1. Hukum Memilih Pemimpin
Dalam Surat An-Nisa ayat 59, Allah SWT
menyuruh kita untuk taat kepada pemimpin (ulil amri),
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian.” (QS An-Nisa [4]: 59).
Ayat ini
menjelaskan, menaati ulil amri hukumya adalah wajib. Ulil amri adalah orang
yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat. Namun, ayat ini tidak berlaku
untuk ulil amri yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah atau yang menyuruh kepada kemaksiatan. Pemimpin
yang bersifat seperti ini tidak wajib ditaati.
Akan tetapi,
yang ingin kita jelaskan dari teks ayat tersebut adalah adanya kewajiban untuk
menaati pemimpin. Kalau menaati pemimpin hukumnya wajib, maka memilih atau
mengangkat pemimpin hukumnya pun wajib.
Hal ini
sesuai dengan kaidah hukum fikih yang artinya: “Segala sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa
sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu tersebut wajib dikerjakan“
Memilih
pemimpin hukumnya adalah wajib, Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ.
“Jika
ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara
mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Ditinjau dari ilmu Ushul Fiqih, Mafhum muwafaqoh (“pemahaman
apalagi”) dari hadis tersebut adalah bahwa bepergian saja wajib mengangkat
pemimpin perjalanan (amir safar), apalagi dalam hal bermasyarakat mulai
dari memilih Ketua RT sampai dengan memilih presiden.
2. Kriteria-kriteria Pemimpin yang Dipilih
Diantara kriteria
pemimpin yang dipilih dalam Islam adalah:
1) Calon pemimpin meneladani sifat-sifat
Rasulullah saw. sebagai pemimpin.
لَقَدْ كانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كانَ
يَرْجُوا اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia
banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Rasulullah
saw. sebagai pemimpin wajib memiliki sifat shiddiq (jujur), tabligh
(menyampaikan -kebenaran-), Amanah (terpercaya -tidak khianat-), dan
fathanah (cerdas -berilmu-); maka empat sifat ini wajib pula dimiliki
oleh calon pemimpin yang hendak dipilih.
2) Calon pemimpin bukanlah seseorang yang
meminta jabatan dan bukan pula yang ambisius terhadap kekuasaan.
Sabda Nabi saw.,
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan,
sebab jika kamu diberi (jabatan) karena meminta, kamu akan ditelantarkan, dan
jika kamu diberi dengan tidak meminta, kamu akan ditolong.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
3) Calon pemimpin adalah sosok yang dicintai
oleh masyarakatnya.
Sabda Nabi saw.,
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah kalian mencintai mereka dan
mereka pun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan
kalian. Sedangkan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah kalian membenci mereka
dan mereka pun membenci kalian, kalian mengutuk mereka dan mereka pun mengutuk
kalian.” (HR. Muslim)
4) Memilih pemimpin yang kuat kemampuan ilmu
dan praktek kepemimpinannya.
Nabi SAW juga mewanti-wanti agar umat Islam tidak memilih pemimin
yang lemah, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal
jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan,
kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan
baik.” (HR. Muslim)
Mampu (kuat) dan amanah. Dua sifat ini sangat penting ada di
seorang pemimpin. Karena kita diharuskan memilih pemimpin yang baik, dan orang
(pemimpin) yang baik adalah orang yang punya dua sifat dasar pemimpin yaitu
amanah dan mampu bekerja. Sebagaimana diterangkan pada ayat Al Quran berikut
ini:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ
اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ.
“Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS.
Al-Qashash: 26)
5) Calon pemimpin yang siap dan terbukti
berbuat adil
Adil adalah
sifat yang diturunkan dari amanah. Jika pemimpin bersifat amanah, maka pasti
akan punya sifat adil untuk menerapkan hukum sesuai syariat dan tidak memihak.
Keadilan adalah suatu hal yang sangat penting untuk mensejahterakan rakyat.
Jika pemimpin memiliki sifat adil, maka tidak akan ada kerusuhan, kekacauan,
dan keberpihakan pada salah satu golongan tertentu yang membuat seluruh umat
sengsara.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)
6) Calon pemimpin adalah muslim, bukan orang
kafir
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ
الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن
تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ
الْمَصِيرُ.
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi
WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS:
Ali Imron [3]: 28)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ
عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah
kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:
An Nisa’ [4]: 144)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ
دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat
agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang
telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik)
sebagai WALI (pemimpinmu). Dan bertakwalah kepada Allah
jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS:
Al-Ma’aidah [5]: 57)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ
وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara- saudaramu menjadi WALI
(pemimpin/pelindung) jika mereka
lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu
yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS:
At-Taubah [9]: 23)
7) Calon pemimpin bukan sahabat atau loyalis
orang kafir
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ
أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ.
“Kamu tak
akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali
pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun
keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam
hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya.
dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun
merasa puas terhadap (limpahan
rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan
yang beruntung.” (QS: Al Mujaadalah [58] : 22)
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً. الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ
عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً.
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ
bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang
mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang
kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)
Nabi
saw. menegaskan bahwa agama seseorang itu tergantung kepada agama
temannya. Dalam konteks memilih calon pemimpin, maka perhatikanlah dengan siapa
calon pemimpin itu berteman, loyal, bersahabat, dan berkasih sayang.
Adapun diantara
sahabat dan loyalis orang kafir adalah:
a. Syi’ah
Kelompok ini
dikategorikan sahabat dan loyalis orang kafir karena para ulama ahlussunnah wal
jama’ah mengkategorikan sebagian dari mereka sebagai orang kafir dan sebagian
dari mereka orang-orang syi’ah itu dikategorikan munafik.
Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz ditanya, “Kami sangat butuh penjelasan mengenai beberapa
kelompok Syi’ah. Kami mohon bisa dijelaskan mengenai aqidah mereka?”
Jawaban beliau rahimahullah,
Perlu diketahui bahwa Syi’ah terdiri dari berbagai macam kelompok,
tidak bisa kita menjabarkan satu per satu di waktu yang singkat ini.
Ringkasnya, di antara mereka ada yang kafir, yaitu yang menyembah
‘Ali (bin Abi Tholib) dan mereka menyembah ‘Ali. Ada juga di antara mereka yang
menyembah Fatimah, Husain dan selainnya. Di antara kelompok Syi’ah ada yang
berpendapat bahwa Jibril ‘alaihis salam telah berkhianat. Kata
mereka, seharusnya kenabian diserahkan kepada ‘Ali dan bukan pada Muhammad. Ada
juga kelompok yang disebut Imamiyyah atau dikenal dengan Rafidhah
Itsna ‘Asyariyah, yaitu ‘ubad ‘Ali, di mana mereka berkata
bahwa imam mereka lebih mulia dari para malaikat dan para nabi.
Syi’ah memiliki golongan yang banyak, ada yang kafir dan ada yang
tidak kafir. Golongan yang kesesatannya tidak separah lainnya yaitu yang
mengatakan bahwa ‘Ali lebih utama dari Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman. Keyakinan
seperti ini jelas keliru dan telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para
sahabat). Akan tetapi, golongan ini tidaklah kafir. Intinya, kesesatan kelompok
Syi’ah bertingkat-tingkat. Siapa saja yang ingin mengetahui secara jelas
tentang mereka, silakan merujuk pada kalam para ulama semisal dalam kitab Al
Khuthuth Al ‘Aridhoh karya Muhyiddin Al Khotib dan Minhajus
Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Buku lainnya lagi
seperti Syi’ah was Sunnah karya Ihsan Ilahi Zhohir dan
berbagai kita lainnya yang amat banyak yang telah mengulas kesesatan dan
kejelekan mereka. Semoga Allah memberikan kita keselamatan.
Golongan yang paling sesat dari mereka di antaranya adalah Imamiyyah
Itsna ‘Asyariyyah An Nashiriyyah, yang disebut Rafidhah. Mereka
bisa disebut Rafidhah (artinya: menolak) karena mereka menolak
Zaid bin ‘Ali ketika Zaid menolak berlepas diri dari Abu Bakr dan ‘Umar. Lantas
Rafidhah menyelisihi dan menolak Zaid.
Jika di antara orang Syi’ah ada yang mengklaim dirinya sebagai
muslim, maka mereka adalah muslim. Namun perlu dibuktikan klaim mereka. Siapa
saja yang beribadah pada Allah semata (tidak berbuat syirik, pen), membenarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman pada
wahyu yang diturunkan pada beliau, ia adalah muslim. Jika ia mengklaim dirinya
muslim, namun ia menyembah Husain, menyembah Fatimah, menyembah Badawi,
menyembah ‘Aidarus dan selainnya, maka jelas ia bukan muslim. Kita mohon pada
Allah keselamatan.
Begitu pula jika di antara mereka ada yang mencela Islam atau
meninggalkan shalat, walau ia mengatakan bahwa ia muslim, hakekatnya ia bukan
muslim. Atau di antara mereka ada yang mengolok-olok Islam, mengolok-olok
ajaran shalat, zakat, puasa atau mengolok-olok Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mendustakan beliau, atau mengatakan bahwa beliau
itu bodoh, atau menyatakan bahwa risalah Muhammad belumlah sempurna atau beliau
tidak menyampaikan ajaran Islam dengan jelas, maka itu semua menunjukkan
kekufuran.
Nas-alullah al ‘aafiyah, kita mohon kepada Allah
keselamatan. [Diterjemahkan dari website resmi Syaikh Ibnu Baz: http://www.binbaz.org.sa/mat/4170]
Berdasarkan
ajaran syi’ah demikian, maka tidaklah pantas kita bersimpati dan berempati atas
dakwah dan perjuangan para tokoh-tokoh syi’ah dalam menyebarkan ajaran-ajaran
syi’ah baik dengan cara tersembunyi ataupun terang-terangan.
b. Liberalis Islam
Liberal
hanyalah bentuk lain dari sekulerisme yang dibangun di atas sikap berpaling
dari syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala , kufur kepada ajaran dan petunjuk
Allah dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menghalangi manusia dari
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga memerangi orang-orang sholih dan
memotivasi orang berbuat kemungkaran, kesesatan pemikiran dan kebejatan moral
manusia dibawah slogan kebebasan yang semu. Sebuah kebebasan yang hakekatnya
adalah mentaati dan menyembah syeitan.
Liberalisme
sangat bertentangan dengan Islam. Tidak sedikit pembatal-pembatal ke-Islaman
yang terkandung dalam arus ideologi yang satu ini. Diantaranya: Kekufuran
Berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menghilangkan aqidah
al-Wala dan bara’. Menghapus banyak sekali ajaran dan hokum Islam. Sehingga
para ulama menghukuminya sebagai kekufuran sebagaimana tertuang dalam fatwa
Syaikh Sholeh al-Fauzan yang dimuat dalam Harian al-Jazirah, edisi Selasa
tanggal 11 Jumada Akhir tahun 1428 H.
Liberalis
Islam artinya para pelaku paham liberalisme Islam.
c. Komunis
Ideologi komunis selamanya akan menjadikan Islam sebagai musuh.
Kelompok Islam adalah batu sandungan bagi para pengikut komunisme untuk
mewujudkan keinginan mereka.
Sejarah membuktikan, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
pada 1948 dan 1965, salah satu yang menjadi korban kebiadaban PKI adalah para
santri, guru ngaji, kiai dan ulama.
Doktor ilmu sejarah dari Universitas Indonesia, Tiar Anwar Bachtiar
menjelaskan, wujud komunisme hari ini memang berbeda dengan masa lalu. Secara
ideologi, kata Tiar, komunisme saat ini adalah komunis kepentingan. Bukan soal
ideologi semata, tetapi yang utama soal duit.
“Komunisme sekarang bukan untuk mewujudkan gagasan Marx. Penerus
komunisme tidak akan menerapkan gagasan Lenin dalam politik. Pengarusutamaan
ideologi tidak seperti dulu lagi,” ungkap Tiar dalam seminar tentang “Ancaman
Komunisme; Dulu, Kini dan Nanti” yang diselenggarakan Pesantren At-Taqwa,
Cilodong, Depok, Ahad 22 September 2019.
Meski, demikian, Tiar mengingatkan, bagi pengikut komunisme musuh
utama mereka tetap Islam dan umat Islam. “Secara gerakan mereka mirip. Mereka
menghadapi kekuatan Islam,” kata dia.
Untuk menghadapi kelompok komunis, Tiar menyarankan agar umat Islam
kembali melakukan konsolidasi internal dengan rajin-rajin bersilaturahim.
“Ini klise, tetapi harus dilakukan. Coba perhatikan, Kemenag itu
sering mengumpulkan tokoh-tokoh umat beragama, tetapi apakah sering
mengumpulkan tokoh-tokoh ormas atau gerakan Islam”.
Tiar sungguh-sungguh mengingatkan bahaya laten PKI ini kepada umat
Islam. Sebab menurutnya, pada masa lalu pun, Komunisme pada awalnya juga tidak
menyinggung dan berhadapan langsung dengan agama, terutama Islam. Namun, fakta
menunjukkan, pada pemberontakan PKI 1948 di Madiun, PKI menunjukkan sifat asli
komunisme.
“Selain tentara, sasaran yang dihadapi adalah para kiai. Agama
dihadapi pertama oleh orang komunis karena dinilai sebagai batu sandungan bagi
mereka,” tegas Tiar.
Sebelumnya, Ustadz Tiar menyinggung perkembangan komunisme di
Indonesia terkini. Menurut Tiar, neo-komunisme saat ini sudah menjadi seperti
kapitalisme. Gagasan komunisme dahulu yang hendak melakukan pemerataan kesejahteraan
sudah tidak ada lagi.
Secara faktual, hal itu dapat dilihat dari negara China maupun
Korea Utara. Di dua negara komunis itu ternyata menerapkan sistem ekonomi
kapitalis.
Secara individu, Tiar juga mengingatkan, aslinya tokoh-tokoh PKI
juga hidup secara mewah. Ia menyebut Nyoto pada masa Orde Lama sebagai contoh.
Nyoto, kata Tiar, sering tampil mewah bak seorang borjuis. “Proletarianisme
dalam komunis itu hanya jualan ideologi saja,” sindir dia.
Secara jaringan, komunis di Indonesia era sekarang dapat disebut
menggunakan jaringan keluarga mantan PKI. Selain itu juga politisi, buruh,
pengusaha, dosen maupun guru. Namun semuanya juga bisa dikatakan tidak memiliki
arah yang jelas.
Mereka, kata Tiar, membangun jaringan baru untuk kepentingan
politiknya dengan ciri tidak lagi bicara soal komunisme secara vulgar, namun
dicampur dengan kapitalisme. Tetapi untuk memuluskan tujuan mereka tetap
menggunakan cara-cara komunisme. Mereka juga melakukan penyusukan ke gerakan
mahsiswa dan lembaga swadaya masyarakat.
Untuk generasi baru komunis saat ini, Tiar menyinggung soal “China
Overseas”. Mereka inilah yang disebut sebagai generasi baru komunis-kapitalis.
Generasi ini adalap para keturunan China-Selatan yang menyebar ke seluruh dunia
dan sering disebut sebagai “Lords of The Rim”. “Di Indonesia mereka disebut
sembilan naga,” kata Tiar. (https://suaraislam.id/kelompok-islam-tetap-musuh-utama-komunis/)
Wallaahu A’lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan