4 SYARAT DO'A BERKEKUATAN DIKABULKAN

 

Doa (اَلدُّعَاءُ, ad-du’âu) menurut bahasa artinya permohonan (الطَّلَبُ, ath-thalabu).[1] Adapun doa menurut istilah artinya: “Permohonan manusia kepada Tuhannya yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.”[2]

            Pada KBBI pun dijelaskan bahwa doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. (KBBI online, diakses pada Kamis, 23 Juli 2020 Pukul 1.32 WIB)

            Ash-Shan’ani menjelaskan bahwa sebagian ulama berpendapat tentang makna doa adalah dorongan untuk melakukan sesuatu. Ketahuilah bahwa doa adalah berdzikir kepada Allah, bahkan lebih dari itu. Semua hadis yang berkaitan dengan keutamaan dzikir mengisyaratkan kepada makna ini.[3]

Allah Ta'ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya.

...ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ....

"… Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu …." (QS. Ghafir: 60)[4]

            Al-Hafidz Ibnu Katsir terkait ayat tersebut menjelaskan bahwa ini merupakan sebagian dari karunia dan kemurahan Allah Swt. Dia menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya dan Dia menjamin akan memperkenankan permintaan mereka.[5]

            Nu’man bin Basyir ra. ia berkata: “Aku mendengar Nabi Saw. bersabda: ‘Doa adalah ibadah’, kemudian beliau Saw. membacakan ayat: ‘Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’.” (HR. At-Tirmidzi)[6]

            Rasulullah Saw. bahkan mengancam seseorang yang tidak pernah berdoa. ‘Barang siapa yang tidak pernah berdoa kepada Allah Swt., Allah murka terhadapnya’.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.)[7]

            Syaikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa doa itu mencakup doa ibadah dan doa permintaan. Doa ibadah diijabah saat ibadah tersebut diterima, sedangkan doa permintaan diijabah saat manusia dikarunia apa yang ia panjatkan. Hal tersebut adalah janji Allah, akan tetapi dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Ikhlas, yakni bebas dari syirik, riya, dan sum’ah. Firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ... .

“Katakanlah. Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap salat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya….” (QS. Al-A’raf: 29)[8]

Al-Hafidz Ibnu Katsir terkait ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk ikhlas dalam beribadah hanya untuk-Nya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, melainkan apabila di dalam amal itu terhimpun dua rukun berikut, yaitu hendaknya amal dikerjakan secara benar lagi sesuai dengan tuntunan syariat, dan hendaknya amal dikerjakan dengan ikhlas karena Allah dan bersih dari syirik.[9] Demikian pula tentunya dalam berdoa karena doa adalah ibadah.

Syaikh Al-Utsaimin menjelaskan ikhlas dalam berdoa ini yaitu beribadah dengan tidak riya (ingin dilihat manusia) dan sum’ah (ingin didengar manusia), berdoalah kepada Allah dengan perasaan bahwa kita membutuhkan-Nya, Dia tidak membutuhkan kita, dan Dia Maha Kuasa untuk mengabulkan apa yang manusia pinta.[10]

2.      Doa yang dipanjatkan tidak bertentangan dengan syariat. Allah Swt. berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِين.

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. 7 : 55)[11]

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa melampaui batas dalam berdoa yakni dengan cara-cara yang berlebih-lebihan dan meninggikan suara. Doa yang tidak berpahala dan tidak diridhai oleh Allah Swt. terkait apa dipanjatkan.[12]

3.      Keyakinan penuh bahwa doa yang dipanjatkan akan diijabah oleh Allah Swt.

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: ‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan,dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai’.” (HR. At-Tirmidz)[13]

Syaikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa sebagian orang berdoa untuk menguji apakah doanya mustajab ataukah tidak. Perbuatan demikian tidaklah diperbolehkan, maka berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan diijabah karena Allah-lah yang akan menguji manusia (bukan sebaliknya). Jika manusia berdoa kepada Allah dalam keadaan ragu, maka Allah pun tidak akan mengabulkannya.[14]

4.      Menjauhi berbagai hal yang diharamkan oleh Allah Swt.[15]

Rasulullah Saw. bersabda. ‘Sesungguhnya Allah itu Maha baik dan tidak menerima, kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum Mukminin dengan perintah yang Allah gunakan untuk memerintahkan para rasul. Maka Allah berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah segala sesuatu yang baik dan beramal shalihlah (QS. Al-Mukminun: 41).’ Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah segala sesuatu yang baik, yang telah kami berikan kepada kalian (QS. Al-Baqarah: 172).’ Kemudian Rasulullah menyebutkan tentang seseorang yang melakukan perjalanan panjang, kusut rambutnya, kemudian mengangkat tangannya dan mengatakan: ‘Wahai Rabb-ku, Wahai Rabb-ku’, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, perutnya diisi dengan sesuatu yang haram, maka bagaimana Kami mengabulkan doanya?’.” (HR Muslim).[16]

Syaikh Muhammad bin Salih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa jika seseorang memakan riba, memanfaatkan hasil penipuan, berdusta, atau yang sejenisnya, maka doanya tidak akan diijabah.[17]

Demikianlah empat di antara syarat-syarat agar doa-doa yang dipanjatkan mampu memiliki kekuatan untuk diijabah oleh Allah Swt. sehingga berakibat baik terhadap kehidupan di dunia maupun di akhirat. Wallaahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Ali bin Muhammad Ali Al-Jurjani, At-Ta’rifat, Beirut: Dar el-Kutub al-Arabi, Cet.Ke-1: 1405 H.

2.      Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syarh Riyadl ash-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-2: 2015 M/ 1436 H.

3.      KBBI versi online, diakses pada Kamis, 23 Juli 2020 Pukul 1.32 WIB.

4.      Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam syarh Bulughul Maram min Jam’i Adillatil Ahkam, Kairo: Dar el-Hadith, 2007 M/ 1428 H.

5.      Kemenag RI, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, Bandung: Sygma Publishing, Cet. Ke-1, Oktober 2010.

6.      Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, Beirut: Dar el-Fikr, 2011M/ 1433H.

7.      Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Beirut: Dar el-Fikr, 2009 M/ 1430 H.

8.      Muhammad bin Yazib ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-1: 2017 M/ 1439 H.

9.      Wahbah bin Mushthafa Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, Beirut: Dar el-Fikr, 1418 H.

10.  Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut: Dar el-Jail, tt.



[1] Ali bin Muhammad Ali Al-Jurjani, At-Ta’rifat, hlm. 139, Beirut: Dar el-Kutub al-Arabi, Cet.Ke-1: 1405H.

[2] Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syarh Riyadl ash-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, jilid IV hlm. 52, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-2: 2015 M/ 1436 H.

[3] Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam syarh Bulughul Maram min Jam’i Adillatil Ahkam, jilid 4 hlm. 284, Kairo: Dar el-Hadith, 2007 M/ 1428 H.

[4] Kemenag RI, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, hlm. 945, Bandung: Sygma Publishing, Cet. Ke-1, Oktober 2010.

[5] Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, jilid IV hlm.1644, Beirut: Dar el-Fikr, 2011M/ 1433H.

[6] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, V: 244 hadis no. 3383, Beirut: Dar el-Fikr, 2009 M/ 1430 H.

[7] Muhammad bin Yazib ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, hlm. 420 hadis no. 3827, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-1: 2017 M/ 1439 H.

[8] Kemenag RI, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, hlm. 303, Bandung: Sygma Publishing, Cet. Ke-1, Oktober 2010.

[9] Al-Hafidz Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, jilid II hlm. 726, Beirut: Dar el-Fikr, 2011M/ 1433H.

[10] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Riyadl ash-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, jilid IV hlm. 52-53, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-2: 2015 M/ 1436 H.

[11] Kemenag RI, Syaamil Al-Qur’an Miracle The Reference, hlm. 311, Bandung: Sygma Publishing, Cet. Ke-1, Oktober 2010.

[12] Wahbah bin Mushthafa Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, jilid VIII hlm. 238, Beirut: Dar el-Fikr, 1418 H.

[13] Muhammad bin Isa At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, V: 292 hadis no. 3490, Beirut: Dar el-Fikr, 2009 M/ 1430 H.

[14] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Riyadl ash-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, jilid IV hlm. 53, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-2: 2015 M/ 1436 H.

[15] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Riyadl ash-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, jilid IV hlm. 52-53, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-2: 2015 M/ 1436 H.

[16] Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, jilid III hlm. 85 hadis no. 2393, Beirut: Dar el-Jail, tt.

[17] Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarh Riyadl ash-Shalihin min Kalam Sayyid al-Mursalin, jilid IV hlm. 53, Kairo: Dar al-‘Alamiyyah, Cet. Ke-2: 2015 M/ 1436 H.


Wallaahu A'lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama