MEMILIH
PEMIMPIN ITU YANG ORGANISATORIS ATAUKAH YANG MENGULAMA? Sesungguhnya pertanyaan
ini mengandung kejahilan (kebodohan) akan konsep ulama pada arti sesungguhnya dan
pengertian mendalam organisatoris dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
A.
MEMAKNAI "MENGULAMA"
Allah
Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ.
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28)
Al-Hafidz
Ibnu Katsir menjelaskan: Yakni sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah
dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama yang mengetahui tentang Allah
Subhanahu wa Ta'ala Karena sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang
tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Mahabesar, Mahakuasa, Maha Mengetahui
lagi menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik, maka
makin bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. (Fathir: 28) Yaitu orang-orang yang mengetahui bahwa Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ibnu
Lahi'ah telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Amrah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan bahwa orang yang mengetahui tentang Allah Yang Maha Pemurah
dari kalangan hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu pun, dan ia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa
yang diharamkan-Nya, serta berpegang teguh kepada perintah-Nya, dan meyakini
bahwa dia pasti akan bersua dengan-Nya dan Dia akan menghisab amal
perbuatannya.
Sa'id
ibnu Jubair mengatakan bahwa khasy-yah atau takut kepada Allah ialah perasaan
yang menghalang-halangi antara kamu dan perbuatan durhaka terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala
Al-Hasan
Al-Basri mengatakan bahwa orang yang alim ialah orang yang takut kepada Tuhan
Yang Maha Pemurah sekalipun dia tidak melihat-Nya, menyukai apa yang
disukai-Nya, dan menjauhi apa yang dimurkai-Nya. Kemudian Al-Hasan membacakan
firman-Nya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. (Fathir:
28)
Diriwayatkan
dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa orang yang alim itu
bukanlah orang yang banyak hafal hadis, melainkan orang yang banyak takutnya
kepada Allah.
Ahmad
ibnu Saleh Al-Masri telah meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik yang mengatakan,
"Sesungguhnya berilmu itu bukanlah karena banyak meriwayatkan hadis,
melainkan ilmu itu adalah cahaya yang dijadikan oleh Allah di dalam
kalbu." Selanjutnya Ahmad ibnu Saleh Al-Masri menjelaskan bahwa takut
kepada Allah itu bukan dijumpai melalui banyak meriwayatkan hadis. Dan
sesungguhnya ilmu yang diharuskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala agar diikuti
hanyalah ilmu mengenai Al-Qur'an, sunnah, dan apa yang disampaikan oleh para
sahabat dan orang-orang yang sesudah mereka dari kalangan para imam kaum
muslim. Hal seperti ini tidak dapat diraih melainkan dengan melalui
periwayatan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan cahaya ialah pemahaman
mengenai ilmu tersebut dan pengamalannya dalam realita kehidupan.
Sufyan
As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Hayyan At-Tamimi, dari seorang lelaki yang
telah mengatakan bahwa ulama itu ada tiga macam, yaitu ulama yang mengetahui
tentang Allah dan mengetahui tentang perintah Allah; ulama yang mengetahui
tentang Allah, tetapi tidak mengetahui tentang perintah Allah; dan ulama yang
mengetahui tentang perintah Allah, tetapi tidak mengetahui tentang Allah. Orang
yang alim (ulama) yang mengetahui tentang Allah dan mengetahui tentang perintah
Allah ialah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengetahui batasan-batasan
serta fardu-fardu yang telah ditetapkan-Nya. Dan orang yang alim tentang Allah,
tetapi tidak alim tentang perintah Allah ialah orang yang takut kepada Allah,
tetapi tidak mengetahui batasan-batasan dan fardu-fardu yang ditetapkan-Nya.
Dan orang alim tentang perintah Allah, tetapi tidak alim tentang Allah adalah
orang yang mengetahui batasan-batasan dan fardu-fardu yang ditetapkan-Nya,
tetapi tidak takut kepada Allah Shalallahu'alaihi Wasallam. (Tafsir Ibnu
Katsir: QS. Fathir ayat 28)
Berdasarkan
pemaparan Al-Hafidz Ibnu Katsir tersebut, maka yang dimaksud dengan
"MENGULAMA" dalam konsep Al-Qur'an adalah seseorang yang bersifat
ulama, walaupun bisa jadi ia tidak disebut atau terkenal sebagai ulama di
kalangan manusia.
Pemimpin
yang shaleh, pedagang yang jujur, petani yang taat zakat, pegawai yang takut
kepada Allah Ta'ala adalah contoh orang-orang yang MENGULAMA.
"Keulamaan"
mereka dibuktikan dengan shalat fardhu yang tepat waktu, taat zakat, berbakti
kepada orang tua dan guru, menyayangi sesama, hormat kepada tetangga, taat
kepada pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan lain sebagainya.
Ketika
"ulama" ini dicalonkan menjadi pemimpin, maka ia mesti dan tidak
boleh tidak memiliki "keulamaan" baik dari aspek ilmu yang MENGULAMA
ataupun aspek sifat yang MENGULAMA.
Benar
jika dikatakan pemimpin itu harus berilmu dan berpengalaman tentang leadership
atau kepemimpinan, tetapi tanpa sifat keulamaan ia akan lahir menjadi pemimpin
yang sesat dan menyesatkan bahkan dzalim.
Bukankah
diantara ciri akan datangnya kiamat adalah ketika hadirnya para pemimpin yang
mumpuni secara leadership, namun lemah secara keulamaan. Rasulullah Saw.
Bersabda:
عن عَبْدِ
اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُول: إِنَّ الله لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِبَادِ وَلكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ
يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا
بغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya,
akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak
tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh.
Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu.
mereka sesat dan menyesatkan.“ (HR. Bukhari)
Benar
pula jika dikatakan pemimpin itu harus MENGULAMA, tetapi tanpa ilmu dan praktek
kepemimpinannya yang mumpuni, ia tidaklah dikatakan ulama dalam arti
sesungguhnya sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Katsir pada kitab
tafsirnya.
B.
MEMAKNAI "ORGANISATORIS"
Organisatoris
atau orang yang bersifat ahli dalam mengorganisasikan telah dijelaskan dalam
beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. Diantaranya:
1.
Secara kodrati, manusia adalah
makhluk sosial, yakni makhluk yang bermasyarakat, yang satu membutuhkan yang
lain. Hidup berjama’ah (berkelompok) pada manusia merupakan thabi’atul kaun,
gharizah atau pembawaan sejak alam azali. Kodrat manusia sebagai zon
politicon ini tentunya akan melahirkan jiwa-jiwa organisatoris. Firman Allah
Ta’ala:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
2.
Perintah untuk bersama-sama berpegang
teguh kepada agama Allah dan jangan bercerai berai adalah perintah juga untuk
menjadi pribadi-pribadi yang organisatoris. Firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kalian kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. (QS. Ali Imran [3]: 103)
3.
Kecintaan Allah Ta’ala kepada
orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur adalah juga
isyarat kecintaan Allah Ta’ala kepada pribadi-pribadi yang organisatoris diantaranya.
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ
مَرْصُوصٌ
Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (QS. Ash-Shaff: 4)
4.
Perintah Allah Ta’ala untuk
menjadi umat yang menyeru kepada kebaikan adalah perintah pula untuk menjadi
umat yang organisatoris. Firman Allah Ta’ala:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kalian
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran [3]: 104)
5.
Perintah bermusyawarah adalah
rangkaian perintah untuk menjadi pribadi-pribadi organisatoris yang dicintai Allah
Ta’ala. Firman-Nya:
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat,
sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy-Syura: 38)
فَبِما رَحْمَةٍ
مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا
مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
فَإِذا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali Imran [3]: 159)
6.
Periksa pula QS. Al-Hujurat: 6
dan 10, Al-Maidah: 2, Al-An’am: 165, Ali Imran: 110, Al-Hajj: 78, At-Taubah:
71, Al-Anbiya: 92, Al-Baqarah: 124, An-Nisa: 59, Ath-Thalaq: 6, Al-Baqarah:
247, dan ayat-ayat lain di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan perintah untuk
menjadi pribadi yang organisatoris. Wallaahu A’lam.
7.
Hadis-hadis Rasulullah Saw. pun
tidak sedikit yang mengisyaratkan agar menjadi pribadi organisatoris dan
memilih pemimpin yang demikian. Dalam hal ini, KH. Shiddiq Amien, Allahu
Yarham telah banyak mengutip hadis-hadis tersebut pada buku PANDUAN
HIDUP BERJAMAAH-nya.
C. RASULULLAH
SAW. SEBAGAI PRIBADI YANG “MENGULAMA” SEKALIGUS ORGANISATORIS
Bagi masyarakat Muslim, Nabi
Muhammad saw merupakan referensi utama dalam menjalani kehidupan. Salah satu
keteladanan itu—bahkan mungkin yang utama—terdapat pada perilaku leadership (kepemimpinan)
yang diperlihatkan sepanjang hayatnya. Tentu saja Nabi saw merupakan pemimpin
yang berhasil dan berpengaruh. Montgomery Watt menyebutkan bahwa Nabi saw tidak
hanya berhasil sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik. Tidak
berlebihan jika Micheal H. Heart, misalnya—untuk menyebut hanya satu
contoh—memposisikan Muhammad saw sebagai “tokoh paling berpengaruh di dunia”.
Nabi saw., sendiri menganggap leadership sebagai
misi penting umat manusia. Diceritakan bahwa Nabi saw pernah berpesan: “kamu
sekalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinanmu”. Pada dasarnya, setiap Muslim adalah pemimpin. Yang
membedakan pastilah hanya satu: cakupan luas kepemimpinannya. Mulai dari
pemimpin untuk diri sendiri sampai dengan pemimpin negara.
Kepemimpinan Islam adalah
kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah
orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah
tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat
syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk
‘majelis fukaha’.” Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang
menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia
(rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad
Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21).
Dalam Islam seorang pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam
menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah
(STAF):
(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat
dipercaya;
(2) Tabligh (penyampai) atau
kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
(3) Amanah (bertanggung jawab) dalam
menjalankan tugasnya;
(4) Fathanah (cerdas) dalam membuat
perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya.
Selain itu, juga dikenal ciri
pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah
pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan
bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju.
D.
KESIMPULAN
MEMILIH PEMIMPIN ITU YANG
ORGANISATORIS ATAUKAH YANG MENGULAMA? Jawabannya adalah: Pilihlah organisatoris
yang bersifat ulama, atau: Pilihlah pribadi yang mengulama Sekaligus
organisatoris.
Wallaahu A’lam, Abu Akyas Syaddad
Al-Fatih.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan