AL-QUR'AN SEBAGAI NUR ILAHI

 


Muqaddimah:

Ayat ini menutup uraian kelompok ayat-ayat tentang kabar bohong yang menimpa keluarga Nabi serta petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan isu tersebut. Dan sungguh, Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penjelasan, tuntunan hidup, dan contoh-contoh yang serupa dengan apa yang kamu alami dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu, seperti Maryam dan Yusuf yang dituduh berzina dan menerima pembebasan dari tuduhan itu; dan sebagai pelajaran bagi mereka yang mau membuka pikiran dan hatinya, yaitu orang-orang yang bertakwa.

وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (34) 

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. An-Nur {24}: 34)

Tafsir Mufradat:

Setelah menjelaskan hukum-hukum masalah ini dengan keterangan yang rinci, Allah Swt. berfirman:

{وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ}

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi penerangan. (An-Nur: 34)

Yaitu Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat ayat-ayat yang jelas lagi diterangkan.

{وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ}

dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian. (An-Nur: 34)

Yakni berita perihal umat-umat terdahulu dan azab yang menimpa mereka disebabkan menentang perintah-perintah Allah Swt., seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلا لِلآخِرِينَ}

dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (Az-Zukhruf: 56)

Maksudnya, sebagai pelajaran agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.

{وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ}

dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (An-Nur: 34)

Yakni bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan takut kepada-Nya.

Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan dalam gambarannya tentang Al-Qur'an, bahwa di dalam Al-Qur'an terkandung hukum yang memutuskan diantara kalian, berita yang terjadi sebelum kalian, dan kabar apa yang akan terjadi sesudah kalian. Al-Qur'an adalah pemisah (antara yang hak dan yang batil), bukan lelucon. Barang siapa yang meninggalkannya karena sikap angkuhnya, niscaya Allah akan membinasakannya; dan barang siapa yang mencari petunjuk bukan darinya, niscaya Allah akan menyesatkannya. (Tafsir Ibnu Katsir juz 6 hal 64-65)


Tafsir Ayat:

Allah telah menurunkan ayat-ayat-Nya yang jelas baik yang menyangkut hukum yang sangat berguna bagi kebahagiaan masyarakat manusia. Begitu pula Allah telah menurunkan kisah-kisah yang dapat menjadi contoh dan teladan yaitu kisah rasul-rasul dan umat-umat yang terdahulu seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Maryam dan sebagainya, selanjutnya tergantung kepada manusia itu sendiri apakah ia akan mengambil manfaat dari syariat dan kisah-kisah itu ataukah dia akan tetap berpaling tidak mengindahkan ajaran dan contoh teladan itu. Tetapi ajaran dan kisah-kisah itu tentu sangat berguna dan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

Ayat 34 menunjukkan agungnya ayat yang telah dibacakan pada hamba-Nya, supaya diketahui kedudukannya dan supaya hamba menjalankan haknya. Ayat yang disebutkan begitu jelas dan berisi hal-hal yang dibutuhkan manusia, ada di situ masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Kalau dikatakan jelas, berarti tidak ada isykal (kesamaran) dan syubhat. Dan sebelumnya ada juga berita-berita dari orang terdahulu, dari orang saleh maupun thaleh (orang yang durhaka), diceritakan pula mengenai amalan mereka. Kisah mereka bisa menjadi ibrah dan pelajaran bagi mereka yang perbuatannya semisal, juga akan dibalas kelak dengan balasan yang sama. Demikian penjelasan dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di, hlm. 598.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi juga menyatakan bahwa yang dimaksud dari ayat 34 adalah kisah dari umat sebelum kalian yang sudah tiada, seperti kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam, kisah Maryam, dan kisah lainnya bisa menjadi nasihat, peringatan, dan untuk menakut-nakuti. Juga kisah orang-orang terdahulu yang mendustakan, zalim, dan membangkang bisa menjadi ibrah dan pelajaran. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Surat An-Nuur, hlm. 241.

Ayat 35

Allah adalah pemberi cahaya, karenanya Dia menurunkan Al-Qur’an untuk menjadi cahaya bagi kehidupan manusia. Allah adalah pemberi cahaya pada langit dan bumi, baik cahaya material yang kasat mata maupun cahaya immaterial seperti keimanan, pengetahuan, dan lainnya. Perumpamaan kecerlangan cahaya-Nya yang menerangi hati orang-orang mukmin seperti sebuah lubang yang tidak tembus sehingga tidak diterpa angin yang dapat memadamkan cahaya, dan membantu mengumpulkan cahaya lalu memantulkannya; yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun, yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, sehingga pohon itu selalu mendapat sinar matahari sepanjang hari.

Kejernihan minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, berlapis-lapis; pelita adalah cahaya, demikian pula kaca dan minyak yang begitu jernih, sehingga sempurnalah sinarnya. Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, yaitu siapa saja yang mengikuti petunjuk Al-Qur’an, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia agar mereka mudah memahami kandungannya dan mengambil pelajaran darinya hingga akhirnya mau beriman. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu; tidak ada sedikit pun yang tersembunyi dari-Nya.

اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (35) 

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak di sebelah barat (nya), (yang minyaknya saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nur {24}: 35)


Tafsir Mufradat:

Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu Yang mengatur urusan yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya.

Dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman, "Cahaya-Ku adalah petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.

Dari As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah Saw. apabila bangun mengerjakan salatul lail-nya, beliau mengucapkan doa berikut:

"اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيّم السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ"

Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang ada padanya. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 585)

Kata نُورُ digunakan oleh bahasa dalam arti sesuatu yang menjelaskan/menghilangkan kegelapan sesuatu yang sifatnya gelap atau tidak jelas. Ia digunakan dalam pengertian hakiki untuk menunjuk sesuatu yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda di sekitarnya. Di sini nur merupakan sesuatu yang ditangkap oleh mata, dan dalam saat yang sama, mata pun dapat menangkap apa yang disinari olehnya. Dengan demikian dia adalah terang dan menerangi. Kata tersebut kemudian digunakan dalam arti majazi untuk menunjuk sesuatu yang menjelaskan hal-hal yang bersifat abstrak. Ini bermula dari hal-hal yang bersifat konkret dan indrawi, sehingga panca indra pun secara majazi dinamai nur. Dengannya terjangkau hal-hal yang bersifat indrawi, seperti pendengaran dan rasa. Penggunaan ini kemudian berkembang lagi hingga akal yang dapat menganalisis dan menangkap hal-hal yang bersifat abstrak dinamai juga nur. Demikian juga ilmu yang berfungsi menghilangkan kekaburan dan kegelapan yang menyelubungi benak seseorang. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 344-345) 

Firman Allah Swt.:

{مَثَلُ نُورِهِ}

Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35)

Mengenai rujukan damir ini ada dua pendapat. 

Pendapat pertama mengatakan bahwa damir Nurihi kembali kepada Allah Swt. sebagai tamsil yang menggambarkan hidayah Allah di dalam kalbu orang mukmin adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas.

Pendapat kedua, damir itu kembali kepada orang mukmin karena tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya orang mukmin yang ada di dalam kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus." Maka kalbu orang mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan Al-Qur'an yang diterimanya sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang diungkapkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ}

Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17)

Diserupakan dalam hal kejernihannya dengan lentera yang terbuat dari kaca yang tembus pandang lagi berkilauan. Sedangkan hidayah yang diterimanya dari Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan dengan minyaknya yang baik, jernih, bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan padanya, tiada pula penyimpangan.

Firman Allah Swt.:

{كَمِشْكَاةٍ}

seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35)

Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat ialah tempat lentera; ini menurut pendapat yang terkenal. Karena itu, disebutkan sesudahnya:

{فِيهَا مِصْبَاحٌ}

yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35)

Yakni pelita yang menyala.

{الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ}

Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35)

Yakni cahaya itu terpancarkan dari balik kaca yang jernih.

Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini merupakan perumpamaan bagi kalbu orang mukmin. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 585)

Kata مِشْكَاةٍ dipahami oleh ulama dalam arti lubang/celah yang tidak tembus. Kata ini adalah salah satu kata non Arab yang digunakan Al-Qur’an. Sementara ulama berpendapat bahwa ia berasal dari bahasa Habasyah/Ethiopia. Ada juga yang berpendapat bahwa maknanya adalah tiang yang dipuncuknya diletakkan lampu. Pendapat lain menyatakan bahwa ia adalah besi tempat meletakkan sumbu dalam lampu semprong. Namun pendapat pertama itulah yang paling populer dan sesuai, karena seperti yang dikemukakan di atas, celah yang tidak tembus menjadikan nyala lampu tidak diterpa angin yang dapat memadamkannya, dan membantu pula menghimpun cahaya dan memantulkannya ke arah tertentu.

Kata مِصْبَاحٌ adalah alat berupa wadah/tempat menyalakan sumbu atau tabung, sedang زُجَاجَةٍ adalah kaca penutup nyala lampu itu (semprong). Ayat di atas mendahulukan penyebutan kata misykah, karena yang hendak dilukiskan adalah keadaan mishbah itu dengan cahaya lampu, yang di sini sangat kait berkait dengan hal-hal lain yang disebut sesudahnya. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 345) 

{الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ}

(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35)

Sebagian ulama membacanya durrin tanpa memakai hamzah; berasal dari ad-durr, yakni seakan-akan kaca itu adalah bintang permata yang bercahaya. Sedangkan ulama lainnya membacanya dir'an atau dur'un, berasal dari dur'un yang artinya terdorong. Demikian itu karena bintang bila terlemparkan, maka cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya. Dan orang-orang Arab menamakan bintang yang tidak dikenal dengan sebutan darari.

Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya terang.

Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah bintang yang terang jelas lagi besar. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 585)

Kata كَوْكَبٌ digunakan Al-Qur’an untuk bintang yang bercahaya. Sementara ulama membatasinya dalam arti bintang Mars. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 345)


{يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ}

yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. (An-Nur: 35)

Yakni bahan bakarnya dari minyak zaitun, yang merupakan pohon yang banyak berkahnya. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 585)

Kata يُوقَدُ terambil dari kata waqud yakni bahan bakar. Dengan demikian kata tersebut mengandung makna bahwa bahan bakar yang digunakan untuk menyalakan pelita itu adalah yang bersumber dari pohon yang penuh berkat (Pohon Zaitun). Penggunaan bentuk kata kerja masa kini dan datang (mudhari) pada kata tersebut mengisyaratkan bahwa bahan bakarnya tidak pernah habis, selalu ditambah dan ditambah sehingga cahaya pelita itu bersinambung tidak henti-hentinya. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 345)

{زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ}

(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)

Lafaz zaitunah berkedudukan sebagai badal atau 'ataf bayan. Yakni pohon zaitun tersebut tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya sinar mentari pagi tidak dapat sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan baratnya yang akibatnya ada bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di saat matahari condong ke arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah pertengahan yang selalu terkena sinar mentari sejak pagi hari sampai petang hari, sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.

dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak tertutupi oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua. Pendek kata, pohon itu tidak tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak yang paling baik.

As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur sekali, bukan pula terletak di sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di puncak bukit atau di tengah padang sahara yang selalu terkena sinar mentari sepanjang harinya.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon itu berada di tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak tampak dari sebelah timur, tidak pula dari sebelah barat.

Pendapat yang paling utama di antara semua pendapat yang ada adalah pendapat yang pertama. Yakni pendapat yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh di tempat yang luas dan kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak pagi sampai petang. Yang demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling jernih dan paling lembut, seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan orang-orang terdahulu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:

{يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ}

yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (An-Nur: 35)

Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak itu seakan-akan menyala karena jernih dan cemerlangnya.

Firman Allah Swt.:

{نُورٌ عَلَى نُورٍ}

Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35)

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah menggambarkan tentang iman seorang hamba dan amalnya.

Mujahid mengatakan -demikian juga As-Saddi- bahwa makna yang dimaksud ialah cahaya api dan cahaya minyak zaitun. Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di dalam lima nur (cahaya); ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya, dan tempat kembalinya ialah ke dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi oleh cahaya.

As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya minyak, saat bertemu kedua-duanya menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi tanpa yang lainnya. Demikian pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala keduanya bertemu, maka masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan keberadaan yang lainnya. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 586)

Kata nuur jika dikemukakan dalam konteks uraian tentang manusia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat mengandung makna hidayah dan petunjuk Allah dan dampak hasilnya sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 257: 

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ

Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).

Kata nuur dalam ayat di atas berbentuk tunggal, ini karena cahaya keimanan adalah satu dalam hakikat dan substansinya, sedangkan kekufuran beraneka ragam. Cahaya iman, apabila telah meresap ke dalam hati seseorang, cahaya itu akan menerangi jalannya, dan dengannya ia akan mampu menangkal segala macam kegelapan, bahkan dengannya ia mampu menjangkau sekian banyak hakikat dalam perjalanan hidupnya. 

Adapun jika kata Nuur itu atau bentuknya menyifati benda-benda langit, ia mengandung makna cahaya, tetapi cahaya yang merupakan pantulan dari benda langit lainnya yang bercahaya. Ketika berbicara tentang matahari dan bulan, al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menjadikan matahari Dhiya dan bulan Nuur sebagaimana dalam Q.S. Yunus ayat 5: 

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (5) 

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

Dalam ayat di atas dijelaskan Allah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, kata dhiya’ dipahami ulama sebagai cahaya yang sangat terang karena menurut mereka ayat ini menggunakan kata tersebut untuk matahari dan menggunakan kata an-Nuur untuk bulan, sedang cahaya bulan tidak seterang cahaya matahari. Asy-Sya’rawi menulis bahwa ayat ini menamai sinar matahari (dhiya’) karena cahayanya menghasilkan panas atau kehangatan, sedang kata an-Nuur memberi cahaya yang tidak terlalu besar dan juga tidak menghasilkan kehangatan. Dari al-Qur’an ditemukan bahwa kata yang terangkai dari huruf-huruf yang sama dengan huruf-huruf kata dhiya’ digunakan untuk menunjuk cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri. Karena itu, matahari dijadikan Allah dhiya’ bukan nuur, karena cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, bukan pantulan sebagaimana halnya bulan. 

Al-Qur’an selalu menggunakan kata nuur dalam bentuk tunggal, berbeda dengan kegelapan (zhulumat) yang selalu berbentuk jamak. Ini untuk mengisyaratkan bahwa sumber cahaya hanya satu, yaitu Allah swt. Adapun kegelapan, sungguh banyak dan sumbernya pun beraneka ragam. Di sisi lain, ketika al-Qur’an menyebut nuur dan zhulumat secara bergandengan, yang disebutnya terlebih dahulu adalah zhulumat. Ini bukan saja karena kegelapan mendahului cahaya, tetapi karena cahaya petunjuk-Nya adalah nuur ‘ala nuur yakni cahaya di atas cahaya, maka betapapun terangnya cahaya yang telah diraih, masih ada cahaya terang melebihinya, dan ketika berada pada cahaya yang melebihi itu, cahaya yang diraih sebelumnya adalah relatif gelap. 

Itu sebabnya mereka yang telah memperoleh cahaya petunjuk-Nya pun masih dapat memeroleh tambahan petunjuk sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Maryam ayat 76: 

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.

Ayat ini adalah gambaran tentang cahaya petunjuk Ilahi. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 346-348)

Firman Allah Swt.:

{يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}

Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur: 35)

Yakni Allah membimbing ke jalan petunjuk siapa yang Dia pilih. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 586)

Firmannya يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ yakni kata nuur atau cahayanya itu dianugerahkan atas dasar kehendak-Nya semata-mata dan kehendak-Nya itu berkaitan dengan sikap manusia, apakah ia mau meraihnya atau enggan. Ini berarti cahaya Allah yang melimpah itu tidak terhalangi. Dia menganugerahkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki, tetapi yang bersangkutan terlebih dahulu harus bersedia untuk menerimanya, ini dapat dipahami dengan mengamati matahari. Amatilah sang surya itu ketika memancarkan cahayanya. Ia tidak membedakan satu makhluk dengan dengan makhluk yang lain. Tidak seorangpun merasa kekurangan cahaya atau kehangatan, betapapun besarnya keramaian. Kalau ada yang tidak memperoleh kehangatan cahayanya, atau merasa kekurangan, itu karena posisinya yang keliru. Itu karena dia menjauh dari cahaya yang bersinar itu begitu jugalah cahaya ilahi. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 351-352)

Firman Allah Swt.:

{وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35)

Setelah menuturkan hal tersebut sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya di dalam kalbu orang mukmin, maka Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nur: 35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ -يَعْنِي شَيْبَانَ -، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي البَخْتَري، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ السِّرَاجِ يُزهرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَح: فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ الْكَافِرِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ [الْمُنَافِقِ] عَرَفَ ثُمَّ أَنْكَرَ. وَأَمَّا الْقَلْبُ المُصْفَح فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ، وَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدّها الْمَاءُ الطَّيِّبُ، وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ القُرحة يَمُدَّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ، فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ عَلَيْهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kalbu itu ada empat macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya; kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya. Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran), kemudian mengingkari¬nya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah; maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang menang.

Sanad hadis berpredikat jayyid, tetapi mereka (ashabus sunan) tidak mengetengahkannya. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 585-586)

Kalimat وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ ini mengandung makna-makna yang sangat dalam, tidak semua orang dapat menjangkau maknanya, tetapi masing-masing memahami sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Memang demikianlah matsal (perumpamaan) al-Qur’an, dia mengandung aneka makna yang dipaparkan kepada manusia tetapi hanya orang-orang yang pengetahuannya dalam yang dapat memahaminya dengan baik. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Al-Ankabut ayat 43:

وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ (43) 

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 352)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an mempunyai makna-makna yang dalam, bukan terbatas pada katakatanya. Masing-masing orang, sesuai kemampuan ilmiahnya, dapat menimba dari matsal itu pemahaman yang berbeda-beda, bahkan lebih dalam dari orang lain. Dari penjelasan tersebut bahwa perumpamaan itu bukan sekedar perumpamaan yang bertujuan sebagai hiasan kata-kata, tetapi ia mengandung makna serta pembuktian yang jelas.

Tafsir Ayat:

Ayat ini menerangkan bahwa Allah adalah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi dan semua yang ada pada keduanya. Dengan cahaya itu segala sesuatu berjalan dengan tertib dan teratur, tak ada yang menyimpang dari jalan yang telah ditentukan baginya, ibarat orang yang berjalan di tengah malam yang gelap gulita dan di tangannya ada sebuah lampu yang terang benderang yang menerangi apa yang ada di sekitarnya. Tentu dia akan aman dalam perjalanannya tidak akan tersesat atau terperosok ke jurang yang dalam, walau bagaimana pun banyak liku-liku yang dilaluinya. Berbeda dengan orang yang tidak mempunyai lampu, tentu akan banyak menemui kesulitan. Meraba-raba kesana kemari berjalan tertegun-tegun karena tidak tahu arah, maka pastilah orang ini akan tersesat atau mendapat kecelakaan karena tidak melihat alam sekitarnya. Amat besarlah faedahnya cahaya yang diberikan Allah kepada alam semesta ini. Cahaya yang dikaruniakan Allah itu bukan sembarang cahaya. Ia adalah cahaya yang istimewa yang tidak ada bandingannya, karena cahaya itu bukan saja menerangi alam lahiriah, tetapi menerangi batiniah.

Allah memberikan perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia pada waktu diturunkannya ayat ini, yaitu dengan cahaya lampu yang dianggap pada masa itu merupakan cahaya yang paling cemerlang. Mungkin bagi kita sekarang ini cahaya lampu itu kurang artinya bila dibandingkan dengan cahaya lampu listrik seribu watt apalagi cahaya yang dapat menembus lapisan-lapisan yang ada di depannya. Sebenarnya cahaya yang menjadi sumber kekuatan bagi alam semesta tidak dapat diserupakan dengan cahaya apa pun yang dapat ditemukan manusia seperti cahaya laser umpamanya.

Allah memberikan perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan cahaya sebuah lampu yang terletak pada suatu tempat di dinding rumah yang sengaja dibuat untuk meletakkan lampu sehingga cahayanya amat terang sekali, berlainan dengan lampu yang diletakkan di tengah rumah, maka cahayanya akan berkurang karena luasnya ruangan yang menyerap cahayanya. Sumbu lampu itu berada dalam kaca yang bersih dan jernih. Kaca itu sendiri sudah cemerlang seperti kristal. Minyaknya diperas dari buah zaitun yang ditanam di atas bukit, selalu disinari cahaya matahari pagi dan petang. Maka pada ayat ini diibaratkan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak tumbuh di timur dan tidak pula di barat, karena kalau pohon itu tumbuh di sebelah timur, mungkin pada sorenya tidak ditimpa cahaya matahari lagi, demikian pula sebaliknya. Minyak lampu itu sendiri karena jernihnya dan baik mutunya hampir-hampir bercahaya, walaupun belum disentuh api, apalagi kalau sudah menyala tentulah cahaya yang ditimbulkannya akan berlipat ganda.

Di samping cahaya lampu itu sendiri yang amat cemerlang, cahaya itu juga dipantulkan oleh tempat letaknya, maka cahaya yang dipantulkan lampu itu menjadi berlipat ganda. Demikianlah perumpamaan bagi cahaya Allah meskipun amat jauh perbedaan antara cahaya Allah dan cahaya yang dijadikan perumpamaan.

Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk mendapat cahaya itu sehingga dia selalu menempuh jalan yang lurus yang menyampaikannya kepada cita-citanya yang baik dan selalu bertindak bijaksana dalam menghadapi berbagai macam persoalan dalam hidupnya. Berbahagialah orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu, karena dia telah mempunyai pedoman yang tepat yang tidak akan membawanya kepada hal-hal yang tidak benar dan menyesatkan. Untuk memperoleh Nur Ilahi itu seseorang harus benar-benar beriman dan taat kepada perintah Allah serta menjauhi segala perbuatan maksiat.

Imam Syafi'i pernah bertanya kepada gurunya yang bernama Waki' tentang hafalannya yang tidak pernah mantap dan cepat lupa, maka gurunya itu menasehatinya supaya ia menjauhi segala perbuatan maksiat, karena ilmu itu adalah Nur Ilahi, dan Nur Ilahi itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. 

Seperti dalam syair di bawah ini: Aku mengadu kepada Waki' tentang buruknya hafalanku, Lalu ia menasihatiku agar meninggalkan kemaksiatan. Ia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya, Dan Cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.

Yahya bin Salam pernah berkata, "Hati seorang mukmin dapat mengetahui mana yang benar sebelum diterangkan kepadanya, karena hatinya itu selalu sesuai dengan kebenaran." Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw.

Berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan Nur Allah. (Riwayat al-Bukhari dalam kitab at-Tarikh al-Kabir dari Abu Sa'id al-Khudri)

Tentu saja yang dimaksud dengan orang mukmin di sini ialah orang-orang yang benar beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sepenuhnya.

Ibnu 'Abbas berkata tentang ayat ini, "Inilah contoh bagi Nur Allah dan petunjuk-Nya yang berada dalam hati orang mukmin. Jika minyak lampu dapat bercahaya sendiri sebelum disentuh api, dan bila disentuh oleh api bertambah cemerlang cahayanya, maka seperti itu pula hati orang mukmin, dia selalu mendapat petunjuk dalam tindakannya sebelum dia diberi ilmu. Apabila dia diberi ilmu, akan bertambahlah keyakinannya, dan bertambah pula cahaya dalam hatinya. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan kepada manusia tentang Nur-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Keterangan Tambahan:

Dalam ayat 35 disebutkan, “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Sebagaimana keterangan dalam Tafsir As-Sa’di, maksudnya adalah Allah itu secara hissi (yang nampak) dan maknawi adalah nuur (cahaya). Secara dzatnya, Allah itu cahaya. Hijabnya itu juga cahaya, yang seandainya tak ada hijab ini dan tak ada kelemahlembutan Allah, maka sejauh pandangan-Nya akan hangus terbakar. Allah juga menyinari ‘Arsy, kursi-Nya, matahari, rembulan, cahaya, dan surga pun mendapatkan cahaya.

Ada juga maknanya adalah nur (cahaya) secara maknawi. Maknanya, kitab Allah adalah cahaya, syariat-Nya adalah cahaya, iman dan makrifah pada hati para rasul dan orang beriman adalah cahaya. Seandainya Allah tidak memberikan cahaya ini, maka kita dibiarkan dalam keadaan zhulumaat (gelap gulita).

Lanjutan ayatnya disebutkan, “Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis).” Nuur ‘alan nuur, maksudnya adalah cahayanya berasal dari api dan berasal dari minyaknya itu sendiri.

Menurut Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah, inti pada perumpamaan yang dibuat Allah ini dan prakteknya pada keadaan orang mukmin dan pada cahaya Allah di hatinya adalah bahwa fitrah-Nya yang manusia diciptakan di atasnya seperti minyak yang bersih. Fitrahnya bersih dan siap menerima pengajaran dari Allah serta mengamalkannya. Jika ilmu sampai kepadanya, maka menyala cahaya yang ada di hatinya seperti halnya sumbu yang menyala di dalam lampu itu, hatinya bersih dari maksud yang buruk dan paham yang buruk. Apabila iman sampai kepadanya, maka akan bersinar lagi hatinya dengan sinar yang terang karena bersih dari kotoran, dan hal itu seperti bersihnya kaca yang berkilau, sehingga berkumpullah cahaya fitrah, cahaya iman, cahaya ilmu, dan bersihnya ma’rifat (mengenal Allah), sehingga cahaya tersebut di atas cahaya. Oleh karena cahaya tersebut berasal dari Allah Ta’ala, dan tidak setiap orang berhak mendapatkannya, maka Allah menerangkan bahwa Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, di mana Dia mengetahui kebersihan dan kesucian dirinya. Agar mereka dapat lebih memahami sebagai kelembutan dan ihsan dari-Nya kepada mereka, dan agar kebenaran semakin jelas. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Oleh karena itu, hendaklah kamu mengetahui bahwa perumpamaan itu adalah perumpamaan dari yang mengetahui hakikat segala sesuatu dan rinciannya, dan bahwa perumpamaan itu adalah untuk maslahat bagi hamba. Oleh karena itu, hendaknya kesibukanmu adalah memikirkannya dan memahaminya, tidak malah membantahnya dan mempertentangkannya, karena Dia mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui. Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 599.

Diterangkan pula oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, cahaya di atas cahaya maksudnya adalah cahaya dari lampu (al-mishbah) di atas cahaya dari apa yang ada dalam minyak. Minyak ini aslinya bercahaya. Itulah yang disebutkan dalam ayat:

يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ

“Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.” (QS. An-Nuur: 35). Kalau tidak disentuh api saja minyak tersebut saja sudah bercahaya, bagaimana lagi kalau disentuh api? Sama halnya dengan cahaya iman dalam hati, itulah seperti minyak tadi. Sedangkan ilmu dan hidayah adalah api yang mengenai minyak tadi. Itulah permisalan untuk iman dan ilmu. Padahal iman dan ilmu lebih dari permisalan ini, dan dalam ayat hanyalah permisalan saja. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat An-Nuur, hlm. 247.

Ini Permisalan Untuk Siapa?

Ada beberapa pendapat dalam hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaad Al-Masiir.

1. Yang dimaksud adalah cahaya Muhammad. Lubang yang dimaksud adalah dalam tubuh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pelita yang dimaksud adalah pelita hati Muhammad. Kaca yang dimaksud adalah hatinya. Beliau berasal dari tanaman yang penuh berkah yaitu berasal dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Alasannya pula, kebanyakan nabi merupakan keturunan dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Tidak dari timur maupun barat, yaitu tidak Yahudi dan Nashrani. Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan pada manusia bahwa ia adalah seorang nabi walaupun ia tidak pandai bicara.

2. Yang dimaksud adalah cahaya iman dalam hati mukmin dengan pelita. Lubangnya itu adalah hatinya. Pelitanya itu cahaya iman di dalamnya. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa lubang itu adalah dadanya, sedangkan pelita itu adalah Al-Qur’an dan iman, di mana Al-Qur’an dan iman keduanya berada dalam dada. Sedangkan kaca itu adalah hatinya. Jika ilmu itu datang, maka bertambahlah petunjuk di atas petunjuk, sebagaimana minyak itu bercahaya sebelum disentuh api. Jika disentuh api, bertambahlah cahaya. Seorang mukmin, kata-katanya itu cahaya, amalannya itu cahaya, masuk dan keluarnya cahaya, dan kembali dalam keadaan bercahaya pada hari kiamat.

3. Yang dimisalkan adalah Al-Qur’an, Al-Qur’an itulah pelita. Pelita itu terus bersinar dan tidak berkurang. Sedangkan kaca itu adalah hati orang beriman. Lubang yang dimaksud adalah lisan dan mulutnya. Pohon penuh berkah adalah pohon wahyu. Di sini menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan Al-Qur’an itu begitu jelas walau belum dibaca. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa argumen Al-Qur’an itu begitu jelas bagi yang mau merenungkan dan mentadabburinya walau Al-Qur’an itu belum turun. Itulah cahaya di atas cahaya (nuur ‘alan nuur). Artinya, Al-Qur’an itu cahaya dari Allah pada hamba-Nya dengan dalil-dalil yang gamblang, bahkan itu sudah jelas sebelum Al-Qur’an itu turun.

Inilah yang Allah jelaskan pada hamba-Nya dengan permisalan sehingga mudah dipahami dan mudah ditangkap.

Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa mengenai ayat:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allah itu pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi. Dalam pendapat lainnya, maksudnya adalah Allah itu pengatur urusan di langit dan di bumi, termasuk mengatur bintang, matahari, dan rembulan.


Sedangkan maksud ayat:

مَثَلُ نُورِهِ

Permisalan cahaya-Nya, maksudnya adalah cahaya orang mukmin yang Allah jadikan iman dan Al-Qur’an pada dadanya, lantas diberikan permisalan dalam ayat ini. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah permisalan cahaya Allah berupa petunjuk dalam hati orang beriman.

Sedangkan maksud ayat:

وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”, yaitu Allah yang Mahatahu siapakah yang pantas mendapatkan hidayah dan siapakah yang pantas mendapatkan kesesatan. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:540-545.

Cahaya Iman dan Al-Qur’an

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (5:544), cahaya di atas cahaya adalah cahaya api dan cahaya minyak ketika bersatu, maka keduanya saling menerangi. Begitu pula cahaya Al-Qur’an dan cahaya iman ketika bersatu, keduanya akan saling mendukung, tak bisa terpisah.

Faedah Ayat:

1. Segala kebaikan, segala cahaya, segala hidayah, sumbernya dari Allah Ta’ala, dari Allah-lah semua itu diminta.

2. Dalam ayat ini digunakan permisalan sehingga mudah diambil pelajaran.

3. Agama Islam adalah agama yang lurus (hanif). Siapa yang mengikuti Islam berarti ia mendapatkan petunjuk. Siapa yang jauh dari Islam, berarti ia sesat.

4. Semakin seseorang dekat kepada Allah, semakin mudah ia mendapatkan hidayah, bahkan ia akan mendapatkan petunjuk dari segala sisi, itulah cahaya di atas cahaya. Itulah derajat wali Allah yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (H.R. Bukhari, no. 2506)


Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia (Bidang Jam'iyyah PD Pemuda Persis Kota Bandung)

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama