MUQADDIMAH:
Bila arahan pada ayat sebelumnya ditujukan kepada para wali atau pihak yang dapat membantu pernikahan, arahan pada ayat ini ditujukan kepada pria agar tidak mendesak wali untuk buru-buru menikahkannya. Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian diri-nya dengan berpuasa atau aktivitas lain, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya dan memberi mereka kemudahan untuk menikah. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian, yaitu kesepakatan untuk memerdekakan diri dengan membayar tebusan, hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, yaitu jika kamu tahu mereka akan mampu melaksanakan tugas dan kewajiban mereka, mampu menjaga diri, serta mampu menjalankan tuntunan agama mereka; dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu berupa zakat untuk membantu pembebasan mereka dari perbudakan. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, hanya karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi dari pelacuran itu. Barang siapa memaksa mereka untuk melakukan perbuatan tercela itu maka sungguh, Allah Maha Pengampun terhadap perempuan-perempuan yang dipaksa itu, Maha Penyayang kepada mereka setelah mereka dipaksa, dan Dia akan memikulkan dosa kepada orang yang memaksa mereka.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33)
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (Q.S. An-Nur {24}: 33)
SABABUN NUZUL:
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Shubaih, hamba sahaya Huwaithib bin Abdil Uzza, meminta dimerdekakan dengan suatu perjanjian tertentu. Akan tetapi permohonannya ditolak. Maka turunlah ayat ini, yang memerintahkan untuk mengabulkan permintaan hamba sahaya yang ingin merdeka dengan perjanjian tertentu. Diriwayatkan oleh Ibnus Sakan di dalam Kitab Ma’rifatus Shahabah, dari Abdullah bin Shubaih, yang bersumber dari bapaknya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay menyuruh jariahnya (hamba sahaya wanita) melacur dan meminta bagian dari hasilnya. Maka turunlah kelanjutan ayat ini, sebagai larangan memaksa jariah melacurkan diri untuk mengambil keuntungan. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber dari Jabir bin Abdillah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama jariah Abdullah bin Ubay itu Masikah dan Amimah, yang keduanya mengadu kepada Rasulullah saw. karena dipaksa melacur. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber dari Jabir bin Abdillah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Masikah itu jariah milik seorang Ansar. Ia mengadu kepada Rasulullah bahwa tuannya memaksanya untuk melacur. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abuz Zubair yang bersumber dari Jabir.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai seorang jariah yang suka disuruh melacur sejak jaman jahiliah. Ketika zina diharamkan, jariah tersebut tidak mau lagi melakukannya. Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut sebagai larangan untuk memaksa jariah melacur. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabarani dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Diriwayatkan pula oleh al-Bazzar dengan sanad yang daif, yang bersumber dari Anas, dengan tambahan bahwa nama jariah itu Mu’adzah.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay mempunyai dua orang jariah, Mu’adzah dan Masikah. Keduanya ia paksa untuk melacurkan diri. Berkatalah salah seorang diantara kedua jariah itu: “Sekiranya perbuatan itu baik, engkau telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu. Namun, sekiranya perbuatan itu tidak baik, sudah sepantasnyalah aku meninggalkannya.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Sya’ban, dari Amr bin Dinar, yang bersumber dari Ikrimah. (Asbabun Nuzul hal 384-385)
TAFSIR MUFRADAT:
Firman Allah swt.:
{وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 33)
Ini adalah perintah dari Allah Swt., ditujukan kepada lelaki yang tidak mampu kawin; hendaknyalah mereka memelihara dirinya dari hal yang diharamkan, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw:
"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ، وأحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء".
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan untuk kawin, kawinlah kalian; karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaklah ia mengerjakan puasa; karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.
Ayat ini mengandung makna yang mutlak, sedangkan ayat yang terdapat di dalam surat An-Nisa lebih khusus maknanya, yaitu firman Allah Swt.:
{وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ}
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25)
sampai dengan firman-Nya:
{وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ}
dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 25)
Artinya, kesabaran kalian untuk tidak mengawini budak perempuan lebih baik bagi kalian, karena anaknya kelak akan menjadi budak pula.
{وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. (An-Nisa: 25)
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya. (An-Nur: 33) Yakni berkenaan dengan seorang lelaki yang melihat wanita lain hingga ia bernafsu kepadanya. Maka jika ia mempunyai istri, hendaklah ia pulang kepada istrinya dan tunaikanlah hajatnya itu kepadanya. Jika ia tidak beristri, hendaklah mengalihkan pandangannya kepada kerajaan langit dan bumi hingga Allah memberikan kecukupan kepadanya. (Tafsir Ibnu Katsir juz 6 hal 59)
Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}
Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33)
Ini adalah perintah dari Allah ditujukan kepada para tuan, bila budak-budak mereka menginginkan transaksi kitabah. Yaitu hendaknya mereka memenuhi permintaan budak-budak mereka dengan mengikat perjanjian, bahwa budak yang bersangkutan dipersilakan berusaha dan dari hasil usahanya itu si budak harus melunasi sejumlah harta yang telah dituangkan dalam perjanjian mereka berdua, sebagai imbalan dari kemerdekaan dirinya secara penuh.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa perintah dalam ayat ini merupakan perintah arahan dan anjuran, bukan perintah harus atau wajib, bahkan si tuan diperbolehkan memilih apa yang disukainya. Dengan kata lain, bila budaknya ada yang menginginkan transaksi kitabah darinya, maka si tuan berhak memilih setuju atau tidaknya. Jika ia setuju, tentu menandatangani transaksi kitabah budaknya; dan jika tidak setuju, tentu ia akan menolaknya.
Ulama yang lain berpendapat bahwa seorang tuan jika budaknya mengajukan transaksi kitabah, diwajibkan baginya memenuhi apa yang diminta oleh budaknya. Pendapat mereka berdasarkan kepada makna lahiriah dari perintah yang terkandung dalam ayat ini.
Ibnu Wahb mengatakan, Malik pernah mengatakan bahwa duduk perkara yang sebenarnya menurut pendapat kami pemilik budak tidak diwajibkan memenuhi permintaannya, jika si budak meminta pembuatan perjanjian kitabah. Dan aku belum pernah mendengar seseorang pun dari kalangan para imam yang menekankan terhadap seseorang untuk melakukan transaksi kitabah terhadap budaknya.
Imam Malik mengatakan bahwa sesungguhnya hal itu semata-mata sebagai anjuran dari Allah Swt. dan perizinan dari-Nya bagi manusia, akan tetapi tidak wajib. Hal yang sama telah dikatakan oleh As-Sauri, Abu Hanifah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya. Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan wajib karena berdasarkan makna lahiriah ayat.
Firman Allah Swt.:
{إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}
jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33)
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan kebaikan dalam ayat ini ialah dapat dipercaya. Menurut sebagian ulama lainnya adalah kejujuran. Sebagian ulama yang lain mengatakan harta, dan sebagian lagi mengatakan keahlian dan profesi.
Firman Allah Swt.:
{وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ}
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kalian. (An-Nur: 33)
Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna ayat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna ayat ialah bebaskanlah dari mereka sebagian utang kitabah mereka. Sebagian lainnya mengatakan seperempatnya, ada yang mengatakan sepertiganya, ada yang mengatakan separonya, ada pula yang mengatakan sebagiannya tanpa batas.
Ulama lainnya mengatakan bahkan makna yang dimaksud dari firman Allah Swt.: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33) Yaitu bagian yang telah ditetapkan oleh Allah bagi mereka dari harta zakat.
Pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Hasan dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, serta ayahnya dan Muqatil ibnu Hayyan, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ}
Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33), hingga akhir ayat.
Dahulu di masa Jahiliah bila seseorang dari mereka mempunyai budak perempuan, ia melepaskannya untuk berbuat zina dan menetapkan atas dirinya pajak yang ia pungut di setiap waktu. Setelah Islam datang, maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan hal tersebut.
Latar belakang turunnya ayat yang mulia ini menurut apa yang telah disebutkan oleh sejumlah ulama tafsir -baik dari kalangan ulama Salaf maupun Khalaf- berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Dia mempunyai banyak budak perempuan yang sering ia paksa untuk melakukan pelacuran karena mengejar pajak dari mereka, menginginkan anak dari mereka, dan beroleh kepemimpinan dari perbuatannya itu menurut dugaannya.
As-Saddi mengatakan bahwa ayat yang mulia ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin kaum munafik. Dia memiliki seorang budak wanita bernama Mu'azah. Apabila dia kedatangan tamu, maka ia mengirimkan budak wanitanya kepada tamu itu agar si tamu berbuat zina dengannya. Tujuannya ialah agar ia beroleh imbalan dari tamunya, juga kehormatan. Maka budak wanita itu lari menemui Abu Bakar r.a. dan mengadukan perlakuan tuannya. Kemudian Abu Bakar menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Abu Bakar agar membelinya dari tangan tuannya. Abdullah ibnu Ubay merasa terkejut, lalu berkata, "Siapakah yang akan membelaku dari perlakuan Muhamad? Dia dapat mengalahkan kami dalam urusan budak kami." Maka Allah menurunkan firman-Nya ini berkenaan dengan mereka. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 584)
Kata الْبِغَاءِ adalah mashdar (kata jadian) dari kata kerja baagha yang terambil dari kata bagha yang antara lain berarti melampaui batas. Jika pelaku kata ini seorang perempuan, maka itu menunjukkannya sebagai perempuan yang profesinya adalah perzinahan. Sebagai profesi tentu saja terjadi berkali-kali serta disertai dengan imbalan materi. Perempuan yang melakukannya dinamai baghiyyah.
Al-Bigha pada masa Jahiliah terhitung salah satu bentuk perkawinan. Aisyah ra. menguraikan bahwa pada masa Jahiliah dikenal empat macam cara guna menjalin hubungan seksual.
Pertama, cara yang dikenal hingga kini, yaitu melamar seorang wanita kepada walinya, membayar mahar dan dinikahkan.
Kedua, mengirim istri yang telah suci dari haidnya, untuk “tidur” bersama seorang pria yang dipilih, dan setelah jelas bahwa ia mengandung barulah ia kembali ke suaminya. Tujuan cara ini adalah memperoleh anak dari seorang yang dinilai memiliki benih unggul.
Ketiga, berkumpul dalam satu grup yang jumlahnya kurang dari sepuluh orang lalu mereka berhubungan dengan seorang wanita, dan bila hamil dan melahirkan dia memanggil seluruh anggota grup tanpa seorang pun yang dapat mengelak dan mengingatkan mereka tentang hubungan mereka dengannya. Lalu wanita itu menunjuk salah seorang yang dipilihnya untuk menjadi ayah anaknya dan diberi nama dengan nama yang dinisbahkan kepada yang siapa yang terpilih itu.
Keempat, adalah al-bigha ini. Nah, Islam datang menghapus semua bentuk itu kecuali yang pertama. Demikian diriwayatkan oleh Imam Bukhari. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 339-341)
Firman Allah Swt.:
{إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}
sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
Makna firman ini menggambarkan tentang pengecualian dari mayoritas, maka tidak mengandung arti yang berhubungan dengan sebelumnya. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 584)
Kata إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا (bila mereka sendiri menginginkan kesucian), tidak dapat dipahami sebagai syarat larangan ini, yakni tidak dapat dipahami bahwa jika mereka tidak ingin atau tidak memelihara kesuciannya, maka mereka boleh dipaksa. Betapa tidak dapat dipahami demikian? Jika memang mereka tidak ingin memelihara diri, maka apa arti pemaksaan yang dimaksud di sini. Kata إِنْ yang biasa digunakan untuk makna syarat, di sini bertujuan menggambarkan keburukan yang terjadi dalam kenyataan masyrakat Jahiliah ketika itu. (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal 341)
Firman Allah Swt.:
{لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. (An-Nur: 33)
Yaitu dari pajak mereka, hasil mahar mereka, dan anak-anak yang dilahirkan dari mereka. Rasulullah Saw. telah melarang hasil usaha dari berbekam, maskawin pelacur, dan upah tukang tenung.
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa apabila kalian melakukan demikian, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, sedangkan dosa mereka ditimpakan atas orang orang yang memaksa mereka.
Di dalam hadis marfu' dan Rasulullah Saw. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"رُفِع عَنْ أمَّتي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ".
Dimaafkan dari umatku kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepada mereka. (Umdatut Tafsir juz 2 hal 584-585)
TAFSIR AYAT:
Bagi orang-orang yang benar-benar tidak mampu untuk membiayai keperluan pernikahan dan kebutuhan hidup berkeluarga sedangkan wali dan keluarga mereka tidak pula sanggup membantunya, maka hendaklah ia menahan diri sampai mempunyai kemampuan untuk itu. Menahan diri artinya menjauhi segala tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan apalagi melakukan perzinaan karena perbuatan itu adalah sangat keji dan termasuk dosa besar. Diantara tujuan anjuran untuk mengawinkan pria dan perempuan yang tidak beristri atau bersuami adalah untuk memelihara moral umat dan bersihnya masyarakat dari tindakan-tidakan asusila. Bila pria atau perempuan belum dapat nikah tidak menjaga dirinya dan memelihara kebersihan masyarakatnya, tentulah tujuan tersebut tidak akan tercapai. Sebagai suatu cara untuk memelihara diri agar jangan jatuh ke jurang maksiat.
Di masa dahulu kesempatan melakukan tindakan asusila amat sempit sekali karena masyarakat sangat ketat menjaga kemungkinan terjadinya dan bila diketahui hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya amat berat sekali. Oleh sebab itu, perbuatan asusila itu jarang terjadi.
Berlainan dengan masa sekarang di mana masyarakat terutama di kota-kota besar tidak begitu mengindahkan masalah ini bahkan di daerah-daerah tertentu dilokalisir sehingga banyak pemuda-pemuda kita yang kurang kuat imannya jatuh terperosok ke dunia hitam itu. Oleh sebab itu dianjurkan kepada pemuda-pemuda bahkan kepada semua pria yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami yang patuh dan taat kepada ajaran agamanya, agar benar-benar menjaga kebersihan diri dan moralnya dari perbuatan terkutuk itu, terutama dengan berpuasa sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah dan dengan menyibukkan diri pada pekerjaan dan berbagai macam urusan yang banyak faedahnya atau melakukan berbagai macam hobby yang disenangi seperti olahraga, musik dan sebagainya.
Kemudian Allah menyuruh kepada para pemilik hamba sahaya agar memberikan kesempatan kepada budak mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus dirinya dengan harta, bila ternyata budak itu bermaksud baik dan mempunyai sifat jujur dan amanah. Biasanya pembayaran itu dilakukan berangsur-angsur sehingga apabila jumlah pembayaran yang ditentukan sudah lunas maka budak tersebut menjadi merdeka. Ini adalah suatu cara yang disyariatkan Islam untuk melenyapkan perbudakan, sebab pada dasarnya Islam tidak mengakui perbudakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan bertentangan pula dengan harga diri seseorang yang dalam Islam sangat dihormati, karena semua Bani Adam telah dimuliakan oleh Allah.
Tetapi karena pada masa Rasulullah itu semua bangsa mempraktikkan perbudakan, maka diakuinya perbudakan itu oleh Nabi Muhammad sebagai hukum darurat dan sementara. Karena musuh-musuh kaum Muslimin bila mereka mengalahkan kaum Muslimin dalam suatu peperangan mereka menganggap tawanan-tawanan yang terdiri dari kaum Muslimin itu dianggap sebagai budak pula. Karena perbudakan itu bertentangan dengan pokok ajaran Islam, maka dimulailah memberantasnya, di antaranya seperti yang tersebut dalam ayat ini. Banyak lagi cara untuk memerdekakan budak itu, seperti kaffarat bersetubuh di bulan puasa atau di waktu ihram, kaffarat membunuh, kaffarat melanggar sumpah dan sebagainya.
Di samping seruan kepada pemilik hamba sahaya agar memberikan kesempatan kepada budak mereka untuk memerdekakan dirinya, diserukan pula kepada kaum Muslimin supaya membantu para budak itu dengan harta benda baik berupa zakat atau sedekah agar budak itu dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat memerdekakan dirinya. Sebenarnya adanya perbudakan dan banyaknya budak itu dalam suatu masyarakat membawa kepada merosotnya moral masyarakat itu sendiri, dan membawa kepada terjadinya pelacuran, karena budak merasa dirinya jauh lebih rendah dari orang yang merdeka. Dengan demikian mereka tidak menganggap mempertahankan moral yang tinggi sebagai kewajiban mereka dan dengan mudah mereka menjadi permainan orang-orang merdeka dan menjadi sarana bagi pemuasan hawa nafsu.
Selanjutnya sebagai satu cara untuk memberantas kemaksiatan dan memelihara masyarakat agar tetap bersih dari segala macam perbuatan yang bertentangan dengan moral dan susila, Allah melarang para pemilik hamba sahaya perempuan memaksa mereka melakukan perbuatan pelacuran, sedang budak-budak itu sendiri tidak ingin melakukannya dan ingin supaya tetap bersih dan terpelihara dari perbuatan kotor itu. Banyak di antara pemilik budak perempuan yang karena tamak akan harta benda dan kekayaan mereka tidak segan-segan dan merasa tidak malu sedikit pun melacurkan budak-budak itu kepada siapa saja yang mau membayar. Bila terjadi pemaksaan seperti ini sesudah turunnya ayat ini maka berdosa besarlah para pemilik budak itu. Sedang para budak yang dilacurkan itu tidak bersalah karena mereka harus melaksanakan perintah para pemilik mereka. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun mengampuni mereka, karena mereka melakukan perbuatan maksiat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, tetapi karena dipaksa oleh pemilik mereka.
Demikian peraturan yang diturunkan Allah untuk keharmonisan dan kebersihan suatu masyarakat, bila dijalankan dengan sebaik-baiknya akan terciptalah masyarakat yang bersih, aman dan bahagia jauh dari hal-hal yang membahayakannya.
KETERANGAN TAMBAHAN:
Dalam ayat 33 disebutkan jika mereka tidak mampu menikah, maka hendaklah mereka menjaga kesucian dirinya sampai Allah beri kecukupan. Menjaga kesucian diri adalah dengan menahan diri dari memandang yang haram, bersentuhan yang diharamkan, melirik perempuan, dan semisal itu. Ayat 33 ini memaksudkan untuk menjaga diri dari perzinaan, sebab-sebabnya, serta perantara menuju zina. Maka kalau kita mengartikan ‘iffah adalah menjaga diri dari zina, sebab-sebabnya, serta menjauhkan diri dari pendahuluan menuju zina.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang tidak mampu menikah” adalah sifatnya umum, di mana bisa mencakup:
Tidak mampu artinya tidak mendapati wanita untuk dinikahi. Karena ada laki-laki yang kaya, mampu memberi mahar dan nafkah. Akan tetapi ketika melamar, ia ditolak.
Tidak mempunyai harta (berupa mahar dan nafkah) untuk menikah.
Adapun yang dimaksud “sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”, yang dimaksudkan dengan Allah memberi ghina di sini adalah Allah memberikan kecukupan dengan harta dan kecukupan dengan menikah.
Dalam ayat disebutkan bahwa siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia menjaga ‘iffah (kesucian) dirinya seperti yang diperintahkan dalam ayat ini, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.”
Solusi berikutnya adalah hendaklah ia berpuasa sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (H.R. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400)
Yang belum mampu menikah karena tidak mendapati wanita merdeka, maka ia boleh menikahi seorang budak (jika ia memiliki budak) karena Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” (Q.S. An-Nisaa’: 25)
Namun dalam akhir ayat disebutkan untuk bersabar ketika menikahi budak wanita:
ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۚوَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ
“(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu.” (Q.S. An-Nisaa’: 25)
Mengenai ayat, “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.”
Maksud ayat di atas membicarakan tentang al-mukatib, yaitu siapa saja budak laki-laki maupun perempuan yang dimiliki yang menginginkan untuk membeli dirinya sendiri dan ia sepakat untuk pembebasan dirinya dengan sejumlah harta tertentu yang ia serahkan. Jika ada tuan melihat budaknya menginginkan seperti itu, maka buatlah kesepakatan dengan budak tersebut. Hendaklah perjanjian tersebut dibuat jika memang di dalamnya terdapat kebaikan.
Adapun maksud “jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka” ada beberapa tafsiran ulama:
Pertama: Kebaikan yang dimaksud di sini adalah harta. Hal ini sebagaimana ayat lainnya pula:
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (Q.S. Al-‘Adiyat: 8). Al-khair yang dimaksudkan dalam ayat adalah al-maal (harta), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:635.
Sehingga maksud ayat adalah “jika engkau mengetahui ada harta yang mereka miliki untuk melunasi perjanjian mukatabah atau engkau mengetahui mereka punya kemampuan untuk bekerja hingga melunasi utang.”
Kedua: Maknanya adalah jika engkau mengetahui budak tersebut memiliki utang dan bisa melunasinya.
Ketiga: Maknanya adalah jika engkau mengetahui budak tersebut jujur dan siap melunasi.
Keempat: Maknanya adalah jika engkau mengetahui budak tersebut ada kebaikan lain selain jalan mukatabah.
SOLUSI BAGI YANG BELUM MENIKAH
Pertama: Menjaga kesucian diri dengan menjauhkan diri dari zina.
Kedua: Rajin puasa sunnah.
Ketiga: Menikahi seorang budak wanita yang dimiliki.
Keempat: Rajin menundukkan pandangan, tidak berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram, tidak bersalaman dengannya, hingga tidak bersafar dengannya. Lihat bahasan Syaikh Musthafa Al-‘Adawi dalam At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Surat An-Nuur, hlm. 234.
BERUTANG UNTUK MENIKAH
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa tidak layak orang yang akan menikah menyusahkan diri dengan mencari utangan. Diantara alasannya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa’. Dalam hadits tidak disebut, ‘siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia mencari utangan’. Hal ini ditunjukkan pula pada firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (Q.S. An-Nuur: 33). Dalam ayat tidaklah disebutkan, sampai Allah mencukupi mereka dengan berbagai wasilah. Namun dalam ayat disebutkan ‘hingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya’. Ini menunjukkan menikah itu ketika sudah memiliki kemampuan (ghina).
Jika ada yang bertanya, apa hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyarankan untuk membebani diri dengan utang untuk nikah, bukankah seperti itu mengandung maslahat?
Iya, ada maslahat. Namun mencari utangan itu membuat orang semakin hina dan seakan-akan ia menjadi budak pada orang yang beri utangan. Alasan itulah yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan tidak mencari utang. Demikian keterangan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fathu Dzi Al-Jalali wa Al-Ikram., 11:13-14.
APA ITU BUDAK DAN BAGAIMANA MEMPEROLEHNYA?
Budak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang menjadi milik yang lain. Budak ini diistilahkan dengan ar-riqq atau ‘abdun atau `ammatun. Jenis budak ada beberapa macam, yaitu budak mukatab, mudabbar, budak yang mewasiatkan untuk dimerdekakan, budak yang merdeka sampai waktu tertentu, dan ada budak yang disebut ummul walad.
Cara memiliki budak adalah:
Meminta tahanan dari musuh orang kafir untuk bebas.
Anak dari budak dari hubungan dengan selain tuannya.
Membeli budak dari yang memiliki budak.
Namun hukum asal manusia adalah menjadi seorang yang merdeka, bukan seorang budak. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 23:13.
PERINTAH BERBUAT BAIK PADA BUDAK
Diantara ayat yang memerintahkan berbuat baik pada budak adalah:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖوَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An-Nisaa’: 36)
Keterangan:
Kata Ibnu ‘Abbas, sembahlah Allah adalah tauhidkanlah Allah.
Dalam ayat juga diperintah berbuat baik pada kedua orang tua.
Selanjutnya diperintahkan berbuat baik pada karib-kerabat, anak yatim, dan orang miskin.
Kemudian diperintah berbuat baik pada tetangga, mulai dari al-jaari dzil qurba. Siapa itu? Ada dua pendapat dalam hal ini. Ada yang menyatakan itu adalah tetangga yang punya hubungan kerabat. Hal ini menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas. Ada yang menyatakan bahwa al-jaari dzil qurba adalah tetangga muslim.
Sedangkan tetangga jenis kedua adalah tetangga yang tidak punya hubungan kerabat yaitu disebut al-jaarul junub. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-jaarul junub adalah tetangga Yahudi dan Nashrani. Berarti kita diperintahkan terlebih dahulu berbuat baik pada tetangga yang masih punya kerabat, apalagi muslim.
Juga diperintahkan untuk berbuat baik pada ash-shahib bil janbi. Siapakah itu? Ada ulama yang berpendapat, itu adalah istri. Ada juga yang menyatakan itu adalah teman saat safar. Begitu pula ada pendapat yang menyatakan, itu adalah teman secara umum.
Lalu dalam ayat disebutkan lagi bentuk berbuat baik pada ibnu sabil, yaitu musafir yang terputus perjalanan. Begitu pula diperintahkan berbuat baik pada budak yang dimiliki.
Demikian penjelasan di atas disarikan dari Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitabnya Zaad Al-Masiir.
Dalam hadits disebutkan pula bagaimanakah perintah berbuat baik pada budak.
Al-Ma’rur bin Suwaid berkata: “Aku melihat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu mengenakan pakaian yang sama dengan pelayannya. Maka aku menanyakan itu kepadanya, ia pun menyebutkan bahwa ia pernah saling mencaci dengan seorang lelaki di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Abu Dzarr mencelanya dengan mencela ibunya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seseorang yang ada dalam dirimu ada sifat jahiliyyah. Mereka adalah saudara dan pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan tangan-tangan kalian. Maka barangsiapa yang keadaan saudaranya berada di bawah kuasanya, hendaklah ia memberinya makan dari apa yang ia makan, memberi ia pakaian dari apa yang ia pakai, dan janganlah kalian memberi mereka pekerjaan yang tidak mereka mampu. Lalu jika kalian membebaninya pekerjaan, maka tolonglah mereka.” (Muttafaqun ‘alaih. H.R. Bukhari, no. 30 dan Muslim, no. 1661)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila pelayan salah seorang diantara kalian datang kepadanya dengan membawa makanan, maka jika ia tidak mengajaknya duduk (makan) bersamanya, hendaklah ia memberikan kepada pelayan tersebut satu atau dua suap makanan, karena itu dapat mengobatinya (dari rasa lelah membuat makanan).” (H.R. Bukhari, no. 5460)
Dua hadits di atas dibawakan oleh Imam Nawawi rahimahullahdalam Riyadh Ash-Shalihin pada Bab 237 tentang keutamaan berbuat baik kepada mamluk (budak atau hamba sahaya).
KISAH BARIRAH YANG INGIN BEBAS DENGAN MUKATABAH
Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Sesungguhnya suami Barirah adalah seorang budak yang bernama Mughits. Aku ingat bagaimana Mughits mengikuti Barirah ke mana ia pergi sambil menangis (karena mengharapkan cinta Barirah, pen.). Air matanya mengalir membasahi jenggotnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pamannya, Abbas, “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran betapa besar rasa cinta Mughits kepada Barirah namun betapa besar pula kebencian Barirah kepada Mughits.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Barirah: “Andai engkau mau kembali kepada Mughits?!” Barirah mengatakan: “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkanku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku hanya ingin menjadi perantara (syafi’).” Barirah mengatakan: “Aku sudah tidak lagi membutuhkannya.” (H.R. Bukhari, no. 5283)
Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan:
ذَاكَ مُغِيثٌ عَبْدُ بَنِى فُلاَنٍ – يَعْنِى زَوْجَ بَرِيرَةَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَيْهِ يَتْبَعُهَا فِى سِكَكِ الْمَدِينَةِ ، يَبْكِى عَلَيْهَا
“Itu adalah Mughits, budak milik bani fulan, dia adalah suami dari Barirah. Mughits terus membuntuti Barirah di jalan-jalan kota Madinah, sambil mengharap belas kasihan dari Barirah.” (H.R. Bukhari, no. 5281).
Dari ‘Aisyah, ia menceritakan: Aku pernah membeli seorang budak bernama Barirah. Lantas pemilik sebelumnya menyaratkan hak wala’ padanya (artinya: artinya warisan jadi milik pemiliknya yang dulu, bukan pada orang yang memerdekakannya). Aku pun menceritakan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau berkata:
أَعْتِقِيهَا ، فَإِنَّ الْوَلاَءَ لِمَنْ أَعْطَى الْوَرِقَ
“Bebaskanlah Barirah. Hak wala’ tetap jadi milik orang yang memerdekakan.”
Aku pun memerdekakan Barirah. Setelah merdeka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah lalu memberikan hak pilih kepada Barirah antara tetap menjadi istri Mughits atau berpisah dari suaminya yang masih berstatus budak.
Barirah mengatakan, “Walau Mughits memberiku sekian banyak harta aku tidak mau menjadi isterinya.” Barirah memilih untuk tidak lagi bersama suaminya.” (H.R. Bukhari, no. 2536).
Adapun kisah tentang pembebasan Barirah oleh ‘Aisyah disebutkan dalam hadits berikut. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Bariroh (budak wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah, lantas ia meminta pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-. Lantas majikan Bariroh berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia -Bariroh-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di atas mimbar:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (H.R. Bukhari, no. 456 dan Muslim, no. 1504).
BUDAK MUKATABAH BERHAK DAPAT ZAKAT
Mengenai ayat, “jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu”, maka yang dimaksud adalah budak tersebut berhak mendapatkan harta dari zakat. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa budak tersebut berhak mendapatkan harta dari majikannya untuk membebaskan dirinya. Ada juga pendapat ketiga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah harta kaum muslimin secara umum.
Adapun budak termasuk yang berhak menerima zakat seperti disebutkan dalam ayat:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah: 60).
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin memerdekakan diri dengan dengan syarat melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 23:320)
Contoh penyaluran zakat untuk pembebasan budak mukatab: Ada seorang budak yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan bayaran 10.000 riyal (Rp.25 jt). Enam bulan pertama, ia berjanji membayar 5000 riyal dan enam bulan berikutnya ia membayar 5000 riyal. Maka ketika itu ia diberi zakat masing-masing 5000 riyal untuk tahap pertama dan kedua. (Syarh Al-Mumthi’, 6:229)
Untuk pembebasan budak mukatab, boleh saja zakat diserahkan pada si budak lalu ia melunasi utangnya pada tuannya. Boleh pula zakat tersebut diserahkan langsung pada tuannya. Karena dalam ayat digunakan kata “fii”, yang berarti untuk pembebasan budak dan tidak mesti langsung diserahkan pada budaknya, beda halnya dengan fakir dan miskin. (Lihat Syarh Al-Mumthi’, 6:229-230)
HUKUM PAKSAAN DAN DOSANYA DIMAAFKAN
Maksud ayat ini “Dan barangsiapa yang memaksa mereka”, siapa yang dipaksa melacur baik ia mau menjaga kehormatan diri atau tidak, tidak dibolehkan.
Karena ini paksaan maka, Allah katakan, “maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.” Yaitu Allah akan memaafkan yang dipaksa, bahkan Allah memberi maaf pula pada yang memaksa jika ia ingin bertaubat.
Dalil lainnya yang menunjukkan tentang dimaafkannya dosa ketika dipaksa adalah sebagai berikut. Allah Ta’ala berfirman:
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Q.S. An-Nahl: 106)
Juga terdapat dalam firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al- Baqarah: 173).
Juga dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (H.R. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembahan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.”
قَالَ: «كَيْفَ تَجِدُ قَلْبَكَ ؟» قَالَ: مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ قَالَ: «إِنْ عَادُوا فَعُدْ»
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.” (H.R. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2:389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad hadits ini dha’if. Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12:312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya).
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22:182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua macam.
Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.
Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai membahayakan jiwa atau anggota badan.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:
Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota badan.
Yang memaksa benar-benar mampu diwujudkan ancamannya.
Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa diwujudkan oleh yang memaksa.
FAIDAH AYAT:
Pertama: Ayat 33 jadi dalil untuk menjaga ‘iffah menjaga diri dari zina, sebab, dan perantaranya.
Kedua: Dalam hadits disebutkan kiat menjaga ‘iffah adalah dengan rajin puasa sunnah, yaitu hadits berikut:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
‘Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki ba’ah (kemampuan), maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.’ (H.R. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400)
Ketiga: Ada laki-laki yang syahwatnya biasa, artinya tanpa berpuasa pun ia bisa menahan syahwat, maka ia tidak diwajibkan berpuasa.
Keempat: Memiliki sifat ‘iffah (menjaga diri dari zina dan perantaranya) menjadi sebab ghina, yaitu Allah beri kecukupan padanya. Sebagaimana seseorang yang menikah pun akan diberi kecukupan. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S. Ath-Thalaq: 2-3)
Kelima: Kecukupan yang Allah beri ketika seseorang menjaga ‘iffah bisa jadi dengan harta ketika ia miskin. Jika yang menikah itu sudah berkecukupan, maka Allah beri kecukupan dengan mendapati istri yang taat pada suaminya.
Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia (Bidang Jam'iyyah PD Pemuda Persis Kota Bandung)
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan