KRITERIA PEMIMPIN PILIHAN

 

gambar: www.didikanislamic.my.id

1.      Hukum Memilih Pemimpin

Dalam Surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT menyuruh kita untuk taat kepada pemimpin (ulil amri),

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ.

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian.” (QS An-Nisa [4]: 59).

Ayat ini menjelaskan, menaati ulil amri hukumya adalah wajib. Ulil amri adalah orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk ulil amri yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah atau  yang menyuruh kepada kemaksiatan. Pemimpin yang bersifat seperti ini tidak wajib ditaati.

Akan tetapi, yang ingin kita jelaskan dari teks ayat tersebut adalah adanya kewajiban untuk menaati pemimpin. Kalau menaati pemimpin hukumnya wajib, maka memilih atau mengangkat pemimpin hukumnya pun wajib.

Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fikih yang artinya: “Segala  sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan“

Memilih pemimpin hukumnya adalah wajib, Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ.

Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)

Ditinjau dari ilmu Ushul Fiqih, Mafhum muwafaqoh (“pemahaman apalagi”) dari hadis tersebut adalah bahwa bepergian saja wajib mengangkat pemimpin perjalanan (amir safar), apalagi dalam hal bermasyarakat mulai dari memilih Ketua RT sampai dengan memilih presiden.

 

2.      Kriteria-kriteria Pemimpin yang Dipilih

Diantara kriteria pemimpin yang dipilih dalam Islam adalah:

1)      Calon pemimpin meneladani sifat-sifat Rasulullah saw. sebagai pemimpin.

لَقَدْ كانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

            Rasulullah saw. sebagai pemimpin wajib memiliki sifat shiddiq (jujur), tabligh (menyampaikan -kebenaran-), Amanah (terpercaya -tidak khianat-), dan fathanah (cerdas -berilmu-); maka empat sifat ini wajib pula dimiliki oleh calon pemimpin yang hendak dipilih.

2)      Calon pemimpin bukanlah seseorang yang meminta jabatan dan bukan pula yang ambisius terhadap kekuasaan.

Sabda Nabi saw., “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3)      Calon pemimpin adalah sosok yang dicintai oleh masyarakatnya.

Sabda Nabi saw., “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk kalian.” (HR. Muslim)

 

4)      Memilih pemimpin yang kuat kemampuan ilmu dan praktek kepemimpinannya.

Nabi SAW juga mewanti-wanti agar umat Islam tidak memilih pemimin yang lemah, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.” (HR. Muslim)

Mampu (kuat) dan amanah. Dua sifat ini sangat penting ada di seorang pemimpin. Karena kita diharuskan memilih pemimpin yang baik, dan orang (pemimpin) yang baik adalah orang yang punya dua sifat dasar pemimpin yaitu amanah dan mampu bekerja. Sebagaimana diterangkan pada ayat Al Quran berikut ini:

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ.

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash: 26)

5)      Calon pemimpin yang siap dan terbukti berbuat adil

Adil adalah sifat yang diturunkan dari amanah. Jika pemimpin bersifat amanah, maka pasti akan punya sifat adil untuk menerapkan hukum sesuai syariat dan tidak memihak. Keadilan adalah suatu hal yang sangat penting untuk mensejahterakan rakyat. Jika pemimpin memiliki sifat adil, maka tidak akan ada kerusuhan, kekacauan, dan keberpihakan pada salah satu golongan tertentu yang membuat seluruh umat sengsara.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)

6)      Calon pemimpin adalah muslim, bukan orang kafir

لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ.

“Janganlah  orang-orang  mukmin  mengambil  orang-orang  kafir  menjadi  WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS:  Ali Imron [3]: 28)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:  An Nisa’ [4]: 144)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ.

“Hai   orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil  orang-orang  yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).  Dan  bertakwalah kepada Allah  jika  kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS:  Al-Ma’aidah [5]: 57)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu   menjadi   WALI   (pemimpin/pelindung)   jika   mereka   lebih   mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)

7)      Calon pemimpin bukan sahabat atau loyalis orang kafir

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS:  Al Mujaadalah [58] : 22)

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً. الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً.

“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)

            Nabi saw. menegaskan bahwa agama seseorang itu tergantung kepada agama temannya. Dalam konteks memilih calon pemimpin, maka perhatikanlah dengan siapa calon pemimpin itu berteman, loyal, bersahabat, dan berkasih sayang.

Adapun diantara sahabat dan loyalis orang kafir adalah:

a.      Syi’ah

Kelompok ini dikategorikan sahabat dan loyalis orang kafir karena para ulama ahlussunnah wal jama’ah mengkategorikan sebagian dari mereka sebagai orang kafir dan sebagian dari mereka orang-orang syi’ah itu dikategorikan munafik.

Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya, “Kami sangat butuh penjelasan mengenai beberapa kelompok Syi’ah. Kami mohon bisa dijelaskan mengenai aqidah mereka?”

Jawaban beliau rahimahullah,

Perlu diketahui bahwa Syi’ah terdiri dari berbagai macam kelompok, tidak bisa kita menjabarkan satu per satu di waktu yang singkat ini.

Ringkasnya, di antara mereka ada yang kafir, yaitu yang menyembah ‘Ali (bin Abi Tholib) dan mereka menyembah ‘Ali. Ada juga di antara mereka yang menyembah Fatimah, Husain dan selainnya. Di antara kelompok Syi’ah ada yang berpendapat bahwa Jibril ‘alaihis salam telah berkhianat. Kata mereka, seharusnya kenabian diserahkan kepada ‘Ali dan bukan pada Muhammad. Ada juga kelompok yang disebut Imamiyyah atau dikenal dengan Rafidhah Itsna ‘Asyariyah, yaitu ‘ubad ‘Ali, di mana mereka berkata bahwa imam mereka lebih mulia dari para malaikat dan para nabi.

Syi’ah memiliki golongan yang banyak, ada yang kafir dan ada yang tidak kafir. Golongan yang kesesatannya tidak separah lainnya yaitu yang mengatakan bahwa ‘Ali lebih utama dari Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman. Keyakinan seperti ini jelas keliru dan telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para sahabat). Akan tetapi, golongan ini tidaklah kafir. Intinya, kesesatan kelompok Syi’ah bertingkat-tingkat. Siapa saja yang ingin mengetahui secara jelas tentang mereka, silakan merujuk pada kalam para ulama semisal dalam kitab Al Khuthuth Al ‘Aridhoh karya Muhyiddin Al Khotib dan Minhajus Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Buku lainnya lagi seperti Syi’ah was Sunnah karya Ihsan Ilahi Zhohir dan berbagai kita lainnya yang amat banyak yang telah mengulas kesesatan dan kejelekan mereka. Semoga Allah memberikan kita keselamatan.

Golongan yang paling sesat dari mereka di antaranya adalah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah An Nashiriyyah, yang disebut Rafidhah. Mereka bisa disebut Rafidhah (artinya: menolak) karena mereka menolak Zaid bin ‘Ali ketika Zaid menolak berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar. Lantas Rafidhah menyelisihi dan menolak Zaid.

Jika di antara orang Syi’ah ada yang mengklaim dirinya sebagai muslim, maka mereka adalah muslim. Namun perlu dibuktikan klaim mereka. Siapa saja yang beribadah pada Allah semata (tidak berbuat syirik, pen), membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman pada wahyu yang diturunkan pada beliau, ia adalah muslim. Jika ia mengklaim dirinya muslim, namun ia menyembah Husain, menyembah Fatimah, menyembah Badawi, menyembah ‘Aidarus dan selainnya, maka jelas ia bukan muslim. Kita mohon pada Allah keselamatan.

Begitu pula jika di antara  mereka ada yang mencela Islam atau meninggalkan shalat, walau ia mengatakan bahwa ia muslim, hakekatnya ia bukan muslim. Atau di antara mereka ada yang mengolok-olok Islam, mengolok-olok ajaran shalat, zakat, puasa atau mengolok-olok Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustakan beliau, atau mengatakan bahwa beliau itu bodoh, atau menyatakan bahwa risalah Muhammad belumlah sempurna atau beliau tidak menyampaikan ajaran Islam dengan jelas, maka itu semua menunjukkan kekufuran.

Nas-alullah al ‘aafiyah, kita mohon kepada Allah keselamatan. [Diterjemahkan dari website resmi Syaikh Ibnu Baz: http://www.binbaz.org.sa/mat/4170]

Berdasarkan ajaran syi’ah demikian, maka tidaklah pantas kita bersimpati dan berempati atas dakwah dan perjuangan para tokoh-tokoh syi’ah dalam menyebarkan ajaran-ajaran syi’ah baik dengan cara tersembunyi ataupun terang-terangan.

b.      Liberalis Islam

Liberal hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menghalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan moral manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah kebebasan yang hakekatnya adalah mentaati dan menyembah syeitan.

Liberalisme sangat bertentangan dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman yang terkandung dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya: Kekufuran Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menghilangkan aqidah al-Wala dan bara’. Menghapus banyak sekali ajaran dan hokum Islam. Sehingga para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana tertuang dalam fatwa Syaikh Sholeh al-Fauzan yang dimuat dalam Harian al-Jazirah, edisi Selasa tanggal 11 Jumada Akhir tahun 1428 H.

Liberalis Islam artinya para pelaku paham liberalisme Islam.

c.       Komunis

Ideologi komunis selamanya akan menjadikan Islam sebagai musuh. Kelompok Islam adalah batu sandungan bagi para pengikut komunisme untuk mewujudkan keinginan mereka.

Sejarah membuktikan, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948 dan 1965, salah satu yang menjadi korban kebiadaban PKI adalah para santri, guru ngaji, kiai dan ulama.

Doktor ilmu sejarah dari Universitas Indonesia, Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan, wujud komunisme hari ini memang berbeda dengan masa lalu. Secara ideologi, kata Tiar, komunisme saat ini adalah komunis kepentingan. Bukan soal ideologi semata, tetapi yang utama soal duit.

“Komunisme sekarang bukan untuk mewujudkan gagasan Marx. Penerus komunisme tidak akan menerapkan gagasan Lenin dalam politik. Pengarusutamaan ideologi tidak seperti dulu lagi,” ungkap Tiar dalam seminar tentang “Ancaman Komunisme; Dulu, Kini dan Nanti” yang diselenggarakan Pesantren At-Taqwa, Cilodong, Depok, Ahad 22 September 2019.

Meski, demikian, Tiar mengingatkan, bagi pengikut komunisme musuh utama mereka tetap Islam dan umat Islam. “Secara gerakan mereka mirip. Mereka menghadapi kekuatan Islam,” kata dia.

Untuk menghadapi kelompok komunis, Tiar menyarankan agar umat Islam kembali melakukan konsolidasi internal dengan rajin-rajin bersilaturahim.

“Ini klise, tetapi harus dilakukan. Coba perhatikan, Kemenag itu sering mengumpulkan tokoh-tokoh umat beragama, tetapi apakah sering mengumpulkan tokoh-tokoh ormas atau gerakan Islam”.

Tiar sungguh-sungguh mengingatkan bahaya laten PKI ini kepada umat Islam. Sebab menurutnya, pada masa lalu pun, Komunisme pada awalnya juga tidak menyinggung dan berhadapan langsung dengan agama, terutama Islam. Namun, fakta menunjukkan, pada pemberontakan PKI 1948 di Madiun, PKI menunjukkan sifat asli komunisme.

“Selain tentara, sasaran yang dihadapi adalah para kiai. Agama dihadapi pertama oleh orang komunis karena dinilai sebagai batu sandungan bagi mereka,” tegas Tiar.

Sebelumnya, Ustadz Tiar menyinggung perkembangan komunisme di Indonesia terkini. Menurut Tiar, neo-komunisme saat ini sudah menjadi seperti kapitalisme. Gagasan komunisme dahulu yang hendak melakukan pemerataan kesejahteraan sudah tidak ada lagi.

Secara faktual, hal itu dapat dilihat dari negara China maupun Korea Utara. Di dua negara komunis itu ternyata menerapkan sistem ekonomi kapitalis.

Secara individu, Tiar juga mengingatkan, aslinya tokoh-tokoh PKI juga hidup secara mewah. Ia menyebut Nyoto pada masa Orde Lama sebagai contoh. Nyoto, kata Tiar, sering tampil mewah bak seorang borjuis. “Proletarianisme dalam komunis itu hanya jualan ideologi saja,” sindir dia.

Secara jaringan, komunis di Indonesia era sekarang dapat disebut menggunakan jaringan keluarga mantan PKI. Selain itu juga politisi, buruh, pengusaha, dosen maupun guru. Namun semuanya juga bisa dikatakan tidak memiliki arah yang jelas.

Mereka, kata Tiar, membangun jaringan baru untuk kepentingan politiknya dengan ciri tidak lagi bicara soal komunisme secara vulgar, namun dicampur dengan kapitalisme. Tetapi untuk memuluskan tujuan mereka tetap menggunakan cara-cara komunisme. Mereka juga melakukan penyusukan ke gerakan mahsiswa dan lembaga swadaya masyarakat.

Untuk generasi baru komunis saat ini, Tiar menyinggung soal “China Overseas”. Mereka inilah yang disebut sebagai generasi baru komunis-kapitalis. Generasi ini adalap para keturunan China-Selatan yang menyebar ke seluruh dunia dan sering disebut sebagai “Lords of The Rim”. “Di Indonesia mereka disebut sembilan naga,” kata Tiar. (https://suaraislam.id/kelompok-islam-tetap-musuh-utama-komunis/)

 

Wallaahu A’lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama