JABATAN BUKAN KEBANGGAAN, IA PENYESALAN DI HARI KEMUDIAN

A.     JABATAN BUKAN KEBANGGAAN

Sesungguhnya saat predikat baru disandang, saat itulah kita harus lebih eling dan waspada pada amanat dan tanggung jawab yang diemban, bukan malah bergembira dan berbangga. Beberapa tahun ke depan penyandang predikat sepanjang hayatnya mempunyai tugas berat untuk secara sungguh-sungguh, penuh tanggung jawab, dan penuh integritas bekerja keras agar marwah predikat tersebut tetap ada dan dia memang layak menyandangnya. KH. E. Abdurrahman berpesan bahwa pemimpin mesti dapat menjaga husnudzdzan (baik sangka)-nya anggota kepadanya.

 

Kepemimpinan bukan kebanggaan, tetapi tugas yang menjadi sebuah tanggung jawab moral di hadapan organisasi, terutama di hadapan Allah Ta’ala.

 

 Saat Abu Dzar radhiya-Llahu ‘anhu meminta jabatan kepada Nabi SAW, dengan penuh kasih sayang baginda SAW mengingatkan, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu lemah. Sedangkan jabatan itu amanah. Jabatan itu kelak pada Hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan sebenar-benarnya, serta ditunaikan dengan sebaik-baiknya.” [HR Muslim]

 

Begitulah, Nabi SAW mengajarkan filosofi jabatan sebagai amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan dan penuh penyesalan. Jabatan bukanlah hak, kebanggaan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika filosofi ini dipegang kuat-kuat dan dilaksanakan dengan baik oleh pemegang amanah, maka dia akan selamat. Jauh sebelum menerima amanah, dia pun akan mengukur dirinya, layakkah dia? Jika dia merasa tidak layak, atau ada yang lain yang lebih layak, dia pun tidak akan menerimanya. Karena dia tahu itu bukanlah kebanggaan dan kemuliaan.

 

‘Umar bin al-Khatthab pun murka, saat sebagian sahabat memintanya untuk mencalonkan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar sebagai khalifah penggantinya. “Celakalah kamu! Tidak ada dari keluargaku yang ingin aku libatkan… Cukuplah dari keluarga ‘Umar satu orang yang dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan umat Muhammad SAW. Saya sudah banting tulang dan meninggalkan keluargaku, kalau selamat dengan hidup ala kadarnya, tanpa beban dan imbalan pun rasanya sudah bahagia.” [Ibn al-Atsir,al-Kamil fi at-Tarikh, II/219-220].

 

Begitulah, jika seorang pemimpin memahami filosofi kekuasaannya bukan sebagai kehormatan, tetapi kehinaan. Karena itu, dia tidak akan pernah lalai sedikit pun terhadap urusan rakyatnya. Ketika ‘Umar bin al-Khatthab mendengar ‘Utsman bin al-‘Ash telah membawa rombongan orang mengarungi lautan, maka beliau berkomentar, “Dia membawa mereka, sementara antara mereka dengan laut itu hanya ada papan? Demi Allah, kalau sampai mereka celaka, aku akan tuntut diat mereka dari Tsaqif.” Bagi ‘Umar, tindakan ‘Utsman ini bentuk kelalaian, karena membawa rombongan naik perahu [kapal] yang tidak layak jalan.

 

Jangankan nyawa muslim, yang oleh Nabi SAW disebut lebih berharga ketimbang hancurnya Ka’bah, bahkan terhadap hewan yang terperosok, ‘Umar pun takut kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Dari Salim bin ‘Abdillah, bahwa ‘Umar pernah memasukkan tangannya ke dubur unta, untuk memeriksanya, seraya berkata, “Aku sungguh sangat takut kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang menimpamu?” [as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, hal. 110]

 

Ketika filosofi jabatan itu tak lagi menjadi amanah, tanggung jawab, kewajiban, kehinaan dan penyesalan, justru jabatan telah dijadikan keuntungan, kehormatan dan segudang kemewahan, yang terjadi adalah seperti saat ini. Orang bodoh nan lemah yang tak layak menjabat berebut jabatan. Negara dan rakyat pun menjadi korban. Darah tumpah di mana-mana. Kekayaan dijarah tak tersisa. 

 

B.     JABATAN SEBAGAI PENYESALAN DI HARI KEMUDIAN

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإمَارَةِ ، وَسَتَكونُ نَدَامَةً يَوْمَ القِيَامَة

Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (HR. Bukhari no. 7148).

 

Imam Nawawi membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang mendesak untuk itu.”

 

Sedangkan Imam Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam Bab “Terlarang tamak pada kekuasaan.”

 

Kata Imam Ibnu Batthol bahwa ketamakan manusia pada kepemimpinan begitu nyata. Itulah yang membuat adanya pertumpahan darah, menginjak kehormatan yang lain, terjadinya kerusakan sampai kekuasaan itu diraih. Gara-gara rakusnya pada kekuasaan inilah yang membuat keadaan menjadi jelek. Karena merebut kekuasaan terjadi pembunuhan, saling meninggalkan, saling merendahkan, atau mati karenanya, itulah yang menjadi penyesalan pada hari kiamat. (Syarh Al Bukhari karya Ibnu Batthol).

 

Badaruddin Al ‘Aini, penulis kitab ‘Umdatul Qori berkata, “Siapa saja yang tamak pada kekuasaan, maka umumnya ia tidak bisa menjalankan amanah dengan baik.”

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Jabatan akan menjadi penyesalan di hari kemudian karena beratnya pertanggungjawaban di hadapan Allah Ta’ala. Rasulullah Saw. sampai mendo’akan:

 

“Aisyah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan dirumahku ini:

 

اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ.

Artinya: “Wahai Allah Barangsiapa yang menjadi pengatur apapun dari perkara umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka sulitkanlah ia dan barangsiapa yang menjadi pengatur apapun dari perkara umatku, lalu ia bersikap lemah lembut dengan mereka maka kasihanilah ia.” HR. Muslim.

 

Sungguh berat beban seorang pemimpin. Sebab, pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia yang fana ini, melainkan juga akhirat kelak.

 

Oleh karena itu, sifat amanah harus melekat pada dirinya. Allah SWT menebar ancaman kepada para pemimpin yang berbuat zalim kepada rakyat atau orang yang dipimpinnya.

 

“Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka” (HR Ahmad). Demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Allah mengancam orang yang semena-mena.

 

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih” (QS asy-Syura: 42).

 

Seorang pemimpin yang zalim akan merasakan akibatnya pada Hari Pembalasan. “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).

 

Rasulullah SAW berpesan agar kaum Muslimin mematuhi pemimpin (ulil amri) dari kalangan mereka, selama pemimpin itu tidak menyuruh bermaksiat kepada Allah.

 

Jika rakyat diperintahkan untuk maksiat, maka hilanglah kewajiban untuk taat.

 

“Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf,” sabda beliau, seperti diriwayatkan Imam Bukhari. Maka, pemimpin yang zalim akan cenderung dijauhi orang-orang yang masih berpegang teguh pada kebenaran.

 

Inilah pentingnya nasihat atau kritik. Kalangan ulama atau orang-orang berilmu dapat mengingatkan penguasa agar tetap amanah dan tak salah arah. Ujaran pun disampaikan dengan tegas, tetapi baik dan sopan. Tidak kemudian dibumbui niat ingin mempermalukan penguasa.

 

C.      MEMBANGUN OBSESI MENJADIKAN JABATAN SEBAGAI “BAHAN NAUNGAN”

Rasulullah Saw. bersabda,


تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ، حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ، فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِي الْعَرَقِ، فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا. صحيح مسلم

"Pada hari kiamat, matahari didekatkan ke manusia hingga sebatas satu mil. Lalu mereka bercucuran keringat sesuai amal perbuatan mereka. Di antara mereka ada yang berkeringat hingga tumitnya, ada yang berkeringat hingga lututnya, ada yang berkeringat hingga pinggang dan ada yang benar-benar tenggelam oleh keringat," (Hadits riwayat Muslim).

 

Akan tetapi di padang mahsyar kelak ada orang-orang yang akan berbahagia karena dinaungi oleh naungan Arsy Allah. Mereka akan dinaungi yang mana tidak ada naungan pada hari itu kecuali naungan Arsy Allah.

 

Mengenai mereka yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat. Yang dimaksudkan naungan di sini adalah naungan ‘Arsy Allah sebagaimana dikuatkan riwayatnya oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (2: 144).

 

Hadits lengkapnya berbunyi sebagai berikut.

 

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:

 

اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ

(1) imam yang adil,

 

وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ

(2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,

 

وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ

(3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,

 

وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

(4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,

 

وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ

(5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allâh.’

 

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ

(6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta

 

وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari, no. 1423 dan Muslim, no. 1031)

 

Pertama yang akan mendapatkan naungan Allah adalah pemimpin yang adil. Pemimpin ini bersikap adil. Dalam hal amanat ia benar-benar mengembannya dengan baik, tidak melampaui batas dan tidak meremehkan. Keadilannya tidak beralih pada harta dan tidak beralih pada kesenangan dunia. Itulah pemimpin yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat.

 

Keadilan seorang imam yaitu dengan menegakkan kalimat Tauhid di muka bumi dan menyingkirkan segala perbuatan syirik, dan melaksanakan hukum-hukum Allâh Azza wa Jalla , sebab kezhaliman yang paling zhalim adalah perbuatan menyekutukan Allâh padahal Allâh-lah yang menciptakannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 

 إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“… Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang paling besar.” [Luqmân/31:13]

 

Karena tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

 

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah hanya kepada-Ku. [Adz-Dzâriyât/51:56]

 

Penyebutan pertama imam atau pemimpin yang adil ini bukan tanpa makna. Penyebutan pertama imam atau pemimpin yang adil menunjukkan betapa pentingnya keadilan imam atau pemimpin. Peyebutan pertama imam atau pemimpin yang adil menandai nilai kehadirannya di tengah masyarakat karena berurusan dengan kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak, terutama sebagai pihak yang paling pertama memenuhi kelompok dhuafa dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan haknya.


وبدأ بالشخص العادل لأن حياته له وللناس فإن الحاكم العادل هو الكاسر لشوكة الظلمة والمجرمين وهو سند الضعفاء والمساكين وبه ينتظم أمر الناس فيأمنون على أرواحهم وأموالهم وأعراضهم 

 “Allah mengawali tujuh kelompok dengan menyebut ‘orang yang adil’ terlebih dahulu karena kehidupannya itu menyangkut dirinya dan nasib orang banyak. Pemerintah yang adil ini adalah ia yang mematahkan ‘duri’ orang-orang zalim dan pelaku kriminal. Ia adalah sandaran kaum dhuafa dan orang-orang miskin. Dengan kehadiran pemerintah yang adil, urusan publik terselesaikan sehingga mereka merasa aman dan terjamin jiwa, harta, dan nama baiknya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 256). 

 

Imam yang Adil disebutkan yang paling pertama akan mendapatkan naungan dari Allah karena dia yang paling bermanfaat bagi banyak orang (Fathul Bari 2/145). Ibnu Taimiyah mengatakan,

 

فَإِذَا اجْتَهَدَ الرَّاعِي فِي إصْلَاحِ دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ بِحَسَبِ الْإِمْكَانِ كَانَ مِنْ أَفْضَلِ أَهْلِ زَمَانِهِ وَكَانَ مِنْ أَفْضَلِ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Maka jika pemimpin bersungguh-sungguh dalam memperbaiki agama rakyat dan dunia mereka semaksimal mungkin maka ia adalah orang yang terbaik di zamannya, dan ia adalah mujahid terbaik di jalan Allah” (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 28/262)

 

Sebaliknya jika seorang Imam tersebut adalah Imam yang tidak adil maka musibah bagi dirinya karena akan banyak yang menuntutnya kelak di hari kiamat.

 

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Imam atau penguasa di sini bukan hanya penguasa dalam lingkup kenegaraan saja. Makna penguasa dalam hadits tersebut lebih umum termasuk di dalamnya orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam lingkup yang kecil (Fathul Bari 2/144-145).

 

Contoh, menteri misalnya atau gubernur, bupati, wali kota, lurah dan selainnya bahkan seorang suami juga termasuk di dalamnya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah dalam hadits yang lain,

 

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِندَ اللهِ عَلَى مَنَابِرَ مِن نورٍ… الذِّينَ يَعدِلُونَ فِي حُكمِهِم وَأَهلِيهِم وَمَا وُلُّو

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil disisi Allah akan berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya… mereka-mereka adalah orang-orang yang berbuat adil dalam hukum mereka, berbuat adil dalam keluarga mereka dan apa saja yang ada di bawah urusan mereka”. (HR. Muslim no. 1827)

 

Maka siapa saja yang memiliki kekuasaan, berusahalah berhukum dengan seadil-adilnya karena jika mampu berbuat adil maka ia akan menjadi golongan pertama yang akan mendapatkan naungan dari Allah .

 

Berbagai sumber, Wallaahu A’lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.

 

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama