SUNNAH NIKAH


كتاب النكاح
KITAB AN-NIKAH

النِّكَاحُ لُغَةً الضَّمُّ وَالتَّدَاخُلُ، وَيُسْتَعْمَلُ فِي الْوَطْءِ، وَفِي الْعَقْدِ قِيلَ : مَجَازٌ مِنْ إطْلَاقِ اسْمِ الْمُسَبَّبِ عَلَى السَّبَبِ، وَقِيلَ: إنَّهُ حَقِيقَةٌ فِيهِمَا، وَهُوَ مُرَادُ مَنْ قَالَ إنَّهُ مُشْتَرَكٌ فِيهِمَا، وَكَثُرَ اسْتِعْمَالُهُ فِي الْعَقْدِ فَقِيلَ: إنَّهُ فِيهِ حَقِيقَةٌ شَرْعِيَّةٌ، وَلَمْ يَرِدْ فِي الْكِتَابِ الْعَزِيزِ إلَّا فِي الْعَقْدِ.
Nikah secara bahasa adalah menggabung dan menjalin. Lalu dipakai untuk istilah jima' dan akad. Ada yang mengatakan, bahwa makna ini hanyalah bentuk majas dengan melafazhkan sebab untuk tujuan sebenarnya. Ada yang berpendapat, keduanya adalah makna sebenarnya, dan pendapat inilah yang dimaksudkan dalam pernyataan bahwa arti lafazh nikah adalah mencakup keduanya. Banyak sekali penggunaan kata nikah yang diartikan dengan akad. Ada juga yang berpendapat, bahwa arti nikah dengan akad berdasarkan makna syari'at yang sebenarnya, dan di dalam Al-Qur'an tidak dijelaskan melainkan makna akad saja.

899 - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - قَالَ: «قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ. فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
899. Dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Wahai generasi muda, siapa di antara kamu telah mampu untuk menikah hendaknya ia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan jika dia belum mampu hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi kendali (obat)." (Muttafaq Alaih) [shahih, Al-Bukhari (1905), Muslim (1400)]

وَقَعَ الْخِطَابُ مِنْهُ لِلشَّبَابِ لِأَنَّهُمْ مَظِنَّةُ الشَّهْوَةِ لِلنِّسَاءِ .
Hadits ini ditujukan kepada kawula muda, karena orang seusia mereka adalah orang yang paling kuat syahwatnya terhadap lawan jenis [wanita].

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمُرَادِ بِالْبَاءَةِ ، وَالْأَصَحُّ أَنَّ الْمُرَادَ بِهَا الْجِمَاعُ فَتَقْدِيرُهُ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْجِمَاعَ لِقُدْرَتِهِ عَلَى مُؤْنَةِ النِّكَاحِ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ الْجِمَاعَ لِعَجْزِهِ عَنْ مُؤْنَتِهِ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ لِدَفْعِ شَهْوَتِهِ ، وَيَقْطَعَ شَرَّ مَائِهِ كَمَا يَقْطَعُهُ الْوِجَاءُ ،
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud kata " الْبَاءَةَ ", dan pendapat yang paling benar artinya adalah jima'. Sehingga maksud hadits adalah, bagi yang ingin berjima' dan ia sudah mampu untuk memenuhi nafkah keluarga, hendaklah dia menikah, dan bagi yang belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga, hendaklah dia berpuasa untuk mengekang syahwat dan menurunkan produksi air mani, sebagaimana halnya tameng yang bisa menghalangi badan dari sabetan senjata tajam sebagai bentuk pengendalian diri.

وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ حِبَّانَ مُدْرِجًا تَفْسِيرَهُ الْوِجَاءَ بِأَنَّهُ الْإِخْصَاءُ ، وَقِيلَ : الْوِجَاءُ رَضُّ الْخُصْيَتَيْنِ ، وَالْإِخْصَاءُ سَلْبُهُمَا ، وَالْمُرَادُ أَنَّ الصَّوْمَ كَالْوِجَاءِ ،
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Hibban diterangkan, bahwa makna "وِجَاءٌ" adalah kebiri. Ada juga yang mengartikan, makna "وِجَاءٌ" adalah menghancurkan kedua buah dzakar. Dan arti sebenarnya adalah mengebiri; maksudnya puasa diibaratkan seperti kebiri karena sama-sama mengendalikan syahwat.

وَالْأَمْرُ بِالتَّزَوُّجِ يَقْتَضِي وُجُوبَهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى تَحْصِيلِ مُؤْنَتِهِ، وَإِلَى الْوُجُوبِ ذَهَبَ دَاوُد، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ، وَقَالَ ابْنُ حَزْمٍ، وَفُرِضَ عَلَى كُلِّ قَادِرٍ عَلَى الْوَطْءِ إنْ وَجَدَ أَنْ يَتَزَوَّجَ أَوْ يَتَسَرَّى فَإِنْ عَجَزَ عَنْ ذَلِكَ فَلْيُكْثِرْ مِنْ الصَّوْمِ، وَقَالَ إنَّهُ قَوْلُ جَمَاعَةٍ مِنْ السَّلَفِ،
Perintah menikah hukumnya wajib bila seorang mempunyai kemampuan untuk memenuhi nafkah keluarganya, inilah pendapat dari Dawud dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Ibnu Hazm berkata, "Wajib hukumnya bagi yang mampu melakukan jima' bila sudah ada yang akan dinikahi atau dijadikan budak, bila tidak bisa melakukan hal tersebut, hendaklah dia memperbanyak puasa, lalu berkata, "Demikianlah kesepakatan sebagian ulama terdahulu."

وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى أَنَّ الْأَمْرَ لِلنَّدْبِ مُسْتَدِلِّينَ بِأَنَّهُ تَعَالَى خَيَّرَ بَيْنَ التَّزَوُّجِ وَالتَّسَرِّي بِقَوْلِهِ { فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ }
Jumhur ulama berpendapat, bahwa perintah menikah itu hukumnya sunnah berdasarkan firman Allah yang memerintahkan untuk memilih antara menikah atau mengambil budak. "Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki." (QS. An-Nisaa': 3)


وَالتَّسَرِّي لَا يَجِبُ إجْمَاعًا فَكَذَا النِّكَاحُ لِأَنَّهُ لَا تَخْيِيرَ بَيْنَ وَاجِبٍ وَغَيْرِ وَاجِبٍ إلَّا أَنَّ دَعْوَى الْإِجْمَاعِ غَيْرُ صَحِيحَةٍ لِخِلَافِ دَاوُد وَابْنِ حَزْمٍ،
Menurut ijma' ulama, mengambil budak tidak wajib hukumnya demikian juga dengan menikah; karena Allah tidak mungkin menyuruh memilih antara perintah yang wajib dilakukan dan tidak, dan anggapan adanya ijma' dari ulama tidak benar karena adanya perbedaan hukum antara jumhur ulama dengan Dawud dan Ibnu Hazm.

وَذَكَرَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ أَنَّ مِنْ الْفُقَهَاءِ مَنْ قَالَ بِالْوُجُوبِ عَلَى مَنْ خَافَ الْعَنَتَ ، وَقَدَرَ عَلَى النِّكَاحِ ، وَتَعَذَّرَ عَلَيْهِ التَّسَرِّي ، وَكَذَا حَكَاهُ الْقُرْطُبِيُّ فَيَجِبُ عَلَى مَنْ لَا يَقْدِرُ عَلَى تَرْكِ الزِّنَا إلَّا بِهِ ثُمَّ ذَكَرَ مَنْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ ، وَيُكْرَهُ ، وَيُنْدَبُ لَهُ ، وَيُبَاحُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْ يُخِلُّ بِالزَّوْجَةِ فِي الْوَطْءِ ، وَالْإِنْفَاقِ مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَيْهِ ، وَتَوَقَانِهِ إلَيْهِ ، وَيُكْرَهُ فِي حَقِّ مِثْلِ هَذَا حَيْثُ لَا إضْرَارَ بِالزَّوْجَةِ ، وَالْإِبَاحَةُ فِيمَا إذَا انْتَفَتْ الدَّوَاعِي وَالْمَوَانِعُ ، وَيُنْدَبُ فِي حَقِّ كُلِّ مَنْ يُرْجَى مِنْهُ النَّسْلُ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الْوَطْءِ شَهْوَةٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ } وَلِظَوَاهِرِ الْحَثِّ عَلَى النِّكَاحِ ، وَالْأَمْرِ بِهِ ،
Ibnu Daqiq Al-'Id menerangkan, bahwa sebagian ahli fikih ada yang berpendapat bahwa menikah hukumnya wajib bila seseorang takut berbuat zina jika ia tidak segera menikah dan ia sudah mampu menikah, namun tidak mampu membeli budak, sebagaimana yang disampaikan Al-Qurthubi, maka menikah hukumnya wajib bagi seseorang yang khawatir melakukan perbuatan zina bila tidak menikah. Menikah hukumnya bisa berubah menjadi haram bagi yang tidak mau memenuhi kebutuhan seksual terhadap istrinya dan tidak memberi nafkah kepadanya, sedangkan dia mampu memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Hukumnya menjadi makruh bila memenuhi kedua kebutuhan tersebut hanya sewaktu-waktu walaupun hal itu tidak membahayakan istrinya. Menikah hukumnya menjadi mubah apabila semua sebab dan larangan menikah tidak ada. Dan hukumnya sunnah bagi yang ingin memperbanyak keturunan, walaupun ia tidak begitu besar hasratnya untuk jima'; berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sungguh aku bangga dengan jumlah umatku yang banyak." serta adanya hadits-hadits yang menganjurkan dan menyuruh menikah.

وَقَوْلُهُ (فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ) إغْرَاءٌ بِلُزُومِ الصَّوْمِ، وَضَمِيرُ "عَلَيْهِ" يَعُودُ إلَى مَنْ هُوَ مُخَاطَبٌ فِي الْمَعْنَى، وَإِنَّمَا جُعِلَ الصَّوْمُ وِجَاءٌ لِأَنَّهُ بِتَقْلِيلِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ يَحْصُلُ لِلنَّفْسِ انْكِسَارٌ عَنْ الشَّهْوَةِ، وَلِسِرٍّ جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى فِي الصَّوْمِ فَلَا يَنْفَعُ تَقْلِيلُ الطَّعَامِ وَحْدَهُ مِنْ دُونِ صَوْمٍ،
Sabda Nabi, "hendaklah dia berpuasa," merupakan anjuran untuk memperbanyak puasa. Puasa dijadikan sebagai pengen-dali diri; karena dengan mengurangi makan dan minum bisa mengu-rangi nafsu syahwat, dan juga karena puasa merupakan perintah dari Allah Ta'ala yang mengandung banyak hikmah. Maka, menurut pemahaman ini tidak akan bermanfaat diet makan tanpa dilandasi niat berpuasa.

وَاسْتَدَلَّ بِهِ الْخَطَّابِيُّ عَلَى جَوَازِ التَّدَاوِي لِقَطْعِ الشَّهْوَةِ بِالْأَدْوِيَةِ ، وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي شَرْحِ السُّنَّةِ ، وَلَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يُحْمَلَ عَلَى دَوَاءٍ يُسَكِّنُ الشَّهْوَةَ ، وَلَا يَقْطَعُهَا بِالْأَصَالَةِ لِأَنَّهُ قَدْ يَقْوَى عَلَى وِجْدَانِ مُؤَنِ النِّكَاحِ بَلْ قَدْ وَعَدَ اللَّهُ مَنْ يَسْتَعِفُّ أَنْ يُغْنِيَهُ مِنْ فَضْلِهِ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْإِغْنَاءَ غَايَةً لِلِاسْتِعْفَافِ ، وَلِأَنَّهُمْ اتَّفَقُوا عَلَى مَنْعِ الْجَبِّ وَالْإِخْصَاءِ فَيَلْحَقُ بِذَلِكَ مَا فِي مَعْنَاهُ ،
Al-Khaththabi membolehkan berobat untuk menghilangkan nafsu syahwat. Al-Baghawi dalam kitab Syarh As-Sunnah menyebutkan, bahwa obat yang dimaksud [oleh Al-Khaththabi] adalah obat yang bisa menenangkan nafsu syahwat bukan menghilangkan selama-lamanya; sebab mungkin di lain hari dia mampu memenuhi kebutuhan keluar-ganya bila ingin menikah, karena Allah telah menjanjikan kekayaan bagi orang yang mampu memelihara dirinya dari hal-hal yang diharamkan; karena Allah menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama dari pengendalian diri. Para ulama telah bersepakat melarang memo-tong salah satu buah dzakar maupun keduanya, maka semua hal yang berkenaan dengan hal tersebut di atas dihukumi sama bila inti masalahnya sama.

وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى تَحْصِيلِ مَا يَغُضُّ بِهِ الْبَصَرَ، وَيُحْصِنُ الْفَرْجَ، وَفِيهِ أَنَّهُ لَا يَتَكَلَّفُ لِلنِّكَاحِ بِغَيْرِ الْمُمْكِنِ كَالِاسْتِدَانَةِ،
Hadits ini berisi anjuran untuk selalu mencari solusi yang bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan juga menerangkan, bahwa melakukan pernikahan tidak membebani seseorang dengan hal-hal yang tidak bisa dilakukan, apalagi sampai berhutang.

وَاسْتَدَلَّ بِهِ الْعِرَاقِيُّ عَلَى أَنَّ التَّشْرِيكَ فِي الْعِبَادَةِ لَا يَضُرُّ بِخِلَافِ الرِّيَاءِ لَكِنَّهُ يُقَالُ إنْ كَانَ الْمُشَرَّكُ عِبَادَةً كَالْمُشَرَّكِ فِيهِ فَلَا يَضُرُّ فَإِنَّهُ يَحْصُلُ بِالصَّوْمِ تَحْصِينُ الْفَرْجِ، وَغَضُّ الْبَصَرِ،
Maka, Al-‘Iraqi berhujjah bahwa puasa dengan niat pengendalian diri merupakan dasar hukum yang membolehkan ibadah dengan dua niat sekaligus, lain halnya beribadah karena riya', akan tetapi dia menambahkan, hal ini apabila amalan yang kedua adalah bentuk pelaksanaan ibadah yang pertama; karena dengan berpuasa akan membentengi diri dengan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.


وَأَمَّا تَشْرِيكُ الْمُبَاحِ كَمَا لَوْ دَخَلَ إلَى الصَّلَاةِ لِتَرْكِ خِطَابِ مَنْ يَحِلُّ خِطَابُهُ فَهُوَ مَحَلُّ نَظَرٍ يَحْتَمِلُ الْقِيَاسَ عَلَى مَا ذُكِرَ، وَيَحْتَمِلُ عَدَمَ صِحَّةِ الْقِيَاسِ نَعَمْ إنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ لِتَرْكِ الْخَوْضِ فِي الْبَاطِلِ أَوْ الْغِيبَةِ، وَسَمَاعِهَا كَانَ مَقْصِدًا صَحِيحًا.
Sedangkan menggabungkan niat pada amalan mubah seperti seorang yang melaksanakan shalat sekedar memenuhi panggilan, hal ini masih diperdebatkan: mungkinkah diqiyaskan dengan hal tersebut di atas? Tetapi kemungkinan qiyasnya tidak sah. Jika seorang yang melaksanakan shalat berniat meninggalkan perbuatan batil atau ghibah; maka hal ini sah menjadi tujuan didirikannya shalat.

وَاسْتَدَلَّ بِهِ بَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ عَلَى تَحْرِيمِ الِاسْتِمْنَاءِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مُبَاحًا لَأَرْشَدَ إلَيْهِ لِأَنَّهُ أَسْهَلُ ، وَقَدْ أَبَاحَ الِاسْتِمْنَاءُ بَعْضُ الْحَنَابِلَةِ ، وَبَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ .
Sebagian pengikut madzhab Maliki menjadikan hadits ini sebagai dalil yang mengharamkan onani; sebab jika dibolehkan tentu akan diberitahu [diterangkan], karena onani merupakan cara termudah bagi yang belum mampu menikah. Sebagian pengikut madzhab Ahmad dan Hanafi membolehkan onani.

900 - وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ، وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي ، وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
900. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau bersabda, "Tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, berbuka dan menikah. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk umatku." (Muttafaq Alaih) [shahih, Al-Bukhari (5063), Muslim (1401)]

هَذَا اللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ ، وَلِلْحَدِيثِ سَبَبٌ ، وَهُوَ أَنَّهُ قَالَ أَنَسٌ { جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا : أَيْنَ نَحْنُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ، وَمَا تَأَخَّرَ
Lafazh hadits ini yang terdapat pada Shahih Muslim. Hadits Ini mempunyai sebab yaitu, ada tiga orang laki-laki datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau, ketika diceritakan kepada mereka, maka mereka seakan-akan bertanya-tanya lalu berkata, "Di mana kedudukan kami dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam? Padahal beliau telah diampuni segala dosa yang telah lampau dan yang akan datang!

فَقَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : وَأَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ.
Maka salah seorang di antara mereka berkata, "Adapun saya akan melaksanakan shalat malam terus-menerus." Orang kedua berkata, "Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Orang ketiga berkata, "Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah."

فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَيْهِمْ فَقَالَ: أَنْتُمْ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاَللَّهِ إنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، وَلَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ -الْحَدِيثَ}،
Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang kepada mereka, lalu berkata, "Kalian telah berkata begini dan begitu. Perhatikanlah, sesungguhnya, demi Allah, saya adalah orang yang paling takut kepada Allah, akan tetapi saya shalat..."

وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمَشْرُوعَ هُوَ الِاقْتِصَادُ فِي الْعِبَادَاتِ دُونَ الِانْهِمَاكِ وَالْإِضْرَارِ بِالنَّفْسِ ، وَهَجْرِ الْمَأْلُوفَاتِ كُلِّهَا ،
Hadits ini merupakan dalil bahwa yang disyari'atkan dalam agama adalah tidak berlebih-lebihan dalam beribadah hingga menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang dibolehkan.

وَأَنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ الْمُحَمَّدِيَّةَ مَبْنِيَّةٌ شَرِيعَتُهَا عَلَى الِاقْتِصَادِ وَالتَّسْهِيلِ وَالتَّيْسِيرِ وَعَدَمِ التَّعْسِيرِ { يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }
Bukankah agama Islam didirikan di atas asas kemudahan dan tidak berlebih-lebihan, serta tidak menyusahkan diri? Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta'ala, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185)

قَالَ الطَّبَرِيُّ فِي الْحَدِيثِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ مَنَعَ اسْتِعْمَالَ الْحَلَالِ مِنْ الطَّيِّبَاتِ مَأْكَلًا وَمَلْبَسًا
Ath-Thabari berkata, "Hadits ini merupakan bantahan terhadap siapa saja yang melarang untuk menikmati apa-apa yang dihalalkan, baik dari jenis pakaian maupun makanan.



قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ هَذَا مِمَّا اخْتَلَفَ فِيهِ السَّلَفُ فَمِنْهُمْ مَنْ ذَهَبَ إلَى مَا قَالَهُ الطَّبَرِيُّ ، وَمِنْهُمْ مِنْ عَكَسَ ، وَاسْتَدَلَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمْ الدُّنْيَا} قَالَ : وَالْحَقُّ أَنَّ الْآيَةَ فِي الْكُفَّارِ ،
Al-Qadhi Iyadh berkata, "Hal inilah yang menjadi perselisihan ulama terdahulu. Ada di antara mereka yang sependapat dengan Ath-Thabari dan ada juga yang tidak sependapat dengan merujuk kepada firman Allah Ta'ala, "Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja)." (QS. Al-Ahqaf: 20)
lalu dia berkomentar, bahwa ayat yang dijadikan sebagai dasar hukum tersebut sebetulnya diperuntukkan bagi orang-orang kafir."


وَقَدْ أَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْأَمْرَيْنِ ، وَالْأَوْلَى التَّوَسُّطُ فِي الْأُمُورِ ، وَعَدَمُ الْإِفْرَاطِ فِي مُلَازَمَةِ الطَّيِّبَاتِ فَإِنَّهُ يُؤَدِّي إلَى التَّرَفُّهِ وَالْبَطَرِ ، وَلَا يَأْمَنُ مِنْ الْوُقُوعِ فِي الشُّبُهَاتِ فَإِنَّ مَنْ اعْتَادَ ذَلِكَ قَدْ لَا يَجِدُهُ أَحْيَانًا فَلَا يَسْتَطِيعُ الصَّبْرَ عَنْهُ فَيَقَعُ فِي الْمَحْظُورِ كَمَا أَنَّ مَنْ مَنَعَ مِنْ تَنَاوُلِ ذَلِكَ أَحْيَانًا قَدْ يُفْضِي بِهِ إلَى التَّنَطُّعِ ،
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menempatkan diri di antara kedua perkara itu, yaitu bersikap pertengahan [tengah-tengah] dalam segala perkara dan tidak berlebih-lebihan memanfaatkan yang baik-baik, karena hal itu akan mendorong untuk hidup bermewah-mewahan dan sombong yang menjerumuskan pada hal-hal syubhat. Sebab, siapa saja yang terbiasa dengan hal-hal tersebut lalu di lain waktu tidak menikmatinya lagi; maka dia tidak bisa bersabar hingga menyebabkannya terjerumus pada hal-hal yang dilarang dalam agama.

وَهُوَ التَّكَلُّفُ الْمُؤَدِّي إلَى الْخُرُوجِ عَنْ السُّنَّةِ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ ، وَيَرُدُّ عَلَيْهِ صَرِيحُ قَوْله تَعَالَى { قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنْ الرِّزْقِ }
Demikian juga, bagi yang melarang [menahan] dirinya untuk menikmati apa-apa yang dihalalkan Allah dengan membebani diri yang menjerumuskannya pada perbuatan yang keluar dari syari'at Islam. Perbuatan seperti ini dilarang, berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik." (QS. Al-A'raf: 32)

كَمَا أَنَّ الْأَخْذَ بِالتَّشْدِيدِ فِي الْعِبَادَةِ يُؤَدِّي إلَى الْمَلَلِ الْقَاطِعِ لِأَصْلِهَا ، وَمُلَازَمَةِ الِاقْتِصَارِ عَلَى الْفَرَائِضِ مَثَلًا ، وَتَرْكُ النَّفْلِ يُفْضِي إلَى الْبَطَالَةِ ، وَعَدَمِ النَّشَاطِ إلَى الْعِبَادَةِ وَخِيَارُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا ،
Sebagaimana orang yang berlebih-lebihan dalam melaksanakan ibadah akan menimbulkan kejenuhan dan kemalasan, demikian juga bila seorang yang hanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib saja dan meninggalkan ibadah-ibadah sunnah, akan menyebabkannya malas dan tidak bersemangat dalam beribadah. Sebaik-baik perkara adalah pertengahan [tidak kurang dan tidak juga berlebihan].

وَأَرَادَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْلِهِ { فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي } عَنْ طَرِيقَتِي فَلَيْسَ مِنِّي " أَيْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الْحَنَفِيَّةِ السَّهْلَةِ
Maksud dari sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Siapa yang membenci sunnahku" (yakni ajaranku) "ia tidak termasuk umatku" yakni tidak termasuk golongan umat lurus yang menjalankan syariat Islam dengan benar.

بَلْ الَّذِي يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ أَنْ يُفْطِرَ لِيَقْوَى عَلَى الصَّوْمِ وَيَنَامَ لِيَقْوَى عَلَى الْقِيَامَ ، وَيَنْكِحَ النِّسَاءَ لِيُعِفَّ نَظَرَهُ وَفَرْجَهُ ،
Bukankah yang terbaik bagi orang yang berpuasa agar berbuka sehingga akan kuat berpuasa lagi? Tidur [istirahat] untuk mengembalikan stamina tubuh? Dan menikah untuk memelihara pandangan dan kemaluannya?

وَقِيلَ : إنْ أَرَادَ مَنْ خَالَفَ هَدْيَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَطَرِيقَتَهُ أَنَّ الَّذِي أَتَى بِهِ مِنْ الْعِبَادَةِ أَرْجَحُ مِمَّا كَانَ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَعْنَى لَيْسَ مِنِّي أَيْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ مِلَّتِي لِأَنَّ اعْتِقَادَ ذَلِكَ يُؤَدِّي إلَى الْكُفْرِ .
Ada juga yang berpendapat, bahwa maksud dari sabda Nabi adalah siapa saja menyalahi tuntunan dan ajaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bukankah orang yang melaksanakan ibadah sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi lebih benar? Dan maksud dari sabda, "tidak termasuk umatku" yaitu tidak termasuk umat agama ini; karena keyakinan seperti itu bisa membawa kepada kekafiran.

(Muhammad ibn Isma’il ibn Shilah ibn Muhammad Al-Hasaniy Al-Kahlaniy kemudian Ash-Shan’aniy Abu Ibrahim ‘Izzuddin [w. 1182 H], Subulus Salaam syarh Bulugh al-Maraam: Kitab an-Nikaah, III: 149-151; Kairo: Dar el-Hadits, 2007 M/ 1428 H)

by Bidang Pendidikan PC Pemuda Persis Pangalengan.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama