيّ بْن الْمُثَنَّى الْمَوْصِلِيّ فِي
مُسْنَده حَدَّثَنَا عَبْد اللَّه بْن عُمَر بْن أَبَانَ الْكُوفِيّ حَدَّثَنَا
عَلِيّ بْن هِشَام بْن الْبَرِيد عَنْ يَزِيد بْن زِيَاد عَنْ عَبْد الْمَلِك بْن
عُمَيْر عَنْ عَبْد الرَّحْمَن بْن أَبِي لَيْلَى عَنْ أُبَيّ بْن كَعْب رَضِيَ
اللَّه عَنْهُ قَالَ : تَلَاحَى رَجُلَانِ عِنْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَتَمَزَّعَ أَنْف أَحَدهمَا غَضَبًا فَقَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" إِنِّي لَأَعْلَم شَيْئًا لَوْ قَالَهُ لَذَهَبَ
عَنْهُ مَا يَجِد : أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم "
Al-Hafidz Abu Ya’la Ahmad ibn ‘Ali ibn Al-Mutsanna
Al-Maushiliy pada kitab Musnadnya berkata: Telah menjelaskan kepada kami
‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Aban Al-Kufiy, telah menjelaskan kepada kami ‘Ali ibn
Hisyam ibn Al-Barid, dari Yazid ibn Ziyad, dari ‘Abdul Malik ibn ‘Umair, dari ‘Abdurrahman
ibn Abi Laila, dai Ubay ibn Ka’ab ra. ia berkata: Dua orang lelaki beradu
jenggot (berkelahi) di hadapan Nabi Saw. maka salah seorang dari
keduanya mencabik-cabik hidung karena marah. Rasulullah Saw. pun bersabda,
“Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui tentang sesuatu yang kalaulah orang
itu mengatakannya, pastilah akan hilang darinya suatu (emosi) yang
menghinggapinya: A’UUDZU BILLAAHI MINASY SYAITHOONIR ROJIIM.”
وَكَذَا
رَوَاهُ النَّسَائِيّ فِي الْيَوْم وَاللَّيْلَة عَنْ يُوسُف بْن عِيسَى
الْمَرْوَزِيّ عَنْ الْفَضْل بْن مُوسَى عَنْ يَزِيد بْن زِيَاد بْن أَبِي
الْجَعْدِيَّة
Demikian juga diriwayatkan oleh An-Nasai pada kitab Al-Yaum
wa Al-Lailah, dari Yusuf ibn ‘Isa Al-Marwaziy, dari Al-Fadhl ibn Musa, dari
Yazid ibn Ziyad ibn Abu Al-Ja’diyyah.
وَقَدْ
رَوَى هَذَا الْحَدِيث أَحْمَد بْن حَنْبَل عَنْ أَبِي سَعِيد عَنْ زَائِدَة ,
وَأَبُو دَاوُدَ عَنْ يُوسُف بْن مُوسَى عَنْ جَرِير بْن عَبْد الْحَمِيد
وَالتِّرْمِذِيّ وَالنَّسَائِيّ فِي الْيَوْم وَاللَّيْلَة عَنْ بُنْدَار عَنْ
اِبْن مَهْدِيّ عَنْ الثَّوْرِيّ وَالنَّسَائِيّ أَيْضًا مِنْ حَدِيث زَائِدَة بْن
قُدَامَةَ ثَلَاثَتهمْ عَنْ عَبْد الْمَلِك بْن عُمَيْر عَنْ عَبْد الرَّحْمَن بْن
أَبِي لَيْلَى عَنْ مُعَاذ بْن جَبَل رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : اِسْتَبَّ
رَجُلَانِ عِنْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدهمَا
غَضَبًا شَدِيدًا حَتَّى يُخَيَّل إِلَيَّ أَنَّ أَحَدهمَا يَتَمَزَّع أَنْفه مِنْ
شِدَّة غَضَبه فَقَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِنِّي
لَأَعْلَم كَلِمَة لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِد مِنْ الْغَضَب "
فَقَالَ : مَا هِيَ يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ" يَقُول اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذ بِك مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم " قَالَ : فَجَعَلَ مُعَاذ يَأْمُرهُ
فَأَبَى وَجَعَلَ يَزْدَاد غَضَبًا
Sungguh telah meriwayatkan hadis ini Ahmad ibn Hanbal
dari Abu Sa’id, dari Zaidah. Abu Dawud dari Yusuf ibn Musa, dari Jarir ibn ‘Abdul
Hamid. Juga oleh At-Tirmidzi. Dan An-Nasai pada kitab Al-Yaum wa Al-Lailah dari
Bundar, dari Ibn Mahdiy, dari Ats-Tsauriy. An-Nasai pun meriwayatkan hadis dari
Zaidah ibn Qudamah; ketiga-tiganya dari ‘Abdul Malim ibn ‘Umair, dari ‘Abdurrahman
ibn Abu Laila, dari Mu’adz
ibn Jabal ra.
ia
berkata: Dua lelaki bertengkar di hadapan Nabi Saw.,
maka marahlah salah seorang dari keduanya dengan kemarahan yang sangat sehingga
aku (Mu’adz) membayangkan bahwa salah seorang dari keduanya mencabik-cabik
hidungnya karena saking marahnya. Nabi Saw. pun bersabda, “Sesungguhnya
aku benar-benar mengetahui suatu kalimat yang kalaulah orang itu mengatakannya,
pastilah akan hilang darinya suatu (emosi) yang menghinggapinya dari amarah.”
Seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu?”. Nabi Saw.
bersabda, “ALLOOHUMMA INNII A’UUDZU BIKA
MINASY SYAITHOONIR ROJIIM.” Mu’adz pun memerintahkan orang yang marah untuk
membacanya, namun menolak, maka ia pun semakin bertambah marah.
وَهَذَا
لَفْظ أَبِي دَاوُدَ
وَقَالَ
التِّرْمِذِيّ : مُرْسَل يَعْنِي أَنَّ عَبْد الرَّحْمَن بْن أَبِي لَيْلَى لَمْ
يَلْقَ مُعَاذ بْن جَبَل فَإِنَّهُ مَاتَ قَبْل سَنَة عِشْرِينَ "
Hadis ini adalah lafadz Abu Dawud. Imam At-Tirmidzi
berkata: Mursal, yakni sesungguhnya ‘Abdurrahman ibn Abu Laila tidak
bertemu dengan Mu’adz bin Jabal, karena Mu’adz meninggal sebelum 20 Hijriah.
قُلْت:
وَقَدْ يَكُون عَبْد الرَّحْمَن بْن أَبِي لَيْلَى سَمِعَهُ مِنْ أُبَيّ بْن كَعْب
كَمَا تَقَدَّمَ وَبَلَغَهُ عَنْ مُعَاذ بْن جَبَل فَإِنَّ هَذِهِ الْقِصَّة
شَهِدَهَا غَيْر وَاحِد مِنْ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ .
Menurut saya (Ibnu Katsir): Mungkin ‘Abdurrahman ibn Abu
Laila mendengarnya dari Ubay ibn Ka’ab sebagaimana hadis sebelumnya, dan Ubay
menyampaikannya kepada Mu’adz bin Jabal, karena sesungguhnya kisah ini
disaksikan bukan oleh seorang dari para sahabat Radliyallahu ‘anhum.
قَالَ
الْبُخَارِيّ : حَدَّثَنَا عُثْمَان بْن أَبِي شَيْبَة حَدَّثَنَا جَرِير عَنْ
الْأَعْمَش عَنْ عَدِيّ بْن ثَابِت قَالَ : قَالَ سُلَيْمَان بْن صُرَد رَضِيَ
اللَّه عَنْهُ اِسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْد النَّبِيّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْده جُلُوس فَأَحَدهمَا يَسُبّ
صَاحِبه مُغْضَبًا قَدْ اِحْمَرَّ وَجْهه فَقَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " إِنِّي لَأَعْلَم كَلِمَة لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ
عَنْهُ مَا يَجِدهُ لَوْ قَالَ أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان
الرَّجِيم" فَقَالُوا لِلرَّجُلِ : أَلَا تَسْمَع مَا يَقُول رَسُول اللَّه
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنِّي لَسْت بِمَجْنُونٍ
Al-Bukhari berkata: Telah menjelaskan kepada kami ‘Utsman
ibn Abu Syaibah, telah menjelaskan kepada kami Jarir, dari Al-A’masy, dari ‘Adi
ibn Tsabit ia berkata: Sulaiman ibn Shurod ra. berkata: Dua lelaki bertengkar
di hadapan Nabi Saw. dan kami pun di samping beliau Saw. sedang
duduk. Maka salah seorang dari keduanya mencaci lawannya seraya marah yang sungguh
telah me-merah wajahnya. Nabi Saw. pun bersabda, “Sesungguhnya aku
benar-benar mengetahui tentang suatu kalimat yang kalaulah orang itu
mengatakannya, pastilah akan hilang darinya suatu (emosi) yang menghinggapinya,
kalaulah ia berkata: A’UUDZU BILLAAHI MINASY SYAITHOONIR ROJIIM.” Maka
para sahabat berkata kepada seorang lelaki itu: “Tidakkah engkau mendengar apa
yang Rasulullah Saw. sabdakan?!.” Lelaki itu menjawab, “Sungguh aku bukanlah
orang yang gila!.”
وَقَدْ
رَوَاهُ أَيْضًا مَعَ مُسْلِم وَأَبِي دَاوُدَ وَالنَّسَائِيّ مِنْ طُرُق مُتَعَدِّدَة
عَنْ الْأَعْمَش بِهِ .
Sungguh telah meriwayatkannya juga Al-Bukhari bersama
Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasai melalui berbagai jalur dari Al-A’masy dengan
lafadz yang sama.
وَقَدْ
جَاءَ فِي الِاسْتِعَاذَة أَحَادِيث كَثِيرَة يَطُول ذِكْرهَا هَهُنَا
وَمَوْطِنهَا كِتَاب الْأَذْكَار وَفَضَائِل الْأَعْمَال وَاَللَّه أَعْلَم
Sungguh telah dijelaskan tentang Isti’adzah ini
pada beberapa hadis yang banyak nan panjang penjelasannya di sini. Kami telah
telah menempatkan (penjelasan)nya pada Kitab Al-Adzkar wa Fadlail
al-A’mal. Wallahu A’lam.
وَقَدْ
رُوِيَ أَنَّ جِبْرِيل عَلَيْهِ السَّلَام أَوَّل مَا نَزَلَ بِالْقُرْآنِ عَلَى
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ بِالِاسْتِعَاذَةِ كَمَا
قَالَ الْإِمَام أَبُو جَعْفَر بْن جَرِير حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْب حَدَّثَنَا
عُثْمَان بْن سَعِيد حَدَّثَنَا بِشْر بْن عُمَارَة حَدَّثَنَا أَبُو رَوْق عَنْ
الضَّحَّاك عَنْ عَبْد اللَّه بْن عَبَّاس قَالَ: أَوَّل مَا نَزَلَ جِبْرِيل عَلَى
مُحَمَّد صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " يَا مُحَمَّد اِسْتَعِذْ "
قَالَ " أَسْتَعِيذ بِاَللَّهِ السَّمِيع الْعَلِيم مِنْ الشَّيْطَان
الرَّجِيم" ثُمَّ قَالَ " قُلْ بِسْمِ اللَّه الرَّحْمَن الرَّحِيم
" ثُمَّ قَالَ " اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبّك الَّذِي خَلَقَ "
Sungguh telah diriwayatkan bahwa Jibril as.
Ketika wahyu Al-Qur’an pertama turun
kepada Rasulullah Saw. ia
memerintahkan beliau Saw. untuk
isti’adzah. Sebagaimana Imam Abu Ja’far ibn Jarir berkata: Telah
menjelaskan kepada kami Abu Kuroib, telah menjelaskan kepada kami ‘Utsman ibn Sa’id,
telah menjelaskan kepada kami Bisyr ibn ‘Umaroh, telah menjelaskan kepada kami
Abu Rouq, dari Adl-Dlohak, dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas, ia berkata: Pertama kali
Malaikat Jibril turun kepada Nabi Saw. ia berkata, “Wahai Muhammad, ber-isti’adzah-lah!.”
Nabi Saw. bersabda, “Asta’iidzu bilLaahis Samii’il ‘Aliimi minasy
syathoonir rojiim (Aku berlindung kepada Allah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui
dari setan yang terkutuk).”
Kemudian Jibril berkata,
“Ucapkanlah ‘Bismillaahirrohmaanirrohiim’.”
Kemudian
Jibril mengatakan, “Iqro bismi Robbikal ladzii kholaq.”
قَالَ
عَبْد اللَّه : وَهِيَ أَوَّل سُورَة أَنْزَلَهَا اللَّه عَلَى مُحَمَّد صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلِسَانِ جِبْرِيل.
‘Abdullah (ibn ‘Abbas) berkata: Itu adalah surat pertama
yang Allah menurunkannya kepada Muhammad Saw. melalui lisan Jibril.
وَهَذَا
الْأَثَر غَرِيب وَإِنَّمَا ذَكَرْنَاهُ لِيُعْرَف فَإِنَّ فِي إِسْنَاده ضَعْفًا
وَانْقِطَاعًا وَاَللَّه أَعْلَم .
Atsar ini
berpredikat gharib, tiada lain kami (Ibnu Katsir) menjelaskannya untuk
dapat dikenal, karena sungguh pada isnad-nya terdapat kedla’ifan dan
inqitho’. Wallahu A’lam.
"
مَسْأَلَة" وَجُمْهُور الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الِاسْتِعَاذَة مُسْتَحَبَّة
لَيْسَتْ بِمُتَحَتِّمَةٍ يَأْثَم تَارِكهَا
Persoalan [1]:
Jumhur ulama mengatakan bahwa isti’adzah hukumnya mustahab (sunat),
bukan suatu keharusan yang mengakibatkan dosa ketika meninggalkannya.
وَحَكَى
الرَّازِيّ عَنْ عَطَاء بْن أَبِي رَبَاح وُجُوبهَا فِي الصَّلَاة وَخَارِجهَا
كُلَّمَا أَرَادَ الْقِرَاءَة
Ar-Razi meriwayatkan dari ‘Atho ibn Abu Robah tentang
wajibnya isti’adzah di dalam dan di luar shalat yaitu setiap bermaksud
untuk qiro’ah (membaca Al-Qur’an).
قَالَ
: وَقَالَ اِبْن سِيرِينَ : إِذَا تَعَوَّذَ مَرَّة وَاحِدَة فِي عُمْره فَقَدْ كَفَى
فِي إِسْقَاط الْوُجُوب
Ibnu Sirin berkata: Apabila ta’awwudz hanya satu
kali dalam seumur hidupnya, maka sungguh telah cukup dalam hal menggugurkan
kewajiban.
وَاحْتَجَّ
الرَّازِيّ لِعَطَاءٍ بِظَاهِرِ الْآيَة " فَاسْتَعِذْ " وَهُوَ أَمْر
ظَاهِره الْوُجُوب وَبِمُوَاظَبَةِ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَيْهَا وَلِأَنَّهَا تَدْرَأ شَرّ الشَّيْطَان وَمَا لَا يَتِمّ الْوَاجِب إِلَّا
بِهِ فَهُوَ وَاجِب وَلِأَنَّ الِاسْتِعَاذَة أَحْوَط وَهُوَ أَحَد مَسَالِك
الْوُجُوب
Ar-Razi berhujjah kepada ‘Atho dengan (melihat) dzahirnya
ayat, “Fasta’idz (maka ber-isti’adzah-lah)”. Kalimat ini adalah perintah
yang dzahirnya menunjukkan wajib dan berdasarkan pengalaman Nabi Saw. secara
terus menerus. Dan karena ta’awwudz itu akan menolak kejahatan setan. Suatu
kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu yang
lain itu menjadi wajib. Dikarenakan isti’adzah itu adalah yang paling
hati-hati, dan sikap hati-hati adalah satu diantara yang dapat melahirkan hukum
wajib.
وَقَالَ
بَعْضهمْ : كَانَتْ وَاجِبَة عَلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دُون أُمَّته وَحُكِيَ عَنْ مَالِك أَنَّهُ لَا يَتَعَوَّذ فِي الْمَكْتُوبَة
وَيَتَعَوَّذ لِقِيَامِ رَمَضَان فِي أَوَّل لَيْلَة مِنْهُ .
Sebagian ulama mengatakan bahwa awalnya (isti’adzah itu)
wajib atas Nabi Saw. tetapi tidak bagi umatnya. Diriwayatkan dari Malik,
bahwa dia tidak ta’awwudz pada shalat maktubah (5 waktu)-nya dan
ber-ta’awwudz untuk melaksanakan qiyamu ramadlan pada malam
pertamanya.
"
مَسْأَلَة " وَقَالَ الشَّافِعِيّ فِي الْإِمْلَاء يَجْهَر بِالتَّعَوُّذِ
وَإِنْ أَسَرَّ فَلَا يَضُرّ وَقَالَ فِي الْأُمّ بِالتَّخْيِيرِ لِأَنَّهُ
أَسَرَّ اِبْن عُمَر وَجَهَرَ أَبُو هُرَيْرَة وَاخْتَلَفَ قَوْل الشَّافِعِيّ
فِيمَا عَدَا الرَّكْعَة الْأُولَى هَلْ يُسْتَحَبّ التَّعَوُّذ فِيهَا عَلَى
قَوْلَيْنِ وَرَجَحَ عَدَم الِاسْتِحْبَاب وَاَللَّه أَعْلَم
Persoalan [2]: Asy-Syafi’i
mengatakan pada kitab Al-Imla bahwa ta’awwudz membacanya jahar
dan jika di-sir-kan maka tidak apa-apa. Asy-Syafi’i mengatakan juga pada
kitab Al-Umm dengan (boleh) memilih, karena Ibnu ‘Umar membacanya dengan
sirr dan Abu Hurairah membacanya dengan jahar. Dan diperselisihkan
ungkapan Asy-Syafi’i tentang selain raka’at pertama, apakah mustahab (sunat)
hukumnya ta’awwudz, ada dua pendapat, dan (pendapat) terkuat adalah tidak
disunatkan. Wallahu A’lam.
فَإِذَا
قَالَ الْمُسْتَعِيذ : أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم كَفَى ذَلِكَ
عِنْد الشَّافِعِيّ وَأَبِي حَنِيفَة
Apabila seorang al-Musta’idz (yang mengucapkan isti’adzah)
mengatakan: A’uudzu bilLaahi minasy syaithoonir rojiim, maka cukup hal
itu menurut Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah.
وَزَادَ
بَعْضهمْ: أَعُوذ بِاَللَّهِ السَّمِيع الْعَلِيم وَقَالَ آخَرُونَ بَلْ يَقُول: أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان
الرَّجِيم إِنَّ اللَّه هُوَ
السَّمِيع الْعَلِيم قَالَهُ الثَّوْرِيّ وَالْأَوْزَاعِيّ
Sebagian ulama menambahkan: “A’UUDZU BILLAAHIS SAMII’IL
‘ALIIM.” Ulama yang lain bahkan mengatakan: “A’UUDZU BILLAAHI
MINASY SYAITHOONIR ROJIIM, INNALLOOHA HUWAS SAMII’UL ‘ALIIM.” Menurut
Ats-Tsauriy dan Al-Auza’iy.
وَحُكِيَ
عَنْ بَعْضهمْ أَنَّهُ يَقُول أَسْتَعِيذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم
لِمُطَابَقَةِ أَمْر الْآيَة وَلِحَدِيثِ الضَّحَّاك عَنْ اِبْن عَبَّاس الْمَذْكُور
وَالْأَحَادِيث الصَّحِيحَة كَمَا تَقَدَّمَ أَوْلَى بِالِاتِّبَاعِ مِنْ هَذَا
وَاَللَّه أَعْلَم .
Diriwayatkan pula dari sebagian ulama bahwa dia
mengucapkan, “ASTA’IIDZU BILLAAHI MINASY SYAITHOONIR ROJIIM”, agar sesuai
dengan perintah ayat tersebut dan berdasarkan kepada hadis Adl-Dlahak dari Ibnu
‘Abbas yang telah disebutkan (sebelumnya) dan hadis-hadis shahih sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Yang paling utama, adalah ittiba’ (mengikuti)
hadis-hadis shahih ini. Wallahu A’lam.
"
مَسْأَلَة " ثُمَّ الِاسْتِعَاذَة فِي الصَّلَاة إِنَّمَا هِيَ لِلتِّلَاوَةِ
وَهُوَ قَوْل أَبِي حَنِيفَة وَمُحَمَّد .
Persoalan [3]: kemudian
isti’adzah di dalam shalat, tiada lain itu hanya untuk tilawah (membaca
Al-Qur’an). Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad.
وَقَالَ
أَبُو يُوسُف : بَلْ لِلصَّلَاةِ فَعَلَى هَذَا يَتَعَوَّذ الْمَأْمُوم وَإِنْ
كَانَ لَا يَقْرَأ وَيَتَعَوَّذ فِي الْعِيد بَعْد الْإِحْرَام وَقَبْل تَكْبِيرَات
الْعِيد وَالْجُمْهُور بَعْدهَا قَبْل الْقِرَاءَة
Abu Yusuf berkata: Bahkan bagi shalat, maka wajib ta’awwudz
ini untuk ma’mum walaupun imam tidak membaca. Dan ta’awwudz di shalat ‘ied setelah
takbiratul
ihrom dan sebelum
takbir -
takbir ‘ied.
Adapun Jumhur (berpendapat bahwa ta’awwudz itu)
setelah takbir-takbir ‘ied dan
sebelum qiro’ah (al-Fatihah).
وَمِنْ
لَطَائِف الِاسْتِعَاذَة أَنَّهَا طَهَارَة لِلْفَمِ مِمَّا كَانَ يَتَعَاطَاهُ
مِنْ اللَّغْو وَالرَّفَث وَتَطْيِيب لَهُ وَهُوَ لِتِلَاوَةِ كَلَام اللَّه
Diantara faidah isti’adzah bahwa ieu untuk
membersihkan mulut dari apa-apa yang telah dilakukannya dari lagwu (perkataan
sia-sia) dan rofats (perkataan jorok), dan untuk mewangikannya untuk (sebelum)
tilawah (membaca) Kalaamullaah.
وَهِيَ
اِسْتِعَانَة بِاَللَّهِ وَاعْتِرَاف لَهُ بِالْقُدْرَةِ وَلِلْعَبْدِ بِالضَّعْفِ وَالْعَجْز عَنْ مُقَاوَمَة هَذَا
الْعَدُوّ الْمُبِين الْبَاطِنِيّ الَّذِي لَا يَقْدِر عَلَى مَنْعه وَدَفْعه
إِلَّا اللَّه الَّذِي خَلَقَهُ وَلَا يَقْبَل مُصَانَعَة وَلَا يُدَارَى بِالْإِحْسَانِ
بِخِلَافِ الْعَدُوّ مِنْ نَوْع الْإِنْسَان كَمَا دَلَّتْ عَلَى ذَلِكَ آيَات
مِنْ الْقُرْآن فِي ثَلَاث مِنْ الْمَثَانِي
(isti’adzah) ini adalah (bermaksud) memohon
pertolongan Allah dan mengakui akan kekuasaan-Nya. Bagi seorang hamba pun untuk
menunjukkan kelemahan dan ketidak mampuannya dari menghadapi musuh yang nyata
lagi tidak tidak terlihat ini. Tidak akan ada yang mampu untuk menahan dan
menolaknya kecuali Allah yang telah menciptakan setan itu. Tidak boleh pula diajak
bersikap baik dan tidak boleh berbuat
baik (kepada setan) berbeda dengan musuh dari macam manusia. Sebagaimana beberapa
ayat Al-Qur’an telah menunjukkan atas hal itu pada tiga tempat.
وَقَالَ
تَعَالَى " إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَك عَلَيْهِمْ سُلْطَان وَكَفَى بِرَبِّك
وَكِيلًا "
Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku,
kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga.”
(QS Al-Isra/ 17: 65)
وَقَدْ
نَزَلَتْ الْمَلَائِكَة لِمُقَاتَلَةِ الْعَدُوّ الْبَشَرِيّ فَمَنْ قَتَلَهُ
الْعَدُوّ الظَّاهِر الْبَشَرِيّ كَانَ شَهِيدًا وَمَنْ قَتَلَهُ الْعَدُوّ
الْبَاطِنِيّ كَانَ طَرِيدًا وَمَنْ غَلَبَهُ الْعَدُوّ الظَّاهِرِيّ كَانَ
مَأْجُورًا وَمَنْ قَهَرَهُ الْعَدُوّ الْبَاطِنِيّ كَانَ مَفْتُونًا أَوْ مَوْزُورًا
وَلَمَّا كَانَ الشَّيْطَان يَرَى الْإِنْسَان مِنْ حَيْثُ لَا يَرَاهُ
اِسْتَعَاذَ مِنْهُ بِاَلَّذِي يَرَاهُ وَلَا يَرَاهُ الشَّيْطَان .
Sungguh para Malaikat telah turun untuk memerangi musuh
manusia. Barang siapa yang terbunuh oleh musuh yang Nampak yakni manusia, makai
a syahid. Dan barang siapa yang terbunuh oleh musuh yang tersembunyi, maka ia terlaknat.
Dan barang siapa yang terkalahkan oleh musuh yang Nampak, maka ia adalah yang
diperbudak. Dan barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang tersembunyi maka
ia adalah yang terfitnah atau berdosa. Ketika setan dapat melihat manusia dari sisi yang manusia tidak dapat melihatnya, maka
dianjurkan isti’adzah dari (godaan) setan kepada Rabb yang
melihat setan dan setan tidak dapat melihat-Nya.
"
فَصْل " وَالِاسْتِعَاذَة هِيَ الِالْتِجَاء إِلَى اللَّه تَعَالَى
وَالِالْتِصَاق بِجَنَابِهِ مِنْ شَرّ كُلّ ذِي شَرّ وَالْعِيَاذَةُ تَكُون
لِدَفْعِ الشَّرّ وَاللِّيَاذ يَكُون لِطَلَبِ جَلْب الْخَيْر
Fashal: Isti’adzah adalah
memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dan bernaung di bawah lindungan-Nya
dari kejahatan/ kejelekan semua (makhluk) yang jahat. Meminta perlindungan ini
adakalanya untuk menolak kejahatan dan meminta perlindungan ini adakalanya
untuk mencari kebaikan.
كَمَا
قَالَهُ الْمُتَنَبِّي:
يَا مَنْ أَلُوذ
بِهِ فِيمَا أُؤَمِّلهُ ... وَمَنْ أَعُوذ بِهِ مِمَّنْ أُحَاذِرهُ
لَا
يَجْبُر النَّاس عَظْمًا أَنْتَ كَاسِره ... وَلَا يَهِيضُونَ عَظْمًا أَنْتَ جَابِره
Sebagaimana Al-Mutanabbiy berkata tentangnya: Wahai
orang yang aku berlindung kepadanya untuk memperoleh apa yang aku cita-citakan …
Dan wahai orang yang aku berlindung kepadaya untuk menghindar dari semua yang
aku takutkan. Semua orang tidak akan dapat mengembalikan keagungan (kebesaran)
yang telah engkau hancurkan . . . Dan mereka tidak dapat menggoyahkan
kebesaran yang telah engkau bangun.
وَمَعْنَى
أَعُوذ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم أَيْ أَسْتَجِير بِجَنَابِ اللَّه
مِنْ الشَّيْطَان الرَّجِيم أَنْ يَضُرّنِي فِي دِينِي أَوْ دُنْيَايَ أَوْ
يَصُدّنِي عَنْ فِعْل مَا أُمِرْت بِهِ أَوْ يَحُثّنِي عَلَى فِعْل مَا نُهِيت
عَنْهُ
Makna A’uudzu bilLaahi minasy syaithoonir rojiim yakni
aku berlindung di bawah naungan Allah dari (godaan) setan yang terkutuk agar
setan tidak memadlaratkanku di dalam (urusan) agamaku ataupun (urusan) duniaku,
atau agar setan tidak menghalang-halangiku dari perbuatan yang diperintahkan
melaksanakannya, atau agar setan tidak mendorongku terhadap perbuatan yang
dilarang untuk meninggalkannya.
فَإِنَّ
الشَّيْطَان لَا يَكُفّهُ عَنْ الْإِنْسَان إِلَّا اللَّه وَلِهَذَا أَمَرَ تَعَالَى
بِمُصَانَعَةِ شَيْطَان الْإِنْس وَمُدَارَاته بِإِسْدَاءِ الْجَمِيل إِلَيْهِ
لِيَرُدّهُ طَبْعه عَمَّا هُوَ فِيهِ مِنْ الْأَذَى وَأَمَرَ بِالِاسْتِعَاذَةِ
بِهِ مِنْ شَيْطَان الْجِنّ لِأَنَّهُ لَا يَقْبَل رِشْوَة وَلَا يُؤَثِّر فِيهِ
جَمِيل لِأَنَّهُ شِرِّير بِالطَّبْعِ وَلَا يَكُفّهُ عَنْك إِلَّا الَّذِي
خَلَقَهُ
Sesungguhnya setan itu, tidak ada yang mampu mencegahnya
terhadap manusia kecuali Allah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan
untuk bersikap diplomasi kepada setan manusia dan berbasa-basi kepadanya dengan
mengulurkan kebaikan kepadanya supaya dapat mengembalikan tabi’at aslinya agar
tidak mengganggu (lagi). Allah memerintahkan pula untuk isti’adzah dari
setan jin, karena sungguh
ia tidak
Menerima risywah (suap) dan tidak berpengaruh padanya
sikap yang baik dikarenakan bertabi’at jahat sejak pembawaan, dan tidak ada
yang dapat mencegahnya darimu kecuali Rabb yang telah menciptakannya.
وَهَذَا
الْمَعْنَى فِي ثَلَاث آيَات مِنْ الْقُرْآن لَا أَعْلَم لَهُنَّ رَابِعَة قَوْله
فِي الْأَعْرَاف " خُذْ الْعَفْو وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِض عَنْ
الْجَاهِلِينَ "
Makna ini terkandung dalam tiga ayat dari Al-Qur’an yang
sepengetahuanku (Ibnu Katsir) tidak ada yang keempatnya. Firman-Nya dalam Al-A’raf:
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf/ 7: 199)
فَهَذَا
فِيمَا يَتَعَلَّق بِمُعَامَلَةِ الْأَعْدَاء مِنْ الْبَشَر ثُمَّ قَالَ "
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّك مِنْ الشَّيْطَان نَزْغ فَاسْتَعِذْ بِاَللَّهِ إِنَّهُ سَمِيع
عَلِيم "
Hal ini tentang sesuatu yang berkaitan dengan mu’amalah
(sikap, pergaulan) kepada musuh-musuh dari kalangan manusia, kemudian
firman-Nya: “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah
kepada Allah.” (QS Al-A’raf/ 7: 200)
وَقَالَ
تَعَالَى فِي سُورَة قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ " اِدْفَعْ بِاَلَّتِي
هِيَ أَحْسَن السَّيِّئَة نَحْنُ أَعْلَم بِمَا يَصِفُونَ وَقُلْ رَبّ أَعُوذ بِك
مِنْ هَمَزَات الشَّيَاطِين وَأَعُوذ بِك رَبّ أَنْ يَحْضُرُونِ"
Dan firman Allah Ta’ala dalam surat Qad aflahal mu’minuun,
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui
apa yang mereka sifatkan. Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih
baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan aku berlindung (pula)
kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.” (QS Al-Mu’minun/
23: 96-98)
وَقَالَ
تَعَالَى فِي سُورَة حم السَّجْدَة "وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَة وَلَا
السَّيِّئَة اِدْفَعْ بِاَلَّتِي هِيَ أَحْسَن فَإِذَا الَّذِي بَيْنك وَبَيْنه
عَدَاوَة كَأَنَّهُ وَلِيّ حَمِيم وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظّ عَظِيم
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّك مِنْ الشَّيْطَان نَزْغ فَاسْتَعِذْ بِاَللَّهِ إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيع الْعَلِيم".
Dan firman Allah Ta’ala pada surat Ha Mim as-Sajdah, “Dan
tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang
besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah
perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS Fushshilat/ 41: 34-36)
الشَّيْطَان
فِي لُغَة الْعَرَب مُشْتَقّ مِنْ شَطَنَ إِذَا بَعُدَ فَهُوَ بَعِيدٌ بِطَبْعِهِ
عَنْ طِبَاع الْبَشَر وَبَعِيد بِفِسْقِهِ عَنْ كُلّ خَيْر
Asy-Syaithonu dalam
Bahasa Arab merupakan pecahan dari lafadz syathona, artinya “apabila
jauh”. Wataknya memang jauh dari perwatakan manusia, dan karena kefasikannya ia
pun jauh dari setiap kebaikan.
وَقِيلَ
مُشْتَقّ مِنْ شَاطَ لِأَنَّهُ مَخْلُوق مِنْ نَار وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُول
كِلَاهُمَا صَحِيح فِي الْمَعْنَى وَلَكِنَّ الْأَوَّل أَصَحّ وَعَلَيْهِ يَدُلّ
كَلَام الْعَرَب .
Dan dikatakan pula (oleh pendapat lain) pecahan (lafadz asy-syaithoonu)
itu dari lafadz syaatho, dikarenakan ia diciptakan dari api. Di antara
mereka (para ulama) ada yang mengatakan bahwa pendapat keduanya adalah benar
dalam segi makna, akan tetapi yang pertama lebih shahih karena
menunjukkan (penguat berupa) perkataan orang-orang Arab.
قَالَ
أُمَيَّة بْن أَبِي الصَّلْت فِي ذِكْر مَا أُوتِيَ سُلَيْمَان عَلَيْهِ السَّلَام
:
أَيّمَا
شَاطِن عَصَاهُ عَكَاهُ ... ثُمَّ يُلْقَى فِي السِّجْن وَالْأَغْلَال
Umayyah ibn Abu ash-Shalt (dalam sya’irya menyebutkan)
tentang apa-apa yang dianugerahkan kepada Sulaiman ‘Alaihis Salaam: Barang
siapa (diantara setan) berbuat durhaka terhadapnya, niscaya dia (Nabi
Sulaiman) menangkapnya, kemudian memenjarakannya dalam keadaan dibelenggu.
فَقَالَ
أَيّمَا شَاطِن وَلَمْ يَقُلْ أَيّمَا شَائِط وَقَالَ النَّابِغَة الذِّبْيَانِيّ
وَهُوَ زِيَاد بْن عَمْرو بْن مُعَاوِيَة بْن جَابِر بْن ضَبَاب بْن يَرْبُوع بْن
مُرَّة بْن سَعْد بْن ذُبْيَان :
نَأَتْ بِسُعَاد عَنْك
نَوَى شَطُون ... فَبَاتَتْ وَالْفُؤَاد بِهَا رَهِين
Ternyata ia berkata, Ayyumaa syaathinin, tidak
berkata, Ayyumaa syaaithin. An-Naabighah Adz-Dzibyaaniy, yakni Ziyad ibn
‘Amr ibn Mu’awiyah ibn Jabir ibn Dlobab ibn Yarbu’ ibn Murroh ibn Sa’ad ibn
Dzubyaan, ia berkata: Kini Su’ad berada jauh darimu . . ., nun jauh
di sana ia tinggal, dan kini hatiku selalu teringat kepadanya.
يَقُول
بَعُدْت بِهَا طَرِيق بَعِيدَة
Nabighah berkata bahwa Su’ud kini berada di tempat yang
sangat jauh.
وَقَالَ
سِيبَوَيْهِ الْعَرَب : تَقُول تَشَيْطَنَ فُلَان إِذَا فَعَلَ فِعْل الشَّيَاطِين
وَلَوْ كَانَ مِنْ شَاطَ لَقَالُوا تَشَيَّطَ فَالشَّيْطَان مُشْتَقّ مِنْ الْبُعْد
عَلَى الصَّحِيح وَلِهَذَا يُسَمُّونَ كُلّ مَنْ تَمَرَّدَ مِنْ جِنِّيّ
وَإِنْسِيّ وَحَيَوَان شَيْطَانًا
Sibawaih mengatakan bahwa orang Arab berkata, “Tasyaithona
fulaan”, apabila si fulan telah melakukan perbuatan seperti perbuatan setan-setan.
Seandainya (lafadz syaithan) dari kata syaatho, pastilah mereka
akan mengatakan tasyayyatho.
Maka yang benar, asy-Syaithon
merupakan pecahan dari al-bu’du
(jauh).
Karena itu mereka (orang Arab) menamakan setiap yang
membangkang dari golongan jin, manusia, dan hewan disebut setan.
قَالَ
اللَّه تَعَالَى " وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِين
الْإِنْس وَالْجِنّ يُوحِي بَعْضهمْ إِلَى بَعْض زُخْرُف الْقَوْل غُرُورًا "
Firman Allah Ta’ala, “Dan demikianlah Kami jadikan
bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan
(dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS Al-An’am/
6: 112)
وَفِي
مُسْنَد الْإِمَام أَحْمَد عَنْ أَبِي ذَرّ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : قَالَ
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ "
يَا أَبَا ذَرّ تَعَوَّذْ بِاَللَّهِ مِنْ شَيَاطِين الْإِنْس وَالْجِنّ "
فَقُلْت أَوَلِلْإِنْسِ شَيَاطِين ؟ قَالَ " نَعَمْ"
Dan pada Musnad Imam Ahmad dari Abu Dzar ra. ia berkata: Rasulullah
Saw. bersabda, “Wahai Abu Dzar, ber-ta’awwudz-lah kamu kepada Allah
dari setan-setan manusia dan jin.” Aku (Abu Dzar) bertanya: “Apakah
setan-setan itu ada dari kalangan manusia?.” Nabi saw. menjawab, “Ya.”
وَفِي
صَحِيح مُسْلِم عَنْ أَبِي ذَرّ أَيْضًا قَالَ : قَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَقْطَع الصَّلَاة الْمَرْأَة وَالْحِمَار وَالْكَلْب
الْأَسْوَد " فَقُلْت : يَا رَسُول اللَّه مَا بَال الْكَلْب الْأَسْوَد مِنْ
الْأَحْمَر وَالْأَصْفَر ؟ فَقَالَ :" الْكَلْب الْأَسْوَد شَيْطَان " .
Dan pada Shahih Muslim, dari Abu Dzar juga ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Yang memutuskan shalat ialah perempuan,
keledai, dan anjing hitam.” Aku (Abu Dzar) bertanya: “Wahai
Rasulullah, apakah bedanya anjing hitam dengan (anjing) yang merah, dan (anjing)
yang kuning?.” Maka Nabi Saw. menjawab, “Anjing hitam itu adalah
setan.”
وَقَالَ
اِبْن وَهْب أَخْبَرَنِي هِشَام بْن سَعْد عَنْ زَيْد بْن أَسْلَم عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
عُمَر بْن الْخَطَّاب رَضِيَ اللَّه عَنْهُ رَكِبَ بِرْذَوْنًا فَجَعَلَ يَتَبَخْتَر
بِهِ فَجَعَلَ يَضْرِبهُ فَلَا يَزْدَاد إِلَّا تَبَخْتُرًا فَنَزَلَ عَنْهُ
وَقَالَ مَا حَمَلْتُمُونِي إِلَّا عَلَى شَيْطَان مَا نَزَلْت عَنْهُ حَتَّى
أَنْكَرْت نَفْسِي إِسْنَاده صَحِيح.
Ibn Wahb berkata: Telah mengabarkan kepadaku Hisyam ibn
Sa’ad, dari Ziad ibn Aslam, dari ayahnya, bahwa ‘Umar ibn Khaththab ra. menunggangi kuda birdzaun.
Ternyata kuda itu melangkah dengan langkah-langkah yang sombong, maka ‘Umar
memukulinya, namun tidaklah bertambah selain kesombongan (kuda itu), maka ‘Umar
turun darinya dan berkata, “Kalian tidak memberiku tunggangan kecuali kendaraan
setan, tidaklah aku turun darinya melainkan setelah aku mengingkari diriku.” Sanadnya
shahih.
وَالرَّجِيم
فَعِيل بِمَعْنَى مَفْعُول أَيْ أَنَّهُ مَرْجُوم مَطْرُود عَنْ الْخَيْر كُلّه
Ar-rajiim adalah
wazan fa’iil, maknanya maf’uul, yakni sungguh setan itu marjuum
(terkutuk, dikutuk) jauh dari kebaikan seluruhnya.
كَمَا
قَالَ تَعَالَى " وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيح
وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ "
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah
menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan
bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan,” (QS Al-Mulk/ 67: 5)
وَقَالَ
تَعَالَى " إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِب
وَحِفْظًا مِنْ كُلّ شَيْطَان مَارِد لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَأ الْأَعْلَى
وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلّ جَانِب دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَاب وَاصِب إِلَّا مَنْ
خَطِفَ الْخَطْفَة فَأَتْبَعهُ شِهَاب ثَاقِب "
Dan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Kami telah
menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah
memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, syaitan
syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan
mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka
siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang
mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (QS Ash-Shaffat/ 37: 6-10)
وَقَالَ
تَعَالَى "وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاء بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا
لِلنَّاظِرِينَ وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلّ شَيْطَان رَجِيم إِلَّا مَنْ اِسْتَرَقَ
السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَاب مُبِين"
Dan firman Allah Ta’ala, “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit
itu bagi orang-orang yang memandang (nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap
syaitan yang terkutuk, kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat
didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS
Al-Hijr/ 15: 16-18)
إِلَى
غَيْر ذَلِكَ مِنْ الْآيَات وَقِيلَ رَجِيم بِمَعْنَى رَاجِم لِأَنَّهُ يَرْجُم
النَّاس بِالْوَسَاوِسِ وَالْخَبَائِث وَالْأَوَّل أَشْهَر وَأَصَحّ .
Hingga (masih banyak) selain dari ayat-ayat tersebut. Dan
dikatakan (oleh pendapat lain), rojiim maknanya adalah roojim (yang
merajam), karena setan merajam manusia dengan al-waswaas (berbagai
bisikan, godaan) dan al-khabaaits (berbagai rayuan). Akan tetapi,
makna pertama lebih masyhur (terkenal) dan lebih shahih.
(Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Adzim, I dari 4 Jilid: hlm 21-24. Beirut-Libanon: Dar el-Fikr, 2011)
Cek juga makalah ini dan kajian tafsir Ibnu Katsir
lainnya di htpp://pemuda-persis-pangalengan.blogspot.com
Alhamdulillah, Wallahu A’lam. Selanjutnya akan membahas, TAFSIR
BASMALAH DAN HUKUMNYA. Insya Allah.
by Bidang Pendidikan PC Pemuda Persis
Pangalengan.
@ Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan