Niaga atau jual beli tidak akan lepas dari dua kemungkinan dalam setiap prosesnya, yakni kemungkinan rugi dan kemungkinan untung. Keuntungan dan kerugian dalam berniaga bagaikan putaran roda yang akan datang silih berganti. Tidak ada niaga yang selamanya untung sebagaimana tidak ada niaga yang selamanya rugi. Kalaupun niaga itu terus menerus untung, tetap saja ada kematian yang membatasinya, demikian pula ia menjadi Batasan bagi niaga yang terus menerus rugi.
Berbeda dengan hukum niaga umumnya yang tidak akan
selamanya untung dan rugi, Allah Ta’ala menawarkan perniagaan yang bersifat “Lan
Tabur”, yakni tidak akan merugi. Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ
يَتْلُونَ كِتابَ اللَّهِ وَأَقامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْناهُمْ
سِرًّا وَعَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ.
Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi. (QS. Fathir [35]: 29)
Terkait
ayat tersebut, Al-Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan:
يُخْبِر تَعَالَى عَنْ عِبَاده الْمُؤْمِنِينَ
...
Allah
Swt. menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang beriman, …(Tafsir Ibnu
Katsir, 11: 321)
Berdasarkan
Al-Qur’an surat Fathir ayat 29, orang-orang yang beriman yang perniagaannya
tidak akan merugi adalah mereka yang senantiasa berikhtiyar untuk meningkatkan
ilmu dan amal saleh dalam 3 hal, yakni:
1. Membaca, memahami, dan mengamalkan
Al-Qur’an
2. Mendirikan shalat serta menjaganya
agar menjadi amalan maqbulan (diterima) juga berdampak terhadap
kehidupan (tanhaa ‘anil-fahsyaa-I wal-munkar), dan
3. Senantiasa istiqamah berinfaq dengan
cara diam-diam ataupun terang-terangan baik dalam keadaan susah ataupun senang.
Membaca Al-Qur’an tanpa
mengamalkannya bukanlah termasuk yang akan mendapatkan perniagaan dengan Allah
Ta’ala dengan tanpa merugi, sebagaimana Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam
tafsirnya:
يتلون : أي يتّبعون من قولهم تلاه إذا تبعه
، لأن التلاوة بلا عمل لا نفع فيها،
Yatluuna (membaca): mereka mengikuti. Yakni dari
kata talaahu yang artinya ia mengikutinya. Karena pembacaan yang tidak
disertai dengan perbuatan itu tidak ada gunanya.
Bahkan Imam Al-Maraghi menjelaskan:
وقد ورد: «ربّ قارئ للقرآن والقرآن يلعنه»
Sementara itu ada riwayat yang mengatakan: “Banyak
orang yang membaca Al-Qur’an sedang Al-Qur’an itu melaknatinya.”
Jual
beli dengan Allah Ta’ala melalui pengamalan terhadap Al-Qur’an, mendirikan
shalat, dan mendermakan harta di jalan-Nya merupakan bentuk bisnis dengan-Nya.
Orang beriman “menjual” diri, harta, bahkan nyawanya kepada Allah Ta’ala,
kemudian Allah Ta’ala “membeli”nya dengan pahala, ampunan, kasihsayang, dan
surga. Imam Al-Maraghi menjelaskan:
و المراد من التجارة المعاملة مع اللّه لنيل
الثواب ، وتبور : أي تكسد.
At-Tijaaratu
yang dimaksud adalah hubungan (bermu’amalah,
berbisnis) dengan Allah Ta’ala untuk mendapatkan pahala. Tabuuru yaitu taksudu
(tidak laku, sepi, tidak ramai, lesu). (Tafsir Al-Maraghi, 1: 4180)
Bukan
tanpa syarat Ketika pengamalan terhadap Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan
mendermakan harta di jalan-Nya menjadi niaga yang tidak akan ada ruginya;
karena terdapat syarat yang wajib ada, yakni keikhlasan. Salah seorang ulama
ahli tafsir kontemporer, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:
يَرْجُونَ تِجارَةً لَنْ تَبُورَ استعارة
، استعار التجارة للمعاملة مع اللّه لنيل ثوابه ، وشبهها بالتجارة الدنيوية ،
وأيدها بقوله : لَنْ تَبُورَ وهو الذي يسمى ترشيحا.
Ayat
yarjuuna tijaaratan lan tabuuraa secara implisit mengisyaratkan kepada
makna ikhlas, tulus dan murni hanya karena Allah SWT semata. Yaitu mereka berinfak
dan bersedekah sama sekali bukan karena supaya disebut sebagai orang yang
dermawan, dan bukan pula karena maksud, tujuan dan motif lain kecuali
semata-mata hanya karena Allah SWT. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir
Al-Munir, 22: 258)
Sebagaimana
sering dijelaskan oleh para ulama bahwa suatu amal akan diterima oleh-Nya
Ketika amal tersebut memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan mutaba’ah.
Ikhlas
artinya amalan tersebut dilaksanakan
hanya mengharap ridha Allah Ta’ala semata, dan mutaba’ah artinya amalan
tersebut dilaksanakan sesuai dengan contoh dari Nabi Muhammad saw. serta tidak
melanggar terhadap batas-batasnya.
Ketua
MUI Pusat semasa Presiden Soeharto yang meninggal dunia dengan sejuta karyanya
memberikan paradigma lain terhadap Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 tersebut
sebagai berikut:
Ayat
29 ini mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi supaya ilmu pengetahuan
bisa berfaedah dan ketakutan kepada Allah dapat dipupuk. (DR. HAMKA, Tafsir
Al-Azhar, 8: 5933)
Inilah
yang disebut dengan berkahnya ilmu, yakni saat ilmu berbuah menjadi ketaatan
terhadap aturan Al-Qur’an dan As-Sunnah, senantiasa mendirikan shalatnya, dan
selalu siap mendermakan harta di jalan-Nya.
Apabila
seseorang ilmunya semakin bertambah namun tidak bertambah ketiga hal tersebut
kebaikannya, maka bisa jadi ilmunya tidak bermanfaat di hadapan Allah ‘Azza wa
Jalla.
Terlebih
jika memperhatikan ayat sebelumnya tentang sifat ulama adalah mereka yang
senantiasa takut kepada Allah Ta’ala, innamaa yakhsyaLlaaha min
‘ibaadihil-‘ulamaa-u. Dalam hal ini Tafsir Al-Mishbah menjelaskan:
Ayat
ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya merupakan penjelasan tentang siapa ulama
yang disebut oleh ayat yang lalu (QS. Fathir [35]: 28). (DR. Quraisy Shihab,
Tafsir Al-Mishbah: 11: 468)
Selain
ketiga amalan pada Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 tersebut dijanjikan tidak
akan mengalami kerugian, Allah Ta’ala pula berjanji akan menambahkan karunia
kepada para pelakunya. Firman Allah Ta’ala:
لِيُوَفِّيَهُمْ
أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ.
Agar
Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. Fathir [35]: 30)
Inilah
kesempurnaan berniaga dengan-Nya yang tidak akan didapatkan saat berjual beli
dengan sesama manusia, Imam Ath-Thabari menjelaskan dalam tafsirnya:
وَقَوْلُهُ : {لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ}
يَقُولُ : وَيُوَفِّيهُمُ اللَّهُ عَلَى فِعْلِهِمْ ذَلِكَ ثَوَابَ أَعْمَالِهِمُ الَّتِي
عَمِلُوهَا فِي الدُّنْيَا.
“Agar Allah menyempurnakan kepada
mereka pahala mereka” maksudnya adalah, Allah membalas secara sempurna
perbuatan mereka dengan pahala-pahala amal-amal yang mereka lakukan di dunia. (Ath-Thobari,
19: 365)
Bahkan tambahan karunia itu adalah syafa’at yang
didamba-damba oleh setiap manusia beriman, Imama Al-Qurthubi menafsirkan:
{وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ}
قيل: الزيادة الشفاعة في الآخرة. وهذا مثل الآية الأخرى.
“Dan menambahkan kepada mereka dari karunia-Nya,” maksudnya adalah ditambah dengan syafaat di akhirat. Sebagaimana dalam ayat lain
disebutkan, (QS. An-Nuur 37, An-Nisaa 173). (Tafsir Al-Qurthubi, 14:
345)
Ini semua yakni perniagaan bersama Allah Ta’ala yang
tidak ada ruginya adalah bukti kemaha sempurnaan sifat-Nya, sebagaimana ayat 30
Al-Qur’an surat Fathir ini ditutup dengan ungkapan:
{إِنَّهُ غَفُورٌ
شَكُورٌ}
Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun. (Fathir: 30) terhadap
dosa-dosa mereka. lagi Maha Bersyukur. (Fathir: 30)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Yaitu tetap akan membalas amal perbuatan mereka betapapun
kecilnya amal perbuatan mereka.
Dalam
menafsirkan kalimat innahuu ghafuurun syakuur tersebut, Al-Hafidz Ibnu
Katsir diantaranya mengutip hadis berikut:
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الخُدْريّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا رَضِيَ
عَنِ الْعَبْدِ أَثْنَى عَلَيْهِ سَبْعةَ أَصْنَافٍ مِنَ الْخَيْرِ لَمْ
يَعْمَلْهُ، وَإِذَا سَخِطَ عَلَى الْعَبْدِ أَثْنَى عَلَيْهِ سَبْعة أَصْنَافٍ
مِنَ الشَّرِّ لم يعمله. حديث غريب.
Dari
Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. apabila rida kepada hamba-Nya,
maka Dia memujinya dengan tujuh macam kebaikan yang tidak dikerjakannya. Dan
apabila murka kepada hamba-Nya, maka Dia menyebut-nyebutnya dengan tujuh macam
keburukan yang tidak dilakukannya. Hadis ini
berpredikat garib. (Tafsir Ibnu Katsir, 11: 321)
Semoga kita semua diberi kemampuan
untuk senantiasa mengkaji, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, mendirikan shalat, dan mendermakan harta di
jalan-Nya agar kemudian Allah Ta’ala “membeli”nya dengan ampunan, kasih sayang,
dan surga. Aamiin.
Wallaahu A’lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan