TIGA NIAGA YANG TIADA RUGINYA

 
gambar: tafsiralquran.id

Niaga atau jual beli tidak akan lepas dari dua kemungkinan dalam setiap prosesnya, yakni kemungkinan rugi dan kemungkinan untung. Keuntungan dan kerugian dalam berniaga bagaikan putaran roda yang akan datang silih berganti. Tidak ada niaga yang selamanya untung sebagaimana tidak ada niaga yang selamanya rugi. Kalaupun niaga itu terus menerus untung, tetap saja ada kematian yang membatasinya, demikian pula ia menjadi Batasan bagi niaga yang terus menerus rugi.

 

Berbeda dengan hukum niaga umumnya yang tidak akan selamanya untung dan rugi, Allah Ta’ala menawarkan perniagaan yang bersifat “Lan Tabur”, yakni tidak akan merugi. Firman Allah Ta’ala:

 

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتابَ اللَّهِ وَأَقامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْناهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ.

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. (QS. Fathir [35]: 29)

 

Terkait ayat tersebut, Al-Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan:

 

يُخْبِر تَعَالَى عَنْ عِبَاده الْمُؤْمِنِينَ ...

Allah Swt. menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang beriman, …(Tafsir Ibnu Katsir, 11: 321)

 

Berdasarkan Al-Qur’an surat Fathir ayat 29, orang-orang yang beriman yang perniagaannya tidak akan merugi adalah mereka yang senantiasa berikhtiyar untuk meningkatkan ilmu dan amal saleh dalam 3 hal, yakni:

 

1.       Membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an

2.       Mendirikan shalat serta menjaganya agar menjadi amalan maqbulan (diterima) juga berdampak terhadap kehidupan (tanhaa ‘anil-fahsyaa-I wal-munkar), dan

3.      Senantiasa istiqamah berinfaq dengan cara diam-diam ataupun terang-terangan baik dalam keadaan susah ataupun senang.

 

Membaca Al-Qur’an tanpa mengamalkannya bukanlah termasuk yang akan mendapatkan perniagaan dengan Allah Ta’ala dengan tanpa merugi, sebagaimana Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya:

 

يتلون : أي يتّبعون من قولهم تلاه إذا تبعه ، لأن التلاوة بلا عمل لا نفع فيها،

Yatluuna (membaca): mereka mengikuti. Yakni dari kata talaahu yang artinya ia mengikutinya. Karena pembacaan yang tidak disertai dengan perbuatan itu tidak ada gunanya.

 

Bahkan Imam Al-Maraghi menjelaskan:

 

وقد ورد: «ربّ قارئ للقرآن والقرآن يلعنه»

Sementara itu ada riwayat yang mengatakan: “Banyak orang yang membaca Al-Qur’an sedang Al-Qur’an itu melaknatinya.”

 

Jual beli dengan Allah Ta’ala melalui pengamalan terhadap Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan mendermakan harta di jalan-Nya merupakan bentuk bisnis dengan-Nya. Orang beriman “menjual” diri, harta, bahkan nyawanya kepada Allah Ta’ala, kemudian Allah Ta’ala “membeli”nya dengan pahala, ampunan, kasihsayang, dan surga. Imam Al-Maraghi menjelaskan:

 

و المراد من التجارة المعاملة مع اللّه لنيل الثواب ، وتبور : أي تكسد.

At-Tijaaratu yang dimaksud adalah hubungan (bermu’amalah, berbisnis) dengan Allah Ta’ala untuk mendapatkan pahala. Tabuuru yaitu taksudu (tidak laku, sepi, tidak ramai, lesu). (Tafsir Al-Maraghi, 1: 4180)

 

Bukan tanpa syarat Ketika pengamalan terhadap Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan mendermakan harta di jalan-Nya menjadi niaga yang tidak akan ada ruginya; karena terdapat syarat yang wajib ada, yakni keikhlasan. Salah seorang ulama ahli tafsir kontemporer, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:

 

يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ استعارة ، استعار التجارة للمعاملة مع اللّه لنيل ثوابه ، وشبهها بالتجارة الدنيوية ، وأيدها بقوله : لَنْ تَبُورَ وهو الذي يسمى ترشيحا.

Ayat yarjuuna tijaaratan lan tabuuraa secara implisit mengisyaratkan kepada makna ikhlas, tulus dan murni hanya karena Allah SWT semata. Yaitu mereka berinfak dan bersedekah sama sekali bukan karena supaya disebut sebagai orang yang dermawan, dan bukan pula karena maksud, tujuan dan motif lain kecuali semata-mata hanya karena Allah SWT. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, 22: 258)

 

Sebagaimana sering dijelaskan oleh para ulama bahwa suatu amal akan diterima oleh-Nya Ketika amal tersebut memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan mutaba’ah.

 

Ikhlas artinya amalan tersebut dilaksanakan hanya mengharap ridha Allah Ta’ala semata, dan mutaba’ah artinya amalan tersebut dilaksanakan sesuai dengan contoh dari Nabi Muhammad saw. serta tidak melanggar terhadap batas-batasnya.

 

Ketua MUI Pusat semasa Presiden Soeharto yang meninggal dunia dengan sejuta karyanya memberikan paradigma lain terhadap Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 tersebut sebagai berikut:

 

Ayat 29 ini mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi supaya ilmu pengetahuan bisa berfaedah dan ketakutan kepada Allah dapat dipupuk. (DR. HAMKA, Tafsir Al-Azhar, 8: 5933)

 

Inilah yang disebut dengan berkahnya ilmu, yakni saat ilmu berbuah menjadi ketaatan terhadap aturan Al-Qur’an dan As-Sunnah, senantiasa mendirikan shalatnya, dan selalu siap mendermakan harta di jalan-Nya.

 

Apabila seseorang ilmunya semakin bertambah namun tidak bertambah ketiga hal tersebut kebaikannya, maka bisa jadi ilmunya tidak bermanfaat di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.

 

Terlebih jika memperhatikan ayat sebelumnya tentang sifat ulama adalah mereka yang senantiasa takut kepada Allah Ta’ala, innamaa yakhsyaLlaaha min ‘ibaadihil-‘ulamaa-u. Dalam hal ini Tafsir Al-Mishbah menjelaskan:

 

Ayat ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya merupakan penjelasan tentang siapa ulama yang disebut oleh ayat yang lalu (QS. Fathir [35]: 28). (DR. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah: 11: 468)

 

Selain ketiga amalan pada Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 tersebut dijanjikan tidak akan mengalami kerugian, Allah Ta’ala pula berjanji akan menambahkan karunia kepada para pelakunya. Firman Allah Ta’ala:

 

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ.

Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. Fathir [35]: 30)

 

Inilah kesempurnaan berniaga dengan-Nya yang tidak akan didapatkan saat berjual beli dengan sesama manusia, Imam Ath-Thabari menjelaskan dalam tafsirnya:

 

وَقَوْلُهُ : {لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ} يَقُولُ : وَيُوَفِّيهُمُ اللَّهُ عَلَى فِعْلِهِمْ ذَلِكَ ثَوَابَ أَعْمَالِهِمُ الَّتِي عَمِلُوهَا فِي الدُّنْيَا.

Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala merekamaksudnya adalah, Allah membalas secara sempurna perbuatan mereka dengan pahala-pahala amal-amal yang mereka lakukan di dunia. (Ath-Thobari, 19: 365)

 

Bahkan tambahan karunia itu adalah syafa’at yang didamba-damba oleh setiap manusia beriman, Imama Al-Qurthubi menafsirkan:

 

{وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ} قيل: الزيادة الشفاعة في الآخرة. وهذا مثل الآية الأخرى.

“Dan menambahkan kepada mereka dari karunia-Nya,” maksudnya adalah ditambah dengan syafaat di akhirat. Sebagaimana dalam ayat lain disebutkan, (QS. An-Nuur 37, An-Nisaa 173). (Tafsir Al-Qurthubi, 14: 345)

 

Ini semua yakni perniagaan bersama Allah Ta’ala yang tidak ada ruginya adalah bukti kemaha sempurnaan sifat-Nya, sebagaimana ayat 30 Al-Qur’an surat Fathir ini ditutup dengan ungkapan:

{إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ}

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun. (Fathir: 30) terhadap dosa-dosa mereka. lagi Maha Bersyukur. (Fathir: 30)

 

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Yaitu tetap akan membalas amal perbuatan mereka betapapun kecilnya amal perbuatan mereka.

 

Dalam menafsirkan kalimat innahuu ghafuurun syakuur tersebut, Al-Hafidz Ibnu Katsir diantaranya mengutip hadis berikut:

 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْريّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا رَضِيَ عَنِ الْعَبْدِ أَثْنَى عَلَيْهِ سَبْعةَ أَصْنَافٍ مِنَ الْخَيْرِ لَمْ يَعْمَلْهُ، وَإِذَا سَخِطَ عَلَى الْعَبْدِ أَثْنَى عَلَيْهِ سَبْعة أَصْنَافٍ مِنَ الشَّرِّ لم يعمله. حديث غريب.

Dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. apabila rida kepada hamba-Nya, maka Dia memujinya dengan tujuh macam kebaikan yang tidak dikerjakannya. Dan apabila murka kepada hamba-Nya, maka Dia menyebut-nyebutnya dengan tujuh macam keburukan yang tidak dilakukannya. Hadis ini berpredikat garib. (Tafsir Ibnu Katsir, 11: 321)

 

Semoga kita semua diberi kemampuan untuk senantiasa mengkaji, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan mendermakan harta di jalan-Nya agar kemudian Allah Ta’ala “membeli”nya dengan ampunan, kasih sayang, dan surga. Aamiin.

 

Wallaahu A’lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama