SAAT FUTUR MELANDA


 

MUQADDIMAH:

Jiwa manusia tak jauh beda dengan anggota tubuh yang lain. Tangan akan lelah jika terus mengangkat. Kaki akan pegal-pegal saat terus berlari. Mata akan berair jika tak henti menatap. Dan, lelahnya jiwa ketika semangat kian surut.

Setiap orang kadang mengalami pasang surut dalam ibadah, sebagaimana pula dalam belajar. Itu memang suatu yang sifatnya naluri. Namun sebaik-baik orang adalah yang pasang surutnya masih dalam koridor yang dibenarkan Islam. Apalagi dalam hal mempelajari Islam, setiap orang tidak boleh jauh dari belajar. Karena besarnya keutamaan di balik menuntut ilmu, baik dengan belajar kepada guru secara langsung, dengan menghafal Al Qur’an maupun dengan rajin dan giat membaca maupun menulis.

DEFINISI FUTUR:

Adakalanya seorang penuntut ilmu, atau ahli ibadah merasa futur. Ketika mata sebenarnya menatap tempat sujud, tapi hati berada di tempat yang lainnya. Ketika raga berada di majelis ilmu, namun jiwa dan pikiran fokus kepada hal lainnya.

Futur artinya rasa malas dan lemah setelah sebelumnya ada masa rajin dan semangat. Dalam kamus Lisanul ‘Arab futur didefinisikan:

سكن بعد حدّة ولان بعد شدة

Diam setelah intensitas tinggi dan lemah setelah melakukan (sesuatu) dengan usaha yang keras.

Futur yaitu: rasa malas, enggan, dan lamban dalam melakukan kebaikan, yang mana sebelumnya seseorang rajin dan bersemangat melakukannya. Futur adalah penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan suatu aktivitas kebaikan.

Diantara sebab-sebab munculnya penyakit futur adalah sebagai berikut:

1.     Hilangnya keikhlasan.

2.     Lemahnya ilmu Syar’i.

3.     Kecintaan hati yang besar kepada dunia dan banyak melupakan akhirat.

4.     Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.

5.     Hidup di tengah masyarakat yang rusak.

6.     Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dalam meraih kebaikan.

7.     Melakukan dosa serta memakan makanan yang haram.

8.     Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).

9.     Lemahnya iman.

10.  Menyendiri, dan tidak mau bergabung dengan saudara seiman yang lainnya, saling tolong menolong dalam kebaikan.

11.  Lemahnya pendidikan (tarbiyyahimaniyyah.

SETIAP ORANG BISA FUTUR (KENDOR SEMANGAT):

Rasa jenuh dan bosan pada setiap amalan merupakan sebuah naluri yang kerap menghampiri setiap orang. Terlebih di tengah pandemik yang menimpa negeri ini mengharuskan adanya physical distancing. Anjuran pemerintah untuk belajar di rumah, bekerja dari rumah, serta ibadah di rumah, ini semua sangat rentan memicu munculnya rasa bosan dan jenuh. Maka syariat yang sempurna ini, telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu yang bermanfaat untuk mereka, juga mengajarkan sesuatu yang akan menjadi baik untuknya. Yaitu, sebuah solusi di dalam menghadapi rasa bosan yang menimpanya. Hal ini sebagaimana dalam sabdanya:

عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَيَحْيَى بْنُ جَعْدَةَ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ الرَّسُولِ قَالَ ذَكَرُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَوْلاَةً لِبَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّهَا قَامَتِ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ. قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «لَكِنِّى أَنَا أَنَامُ وَأُصَلِّى وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ فَمَنِ اقْتَدَى بِى فَهُوَ مِنِّى وَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدِ اهْتَدَى».

Dari Mujahid, ia berkata, aku dan Yahya bin Ja’dah pernah menemui salah seorang Anshor yang merupakan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, para sahabat Rasul membicarakan bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib. Ia berkata bahwa ia biasa shalat malam (tanpa tidur) dan biasa berpuasa (setiap hari tanpa ada waktu luang untuk tidak puasa). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Akan tetapi aku tidur dan aku shalat malam. Aku pun puasa, namun ada waktu bagiku untuk tidak berpuasa. Siapa yang mencontohiku, maka ia termasuk golonganku. Siapa yang benci terhadap ajaranku, maka ia bukan termasuk golonganku. Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa malasnya. Siapa yang rasa malasnya malah menjerumuskan pada bid’ah, maka ia sungguh telah sesat. Namun siapa yang rasa malasnya masih di atas ajaran Rasul, maka dialah yang mendapat petunjuk.” (H.R. Ahmad 5: 409).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ قُرَيْشٍ فَكَانَ لاَ يَأْتِيهَا كَانَ يَشْغَلُهُ الصَّوْمُ وَالصَّلاَةُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ «صُمْ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَمَا زَالَ بِهِ حَتَّى قَالَ لَهُ «صُمْ يَوْماً وَأَفْطِرْ يَوْماً». وَقَالَ لَهُ «اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى كُلِّ شَهْرٍ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ «اقْرَأْهُ فِى كُلِّ خَمْسَ عَشْرَةَ». قَالَ إِنِّى أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ «اقْرَأْهُ فِى كُلِّ سَبْعٍ». حَتَّى قَالَ «اقْرَأْهُ فِى كُلِّ ثَلاَثٍ». وَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- «إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَةً وَلِكُلِّ شِرَةٍ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ شِرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ».

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa ia telah menikahi wanita dari Quraisy, namun ia tidaklah mendatanginya (menyetubuhinya) karena sibuk puasa dan shalat (malam). Lalu ia menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda, “Berpuasalah setiap bulannya selama tiga hari.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan padanya, “Puasalah sehari dan tidak berpuasa sehari.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata padanya, “Khatamkanlah Al Qur’an dalam sebulan sekali.” “Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 15 hari.” Aku mampu lebih daripada itu”, jawabnya. Kalau begitu kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Khatamkanlah Al Qur’an setiap 7 hari.” Lalu ia terus menjawab yang sama sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Khatamkanlah setiap 3 hari.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ingatlah setiap amalan itu ada masa semangatnya. Siapa yang semangatnya dalam koridor ajaranku, maka ia sungguh beruntung. Namun siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari ajaranku, maka dialah yang binasa.” (H.R. Ahmad 2: 188. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, demikian kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

عَنْ جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ، قَالَ: ذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْلًى لِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يُصَلِّي وَلا يَنَامُ، وَيَصُومُ وَلا يُفْطِرُ، فَقَالَ: ”أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ، فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ، فَقَدْ ضَلَّ “.

Dari Ja’dah bin Hubairah, ia berkata bahwa disebutkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekas budak milik Bani ‘Abdul Muthollib, ia shalat (malam) namun tidak tidur. Ia puasa setiap hari, tidak ada waktu kosong untuk tidak puasa. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri shalat (malam) namun aku tetap tidur. Aku puasa, namun lain waktu aku tidak berpuasa. Ingatlah, setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” (H.R. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir 2: 284) Ja’dah bin Hubairah dalam riwayat ini diperselisihkan apakah ia seorang sahabat. Riwayat ini mursal sebagaimana ta’liq atau komentar Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam musnad Imam Ahmad 5: 409.

Keterangan:

Beberapa riwayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang akan semangat dalam sesuatu, dan waktu ia kendor semangatnya. Dan diantara sebab mudah futur (malas dalam ibadah) adalah karena terlalu berlebihan dalam suatu amalan. Sehingga sikap yang bagus adalah pertengahan dalam amalan atau belajar, tidak meremehkan dan tidak berlebihan.

Hadits di atas mengajarkan kepada kita tentang bagaiamana cara menyikapi rasa bosan yang kerap menghampiri. Yaitu, dengan kita memalingkan rasa bosan tersebut kepada perkara yang Allah ridhai. Seperti, seorang jenuh dari amalan sunnah, maka dia bisa berganti kepada amalan sunnah yang lain. Atau, bisa juga dipalingkan kepada perkara mubah selama tidak sampai melalaikan.

Sebaliknya, apabila seorang merasa bosan dari amalan mubah, dari pekerjaan maisyah misalnya. Maka, dia bisa memalingkannya kepada amalan sunnah, atau dipalingkan kepada amalan mubah yang tidak sampai melalaikan. Maka ketika seorang telah hilang rasa jenuhnya dia bisa kembali beraktifitas normal seperti biasanya.

Pada hadits di atas juga terdapat larangan keras untuk memalingkan rasa bosan kepada sesuatu yang akan melalaikan dari zikrullah, atau bahkan perkara haram. Sadarilah, bahwa kemaksiatan tidak akan bisa membuat hati tenang, bahkan yang ada akan membuat hati semakin gundah gulana. Sehingga bukannya semangat untuk kembali beramal, yang ada hanyalah semakin berat dan akhirnya akan mundur dari kancah perjuangan.

KIAT MENGOBATI PENYAKIT FUTUR:

Allah mentakdirkan adanya penyakit futur, tentulah Allah memberikan obatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Banyak penuntut ilmu agama yang lemah tekadnya dan futur dalam menuntut ilmu. Sarana apa saja yang dapat membangkitkan tekad dan semangat dalam menuntut ilmu?”. Beliau menjawab: “Dha’ful himmah (tekad yang lemah) dalam menuntut ilmu agama (Islam) adalah salah satu musibah yang besar”. Untuk mengatasi ini ada beberapa hal:

PERTAMA: MENGIKHLASKAN NIAT HANYA UNTUK ALLAH ‘AZZA WA JALLA DALAM MENUNTUT ILMU

Niat dalam melakukan suatu perbuatan (yang baik) tentunya harus ikhlas untuk Allah semata. Keikhlasan suatu niat sangat berpengaruh pada amalan-amalan yang kita lakukan. Jika seseorang ikhlas dalam menuntut ilmu, ia akan memahami bahwa amalan menuntut ilmu yang ia lakukan itu akan diganjar pahala. Sebagaimana dalam hadits disampaikan bahwa:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وإنما لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنكحها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Sesungguhnya setiap amal itu (tergantung) pada niatnya, dan sesungguhnya sesesorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya (dinilai) karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena harta dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yanga hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Keterangan:

Hadis ini memiliki kedudukan yang sangat agung, bahkan sebagian ulama menganggapnya sepertiga Islam. Seorang Muslim akan diberikan balasan pahala sesuai dengan niatnya dan sesuai dengan kadar kebenaran niat tersebut. Siapa saja yang amalannya ikhlas karena Allah, maka amalan itu akan diterima meskipun kecil dan sedikit dengan syarat harus sesuai dengan sunnah. Dan siapa saja yang beramal karena ingin dilihat orang lain, tidak ikhlas karena Allah, maka amalannya tersebut tertolak meskipun itu adalah amalan yang besar dan banyak. Setiap amalan yang dilakukan bukan untuk mengharap keridaan Allah, baik yang diharapkannya itu adalah seorang wanita, harta, kemuliaan atau hal lainnya dari perkara-perkara duniawi; maka amalan tersebut akan tertolak, Allah tidak akan menerimanya, karena syarat diterima suatu amalan adalah dua, yaitu: amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas karena Allah, dan harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-.

KEDUA: SELALU BERSAMA DENGAN TEMAN-TEMAN YANG SEMANGAT DALAM MENUNTUT ILMU

Teman merupakan orang yang sangat berpengaruh pada diri kita. Teman turut membentuk karakter seseorang. Oleh karena itu dalam berteman hendaknya kita memilih teman-teman yang mampu mengantarkan kepada kebaikan. Teman-teman yang demikian dapat membantu kita dalam berdiskusi dan meneliti masalah agama. Jangan condong untuk meninggalkan kebersamaan bersama mereka selama mereka senantiasa membantu dalam menuntut ilmu. Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة.

Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (H.R. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

Keterangan:

Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab: “Anjuran Untuk Berteman dengan Orang Shalih dan Menjauhi Teman yang Buruk”.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang yang mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan: “Hadits di sini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.” (Fathul Bari 4/324)

Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita.

 

 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi).

Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding dengannya, engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut.

Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Dia juga senantiasa memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap.

Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.

Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang penting jika berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatan buruk dan maksiat.

Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu. (Bahjatu Quluubil Abrar, 148)

KETIGA: BERSABAR, YAITU KETIKA JIWA MENGAJAK UNTUK BERPALING DARI ILMU

Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu Syar’i. Menuntut ilmu Syar’i tidak bisa didapatkan dengan kilat atau dikursuskan dalam waktu singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah di atas kebenaran.

Kesabaran akan mengantarkan kita kembali kepada ilmu dan kebaikan-kebaikan. Oleh karena itu, hendaknya kita terus berusaha bersabar agar penyakit futur itu segera hilang. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28)

Dan bersabarlah kamu ber­sama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) meng­harapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari meng­ingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keada­annya itu melewati batas. (Q.S. Al Kahfi: 28).

Keterangan:

Dan bersabarlah engkau wahai Nabi Muhammad bersama orang-orang yang beriman yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan berzikir dan berdoa dengan mengharap keridaan-Nya,bukan karena mengharap kesenangan duniawi; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka walaupun mereka miskin, lalu mengarah perhatianmu kepada orang-orang kafir karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, sebab keengganannya mengikuti tuntunan yang Kami wahyukan serta menuruti keinginannya yang teperdaya oleh kesenangan duniawi dan keadaannya yang demikian itu sudah melewati batas.

 

 

Diriwayatkan bahwa 'Uyainah bin Hishn al-Fazary datang kepada Nabi Muhammad saw sebelum dia masuk Islam. Ketika itu beberapa orang sahabat Nabi yang fakir berada di sampingnya, diantaranya adalah Salman al-Farisi yang sedang berselimut jubah dan tubuhnya mengeluarkan keringat, karena sedang menganyam daun korma. 'Uyainah berkata kepada Rasul saw, "Apakah bau mereka (sahabat-sahabat yang fakir) tidak mengganggumu? Kami ini pemuka-pemuka bangsawan suku Mudar. Jika kami masuk Islam, maka semua suku Mudar akan masuk Islam. Tidak ada yang mencegah kami untuk mengikutimu, kecuali kehadiran mereka. Oleh karena itu, jauhkanlah mereka agar kami mengikutimu atau adakan untuk mereka majelis tersendiri, dan kami majelis tersendiri pula." Kemudian turunlah ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar dan dapat menahan diri untuk duduk bersama dengan beberapa orang sahabatnya yang tekun dalam ibadah sepanjang hari karena mengharapkan rida Allah swt semata. Para sahabat itu hidup dalam kesederhanaan jauh dari kenikmatan duniawi. Mereka itu antara lain ialah: Ammar bin Yasir, Bilal, shuhaib, Ibnu Mas'ud, dan sahabat-sahabat lainnya.

Di surah yang lain, Allah berfirman: Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan keridaan-Nya. Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan engkau (berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk orang-orang yang zalim. (al-An'am/6: 52) Sikap kaum musyrikin terhadap sahabat-sahabat Nabi yang fakir itu sama halnya dengan sikap kaum Nuh terhadap pengikut-pengikut Nabi Nuh a.s. sebagaimana difirmankan Allah swt: Mereka berkata, "Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?" (asy-Syu'ara'/26: 111) Sudah semestinya Rasul saw tidak mengindahkan sikap orang kafir itu. Allah swt memperingatkan beliau agar jangan sampai meninggalkan dan meremehkan sahabat-sahabatnya yang fakir, karena hanya didorong oleh kepentingan duniawi atau disebabkan adanya harapan terhadap keimanan orang-orang yang kaya dari kaum musyrikin.

Para sahabat itu adalah orang-orang yang dengan ikhlas hatinya memilih jalan hidup sederhana dan rela meninggalkan segala kelezatan duniawi semata-mata untuk mencari rida Allah. Rasul saw mengucapkan syukur kepada Allah atas kehadiran mereka itu di tengah-tengah umatnya. Katanya: Segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan di kalangan umatku orang yang aku diperintahkan untuk sabar menahan diriku bersama dia. (Riwayat Ibnu Jarir ath-thabari, Ath-thabrani, dan Ibnu Mardawaih)

Dengan demikian, memandang rendah dan meremehkan orang-orang yang hidup miskin dan melarat, tidak dibenarkan oleh agama Islam, terutama bila mereka orang ahli ibadah dan takwa. Allah dengan tegas melarang Muhammad saw menuruti keinginan para pemuka kaum musyrikin untuk menyingkirkan orang-orang yang fakir dari majelisnya. Orang yang mengajukan permintaan seperti itu adalah orang-orang yang sudah tertutup jiwa mereka untuk kembali kepada Tuhan, dan memiliki tabiat yang buruk. Perbuatan mereka yang melampaui batas, kefasikan, dan kemaksiatan menambah gelap hati mereka, sehingga akhirnya mereka bergelimang dalam dosa.

KEEMPAT: MUHASABAH DIRI

Muhasabah diri adalah upaya seseorang untuk menyelidiki dirinya sendiri tentang segala perbuatan yang telah ia lakoni selama ini. Bila ia melakukan muhasabah setiap hari, maka dilakukan di sepertiga malam, tentang apa saja yang telah dijalaninya pada hari tersebut. Jika ia mendapati ada perbuatan baik yang dilakukan, ia membiarkannya berlalu dalam keikhlasan. Jika ia dapati ada perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan, ia segera introspeksi diri dan bertekad untuk tidak mengulanginya di kemudian hari.

Pengertian muhasabah diri tersebut cukup gamblang untuk menjelaskan kepada kita bahwa muhasabah diri adalah unsur yang sangat penting untuk dilakukan seorang muslim setiap hari. Muhasabah diri memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan seorang muslim. Di mana ia akan selalu mengevaluasi diri dengan tujuan hari esok lebih baik dari hari ini. Namun sayang, banyak sekali di antara kita, atau bahkan termasuk kita, yang mengabaikan aktivitas penting ini sebelum mereka memejamkan mata di malam hari. Ini tentu menjadi catatan penting bagi setiap muslim.

 

 

 

 

Para ulama menjelaskan, muhasabah diri dapat dilakukan dengan dua cara:

Pertama: Muhasabah Sebelum Amal

Muhasabah sebelum amal dilakukan dengan menyelidiki terlebih dahulu; apakah ia mampu untuk melaksanakannya atau tidak. Kemudian melihat apakah amalan tersebut membawa manfaat dunia-akhirat atau tidak. Lalu memeriksa niat; apakah amalan ini akan dilakukan ikhlas karena Allah subhanahu wata’ala atau dilakukan demi manusia.

Kedua: Muhasabah Setelah Amal

Sedangkan muhasabah setelah amal terbagi dalam tiga bentuk, yaitu:

Bentuk Pertama: Muhasabah Terhadap Amalan Yang Tertinggal Dan Amalan Yang Belum Sempurna.

Muhasabah ini dilakukan dengan memeriksa setiap amalan yang telah dilakukan dari sisi niatnya; sudah ikhlas lillahi ta’ala atau belum. Kemudian dari segi caranya; sudah sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau belum. Kemudian dari segi pelaksanaannya; apakah ada amalan yang belum terlaksana atau lupa untuk dilaksanakan pada hari tersebut.

Bentuk Kedua: Muhasabah Diri Terhadap Amalan Yang Lebih Baik Ditinggalkan Dari Pada Dilaksanakan.

Contoh muhasabah diri bentuk ini adalah memeriksa apakah ada amalan yang seharusnya tidak dilakukan, tapi justru malah dilakukan pada hari itu. Mengingat, jika amalan tersebut dilakukan akan membuka pintu dosa dan kemaksiatan. Seperti muhasabah diri terhadap perbuatan syubhat.

Bentuk Ketiga: Muhasabah Diri Terhadap Amalan Mubah.

Melakukan muhasabah diri terhadap amalan-amalan mubah. Memeriksa kembali tujuan melakukan amalan mubah tersebut. Untuk apa, demi apa, manfaatnya apa, sisi negatifnya apa. Manfaat terbesar yang dapat kita raih dari muhasabah diri adalah terjadinya peningkatan terhadap kualitas hidup kita. Dengan muhasabah diri, kita akan menemukan perbuatan-perbuatan yang berakibat buruk di dunia dan akhirat yang kita lakukan pada hari itu. Sehingga kita dapat menyadari keberadaannya untuk kemudian segera bertaubat dengan taubat nasuha.

Banyak firman Allah Ta'ala yang menyebutkan arti penting muhasabah diri. Salah satunya adalah firmanNya berikut ini:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)

Keterangan:

Dengan sangat jelas ayat di atas menjadi dalil perintah untuk muhasabah diri setelah perintah untuk bertakwa, dan diakhiri dengan perintah untuk bertakwa kembali.

Kepada orang-orang yang beriman diperintahkan agar bertakwa kepada Allah, dengan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Termasuk melaksanakan perintah Allah ialah memurnikan ketaatan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, tidak ada sedikit pun unsur syirik di dalamnya, melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan, dan mengadakan hubungan baik sesama manusia.

Dalam ayat yang lain diterangkan tanda-tanda orang bertakwa: Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 177)

Dalam Al-Qur'an ungkapan kata takwa mempunyai beberapa arti, di antaranya:

Pertama, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan diajarkan Rasulullah saw seperti contoh ayat di atas.

Kedua, takut melanggar perintah Allah dan memelihara diri dari perbuatan maksiat.

Orang yang bertakwa kepada Allah hendaklah selalu memperhatikan dan meneliti apa yang akan dikerjakan, apakah ada manfaat untuk dirinya di akhirat nanti atau tidak. Tentu yang akan dikerjakannya semua bermanfaat bagi dirinya di akhirat nanti. Di samping itu, hendaklah seseorang selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Jika lebih banyak dikerjakan yang dilarang Allah, hendaklah ia berusaha menutupnya dengan amal-amal saleh. Dengan perkataan lain, ayat ini memerintahkan manusia agar selalu mawas diri, memperhitungkan segala yang akan dan telah diperbuatnya sebelum Allah menghitungnya di akhirat nanti.

Suatu peringatan pada akhir ayat ini agar selalu bertakwa kepada Allah, karena Dia mengetahui semua yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang lahir maupun yang batin, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

 وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)

Keterangan:

Ayat tersebut adalah sindiran keras bagi orang beriman yang mengabaikan perintah untuk muhasabah diri. Di mana Allah Ta'ala menyamakan orang yang melupakan perintah ini dengan orang fasik yang melupakan Allah subhanahu wa ta’ala.

Ayat ini dapat berarti khusus dan dapat pula berarti umum. Berarti khusus ialah ayat ini berhubungan dengan orang munafik dan orang-orang Yahudi Bani Nadhir serta sikap dan tindakan mereka terhadap kaum Muslimin pada waktu turunnya ayat ini. Berarti umum ialah semua orang yang suka menyesatkan orang lain dari jalan yang benar dan orang-orang yang mau disesatkan karena teperdaya oleh rayuan dan janji-janji yang muluk-muluk dari orang yang menyesatkan.

Maksudnya, janganlah sekali-kali orang yang beriman seperti orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah melupakannya. Orang yang lupa kepada Allah, seperti orang munafik dan orang Yahudi Bani Nadhir di masa Rasulullah saw, tidak bertakwa kepada-Nya. Mereka hanya memikirkan kehidupan dunia saja, tidak memikirkan kehidupan di akhirat. Mereka disibukkan oleh harta dan anak cucu mereka serta segala yang berhubungan dengan kesenangan duniawi.

Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Munafiqun/63: 9)

Kemudian diterangkan bahwa jika seseorang lupa kepada Allah, maka Allah pun melupakannya. Maksud pernyataan Allah melupakan mereka ialah Allah tidak menyukai mereka, sehingga mereka bergelimang dalam kesesatan, makin lama mereka makin sesat, sehingga makin jauh dari jalan yang lurus, jalan yang diridai Allah. Oleh karena itu, di akhirat mereka juga dilupakan Allah, dan Allah tidak menolong dan meringankan beban penderitaan mereka. Akhirnya mereka dimasukkan ke dalam neraka, sebagai balasan perbuatan dan tindakan mereka. Ditegaskan bahwa orang-orang seperti kaum munafik dan Yahudi Bani Nadhir adalah orang-orang yang fasik. Mereka mengetahui mana yang baik (hak) dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang jahat. Namun demikian, mereka tidak melaksanakan yang benar dan baik itu, tetapi malah melaksanakan yang batil dan yang jahat.

KELIMA: BERDOA

Umat Islam sepatutnya berdoa kepada Allah untuk meminta keteguhan hati agar istiqamah di jalan-Nya. Doa yang paling sering Rasulullah panjatkan yaitu:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

"Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.


Penulis : Faqih Aulia (14.3887)

1 Komentar

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama