MUSYAWARAH ITU FITRAH DAN PILAR AL-JAMA'AH




Muqadimmah:

Setelah dalam ayat-ayat yang lalu Allah membimbing dan menuntun kaum muslimin secara umum, kini tuntunan diarahkan kepada Nabi Muhammad saw., sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi kepada kaum muslimin khususnya mereka yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam peristiwa perang Uhud dapat mengundang emosi manusia untuk marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Nabi saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas mereka, walau beliau sendiri kurang berkenan; beliau tidak memaki dan mempersalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi menegurnya dengan halus. (Tafsir Al-Mishbah vol 2 hal 255)

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)

“Maka dengan rahmat dari Allahlah engkau telah berlaku lembut kepada mereka ) karena jika engkau kasar, keras hati, niscaya mereka berpecah dari sekelilingmu; lantaran itu, ampunkanlah mereka, dan mintakanlah ampun untuk mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah di dalam urusan itu ) lantas apabila engkau telah teguh hati ) maka bertawakkallah kepada Allah ) karena sesungguhnya Allah itu cinta kepada mereka yang bertawakkal”. Q.S. Ali Imran {3}: 159


Tafsir Ayat Ini:

Salah satu yang menjadi penekanan pokok ayat ini adalah perintah melakukan musyawarah. Ini penting, karena petaka yang terjadi di Uhud, didahului oleh musyawarah, serta disetujui oleh mayoritas. Kendati demikian, hasilnya sebagaimana telah diketahui, adalah kegagalan. Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang berkesimpulan bahwa musyawarah tidak perlu diadakan. Apalagi bagi Rasul saw. Nah, karena itu ayat ini dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah. Kesalahan yang dilakukan setelah musyawarah tidak sebesar kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah, dan kebenaran yang diraih sendirian, tidak sebaik kebenaran yang diraih bersama.

Kata musyawarah terambil dari akar kata شَوَرَ yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sang lebah. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil/dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Kata musyawarah, pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasar di atas. 

Madu bukan saja manis, tetapi ia adalah obat bagi banyak penyakit, sekaligus menjadi sumber kesehatan dan kekuatan. Itulah yang dicari di mana pun dan siapa pun yang menemukannya. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian, kerjasamanya mengaggumkan, makanannya sari kembang, hasilnya madu, di mana pun ia hinggap tidak pernah merusak, tidak mengganggu kecuali diganggu, sengatannya pun obat. Itulah permusyawaratan dan demikian itu sifat yang melakukannya. Tidak heran jika Nabi saw. menyamakan seorang mukmin dengan lebah.

Pada ayat ini, disebutkan tiga sifat dan sikap secara berurutan disebut dan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk beliau laksanakan sebelum bermusyawarah. Penyebutan ketiga hal itu walaupun dari segi konteks turunnya ayat, mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan perang Uhud. Namun, dari segi pelaksanaan dan esensi musyawarah, ia perlu menghiasi diri Nabi saw. dan setiap orang yang melakukan musyawarah. Setelah itu, disebutkan lagi satu sikap yang harus diambil setelah adanya hasil musyawarah dan bulatnya tekad.

Pertama, adalah berlaku lemah lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras.

Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama ia harus hindari ialah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung oleh penggalan awal ayat di atas sampai firman-Nya:

 وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

Firman-Nya: Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar…mengandung makna bahwa engkau wahai Muhammad bukanlah seorang yang berhati kasar. Ini dipahami dari kata لَوْ yang diterjemahkan sekiranya. Kata ini digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat wujud.

Firman-Nya: Berlaku keras lagi berhati kasar, menggambarkan sisi dalam dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan sisi luar manusia dan berhati kasar, menunjukkan sisi dalamnya. Kedua hal itu dinafikan dari Rasul saw. Memang keduanya perlu dinafikan secara bersamaan, karena boleh jadi ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut, atau hatinya lembut tapi tidak mengetahui sopan santun. Karena yang terbaik adalah yang menggabung keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, kata-kata yang indah, sekaligus hati yang luhur, penuh kasih sayang.


Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru.

Memaafkan adalah menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.

Di sisi lain, yang bermusyawarah harus menyiapkan mentalnya untuk selalu bersedia memberi maaf, karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar dari pihak lain kalimat atau pendapat yang menyinggung, dan bila mampir ke hati akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.

Ketiga, permohonan maghfirah dan ampunan.

Kalau demikian untuk mencapai yang terbaik dari hasil musyawarah, hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis, itu sebabnya hal ketiga yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan ampunan.

Pesan terakhir Ilahi dalam konteks musyawarah adalah setelah musyawarah usai, yaitu:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

Apabila telah bulat tekad, laksanakanlah dan berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri kepada-Nya. 

Ayat di atas juga mengisyaratkan tentang lapangan musyawarah, yaitu فِي الْأَمْرِ yang diterjemahkan di atas dengan dalam urusan itu. Dari konteks ayat ini dipahami bahwa yang dimaksud adalah urusan peperangan, karena itu ada ulama yang membatasi musyawarah yang diperintahkan kepada Nabi saw. terbatas dalam urusan tersebut. Pandangan ini tidak didukung oleh praktek Nabi saw., bahkan tidak sejalan dengan sekian ayat Al-Qur’an.

Dari Al-Qur’an, ditemukan dua ayat lain yang menggunakan akar kata musyawarah, yang dapat diangkat di sini, guna memahami lapangan musyawrah.

Pertama, Q.S. Al-Baqarah {2}: 233. 

Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami-istri dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti soal menyapih anak. Di sana, Allah memberi petunjuk agar persoalan itu dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami-istri.

Kedua, Q.S. Asy-Syura {42}: 38.

Yang menjanjikan bagi orang mukmin ganjaran yang lebih baik dan kekal di sisi Allah. Orang-orang mukmin yang dimaksud memiliki sifat-sifat, antara lain adalah:

أَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

Urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka.

Nah, jika demikian, lapangan musyawarah adalah persoalan-persoalan kemasyrakatan, seperti yang dipahami dari Q.S. Asy-Syura di atas. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah swt. secara tegas dan jelas, baik langsung maupun melalui Rasul saw. maka persoalan itu tidak termasuk lagi yang dapat dimusyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta soal-soal kehidupan duniawi baik yang petunjuknya bersifat global maupun yang tanpa petunjuk dan yang mengalami perubahan. (Tafsir Al-Mishbah vol 2 hal 258-261)

Untuk menunjukkan betapa musyawarah itu sangat penting dan menjamin kemaslahatan, Rasulullah saw. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ أُمَرَاؤُكُمْ خِيَارَكُمْ، وَأَغْنِيَاؤُكُمْ سُمَحَاءَكُمْ، وَأُمُورُكُمْ شُورَى بَيْنَكُمْ فَظَهْرُ الأَرْضِ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ بَطْنِهَا... سنن الترمذي

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila pemimpin-pemimpin kamu orang-orang baik; apabila orang-orang kaya di antara kamu orang-orang yang murah hati, dan apabila urusan kamu dimusyawarahkan di antara kamu, maka permukaan bumi ini lebih baik bagi kamu daripada perut bumi” . H.R. At-Tirmidzi

وَأَخْرَجَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ. عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْعَزْمِ، فَقَالَ: «مُشَاوَرَةُ أَهْلِ الرَّأْيِ ثُمَّ اتِّبَاعُهُمْ».

Ali bin Abi Thalib berkata: Telah ditanya Rasulullah saw. mengenai Al-Azmu. Beliau berkata: “Ialah musyawarahnya para ahli kemudian mengikutinya”. H.R. Abu Mardawaih

تَشَاوَرُوْا الْفُقَهَاءَ وَ الْعَابِدِيْنَ وَلَا تَجْعَلُوْنَهُ بِرَأْيٍ خَاصَّةٍ.

Bermusyawarahlah kalian dengan para ahli (faqih) dan ahli ibadah, dan janganlah hanya mengandalkan pendapat pikiran (ra’yu) semata. H.R. Ath-Thabrani

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ «لَوِ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا». مسند الإمام أحمد بن حنبل

Telah bersabda Rasulullah saw. kepada Abu Bakar dan Umar: “Apabila kalian berdua sepakat dalam musyawarah, maka aku tidak akan menyalahi kamu berdua”. H.R. Ahmad

"الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ".

"Orang yang diajak bermusyawarah itu haruslah orang jujur/terpercaya". H.R. Ibnu Majah

«إِذَا اسْتَشَارَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُشِرْ عَلَيْهِ».

“Apabila salah seorang kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya, maka penuhilah”. H.R. Ibnu Majah

Sahabat Qatadah r.a. berkata:

 قال قتادة: ما شاور قوم يبتغون وجه الله إلا هدوا إلى أرشد أمرهم.

"Tidak bermusyawarah satu kaum yang mengharapkan ridla Allah, kecuali Allah akan memberi petunjuk bagi sebaik-baiknya urusan mereka". Fiqhus Sunnah


Sahabat Abu Hurairah r.a. berkata:

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مُشَاوَرَةً لأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak musyawarah dengan sahabatnya dibanding Rasulullah saw.”. H.R. At-Tirmidzi 

Jika memperhatikan dalil-dalil tersebut, tampak jelas bahwa betapa pentingnya syura’ dalam Islam, sebab syura’ merupakan sifat atau fitrah manusia. Apabila ummat Islam meninggalkan syura’, maka akan hilang kemaslahatan dan kebahagiaan hidup sebagaimana ummat Islam yang tidak shalat, zakat dan shaum.

Begitu pentingnya syura’ dalam Islam, Allah swt. menamakan salah satu surat dalam Al-Qur’an dengan nama Asy-Syura yang artinya musyawarah. Pada ayat ke 37-38 dalam surat itu dijelaskan kedudukan syura’ dalam syariat Islam adalah wajib, karena kata syura’ pada ayat itu disejajarkan dengan menjauhi dosa besar, menunaikan perintah Allah, menegakkan shalat dan menafqahkan rizki dari Allah swt., maka apabila seorang keluar dari syura’ berdosalah dia.

Betapa agungnya syura’, dan betapa banyak kemaslahatan apabila syura’ dilaksanakan. Pepatah Arab mengatakan:

مَا نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ

وَ لَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ

Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah.

Dan tidak akan kecewa orang yang minta dipilihkan.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan:

1. Musyawarah merupakan perintah Allah swt.

2. Musyawarah dilakukan untuk mengambil yang terbaik sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.

3. Rasulullah saw. dan para sahabat selalu bermusyawarah.

4. Musyawarah merupakan bagian dari kehidupan al-jama’ah.

5. Musyawarah dilakukan bersama para faqih dan ahli ibadah.

6. Apabila telah diputuskan dalam musyawarah maka wajib untuk dita’ati. (Panduan Hidup Berjamaah di Jam’iyyah Persis hal 74-78)

7. Keputusan yang diambil secara musyawarah itu tidak 100% benar, tapi keputusan yang diambil secara musyawarah itu lebih baik ketimbang keputusan yang diambil secara tidak musyawarah.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia (Bidang Jam'iyyah PD Pemuda Persis Kota Bandung)

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama