MUQADDIMAH:
Jiwa manusia tak jauh beda dengan anggota tubuh yang lain.
Tangan akan lelah jika terus mengangkat. Kaki akan pegal-pegal saat terus
berlari. Mata akan berair jika tak henti menatap. Dan, lelahnya jiwa ketika
semangat kian surut.
Setiap orang kadang mengalami pasang surut dalam ibadah,
sebagaimana pula dalam belajar. Itu memang suatu yang sifatnya naluri. Namun
sebaik-baik orang adalah yang pasang surutnya masih dalam koridor yang
dibenarkan Islam. Apalagi dalam hal mempelajari Islam, setiap orang tidak boleh
jauh dari belajar. Karena besarnya keutamaan di balik menuntut ilmu, baik
dengan belajar kepada guru secara langsung, dengan menghafal Al Qur’an maupun
dengan rajin dan giat membaca maupun menulis.
DEFINISI FUTUR:
Adakalanya seorang penuntut ilmu, atau ahli ibadah merasa futur.
Ketika mata sebenarnya menatap tempat sujud, tapi hati berada di tempat yang
lainnya. Ketika raga berada di majelis ilmu, namun jiwa dan pikiran fokus
kepada hal lainnya.
Futur artinya
rasa malas dan lemah setelah sebelumnya ada masa rajin dan semangat. Dalam
kamus Lisanul ‘Arab futur didefinisikan:
سكن
بعد حدّة ولان بعد شدة
Diam setelah intensitas tinggi dan lemah setelah
melakukan (sesuatu) dengan usaha yang keras.
Futur yaitu: rasa malas, enggan, dan lamban dalam melakukan kebaikan,
yang mana sebelumnya seseorang rajin dan bersemangat melakukannya. Futur adalah
penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut
ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti
sama sekali dari melakukan suatu aktivitas kebaikan.
Diantara sebab-sebab munculnya penyakit futur adalah
sebagai berikut:
1.
Hilangnya keikhlasan.
2.
Lemahnya ilmu Syar’i.
3.
Kecintaan hati yang besar
kepada dunia dan banyak melupakan akhirat.
4.
Fitnah (cobaan) berupa
isteri dan anak.
5.
Hidup di tengah masyarakat
yang rusak.
6.
Berteman dengan orang-orang
yang memiliki keinginan yang lemah dalam meraih kebaikan.
7.
Melakukan dosa serta
memakan makanan yang haram.
8.
Tidak mempunyai tujuan yang
jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9.
Lemahnya iman.
10.
Menyendiri, dan tidak mau
bergabung dengan saudara seiman yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan.
11.
Lemahnya pendidikan (tarbiyyah) imaniyyah.
SETIAP ORANG BISA FUTUR (KENDOR
SEMANGAT):
Rasa jenuh dan bosan pada setiap
amalan merupakan sebuah naluri yang kerap menghampiri setiap orang. Terlebih di
tengah pandemik yang menimpa negeri ini mengharuskan adanya physical
distancing. Anjuran pemerintah untuk belajar di rumah, bekerja dari rumah,
serta ibadah di rumah, ini semua sangat rentan memicu munculnya rasa bosan dan
jenuh. Maka syariat yang sempurna ini, telah mengajarkan kepada umatnya segala
sesuatu yang bermanfaat untuk mereka, juga mengajarkan sesuatu yang akan
menjadi baik untuknya. Yaitu, sebuah solusi di dalam menghadapi rasa bosan yang
menimpanya. Hal ini sebagaimana dalam sabdanya:
عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَيَحْيَى بْنُ جَعْدَةَ عَلَى
رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ قَالَ ذَكَرُوا عِنْدَ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَوْلاَةً لِبَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ
إِنَّهَا قَامَتِ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- «لَكِنِّى أَنَا أَنَامُ وَأُصَلِّى وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ
فَمَنِ اقْتَدَى بِى فَهُوَ مِنِّى وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى
بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدِ اهْتَدَى».
Dari Mujahid,
ia berkata, aku dan Yahya bin Ja’dah pernah menemui salah seorang Anshor yang
merupakan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia berkata, para sahabat Rasul membicarakan bekas budak milik Bani ‘Abdul
Muthollib. Ia berkata bahwa ia biasa shalat malam (tanpa tidur) dan biasa
berpuasa (setiap hari tanpa ada waktu luang untuk tidak puasa). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Akan tetapi aku tidur dan aku shalat malam. Aku pun puasa, namun
ada waktu bagiku untuk tidak berpuasa. Siapa yang mencontohiku, maka ia
termasuk golonganku. Siapa yang benci terhadap ajaranku, maka ia bukan termasuk
golonganku. Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa malasnya. Siapa yang
rasa malasnya malah menjerumuskan pada bid’ah, maka ia sungguh telah sesat.
Namun siapa yang rasa malasnya masih di atas ajaran Rasul, maka dialah yang
mendapat petunjuk.” (H.R. Ahmad 5: 409).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ
فَكَانَ لاَ يَأْتِيهَا كَانَ يَشْغَلُهُ الصَّوْمُ وَالصَّلاَةُ فَذَكَرَ ذَلِكَ
لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ «صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَمَا زَالَ بِهِ حَتَّى
قَالَ لَهُ «صُمْ يَوْماً وَأَفْطِرْ يَوْماً». وَقَالَ لَهُ «اقْرَإِ الْقُرْآنَ
فِى كُلِّ شَهْرٍ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ «اقْرَأْهُ
فِى كُلِّ خَمْسَ عَشْرَةَ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ
«اقْرَأْهُ فِى كُلِّ سَبْعٍ». حَتَّى قَالَ «اقْرَأْهُ فِى كُلِّ ثَلاَثٍ».
وَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- «إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَةً وَلِكُلِّ
شِرَةٍ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ شِرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ
كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ».
Dari ‘Abdullah
bin ‘Amr, ia berkata bahwa ia telah menikahi wanita dari Quraisy, namun ia
tidaklah mendatanginya (menyetubuhinya) karena sibuk puasa dan shalat (malam).
Lalu ia menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau bersabda, “Berpuasalah setiap bulannya
selama tiga hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”,
jawabnya. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan padanya, “Puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” Lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata
padanya, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam sebulan sekali.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu
kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 15 hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu
kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 7 hari.” Lalu ia
terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Khatamkanlah setiap 3
hari.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, “Ingatlah setiap amalan itu ada masa semangatnya. Siapa yang
semangatnya dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang
sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka dialah yang binasa.”
(H.R. Ahmad 2: 188. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim,
demikian kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
عَنْ جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ، قَالَ: ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْلًى لِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يُصَلِّي وَلا
يَنَامُ، وَيَصُومُ وَلا يُفْطِرُ، فَقَالَ: ”أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ
وَأُفْطِرُ، وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ يَكُنْ
فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ، فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ،
فَقَدْ ضَلَّ “.
Dari Ja’dah bin
Hubairah, ia berkata bahwa disebutkan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai bekas budak milik Bani ‘Abdul
Muthollib, ia shalat (malam) namun tidak tidur. Ia puasa setiap hari, tidak ada
waktu kosong untuk tidak puasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku sendiri shalat (malam)
namun aku tetap tidur. Aku puasa, namun lain waktu aku tidak berpuasa.
Ingatlah, setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat
itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam
sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam
petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia
telah menyimpang.” (H.R. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir 2: 284) Ja’dah bin
Hubairah dalam riwayat ini diperselisihkan apakah ia seorang sahabat. Riwayat
ini mursal sebagaimana ta’liq atau
komentar Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam musnad Imam Ahmad 5: 409.
Keterangan:
Beberapa
riwayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang akan semangat dalam sesuatu, dan
waktu ia kendor semangatnya. Dan diantara sebab mudah futur (malas dalam
ibadah) adalah karena terlalu berlebihan dalam suatu amalan. Sehingga sikap
yang bagus adalah pertengahan dalam amalan atau belajar, tidak meremehkan dan
tidak berlebihan.
Hadits di atas mengajarkan kepada kita
tentang bagaiamana cara menyikapi rasa bosan yang kerap menghampiri. Yaitu,
dengan kita memalingkan rasa bosan tersebut kepada perkara yang Allah ridhai.
Seperti, seorang jenuh dari amalan sunnah, maka dia bisa berganti kepada amalan
sunnah yang lain. Atau, bisa juga dipalingkan kepada perkara mubah selama tidak
sampai melalaikan.
Sebaliknya, apabila seorang merasa bosan
dari amalan mubah, dari pekerjaan maisyah misalnya. Maka, dia bisa memalingkannya
kepada amalan sunnah, atau dipalingkan kepada amalan mubah yang tidak sampai
melalaikan. Maka ketika seorang telah hilang rasa jenuhnya dia bisa kembali
beraktifitas normal seperti biasanya.
Pada hadits di atas juga terdapat
larangan keras untuk memalingkan rasa bosan kepada sesuatu yang akan melalaikan
dari zikrullah, atau bahkan perkara haram. Sadarilah, bahwa kemaksiatan tidak
akan bisa membuat hati tenang, bahkan yang ada akan membuat hati semakin gundah
gulana. Sehingga bukannya semangat untuk kembali beramal, yang ada hanyalah
semakin berat dan akhirnya akan mundur dari kancah perjuangan.
KIAT MENGOBATI PENYAKIT FUTUR:
Allah mentakdirkan adanya penyakit futur, tentulah Allah
memberikan obatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Banyak
penuntut ilmu agama yang lemah tekadnya dan futur dalam menuntut ilmu. Sarana
apa saja yang dapat membangkitkan tekad dan semangat dalam menuntut ilmu?”.
Beliau menjawab: “Dha’ful himmah (tekad yang lemah) dalam menuntut
ilmu agama (Islam) adalah salah satu musibah yang besar”. Untuk mengatasi ini
ada beberapa hal:
PERTAMA: MENGIKHLASKAN NIAT HANYA UNTUK ALLAH ‘AZZA
WA JALLA DALAM MENUNTUT ILMU
Niat dalam melakukan suatu perbuatan (yang baik) tentunya harus ikhlas
untuk Allah semata. Keikhlasan suatu niat sangat berpengaruh pada amalan-amalan
yang kita lakukan. Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan
memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar pahala.
Sebagaimana dalam hadits disampaikan bahwa:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وإنما
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan
sesungguhnya sesesorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang
diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya
karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yanga hendak
dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan
hijrahnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
Hadis ini
memiliki kedudukan yang sangat agung, bahkan sebagian ulama menganggapnya
sepertiga Islam. Seorang Muslim akan diberikan balasan
pahala sesuai dengan niatnya dan sesuai dengan kadar
kebenaran niat tersebut. Siapa saja yang amalannya ikhlas karena Allah, maka amalan itu akan diterima meskipun kecil dan sedikit
dengan syarat harus sesuai dengan sunnah. Dan siapa
saja yang beramal karena ingin dilihat orang lain, tidak
ikhlas karena Allah, maka amalannya tersebut tertolak meskipun itu adalah amalan
yang besar dan banyak. Setiap
amalan yang dilakukan bukan untuk mengharap keridaan Allah, baik yang diharapkannya itu adalah seorang wanita, harta, kemuliaan
atau hal lainnya dari perkara-perkara duniawi; maka
amalan tersebut akan tertolak, Allah tidak akan menerimanya, karena syarat diterima suatu amalan adalah dua, yaitu: amalan
tersebut dilakukan dengan ikhlas karena Allah, dan
harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa
sallam-.
KEDUA: SELALU BERSAMA DENGAN TEMAN-TEMAN
YANG SEMANGAT DALAM MENUNTUT ILMU
Teman merupakan orang yang sangat berpengaruh pada diri kita. Teman turut
membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu dalam berteman hendaknya kita
memilih teman-teman yang mampu mengantarkan kepada kebaikan. Teman-teman yang
demikian dapat membantu kita dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama.
Jangan condong untuk meninggalkan kebersamaan bersama mereka selama mereka
senantiasa membantu dalam menuntut ilmu. Dalam sebuah
hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau:
مَثَلُ
الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ،
فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ،
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ
يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة.
“Permisalan teman yang baik dan
teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.
Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa
membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau
harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai
pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak
sedap.” (H.R. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Keterangan:
Imam Muslim rahimahullah mencantumkan
hadits di atas dalam Bab: “Anjuran Untuk Berteman dengan Orang Shalih dan
Menjauhi Teman yang Buruk”.
Imam An-Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih dengan
seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi.
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang
baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus
juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan
orang-orang yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh
Shahih Muslim 4/227)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan: “Hadits di sini
menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama
maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan
orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.” (Fathul Bari 4/324)
Hadits di atas mengandung faedah bahwa
bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang
kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh
kebaikan dari yang dilakukan teman kita.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh (yakni
penjual minyak wangi dan seorang pandai besi).
Bergaul bersama dengan teman yang shalih
akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan
memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi
hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding
dengannya, engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi
tersebut.
Kebaikan yang akan diperoleh seorang
hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama
daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal
yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia
juga akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Dia juga senantiasa
memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orang tua,
menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga
mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun
bersikap.
Sesungguhnya seseorang akan mengikuti
sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling
terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Jika kita tidak mendapatkan
kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika berteman
dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari
perbuatan-perbuatan buruk dan maksiat.
Teman yang shalih akan senantiasa menjaga
dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan
kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun
tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu,
baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan
membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan
kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)
KETIGA: BERSABAR, YAITU
KETIKA JIWA MENGAJAK UNTUK BERPALING DARI ILMU
Seorang penuntut ilmu
tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu Syar’i. Menuntut ilmu Syar’i tidak
bisa didapatkan dengan kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus
diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh
karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap
istiqamah di atas kebenaran.
Kesabaran akan
mengantarkan kita kembali kepada ilmu dan kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu,
hendaknya kita terus berusaha bersabar agar penyakit futur itu
segera hilang. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا
تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ
أَمْرُهُ فُرُطًا
(28)
Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini;
dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Q.S. Al Kahfi: 28).
Keterangan:
Dan bersabarlah engkau wahai
Nabi Muhammad bersama orang-orang yang beriman yang menyeru Tuhannya pada pagi
dan senja hari dengan berzikir dan berdoa dengan mengharap keridaan-Nya,bukan
karena mengharap kesenangan duniawi; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka walaupun mereka miskin, lalu mengarah perhatianmu kepada orang-orang
kafir karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, sebab
keengganannya mengikuti tuntunan yang Kami wahyukan serta menuruti keinginannya
yang teperdaya oleh kesenangan duniawi dan keadaannya yang demikian itu sudah
melewati batas.
Diriwayatkan bahwa 'Uyainah
bin Hishn al-Fazary datang kepada Nabi Muhammad saw sebelum dia masuk Islam.
Ketika itu beberapa orang sahabat Nabi yang fakir berada di sampingnya, diantaranya
adalah Salman al-Farisi yang sedang berselimut jubah dan tubuhnya mengeluarkan
keringat, karena sedang menganyam daun korma. 'Uyainah berkata kepada Rasul
saw, "Apakah bau mereka (sahabat-sahabat yang fakir) tidak mengganggumu?
Kami ini pemuka-pemuka bangsawan suku Mudar. Jika kami masuk Islam, maka semua
suku Mudar akan masuk Islam. Tidak ada yang mencegah kami untuk mengikutimu,
kecuali kehadiran mereka. Oleh karena itu, jauhkanlah mereka agar kami
mengikutimu atau adakan untuk mereka majelis tersendiri, dan kami majelis
tersendiri pula." Kemudian turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini, Allah swt
memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar dan dapat menahan diri untuk duduk
bersama dengan beberapa orang sahabatnya yang tekun dalam ibadah sepanjang hari
karena mengharapkan rida Allah swt semata. Para sahabat itu hidup dalam
kesederhanaan jauh dari kenikmatan duniawi. Mereka itu antara lain ialah: Ammar
bin Yasir, Bilal, shuhaib, Ibnu Mas'ud, dan sahabat-sahabat lainnya.
Di surah yang lain, Allah
berfirman: Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan petang hari, mereka mengharapkan keridaan-Nya. Engkau tidak memikul
tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul
tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan engkau
(berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk orang-orang yang zalim.
(al-An'am/6: 52) Sikap kaum musyrikin terhadap sahabat-sahabat Nabi yang fakir
itu sama halnya dengan sikap kaum Nuh terhadap pengikut-pengikut Nabi Nuh a.s.
sebagaimana difirmankan Allah swt: Mereka berkata, "Apakah kami harus
beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?"
(asy-Syu'ara'/26: 111) Sudah semestinya Rasul saw tidak mengindahkan sikap
orang kafir itu. Allah swt memperingatkan beliau agar jangan sampai
meninggalkan dan meremehkan sahabat-sahabatnya yang fakir, karena hanya
didorong oleh kepentingan duniawi atau disebabkan adanya harapan terhadap
keimanan orang-orang yang kaya dari kaum musyrikin.
Para sahabat itu adalah
orang-orang yang dengan ikhlas hatinya memilih jalan hidup sederhana dan rela
meninggalkan segala kelezatan duniawi semata-mata untuk mencari rida Allah.
Rasul saw mengucapkan syukur kepada Allah atas kehadiran mereka itu di
tengah-tengah umatnya. Katanya: Segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan
di kalangan umatku orang yang aku diperintahkan untuk sabar menahan diriku
bersama dia. (Riwayat Ibnu Jarir ath-thabari, Ath-thabrani, dan Ibnu Mardawaih)
Dengan demikian, memandang
rendah dan meremehkan orang-orang yang hidup miskin dan melarat, tidak
dibenarkan oleh agama Islam, terutama bila mereka orang ahli ibadah dan takwa.
Allah dengan tegas melarang Muhammad saw menuruti keinginan para pemuka kaum
musyrikin untuk menyingkirkan orang-orang yang fakir dari majelisnya. Orang
yang mengajukan permintaan seperti itu adalah orang-orang yang sudah tertutup
jiwa mereka untuk kembali kepada Tuhan, dan memiliki tabiat yang buruk.
Perbuatan mereka yang melampaui batas, kefasikan, dan kemaksiatan menambah
gelap hati mereka, sehingga akhirnya mereka bergelimang dalam dosa.
KEEMPAT: MUHASABAH DIRI
Muhasabah diri adalah upaya
seseorang untuk menyelidiki dirinya sendiri tentang segala perbuatan yang telah
ia lakoni selama ini. Bila ia melakukan muhasabah setiap hari, maka dilakukan
di sepertiga malam, tentang apa saja yang telah dijalaninya pada hari tersebut.
Jika ia mendapati ada perbuatan baik yang dilakukan, ia membiarkannya berlalu
dalam keikhlasan. Jika ia dapati ada perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan,
ia segera introspeksi diri dan bertekad untuk tidak mengulanginya di kemudian
hari.
Pengertian muhasabah diri
tersebut cukup gamblang untuk menjelaskan kepada kita bahwa muhasabah diri
adalah unsur yang sangat penting untuk dilakukan seorang muslim setiap hari. Muhasabah
diri memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan seorang
muslim. Di mana ia akan selalu mengevaluasi diri dengan tujuan hari esok lebih
baik dari hari ini. Namun sayang, banyak sekali di antara kita, atau bahkan
termasuk kita, yang mengabaikan aktivitas penting ini sebelum mereka memejamkan
mata di malam hari. Ini tentu menjadi catatan penting bagi setiap muslim.
Para ulama menjelaskan,
muhasabah diri dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Muhasabah Sebelum Amal
Muhasabah sebelum amal
dilakukan dengan menyelidiki terlebih dahulu; apakah ia mampu untuk
melaksanakannya atau tidak. Kemudian melihat apakah amalan tersebut membawa
manfaat dunia-akhirat atau tidak. Lalu memeriksa niat; apakah amalan ini akan
dilakukan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala atau dilakukan demi manusia.
Kedua: Muhasabah Setelah Amal
Sedangkan muhasabah setelah
amal terbagi dalam tiga bentuk, yaitu:
Bentuk Pertama: Muhasabah Terhadap Amalan Yang
Tertinggal Dan Amalan Yang Belum Sempurna.
Muhasabah ini dilakukan dengan
memeriksa setiap amalan yang telah dilakukan dari sisi niatnya; sudah ikhlas
lillahi ta’ala atau belum. Kemudian dari segi caranya; sudah sesuai dengan
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau belum. Kemudian dari segi
pelaksanaannya; apakah ada amalan yang belum terlaksana atau lupa untuk
dilaksanakan pada hari tersebut.
Bentuk Kedua: Muhasabah Diri Terhadap Amalan Yang
Lebih Baik Ditinggalkan Dari Pada Dilaksanakan.
Contoh muhasabah diri bentuk
ini adalah memeriksa apakah ada amalan yang seharusnya tidak dilakukan, tapi
justru malah dilakukan pada hari itu. Mengingat, jika amalan tersebut dilakukan
akan membuka pintu dosa dan kemaksiatan. Seperti muhasabah diri terhadap
perbuatan syubhat.
Bentuk Ketiga: Muhasabah Diri Terhadap Amalan Mubah.
Melakukan muhasabah diri
terhadap amalan-amalan mubah. Memeriksa kembali tujuan melakukan amalan mubah
tersebut. Untuk apa, demi apa, manfaatnya apa, sisi negatifnya apa. Manfaat
terbesar yang dapat kita raih dari muhasabah diri adalah terjadinya peningkatan
terhadap kualitas hidup kita. Dengan muhasabah diri, kita akan menemukan
perbuatan-perbuatan yang berakibat buruk di dunia dan akhirat yang kita lakukan
pada hari itu. Sehingga kita dapat menyadari keberadaannya untuk kemudian
segera bertaubat dengan taubat nasuha.
Banyak firman Allah Ta'ala
yang menyebutkan arti penting muhasabah diri. Salah satunya adalah firmanNya
berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ
اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh,
Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Keterangan:
Dengan sangat jelas ayat di
atas menjadi dalil perintah untuk muhasabah diri setelah perintah untuk
bertakwa, dan diakhiri dengan perintah untuk bertakwa kembali.
Kepada orang-orang yang
beriman diperintahkan agar bertakwa kepada Allah, dengan melaksanakan
perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Termasuk melaksanakan
perintah Allah ialah memurnikan ketaatan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya,
tidak ada sedikit pun unsur syirik di dalamnya, melaksanakan ibadah-ibadah yang
diwajibkan, dan mengadakan hubungan baik sesama manusia.
Dalam ayat yang lain
diterangkan tanda-tanda orang bertakwa: Kebajikan itu bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan)
orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta,
dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan
zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar
dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
(al-Baqarah/2: 177)
Dalam Al-Qur'an ungkapan kata
takwa mempunyai beberapa arti, di antaranya:
Pertama, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan diajarkan
Rasulullah saw seperti contoh ayat di atas.
Kedua, takut melanggar perintah Allah dan
memelihara diri dari perbuatan maksiat.
Orang yang bertakwa kepada
Allah hendaklah selalu memperhatikan dan meneliti apa yang akan dikerjakan,
apakah ada manfaat untuk dirinya di akhirat nanti atau tidak. Tentu yang akan
dikerjakannya semua bermanfaat bagi dirinya di akhirat nanti. Di samping itu,
hendaklah seseorang selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai
dengan ajaran agama atau tidak. Jika lebih banyak dikerjakan yang dilarang
Allah, hendaklah ia berusaha menutupnya dengan amal-amal saleh. Dengan
perkataan lain, ayat ini memerintahkan manusia agar selalu mawas diri,
memperhitungkan segala yang akan dan telah diperbuatnya sebelum Allah
menghitungnya di akhirat nanti.
Suatu peringatan pada akhir
ayat ini agar selalu bertakwa kepada Allah, karena Dia mengetahui semua yang
dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang
lahir maupun yang batin, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
Kemudian Allah Subhanahu wa
ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا
اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan
diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)
Keterangan:
Ayat tersebut adalah sindiran
keras bagi orang beriman yang mengabaikan perintah untuk muhasabah diri. Di
mana Allah Ta'ala menyamakan orang yang melupakan perintah ini dengan orang
fasik yang melupakan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ayat ini dapat berarti khusus
dan dapat pula berarti umum. Berarti khusus ialah ayat ini berhubungan dengan
orang munafik dan orang-orang Yahudi Bani Nadhir serta sikap dan tindakan
mereka terhadap kaum Muslimin pada waktu turunnya ayat ini. Berarti umum ialah
semua orang yang suka menyesatkan orang lain dari jalan yang benar dan
orang-orang yang mau disesatkan karena teperdaya oleh rayuan dan janji-janji
yang muluk-muluk dari orang yang menyesatkan.
Maksudnya, janganlah
sekali-kali orang yang beriman seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
melupakannya. Orang yang lupa kepada Allah, seperti orang munafik dan orang
Yahudi Bani Nadhir di masa Rasulullah saw, tidak bertakwa kepada-Nya. Mereka
hanya memikirkan kehidupan dunia saja, tidak memikirkan kehidupan di akhirat.
Mereka disibukkan oleh harta dan anak cucu mereka serta segala yang berhubungan
dengan kesenangan duniawi.
Firman Allah: Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka
itulah orang-orang yang rugi. (al-Munafiqun/63: 9)
Kemudian diterangkan bahwa
jika seseorang lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakannya. Maksud
pernyataan Allah melupakan mereka ialah Allah tidak menyukai mereka, sehingga
mereka bergelimang dalam kesesatan, makin lama mereka makin sesat, sehingga
makin jauh dari jalan yang lurus, jalan yang diridai Allah. Oleh karena itu, di
akhirat mereka juga dilupakan Allah, dan Allah tidak menolong dan meringankan
beban penderitaan mereka. Akhirnya mereka dimasukkan ke dalam neraka, sebagai
balasan perbuatan dan tindakan mereka. Ditegaskan bahwa orang-orang seperti
kaum munafik dan Yahudi Bani Nadhir adalah orang-orang yang fasik. Mereka
mengetahui mana yang baik (hak) dan mana yang batil, mana yang baik dan mana
yang jahat. Namun demikian, mereka tidak melaksanakan yang benar dan baik itu,
tetapi malah melaksanakan yang batil dan yang jahat.
KELIMA: BERDOA
Umat Islam sepatutnya berdoa kepada Allah untuk
meminta keteguhan hati agar istiqamah di jalan-Nya. Doa yang paling sering
Rasulullah panjatkan yaitu:
يَا
مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
"Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.
Penulis : Faqih Aulia (14.3887)
MasyaAllah
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan