MUSYAWARAH DALAM BERJAM'IYYAH

 


MUQADIMMAH:

Musyawarah merupakan perundingan dengan bertukar pendapat dari berbagai pihak mengenai suatu masalah untuk dipertimbangkan dan diputuskan, demi terciptanya kemaslahatan bersama. Urgensi musyawarah dalam kehidupan manusia, bagaikan mengambil madu dari sarang lebah. Selain berfungsi sebagai minuman yang lezat, juga berfungsi sebagai obat. Implementasi musyawarah dalam al-Qur’an meliputi semua aspek kegiatan manusia, baik yang terkait dengan kehidupan rumah tangga, urusan keagamaan, maupun dalam penyelesaian urusan politik, taktik dan strategi perang. Di antara manfaat yang diperoleh dari musyawarah adalah saling menghormati atas keputusan bersama tanpa disertai dengan penyesalan, meski pada akhirnya hasil keputusan tersebut tidak membuahkan pencapaian yang maksimal.

Kata syûrâ (musyawarah) berasal dari bahasa Arab, yang merupakan masdar dari akar kata “syawara”, yang secara harfiah berarti menyarikan/mengambil madu dari sarang lebah. Kemudian makna ini berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).

Secara istilah penggunaan kata syûrâ dikaitkan secara harfiah mengandung arti menyarikan suatu pendapat berkenaan dengan suatu permasalahan. Seiring dengan hal tersebut, maka syûrâ dapat diartikan tukar menukar fikiran untuk mengetahui dan menetapkan pendapat yang dipandang benar. Syûrâ dapat juga dipahami sebagai suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan.

Petunjuk yang diisyaratkan al-Qur’an mengenai beberapa sikap yang harus dilakukan seseorang untuk mensukseskan musyawarah secara tersurat ditemukan dalam surat Alȋ ‘Imrân ayat 159 yang ditujukan kepada Nabi saw. Hal ini dengan mudah dipahami dari redaksinya yang berbentuk tunggal. Namun demikian para pakar Al-Qur’an sepakat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang.

Dalam persoalan yang menyangkut kepentingan umum atau masyarakat Nabi saw. selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para shahabatnya guna memantapkan hati para shahabat sekaligus sebagai pembelajaran pentingnya musyawarah bagi manusia secara umum. Sebagaimana hadîts Nabi yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah.

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Tidak ada seorangpun yang lebih banyak melakukan musyawarah dengan shahabatnya dibandingkan dengan Rasûlulâh saw. (H.R. al-Tirmidzî)

Rasulullah saw menandaskan bahwa makna penting musyawarah adalah menggali petunjuk yang berkaitan dengan berbagai urusan yang dimusyawarahkan. Demikan pula teladan yang diberikan oleh khalîfah pertama, Abû Bakar, mengadakan syûrâ sebelum mengadakan ekspedisi untuk menghadapi orang-orang yang menolak membayar zakat. Khalȋfah kedua, Umar melakukan syûrâ dalam berbagai urusan militer dan pemerintahan.

IMPLEMENTASI MUSYAWARAH DALAM AL-QUR’AN

Dari tiga ayat yang secara tekstual membicarakan tentang musyawarah dalam al-Qur’an, ditemukan tiga lapangan musyawarah:

MUSYAWARAH DALAM URUSAN RUMAH TANGGA

Penekanan terhadap urgensi musyawarah dalam urusan rumah tangga, disebutkan dalam QS al-Baqarah/2: 233, yaitu:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233)

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah meanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Keterangan:

Ayat ini membicarakan tentang hubungan suami-istri pada saat mengambil keputusan melalui musyawarah yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga dan persoalan anak-anak mereka, seperti pemberian nafkah, pakaian, dan penyusuan anak. M.Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam ayat tersebut, al-Qur’an memberi petunjuk agar persoalan menyapih anak dan persoalan-persoalan rumah tangga lainnya, dimusyawarahkan oleh suami-istri.

Tidak banyak penjelasan para mufassir tentang kandungan ayat ini, terutama yang berkaitan dengan musyawarah. Intinya, QS al-Baqarah/2: 233 hanya menekankan pada urgensi musyawarah dalam memutuskan masalah rumah tangga. Artinya, meski menyangkut masalah rumah tangga, upaya musyawarah dan sikap demokratis harus tetap dijunjung tinggi.

MUSYAWARAH DALAM URUSAN PERANG

Urgensi musyawarah dalam urusan perang ditegaskan dalam QS Āli ‘Imrān/3: 159, yaitu:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

Keterangan:

Secara tekstual, perintah musyawarah dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. dalam kaitannya dengan petaka yang terjadi pada perang Uhud. Sebelum berlangsungnya perang, Rasulullah saw. telah bermusyawarah dengan para sahabat mengenai strategi yang akan ditempuh. Namun, ternyata hasilnya tidak memuaskan karena mengalami kegagalan. Implikasi dari kegagalan tersebut boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan, apalagi bagi Rasulullah saw. Akan tetapi, pesan penting dari ayat tersebut bahwa kesalahan yang dilakukan setelah musyawarah, tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah. Sebaliknya, kesuksesan yang diraih sendirian, tidak sebaik kesuksesan yang diraih bersama. Meski secara tekstual ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. untuk memusyawarhkan persoalan-persoalan tertentu dengan para sahabat dan anggota masyarakatnya, namun ayat tersebut memerintahkan kepada seluruh umat Islam, khususnya kepada setiap pemimpin agar bermusyawarah dengan bawahannya.

MUSYAWARAH DALAM URUSAN KEAGAMAAN

Bermusyawarah dalam urusan keagamaan tampaknya juga penting, sebagaimana dalam QS al-Syūrā/42: 38, yaitu:

وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (38)

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Keterangan:

Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anṣār) yang bersedia membela Rasulullah saw. dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang dilaksanakan di rumah Abū Ayyūb al-Anṣārī. Meski demikian, kandungan ayat ini berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah. Pesan yang dapat ditangkap dalam ayat ini bahwa musyawarah berjalan beriringan dengan ketiga pilar keimanan, yaitu ketaatan kepada perintah Allah, mendirikan salat, dan berinfak di jalan Allah. Dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan bahwa musyawarah merupakan kewajiban atas dasar perintah yang sama.

Kajian tentang urgensi musyawarah dalam al-Qur’an tidak hanya ditemukan dalam tiga ayat yang secara tekstual menunjuk pada redaksi syūrā, sebagaimana telah diuraikan. Namun, urgensi tersebut dapat ditemukan secara kontekstual pada implementasi yang terekam dalam beberapa ayat al-Qur’an. Berikut ini akan dikemukakan dua kasus implementasi musyawarah dalam al- Qur’an.

MUSYAWARAH DALAM PENCIPTAAN ADAM SEBAGAI KHALIFAH

Musyawarah yang dilakukan Allah dengan para malaikat sebelum penciptaan Adam sebagai khalifah, terekam dalam QS al-Baqarah/2: 30, yaitu:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu ketika berfirman kepada para malaikat: “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama- Mu”. Dia berfirman: “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Keterangan:

Ayat ini mengisahkan tentang dialog yang berlangsung antara Allah dengan para malaikat sebelum pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Dalam dialog tersebut, para malaikat meramalkan Adam beserta anak cucunya akan membuat kerusakan di bumi dan saling menumpahkan darah. Namun, ramalan tersebut ditepis oleh Allah bahwa tidak semua manusia memiliki watak dan sifat yang buruk seperti dugaan malaikat. Dari dialog tersebut, dapat dipahami secara kontekstual terjadinya musyawarah antara Allah dan para malaikat. Sesungguhnya, meski tanpa musyawarah, Allah dapat saja langsung mengangkat Adam sebagai khalifah, sebab Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Namun, dialog yang terkandung dalam QS al-Baqarah/2: 30 tersebut merupakan petunjuk bagi manusia agar mengembangkan tradisi musyawarah dalam setiap urusan penting yang akan dilaksanakan.

MUSYAWARAH PENYINGKIRAN NABI YUSUF OLEH SAUDARA-SAUDARANYA

Musyawarah putra-putra Ya‘qub dalam menyingkirkan Nabi Yusuf, dikisahkan dalam QS Yūsuf/12: 8-10, yaitu:

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (8) اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ (9) قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (10)

8. Ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita dalam kekeliruan yang nyata. 9. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu kamu menjadi orang yang baik". 10. Seorang di antara mereka berkata: "Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat".

Keterangan:

Rangkaian ayat tersebut berbicara tentang dialog saudara-saudara Nabi Yusuf yang ingin mencelakainya karena merasa sakit hati atas perlakuan Nabi Ya‘qub yang memberikan kasih sayang berlebihan kepada Nabi Yusuf. Dalam dialog tersebut, muncul beberapa saran, yaitu membunuh, membuang ke tempat yang jauh, atau memasukkan ke dasar sumur. Akhirnya, yang disepakati oleh mereka adalah usulan terakhir. Dari hasil dialog tersebut, dapat dipahami bahwa musyawarah dalam hal kejahatan pun, ternyata membawa kemaslahatan, yaitu dari kejahatan yang berat (membunuh), berubah menjadi kejahatan yang ringan (memasukkan ke dasar sumur). Dengan demikian, bermusyawarah dalam berbagai urusan akan membawa kepada keputusan yang tepat, meski urusan itu terkait dengan kejahatan.

MUSYAWARAH POLITIK (AS-SIYĀSĪ) DALAM QS AL-NAML/27: 29-35

Fiqh Siyāsah adalah kalimat majemuk dari dua kata, yaitu fiqh dan siyāsah. Kata fiqh adalah bentuk maṣdar dari kata faqiha yang berarti pemahaman yang mendalam. Sedangkan kata siyāsah bentuk maṣdar dari kata sāsa yang berarti mengatur, memelihara, dan melatih. Dengan demikian, Fiqh Siyāsah adalah salah satu disiplin ilmu fikih yang mengatur tentang hubungan antara warga negara dengan lembaga negara, baik hubungan intern maupun ekstern antar negara, dalam berbagai kehidupan.

Mengacu pada definisi tersebut, dapat dipahami bahwa kajian Fiqh Siyāsah berkenaan dengan tiga aspek:

Pertama, rumusan peraturan dan perundang- undangan sebuah negara sebagai pedoman dan landasan moral dalam mewujudkan kemashalatan umat.

Kedua, pengorganisasian dan pengaturan kehidupan bermasyarakat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.

Ketiga, mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam upaya mencapai tujuan bernegara. QS al-Naml/27: 29-35 yang mengisahkan hubungan politik luar negeri antara Ratu Saba’ dengan Nabi Sulaiman adalah bagian dari kajian Fiqh Siyāsah. Selain itu, ayat tersebut juga mengisahkan musyawarah politik secara intern dalam lingkungan Kerajaan Saba’ yang mengatur strategi dalam menanggapi surat Nabi Sulaiman. Untuk lebih jelasnya, rangkaian ayat tersebut adalah:

قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ إِنِّي أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيمٌ (29) إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (30) أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (31) قَالَتْ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنْتُ قَاطِعَةً أَمْرًا حَتَّى تَشْهَدُونِ (32) قَالُوا نَحْنُ أُولُو قُوَّةٍ وَأُولُو بَأْسٍ شَدِيدٍ وَالْأَمْرُ إِلَيْكِ فَانْظُرِي مَاذَا تَأْمُرِينَ (33) قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (34) وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ (35)

29. Dia (Ratu Saba’) berkata: "Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang mulia”. 30. Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya: "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. 31. Janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". 32. Dia (Ratu Saba’) berkata: "Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini). Aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelis(ku)". 33. Mereka menjawab: "Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan". 34. Dia (Ratu Saba’) berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian apa yang akan mereka perbuat. 35. Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu".

Keterangan:

Pada ayat sebelumnya dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman mengirim “surat sakti” kepada Ratu Saba’. Dikatakan sakti, karena tidak ada seorang pun yang mengetahui siapa yang mengantar surat tersebut, termasuk Ratu Saba’ sendiri. Setelah Ratu Saba’ menerima surat itu di tempat tidurnya, ia segera mengumpulkan pejabat terasnya untuk membahas isi surat tersebut.

Setelah surat itu dibaca dan dipahami oleh Ratu Saba’, ia mengumpulkan pejabat terasnya, kemudian menyampaikan kepada mereka dengan menyebut surat tersebut sebagai kitābun karīm. Penyebutan sebagai kitābun karīm (surat mulia), mengacu pada dua hal:

Pertama, sang ratu telah membaca isi surat tersebut sehingga ia dengan tegas menyatakannya sebagai surat mulia.

Kedua, sang ratu menyadari bahwa surat itu telah memenuhi sifat-sifat terpuji yang sesuai dengan tata cara surat menyurat (korespondensi), mulai dari keindahan tulisannya, kerapian sampulnya, keserasian isinya, dan kemuliaan pengirimnya bahwa ia ditulis oleh sang penguasa yang bernama Sulaiman.

Selain itu, pernyataan Ratu Saba’ dengan kitābun karīm, mengacu pada makna upaya sang ratu untuk menghindari permusuhan dan perselisihan, meski rasa phobi ini tidak disebutkan secara gamblang. Ketakutan akan terjadi konflik tersebut, tampak ketika Ratu Saba’ memberikan pertimbangan akan dampak negatif peperangan yang disampaikan dalam majelis musyawarah bersama pejabat terasnya. Meski rangkaian QS al-Naml/27: 29-34 mendeskripsikan tentang eksistensi musyawarah yang dilakukan Ratu Saba’, namun menurut M. Quraish Shihab, ayat ini tidak dapat dijadikan dasar argumentatif untuk menyatakan bahwa Islam menganjurkan musyawarah, karena ayat ini tidak berbicara dalam konteks hukum, dan tidak juga memujinya. Hanya saja perlu diingat bahwa al-Qur’an memaparkan satu kisah dimaksudkan agar dipetik pengajaran dan keteladanan dari kisah itu. Atas dasar pertimbangan itu, bisa saja ditarik dari ayat-ayat ini simbol-simbol tentang pentingnya bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah.

Adapun isi surat yang ditulis oleh Nabi Sulaiman adalah:

Pertama, memperkenalkan kepada Ratu Saba’ tentang Allah dan penetapan sifat-sifat-Nya yang ditandai dengan klausa bismillāh al-raḥmān al-raḥīm. Selain itu, kalimat basmalah dengan ketiga kata yang menunjuk kepada Allah, telah dikenal jauh sebelum turunnya al-Qur’an. Basmalah, diucapkan oleh para nabi sejak zaman Nabi Ibrahim.

Kedua, melarang Ratu Saba’ berperilaku sombong yang dapat mengakibatkan terhalangnya kebenaran dalam jiwa, yang direpresentasikan dalam frase allā ta‘lū ‘alayya (QS al- Naml/27: 31).

Ketiga, memerintahkan kepada Ratu Saba’ agar menyerahkan diri dalam rangka mengikuti sistem teologi monoteisme yang dijelaskan dalam frase wa’tūnī muslimīn (QS al-Naml/27: 31). Teologi monoteisme yang dimaksud, bukan sistem teologi yang termaktub dalam kitab Taurat, mengingat kitab tersebut hanya berlaku pada umat Nabi Musa saja, tetapi sistem teologi secara umum, seperti pada masa Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Ibrahim yang bertujuan untuk membasmi perilaku syirik dan memperkenalkan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Nabi Sulaiman merupakan seorang nabi yang diutus dan diperintahkan oleh Allah untuk memberikan petunjuk kebenaran pada semua makhluk.

Oleh karena itu, klausa allā ta‘lū ‘alayya wa’tūnī muslimīn (QS al-Naml/27: 31) merupakan permintaan Nabi Sulaiman agar mereka tidak angkuh dan datang kepada beliau menyerahkan diri, bertujuan untuk menunjukkan kepatuhan kepada Allah, bukan kepatuhan dalam kapasitas beliau sebagai raja. Tujuan inilah kemungkinan menjadi salah-satu alasan mendasar bagi Ratu Saba’ menolak usul para pejabat teras dan penasihatnya untuk melakukan perlawanan secara fisik. Dari ketiga point isi surat tersebut, ditambah lagi dengan sumber surat dan cara penerimaannya, maka wajar jika secara psikologis Ratu Saba’ merasa terganggu dengan surat tersebut mengingat isinya merongrong stabilitas kekuasaannya, sehingga dalam kondisi yang demikian, ia mengajak para pejabat terasnya untuk ikut andil mencari jalan keluar dan mencari solusi terbaik dalam satu majelis untuk dimusyawarahkan secara bersama-sama. Klausa mā kuntu qāṭi‘atan amran ḥattā tasyhadūn (QS al-Naml/27: 32) merupakan pernyataan tulus yang keluar dari seorang pemimpin perempuan. Dalam pernyataannya tersebut, ia menyampaikan bahwa setiap persoalan yang terkait dengan kenegaraan, selalu dirunding bersama pejabat terasnya dalam majelis musyawarah. Dengan demikian, pernyataan Ratu Saba’ tersebut merupakan simbol pernyataan seorang pemimpin yang demokratis. Kepemimpinan yang demokratis adalah sebuah model kepemimpinan, yang pemimpinnya berusaha untuk melakukan sinkronisasi antara kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan orang yang dipimpinnya. Karakteristik pemimpin ini lebih bersifat inklusif, aspiratif, dan selalu mengutamakan musyawarah. Adapun penundaan keputusan yang dilakukannya, dalam hal ini bukan karena ketidakmampuannya mengambil keputusan, melainkan demi alasan protokoler dan diplomasi.

Adapun frase qālū naḥnu (QS al-Naml/27: 33) merupakan respon pejabat teras atas ajakan sang ratu untuk bermusyawarah. Frase tersebut mengacu pada dua juru bicara, satu di antaranya yang bersedia melancarkan agresi peperangan, sedangkan yang satunya lagi besedia menyuarakan aksi perdamaian. Kedua juru bicara tersebut menyampaikan pendapatnya yang dilandasi dengan argumentasi dari masing-masing pihak. Juru bicara pertama siap memilih melancarkan agresi perang lantaran kekuatan fisik dan keberanian yang ada pada mereka. Hal ini ditandai dengan klausa ulū quwwatin wa ulū ba’sin sadīdin (QS al-Naml/27: 33). Juru bicara kedua lebih memilih melakukan aksi perdamaian yang ditandai dengan frase wa al-’amru ilaiki (QS al- Naml/27: 33), yang berarti “sedang keputusan diwakilkan kepadamu”. Frase ini mengacu pada kepasrahan dan ketaatan para pejabat teras terhadap keputusan terakhir yang akan diambil oleh sang ratu. Adapun kandungan QS al-Naml/27: 34 merupakan ucapan Ratu Saba’ tentang sikap raja-raja yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa lampau. Biasanya, mereka membunuh, atau paling tidak menawan dan mengusir para pembesar kerajaan atau pemerintahan yang mereka kalahkan. Dalam kondisi demikian, mereka menghina dan mempermalukannya. Di samping itu, dampak negatif agresi perang pasti mengakibatkan kehancuran bangunan, pengungsian penduduk, atau pembunuhan. Semua ini terjadi secara umum jika yang melakukan agresi tersebut adalah seorang raja yang biasanya bersifat tiranik dan diktator.

Dengan demikian, kalimat yang diungkapkan oleh Ratu Saba’ dalam ayat tersebut, merupakan simbol keinginannya untuk memilih melakukan aksi perdamaian daripada memilih melancarkan agresi perang. Hanya saja, agar tidak ada kelompok yang sakit hati, mengingat ada sekelompok yang berambisi memilih berperang, maka untuk mengakomodir pendapat kelompok tersebut, Ratu Saba’ mengambil sikap dengan menggunakan logika analogi. Logika tersebut disampaikan oleh Ratu Saba’ dengan cara mendeskripsikan panjang lebar tentang dampak negatif dari semua konsekuensi logis jika pilihannya jatuh pada agresi perang, seperti pengalaman buruk yang pernah dialami oleh para penguasa sebelumnya.

Kebijakan menggunakan logika analogi tersebut, dilakukan Ratu Saba’ dalam rangka menghindari konflik internal di antara pejabat teras itu sendiri, terlebih lagi pecahnya perang saudara, sehingga barisan yang berbeda pendapat bisa menerima dengan lapang dada. Karena itu, pada penghujung ayat, Ratu Saba’ mengatakan dengan tegas dalam frase każālika yaf‘alūn (QS al-Naml/27: 34). Artinya, Nabi Sulaiman sebagai seorang raja yang akan memasuki negeri Saba’, juga akan melakukan tindakan yang sama seperti perilaku penguasa sebelumnya, sehingga negeri Saba’ menjadi negeri yang porak-poranda.

Begitu Ratu Saba’ menyadari sepenuhnya bahwa peperangan akan menuai banyak masalah, bahkan yang paling fatal akan mendatangkan malapetaka, maka dengan hati yang mantap tanpa ada intervensi dari pihak lain, Ratu Saba’ mendeklarasikan statemen politik yang berbeda, yaitu mengirimkan hadiah kepada Nabi Sulaiman melalui delegasi kepercayaannya (QS al-Naml/27: 35). Kebijakan ini, selain mengacu pada strategi politik yang anggun, juga mencerminkan kepribadian perempuan yang tidak cenderung kepada peperangan, kekerasan, dan pertumpahan darah. Sebaliknya, lebih memilih menggunakan tipu daya dan cara-cara halus daripada kekuatan senjata. Dengan cara seperti ini, tentu saja solusi ini lebih baik dan lebih menguntungkan kedua belah pihak, yaitu kerajaan Saba’ dan kerajaan Nabi Sulaiman. Kata hadiyyatan dalam QS al-Naml/27: 35, menurut al-Bagawī, menunjukkan pada suatu pemberian atau hadiah yang dibawa oleh seorang kurir dengan tujuan sebagai bahan atau alat rayuan (al-mulāṭafah) untuk menggagalkan ajakan Nabi Sulaiman. Sedangkan menurut al-Barūsawī, kata hadiyyatan mengacu pada suatu pemberian yang bertujuan sebagai “alat jebakan” untuk mengungkap kedok misi Nabi Sulaiman. Dengan demikian, hadiah tersebut sebenarnya merupakan simbol manuver politik yang konspiratif. Dikatakan sebagai manuver politik yang konspiratif karena dengan hadiah tersebut, Ratu Saba’ dapat mengetahui status dan tujuan Nabi Sulaiman. Itulah sebabnya sehingga Ratu Saba’ pada statemen berikutnya menyampaikan pesan berupa klausa fanāẓirah bimā yarji‘ al-mursalūn (QS al-Naml/27: 35). Artinya, dengan dikirimkannya bingkisan tersebut, Ratu Saba’ dapat mengetahui status sosial Nabi Sulaiman, dia seorang nabi ataukah ia seorang raja saja. Jika Sulaiman merupakan seorang nabi, maka ia akan menolak mentah-mentah hadiah yang dikirimkan olehnya. Sebaliknya, jika ia hanyalah seorang raja, maka dengan tanpa sungkan ia akan menerima hadiah tersebut. Dengan begitu, Ratu Saba’ dapat mengetahui bahwa Sulaiman hanyalah seorang raja yang ingin mengeruk dan mengeksploitasi kekayaan, sehingga bisa dipastikan bahwa Kerajaan Saba’ harus membayar pajak dan upeti yang tinggi kepada Nabi Sulaiman setiap tahun. Menurut Ibn ‘Abbās, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Kaṡīr bahwa, setelah Ratu Saba’ menyampaikan statemen politiknya, ia melanjutkan pesan-pesan politiknya: “Kalau hadiahku diterima, maka kita perangi saja dia, sebab dia hanya seorang raja. Sebaliknya, jika hadiahku ditolak, maka kita harus ikuti dia, sebab dia adalah seorang nabi”. Dengan sikap yang demikian, maka pengiriman hadiah tersebut merupakan cermin seorang penguasa yang cerdik, inovatif, dan kreatif. Di akhir kisah (QS al-Naml/27: 42-44), Ratu Saba’ datang berkunjung ke istana Nabi Sulaiman dan menyatakan diri mengikuti agama monoteisme bersama Nabi Sulaiman, sebagaimana pernyataannya wa aslamtu ma‘a sulaimāna lillāh rabb al-‘ālamīn.

PENUTUP

Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab, syūrā, yang arti dasarnya mengambil atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian makna ini berkembang hingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Dengan demikian, musyawarah merupakan suatu kegiatan saling tukar pendapat untuk memperoleh keputusan terbaik dalam menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Implementasi musyawarah dalam al-Qur’an dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual dari beberapa ayat al-Qur’an. Secara tekstual, musyawarah tertuju pada urusan rumah tangga, urusan perang, dan urusan keagamaan. Sementara itu, secara kontekstual, antara lain, tergambar dalam dialog antara Allah dan para malaikat dalam pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Demikian juga perundingan putra-putra Nabi Ya‘qub untuk menyingkirkan Nabi Yusuf dalam kehidupan mereka. Musyawarah politik yang terjadi dalam istana Ratu Saba’ dalam membahas isi surat yang dikirim oleh Nabi Sulaiman, berlangsung sangat alot, dengan pilihan antara melawan dengan kekuatan militer atau menyelesaikan melalui diplomasi. Hasil musyawarah tersebut menghasilkan keputusan yang terbaik, yakni memilih manuver politik konspiratif dalam bentuk diplomasi daripada mengangkat senjata, yang pada akhirnya Ratu Saba’ mengikuti agama tauhid bersama Nabi Sulaiman.

Musyawarah sendiri merupakan cara yang sangat baik dalam menyikapi suatu persoalan. Karena dengan musyawarah, selisih paham dan pendapat dapat diselesaikan dengan keputusan yang baik atau keputusan bersama juga tidak merugikan pihak manapun.

Nabi Muhammad Saw., begitu menyukai musyawarah. Ketika menghadapi sebuah persoalan, ia selalu meminta pendapat dan menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Meski sebenarnya Rasulullah sendiri memiliki hak dan wewenang dalam memutuskan, tapi ia tidak pernah mengabaikan saran dan masukan dari para sahabat.

Al-Qur’ân tidak meletakkan pola dan bentuk syûrâ secara rinci. Ketentuan al-Qur’ân tentang syûrâ sebagai prinsip hukum dan politik untuk umat manusia dipahami bahwa Islâm memandang penting menghargai pendapat mayoritas dari orang-orang yang berkompeten dan memiliki integritas terpuji namun tidak dibenarkan menyalahi ketentuan Allâh swt. Al-Qur’ân memandang penting adanya keterlibatan masyarakat di dalam persoalan yang terkait dengan mereka. Perincian pola dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat yang lain. Bahkan masyarakat tertentu dapat berbeda dari satu masa ke masa yang lain.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia (Bidang Jam'iyyah PD Pemuda Persis Kota Bandung)

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama