MUQADDIMAH:
Ibadah merupakan suatu perbuatan untuk menyatakan bakti manusia kepada sang pencipta.
Hal ini didasari untuk mengerjakan semua perintah-perintah-Nya dan menjauhi
semua larangan-larannya-Nya. Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah Swt
supaya beribadah kepada-Nya. Akan tetapi sering sekali manusia lupa akan tujuan
utama diciptakannya. Bahkan sering sekali meninggalkan perintah-perintah-Nya
dan sering melakukan larangan-larangan-Nya. Padahal kita sendiri tahu bahwa sahnya
hal itu sudah dilarang akan tetapi masih tetap saja dilakukan.
Ibadah sendiri mencakup banyak hal, bukan hanya salat, puasa
dan haji saja. Bahkan hal yang sering kita lakukan apabila ada niatnya menjadi
ibadah, contohnya ialah makan. Terdengar sepele akan tetapi apabila kita
niatkan makan supaya bisa melaksankan perbuatan-perbuatan baik. Seperti niat
makan agar kuat untuk salat, sekolah dan kerja, maka hal itu menjadi ibadah.
Islam pun tidak menuntut pemeluknya supaya beribadah terus menerus sampai lupa
waktu akan hal yang lain.
Pada dasarnya Allah mengingatkan kepada hamba-hambanya supaya
beribadah sesuai kadar kesanggupannya saja. Yang
dimaksud sederhana dalam beribadah adalah bersikap pertengahan dalam beribadah
dan tidak berlebih-lebihan atau tidak memberatkan diri dalam beribadah.
AYAT PERTAMA:
طه (١) مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى (٢)
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar
kamu menjadi susah.” (Q.S. Thaaha: 1-2)
Keterangan:
Bila
surah sebelumnya ditutup dengan berita kebinasaan umat terdahulu karena
kedurhakaan mereka, surah ini diawali dengan penjelasan bahwa Al-Qur’an turun
untuk kebaikan, bukan kesusahan, bagi umat.
Thaha
termasuk huruf-huruf hijaiyyah yang terletak pada permulaan beberapa surah
Al-Qur'an. Para Mufassirin berbeda pendapat tentang maksud huruf-huruf itu.
Untuk jelasnya dipersilahkan menela'ah kembali uraian yang ada pada permulaan
surah al-Baqarah jilid I "Al-Qur'an dan tafsirnya" dengan judul
"Fawatihus Suwar".
Pada
ayat ini (ayat 2) Allah menerangkan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan bukanlah
untuk menyusahkan dan mencelakakan. Bagi Nabi Muhammad saw, ayat ini adalah
sebagai hiburan. Ditegaskan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan kepadanya bukanlah
untuk menyusahkan, juga bukan untuk dipaksakan kepada orang-orang yang keras
kepala, tetapi Al-Qur'an diturunkan kepadanya untuk disampaikan kepada umatnya
dan untuk menjadi peringatan kepada mereka tentang perbuatannya yang sesat.
Kalau tugas Nabi Muhammad itu telah dilaksanakan dan dakwahnya telah dilakukan,
tetapi umatnya masih juga membangkang dan tidak mau taat kepadanya, maka itu
diserserahkan kepada Allah, karena kewajiban Nabi hanya menyampaikan apa yang
menjadi tugasnya, sebagaimana firman Allah: Maka jika mereka berpaling, maka
ketahuilah kewajiban yang dibebankan atasmu (Muhammad) hanyalah menyampaikan
(amanat Allah) dengan terang. (an-Nahl/16: 82)
Oleh
karena itu, Nabi Muhammad tidak perlu merasa gelisah, apalagi menghancurkan
diri sendiri karena manusia tidak mau mengikuti seruannya, sebagaimana
digambarkan Allah di dalam firman-Nya: Maka barangkali engkau (Muhammad)
akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling,
sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).
(al-Kahf/18: 6)
Begitu
juga Nabi Muhammad tidak perlu merasa susah dalam menyampaikan Al-Qur'an kepada
manusia, sebagaimana firman Allah: (Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu
(Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi
peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman.
(al-A'raf/7: 2)
Al-Qurthubi
menjelaskan tentang masuk Islamnya Umar bin al-Khaththab, saat itu Umar bin
al-Khaththab masuk ke rumah iparnya Sa'id bin Zaid, ia sedang membaca Surah
thaha bersama isterinya Fatimah binti al-Khaththab (adik Umar), dan Umar
memintanya namun tidak diberikan sehingga ia marah dan merampas naskah tersebut.
Ketika Umar membacanya, lunak dan lembutlah hatinya untuk menerima Islam.
Tafsir
Ibnu Katsir:
Jubair
mengatakan dari Adh-Dhahhak, ‘Begitu Allah menurunkan al-Qur’an kepada
Rasul-Nya, maka beliau dan para shahabat pun segera mengamalkannya. Tapi orang-orang
musyrik dari Quraisy mengatakan, al-Qur’an ini tidak diturunkan
kepada Muhammad kecuali agar dia menjadi susah. Maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala pun menurunkan ayat di atas.
Mujahid
mengatakan, “Ayat ini seperti firman-Nya:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“...karena
itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Quran...” (Q.S. Al-Muzammil: 20).
Saat itu para shahabat mengaitkan tali (menggantungkan tulisan yang berisi
ayat-ayat al-Qur’an) dalam shalat.
Qatadah
mengatakan, “Tidak, demi Allah, Dia tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang
menyusahkan, tetapi menjadikannya sebagai rahmat, cahaya dan penunjuk ke Surga.
AYAT KEDUA:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak
menghendaki kesukaran bagi kalian. (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Keterangan:
Maksudnya,
keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah kepada kalian untuk berbuka
dalam keadaan sakit dan dalam perjalanan, namun Dia tetap mewajibkan puasa bagi
orang yang berada di tempat tinggalnya lagi sehat, merupakan kemudahan dan
rahmat-Nya bagi kalian.
Berbuka
puasa ketika dalam perjalanan itu lebih utama. Alasannya sebagai
pengamalan rukhshah (keringanan) dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan berdasarkan hadits bahwa Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam pernah ditanya tentang puasa dalam perjalanan, maka
beliau pun menjawab:
مَنْ أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa
berbuka, maka ia telah berbuat baik. Dan barangsiapa tetap berpuasa, maka tidak
ada dosa baginya.” (H.R. Muslim)
Dalam
hadits yang lain beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللهِ الَّتِي رَخَّصَ
لَكُمْ
“Pergunakanlah rukhshah (keringanan)
yang diberikan Allah kepada kalian.” (H.R. Muslim)
Sebagian
ulama lainnya berpendapat bahwa antara berbuka dan berpuasa keduanya sama saja.
Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, bahwa Hamza bin ‘Amr al-Aslami pernah bertanya: “Wahai Rasulullah,
sungguh aku sering berpuasa, apakah aku boleh berpuasa dalam perjalanan?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pun menjawab:
إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Jika
engkau mau berpuasalah, dan jika engkau mau berbukalah.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Dan
ada pula yang berpendapat bahwa apabila ia merasa berat untuk melaksanakan
puasa, maka berbuka baginya lebih utama. Hal ini berdasarkan hadits Jabir,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah
menjumpai seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya: “Ada apa
dengannya?” Orang-orang menjawab: “Dia sedang berpuasa.” Lalu beliau bersabda:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِيْ السَّفَرِ
“Berpuasa
ketika dalam perjalanan bukan termasuk kebajikan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun
jika ia membenci sunnah (dalam hal ini rukhshah untuk berbuka)
dan berpendapat bahwa berbuka adalah makruh, maka ia wajib berbuka dan berpuasa
menjadi haram baginya.
HADITS PERTAMA:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا
وَعِنْدَهَا امْرَأةٌ قَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ قَالَتْ: هَذِهِ فُلَانَةُ
تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا قَالَ: "مَهْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيْقُونَ،
فَوَاللهِ لَا يَمَلُّ اللهُ حَتَّى تَمَلُّوا" وَكَانَ أَحَبُّ الدِّيْنِ
إِلَيهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبَهُ عَلَيهِ. ((متفق عليه)) .
“Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam masuk ke rumah ‘Aisyah. Waktu itu ada seorang
perempuan, dan beliau bertanya, “Siapakah dia?” ‘Aisyah menjawab, “Ini adalah
Fulanah yang terkenal shalatnya.” Nabi bersabda, “Wahai Fulanah,
beramallah sesuai dengan kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak akan jemu menerima
amalmu sehingga kamu sendirilah yang merasa jemu. Sesungguhnya amalan yang
paling disukai Allah, yaitu yang dikerjakan secara terus menerus.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Keterangan:
Seorang wanita datang mengunjungi Aisyah -raḍiyallāhu 'anha-,
lalu ia menuturkan bahwa dirinya banyak melaksanakan ibadah dan salat. Aisyah
menceritakan hal itu kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Lantas
beliau melarangnya untuk berlebih-lebihan dalam ibadah dan membebani diri
dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan. Beliau juga memberitahu Aisyah bahwa
Allah tidak akan memperlakukan kalian dengan perlakuan bosan hingga kalian
sendiri merasa bosan lalu meninggalkannya. Karena itu, kalian harus melakukan
sesuatu yang mampu dilaksanakan secara terus-menerus agar pahala dan karunianya
terus mengalir kepada kalian.
Faidah
hadits:
1. Jika seseorang melihat di rumahnya ada orang
baru, hendaklah dia bertanya, “Siapa dia?”. Boleh jadi orang yang masuk ke
rumah kita adalah orang yang tidak disukai keberadaannya.
2. Seyogyanya manusia tidak terlalu membebani
dirinya dengan ibadah dan terlalu banyak beramal.
3. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa manusia
harus mengerjakan ibadah dengan secara menengah, artinya tidak terlalu
berlebih-lebihan dan tidak terlalu sedikit sehingga dia bisa melaksanakannya
secara terus-menerus.
HADITS
KEDUA:
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال: جَاءَ
ثَلَاثَةُ رَهْطِ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهِ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا وَقَالُوا: أَيْنَ نَحْنُ مِنَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا
فَأُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ الآَخَرَ: وَأَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ
وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ الآَخَرَ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا
أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ إِلَيهِمْ فَقَالَ: "أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ
كَذَا وَكَذَا؟! أَمَا وَاللهِ إني لَأَخْشَاكُمُ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ
لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ،
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي" ((متفق عليه)).
Diriwayatkan
dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Tiga orang datang ke
rumah istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mempertanyakan
tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Setelah
diberitahu, mereka menganggap seakan-akan amal ibadah Nabi itu hanya sedikit
dan mereka berkata, ‘Dimanakah tempat kami dibanding Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, padahal beliau telah diampuni semua dosanya, baik yang
telah lalu maupun yang akan datang?’ Salah seorang di antara mereka berkata,
‘Saya selamanya akan shalat sepanjang malam’. Yang lain berkata,
‘Saya selamanya akan berpuasa’. Yang lain berkata, ‘Saya akan
menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan kawin selama-lamanya’. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam datang dan bersabda
kepada mereka, ‘Kalian tadi yang berbicara begini dan begitu? Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah
di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur
malam, aku juga menikahi perempuan. (Itulah sunnah-sunnahku) siapa saja yang
benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku’.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Keterangan:
Dalam
hal ini terdapat dalil bahwa manusia harus bersifat menengah dalam beribadah,
bahkan menengah dalam segala perkara, sebab jika ia sedikit ibadah akan
kehilangan banyak hal dan jika dia berlebih-lebihan dalam beribadah, dia akan
merasa keberatan, melemah dan bosan. Maka dari itu, dia harus bersikap menengah
dalam segala amalnya.
Faidah Hadits:
1. Disunnahkan mencari
informasi tentang keberadaan para Ulama Rabbani untuk mengetahui keadaan
mereka. Jika tidak bisa mendapatkan informasi tersebut dari kaum laki-laki,
maka diperbolehkan mendapatkannya dari para wanita.
2. Tidaklah terlarang bagi
siapa saja yang berkeinginan mengerjakan amal shalih untuk memperlihatkannya
selama tidak disertai sikap riya’.
3. Sederhana dalam sunnah lebih
baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.
4. Kemauan keras para Shahabat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berupaya meningkatkan ibadah dan
ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla.
5. Diharamkan puasa dahr
(sepanjang tahun). Dianjurkan untuk berpuasa yang sesuai dengan sunnah.
6. Diharamkan melakukan ibadah
semalam suntuk.
7. Diharamkan hidup membujang.
8. Dianjurkan untuk tidur dan
shalat tahajjud.
9. Menikah adalah sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat dianjurkan. Bahkan sebagian Ulama
mengatakan wajib menikah.
10. Hal-hal yang bersifat mubah
dan sunnah akan menjadi haram jika menyimpang dari petunjuk Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
11. Mengikuti Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesederhanaan dan keseimbangan (dalam beribadah)
adalah hakikat taqarrub (pendekatan diri) kepada Allâh Azza wa Jalla.
12. Tidak berpegang teguh kepada
petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah mengakibatkan
timbulnya sikap melampaui batas dan membuat dirinya terperangkap dalam lembah
kesesatan.
13. Dianjurkan ketika khutbah,
ceramah, memberikan pelajaran, menjelaskan masalah atau hukum, memulai dengan
pujian dan sanjungan kepada Allâh.
14. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam segera mengingkari kemungkaran dan kebatilan serta memberikan solusi
(jalan keluar) untuk melakukan amalan yang sesuai dengan sunnah.
15. Seseorang tidak
diperbolehkan takalluf (memberat-beratkan diri) dalam beragama, atau beribadah,
atau dalam menjawab pertanyaan, dan lainnya.
16. Tidak boleh melewati batas
dalam melaksankaan agama karena akan membawa kepada kebinasaan.
17. Hukum asal dalam beribadah
adalah at-tauqifiy (berdasarkan dalil). Atas dasar itu, di dalamnya tidak
diperbolehkan ijtihad dengan ra’yu (pendapat) ataupun istihsân (anggapan baik
terhadap sesuatu).
18. Tidak selayaknya seorang
Muslim tertipu dengan amalan yang tampak baik secara lahiriyah, padahal
sebenarnya mengandung kerusakan disebabkan bertolak belakang dengan petunjuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
19. Semata-mata niat baik
(ikhlas) tidak menjadikan amal itu shalih dan diterima oleh Allâh Azza wa
Jalla.
20. Hadits ini merupakan pokok
pelarangan perbuatan bid’ah, meskipun pelakunya bertujuan baik, karena niat
yang baik saja tidak cukup. Wajib bagi dia mengikuti contoh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
21. Dalam hadits ini ada syarat
diterimanya amalan, yaitu (1) ikhlas semata-mata karena Allâh Azza wa Jalla dan
(2) wajib ittibâ’, yakni mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
22. Barangsiapa tidak suka
dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia tidak termasuk
golongan yang mengikuti Sunnah.
HADITS
KETIGA:
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ" قَالَهَا ثَلَاثًا .(رواه مسلم)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Binasalah
orang-orang yang keterlaluan dan berlebih-lebihan.’ Beliau mengulanginya
sebanyak tiga kali.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Keterangan:
Binasa adalah kebalikan dari eksis, yaitu
bahwa mereka akan hancur dan menyesal.
Al-Mutanaththi’uun berarti orang-orang yang
berlebih-lebihan dalam urusan mereka, baik dalam urusan agama maupun dunia.
Al-Khaththabi rahimahullahu menerangkan bahwa
Al-Mutanath-thi’ (الْمُتَنَطِّعُ), adalah sebutan bagi
orang yang berdalam-dalam dan memaksakan diri dalam membahas sesuatu. Serupa
dengan metode ahli kalam (filsafat), mereka selalu membicarakan dan menyelami
perkara yang tidak bermanfaat, serta menekuni apa yang akal-akal mereka tidak
mampu mencapainya.
Al-Mutanath-thi’un (الْمُتَنَطِّعُونَ)
merupakan bentuk jamak dari kata (مُتَنَطِّعٌ).
Secara bahasa mengandung makna berdalam-dalam ketika berbicara dan menampak-nampakkan
kefasihan. Adapun maksud (tanaththu’ dalam hadits ini) adalah tindakan
melampaui batas dalam berbicara, melampaui batas dalam ber-istidlal (mengambil
dalil), dan melampaui batas dalam beribadah.
Ibnul Atsir rahimahullahu dalam An-Nihayah mendefinisikan
bahwa asal (الْمُتَنَطِّعُونَ) diambil dari kata (النَّطْعُ) yaitu rongga atas dari mulut. Kata ini
kemudian digunakan untuk segala bentuk berdalam-dalam, baik pada ucapan maupun
perbuatan.
HADITS
KEEMPAT:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهِ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قال: "إِنَّ الدِّينَ
يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينُ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ
الدُّلْجَةِ". (رواه البخاري)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah dan siapa
saja yang mempersulit agama, ia akan kalah. Oleh karena itu, kerjakan dengan
tepat, dekatkan diri kalian (kepada Allah), dan bersuka hatilah kalian serta
minta tolonglah kepada Allah di waktu pagi, sore serta sedikit waktu malam
(untuk mendekatkan diri).” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : سَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا، وَشَيْءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ، الْقَصْدَ الْقَصْدَ
تَبْلُغُوا .
Dalam
riwayat lain dikatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
‘Sedang-sedanglah, dekatanlah dirimu dan pergunakan waktu pagi dan sore serta
sedikit dari waktu malam. Bersahajalah, niscaya kalian akan sampai pada
tujuan.” (Diriwayatkan Bukhari)
Keterangan:
Sabda Beliau “tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan
agama (Islam)” Yakni menjalankan ibadah dengan sikap tasyaddud (mempersempit
kelapangan Islam) dan ghuluw (melewati aturan yang ditetapkan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam) seperti menjadikan perkara sunat sebagai wajib,
mengharamkan beberapa hal yang dihalalkan dan tidak mau mengambil rukhshah
(keringanan/kelonggaran dari Allah).
Sabda Beliau “kecuali dia akan kalah”, yakni akan
bosan sendiri dan akhirnya tidak dikerjakan. Namun tidak
termasuk tasyaddud/ghuluw kalau seseorang berusaha ke arah kesempurnaan dalam
mengerjakan ajaran Islam.
Sabda Beliau “Maka bersikap luruslah” yakni tetaplah
mengerjakan ajaran Islam tanpa tasaahul/bermalas-malasan dan tanpa
tasyaddud/ghuluw (melewati aturan) seperti menambah-nambah atau berbuat bid’ah.
Hal ini sebagaimana firman Allah: “Maka tetaplah
kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (terj. Huud: 112)
Ayat “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar” yakni
tetaplah kamu berada di atas ajaran Islam, jangan malas mengerjakannya atau
meremehkannya. Sedangkan ayat
“sebagaimana diperintahkan kepadamu” yakni sesuai yang diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak melewati aturan dan tidak
menambah-nambah.
Berdasarkan keterangan ini, seseorang akan
merasakan kesulitan menjalankan agama ketika ia menambah-nambah ajaran Islam
(berbuat bid’ah).
Sabda Beliau “mendekatlah” yakni jika kamu tidak dapat
mengerjakan seluruh ajaran Islam, maka berusahalah mengerjakan sebagian
besarnya.
Sabda Beliau “berbahagialah” yakni berbahagialah dengan
pahala yang Allah janjikan, dan Dia tidak pernah mengingkari janji. Dengan anda
mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan, akan membuat anda semakin semangat
dan ringan mengerjakan amal shalih.
Sabda Beliau “manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika
sebagian malam tiba” yakni usahakanlah selalu mengerjakan ibadah pada saat-saat
kuat dan semangat mengerjakannya yaitu di waktu pagi, petang dan sebagian
malam.
Ini termasuk jawami’ul kalim yang diberikan Allah Ta’ala
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Perhatikanlah sabda Beliau,
kata-katanya sedikit namun kandungannya begitu dalam.
HADITS
KELIMA:
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا
حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ: "مَا هَذَا
الْحَبْلُ؟" قَالُوا : هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبِ، فَإِذَا فَتَرَتْ
تَعَلِّقَتْ بِهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ "
حُلُّوهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ". (متفق عليه)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam masuk ke dalam
masjid dan menemukan tali yang terpasang memanjang antara dua tiang, beliau
lantas bertanya, ‘Tali apakah ini?’ Para shahabat menjawab, ‘Zainab yang
memasangnya. Jika dia mengantuk, maka dia berpegangan dengannya’. Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Lepaskan tali itu, hendaklah kalian
shalat dalam keadaan segar, jika merasa capek, tidurlah’.” (Muttafaq ‘Alaih)
Keterangan:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- masuk ke masjid dan
beliau melihat tali yang dibentangkan antara dua tiang. Beliau kaget dan
menanyakan penyebab tali tersebut dibentangkan. Lantas para sahabat
-raḍiyallāhu 'anhum- menjawab, "Ini adalah kepunyaan Zainab", dia
melakukan salat sunat dan memanjangkannya. Apabila dia lelah maka dia salat
sambil berpegang dengan tali tersebut. Maka Nabi memerintahkan untuk membuka
tali tersebut dan memotivasi (mereka) untuk sederhana saja dalam beribadah dan
melarang (mereka) untuk terlalu berlebih-lebihan, supaya ibadah itu dilakukan
dalam keadaan semangat.
Hadits
Keenam:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ
النَّبِيَّ صَلى الله عليه وسلم قَالَ: "إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ
يُصَلِّي، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبْ عَنْهُ النَّومَ، فَإِنَّ أَحَدُكُمْ
إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ
فَيَسُبُّ نَفْسَهُ". (متفق عليه)
Dari
‘Aisyah radhiyallah ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian
mengantuk dalam shalatnya,hendaklah dia tidur sehingga hilang rasa kantuknya.
Dikarenakan jika seseorang di antara kalian shalat, sedangkan dia mengantuk,
maka dia tidak akan tahu, mungkin ia bermaksud meminta ampunan, tetapi malah
mencela dirinya sendiri.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
Tema hadis adalah makruhnya memaksakan diri untuk beribadah.
Jika orang yang salat merasa terserang kantuk saat salat, hendaknya ia
menghentikan salatnya atau menyempurnakannya lalu tidur dan beristirahat hingga
tidak mendoakan keburukan terhadap dirinya saat lelah.
Jika
seseorang shalat dalam keadaan ngantuk, maka akan sangat berpotensi keliru
dalam bacaan dan gerakan shalatnya. Mungkin ia bermaksud untuk berdo’a memohon
surga, malah justru berdo’a memohon neraka. Ia bermaksud memohon husnul
khatimah, malah memohon suul khatimah. Ia bermaksud memohon petunjuk hidayah,
malah berdo’a memohon kesesatan.
Hadits
Ketujuh:
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ
سَمُرَةِ رَضي الله عَنْهُمَا قَالَ: "كُنْتُ أُصَلِّى مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتِ، فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا
وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا". (رواه مسلم)
Dari
Abu Abdillah Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Sering kali saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, tetapi
di dalam shalat dan khutbah beliau tidak terlalu lama dan tidak terlalu
pendek.” (Diriwayatkan oleh Muslim)
Keterangan:
Kata
al qashdu artinya, “tengah-tengah, tidak cepat dan tidak lama”. Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ
خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ
“...Memanjangkan
shalatnya dan memendekkan khutbahnya merupakan tanda kepandaian/kefakihan
seseorang…” (H.R. Muslim)
Lama salat dan khotbah Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-
adalah antara panjang yang sangat kentara dan pendek yang sangat berlebihan,
bersifat sedang dan pertengahan. Beliau merupakan teladan orang-orang Muslim
secara umum dan para imam serta khatib secara khusus. Maka tidak boleh
menjadikan hadis ini sebagai dasar untuk melaksanakan salat dan khotbah secara
tergesa-gesa, karena petunjuk Nabi menunjukkan pertengahan, kadang-kadang boleh
agak dipanjangkan, tetapi tidak terlalu panjang.
HADITS
KEDELAPAN:
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةِ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ
اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِى الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا
الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذَّلَةً فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ
قَالَتْ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا،
فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ لَهُ: كُلْ
فَإِنِّى صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآَكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، فَأَكَلَ،
فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ فَقَالَ لَهُ:
نَمْ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ لَهُ : نَمْ، فَلَمَّا كَانَ مِنْ
آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ اْلآنَ: فَصَلَّيَا جَمِيْعًا، فَقَالَ
لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقَّ حَقَّهُ، فَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "صَدَقَ سَلْمَانُ". (رواه البخاري)
Dari
Abu Juhaifah Wahab bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam mempersaudarakan Salman dan Abu Darda. Tatkala
Salman berkunjung ke rumah Abu Darda, ia mendapatkan Ummu Darda (istri Abu
Darda) sedang mengenakan pakaian kerja, lantas Salman bertanya, ‘Mengapa kamu
tidak berhias?’ Ummu Darda menjawab, ‘Abu Darda sudah tidak lagi memperhatikan
kepentingan duniawi’. Kemudian, Abu Darda’ datang dan dihidangkanlah makanan.
Dia berkata kepada Salman, ‘Silahkan makan, saya sedang berpuasa.’ Salman
menjawab, ‘Saya tidak akan makan sebelum engkau makan.’ Maka Abu Darda pun
makan. Di malam harinya Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam,
Salman berkata kepadanya, ‘Tidurlah!’ Kemudian di akhir malam, Salman berkata,
‘Bangunlah!’ Kita shalat bersama-sama’. Dan Salman berkata pula kepadanya,
‘Sesungguhnya bagi Tuhanmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu
ada juga hak, maka penuhilah semuanya.’ Kemudian Nabi shallallahu
‘alayhi wa sallam datang dan Salman menceritakan apa yang baru saja
terjadi, maka beliau memutuskan, ‘Salman benar’.” (Diriwayatkan Bukhari)
Keterangan:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- telah menetapkan ikatan
persaudaraan antara Salmān dan Abu Ad-Dardā`. Lalu Salmān datang mengunjungi
Abu Ad-Dardā`, namun ia menemukan istrinya tidak mengenakan pakaian yang
layaknya dikenakan oleh seorang wanita yang telah bersuami; maksudnya:
mengenakan pakaian yang lusuh. Maka (Salmān) pun menanyakan hal itu padanya, ia
pun menjawab bahwa saudaranya, Abu al-Dardā` telah berpaling dari dunia,
keluarga, makanan dan dari segala hal. Tatkala Abu Ad-Dardā` datang, ia
membuatkan makanan untuk Salmān lalu menyuguhkannya. Namun saat itu, Abu
al-Dardā` sendiri sedang berpuasa. Maka Salmān pun menyuruhnya untuk berbuka;
hal itu karena ia tahu Abu Ad-Dardā` selalu berpuasa. Abu Ad-Dardā` pun makan.
Lalu ketika Abu Ad-Dardā` hendak melakukan salat malam, Salmān menyuruhnya
untuk tidur. Hingga bila akhir malam tiba, keduanya bangun dan mengerjakan
salat bersama-sama. Salmān bermaksud menjelaskan kepada Abu Ad-Dardā` bahwa
seorang manusia tidak sepatutnya membebani dirinya dengan berpuasa dan salat
malam, namun hendaknya ia salat dan bangun malam dengan cara yang dapat
mendatangkan kebaikan dan menghilangkan keletihan, kepayahan serta kesulitan.
HADITS KESEMBILAN:
وعن أَبِي محمد عبدِ
اللَّهِ بن عمرو بنِ العاص رضي اللَّه عنهما قال: أُخْبرَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وسَلَّم أنِّي أَقُول: وَاللَّهِ لأَصومَنَّ النَّهَارَ، ولأَقُومنَّ اللَّيْلَ
ما عشْتُ، فَقَالَ رسُول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «أَنْتَ الَّذِي
تَقُول ذلك؟ فَقُلْت له: قَدْ قُلتُه بأَبِي أَنْتَ وأُمِّي يا رسولَ اللَّه.
قَالَ: «فَإِنكَ لا تَسْتَطِيعُ ذلِكَ، فَصُمْ وأَفْطرْ، ونَمْ وَقُمْ، وَصُمْ
مِنَ الشَّهْرِ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ الْحسنَةَ بعَشْرِ أَمْثَالهَا، وذلكَ
مثْلُ صِيامٍ الدَّهْرِ قُلْت: فَإِنِّي أُطيق أفْضَلَ منْ ذلكَ قالَ: فَصمْ
يَوْماً وَأَفْطرْ يَوْمَيْنِ، قُلْت: فَإِنِّي أُطُيق أفْضَلَ مِنْ ذلكَ، قَالَ:
«فَصُم يَوْماً وَأَفْطرْ يوْماً، فَذلكَ صِيَام دَاوود صلى الله عليه وسلم، وَهُو
أَعْدَل الصِّيَامِ». وَفي رواية: «هوَ أَفْضَلُ الصِّيامِ» فَقُلْتُ فَإِنِّي
أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذلكَ، فقال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم:
«لا أَفْضَلَ منْ ذلك» وَلأنْ أَكْونَ قَبلْتُ الثَّلاثَةَ الأَيَّامِ الَّتِي قال
رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم أَحَبُّ إِليَّ منْ أَهْلِي وَمَالِى.
Dari Abu Muhammad, yaitu Abdullah bin al-‘Ash radhiallahu
‘anhuma, katanya: “Nabi shalallahu alaihi wasalam diberitahu bahwasanya saya
berkata: Demi Allah, sesungguhnya saya akan berpuasa pada pagi hari dan berdiri
bershalat di waktu malam -maksudnya setiap hari, siangnya berpuasa dan malamnya
bershalat sunnah, selama hidupku.” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam lalu
bersabda: “Apakah engkau yang berkata sedemikian itu?” Saya menjawab kepadanya:
“Sungguh saya berkata demikian itu, bi-abi anta wa ummi -demi ayah dan ibuku-,
ya Rasulullah.” Beliau.bersabda: “Sesungguhnya engkau tidak kuat melaksanakan
itu, maka dari itu berpuasalah, berbukalah, tidurlah dan juga berdirilah
-bershalat malam. Dalam sebulan itu berpuasalah tiga hari, sebab sesungguhnya
kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Jadi tiga hari sebulan itu
sama dengan berpuasa setahun penuh.” Saya berkata: “Saya masih kuat beramal
yang lebih utama dari itu.” Beliau s.a.w, bersabda: “Kalau begitu berpuasalah
sehari dan berbukalah dua hari.” Saya berkata lagi: “Saya masih kuat beramal
yang lebih utama dari itu.” Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Kalau
begitu berpuasalah sehari dan berbukalah sehari pula. Yang sedemikian itu
adalah puasanya Nabi Dawud a.s. dan inilah sesedang-sedangnya berpuasa.” Dalam
riwayat lain disebutkan: “Yang sedemikian itu adalah seutama-utamanya
berpuasa.” Saya berkata pula: “Saya masih kuat beramal yang lebih utama dari
itu.” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam lalu bersabda: “Tidak ada yang lebih
utama daripada puasa -seperti Nabi Dawud a.s. itu.” Sebenamya andaikata saya
menerima saja tiga hari yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam
-pertama kali- itu adalah lebih kucintai daripada seluruh keluarga dan
hartaku.”
وفي روايةٍ: «أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ
تَصومُ النَّهَارَ وتَقُومُ اللَّيْلَ؟» قلت: بلَى يَا رسول اللَّهِ. قال: «فَلا
تَفْعل: صُمْ وأَفْطرْ، ونَمْ وقُمْ فَإِنَّ لجَسَدكَ علَيْكَ حقًّا، وإِنَّ
لعيْنَيْكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لزَوْجِكَ علَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لزَوْركَ
عَلَيْكَ حَقًّا، وإِنَّ بحَسْبكَ أَنْ تَصْومَ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلاثَةَ
أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنةٍ عشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِذن ذلك صِيَامُ
الدَّهْرِ» فشَدَّدْتُ فَشُدِّدَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يا رسول اللَّه إِنّي أَجِدُ
قُوَّةً، قال: «صُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللَّهِ داوُدَ وَلا تَزدْ عَلَيْهِ» قلت:
وما كَان صِيَامُ داودَ؟ قال: «نِصْفُ الدهْرِ» فَكَان عَبْدُ اللَّهِ يقول بعْد
مَا كَبِر: يالَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصةَ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ
وسَلَّم .
Dalam
riwayat lain disebutkan demikian: Nabi
shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Bukankah saya telah diberitahu bahwasanya
engkau berpuasa pada siang hari dan bershalat sunnah setiap malamnya?” Saya menjawab:
“Benar, ya Rasulullah.” Beliau lalu bersabda: “Jangan mengerjakan seperti itu.
Berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah, karena sesungguhnya untuk
tubuhmu itu ada hak atas dirimu, kedua matamu pun ada haknya atas dirimu,
istrimu juga ada hak atasmu, untuk tamumu pun ada hak atasmu. Sebenarnya sudah
cukuplah jikalau untuk setiap bulan itu engkau berpuasa sebanyak tiga hari
saja, sebab sesungguhnya setiap kebaikan itu diberi pahala dengan sepuluh kali
lipatnya. Jadi berpuasa tiga hari setiap bulan itu sama halnya dengan berpuasa
setahun penuh.” Saya -maksudnya Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash-
mengeras-ngeraskan sendiri lalu diperkeraskanlah atas diriku. Saya berkata: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya saya masih mempunyai kekuatan untuk lebih dari itu.”
Beliau shalallahu alaihi wasalam lalu bersabda: “Kalau begitu berpuasalah
seperti puasanya Nabiyullah Dawud dan jangan engkau tambahkan lagi dari itu
-yakni sehari berpuasa dan sehari berbuka.” Saya bertanya: “Bagaimanakah
berpuasanya Dawud a.s.?” Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Ia
berpuasa setengah tahun.” Abdullah, setelah tuanya berkata: “Alangkah baiknya
jikalau dahulu saya terima saja keringanan yang diberikan oleh Rasulullah
shalallahu alaihi wasalam”
وفي رواية: «أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّك
تصُومُ الدَّهْرِ، وَتْقَرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّ لَيْلَة؟» فَقُلْتُ: بَلَى يا
رسولَ اللَّهِ، ولَمْ أُرِدْ بذلِكَ إِلاَّ الْخيْرَ، قَالَ: «فَصُمْ صَوْمَ
نَبِيِّ اللَّهِ داودَ، فَإِنَّه كَانَ أَعْبَدَ النَّاسِ، واقْرأْ الْقُرْآنَ في
كُلِّ شَهْرٍ» قُلْت: يَا نَبِيِّ اللَّهِ إِنِّي أُطِيق أَفْضل مِنْ ذلِكَ؟
قَالَ: «فَاقْرَأه فِي كُلِّ عِشرِينَ» قُلْت: يَا نبيِّ اللَّهِ إِنِّي أُطِيق
أَفْضَل مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ: «فَاقْرَأْهُ فِي كُلِّ عَشْر» قُلْت: يَا نَبِيَّ
اللَّهِ إِنِّي أُطِيق أَفْضلَ مِنْ ذلِكَ؟ قَالَ: «فَاقْرَأْه في كُلِّ سَبْعٍ
وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ» فَشَدَّدْتُ فَشُدِّدَ عَلَيَّ، وقَالَ لِي النَّبِيُّ
صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: «إِنَّكَ لاَ تَدْرِي لَعلَّكَ يَطُول بِكَ عُمُرٌ
قالَ: فَصِرْت إِلَى الَّذِي قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم
فَلَمَّا كَبِرْتُ وَدِدْتُ أنِّي قَبِلْت رخْصَةَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وسَلَّم Dalam
riwayat lain lagi disebutkan: Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda:
“Bukankah saya telah diberitahu bahwasanya engkau berpuasa setahun penuh dan
mengkhatamkan bacaan al-Quran sekali setiap malam?” Saya menjawab: “Benar
demikian ya Rasulullah dan saya tidak menghendaki dengan amalan yang sedemikian
itu melainkan mengharapkan kebaikan belaka.” Beliau shalallahu alaihi wasalam
lalu bersabda: “Berpuasalah seperti puasanya Nabiyullah Dawud a.s., sebab
sesungguhnya ia adalah setaat-taat manusia perihal ibadahnya. Selain itu
khatamkanlah bacaan al-Quran itu sekali dalam setiap bulan.” Saya berkata: “Ya
Nabiyullah, saya masih kuat beramal yang lebih utama dari itu.” Beliau
shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Kalau begitu khatamkanlah itu sekali
setiap dua puluh hari.” Saya berkata: “Ya Nabiyullah, sebenarnya saya masih
kuat yang lebih utama dari itu.” Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda:
“Kalau begitu khatamkanlah itu sekali dalam setiap sepuluh hari.” Saya berkata:
“Ya Nabiyullah, saya masih kuat beramal yang lebih utama dari itu.” Beliau
shalallahu alaihi wasalam bersabda: “Kalau begitu, khatamkan sajalah al-Quran
itu sekali dalam seminggu dan jangan ditambah lagi -beratnya amalan tadi- lebih
dari itu.” jadi saya memperberatkan diri sendiri lalu diperberatkanlah amalan
itu atas diriku. Nabi pada saat itu bersabda: “Sesungguhnya engkau tidak tahu,
barangkali engkau akan diberi usia yang panjang.” Maka jadilah saya sampai pada
usia tua sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shalallahu alaihi wasalam
Setelah saya berusia tua, saya ingin sekali kalau dahulunya saya menerima saja
keringanan yang diberikan oleh Nabiyullah shalallahu alaihi wasalam
وفي
رواية: «وَإِنَّ لوَلَدِكَ علَيْكَ حَقًّا» وفي روايةٍ: «لا صَامَ من صَامَ
الأَبَدَ» ثَلاثاً. وفي روايةٍ: «أَحَبُّ الصَّيَامِ إِلَى اللَّه تَعَالَى
صِيَامُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى صَلاةُ دَاوُدَ:
كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيلِ، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ
يَصُومُ يوْماً ويُفْطِرُ يَوْماً، وَلا يَفِرُّ إِذَا لاقَى».
Dalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya
untuk anakmu pun ada hak atas dirimu.” Juga dalam riwayat lain disebutkan:
“Tidak dibenarkanlah seorang yang berpuasa terus sepanjang tahun.” Ini
disabdakan oleh beliau shalallahu alaihi wasalam sampai tiga kali. Selain itu
dalam riwayat lain disebutkan demikian: “Puasa yang amat tercinta di sisi Allah
adalah puasanya Nabi Dawud, sedang shalat yang amat tercinta di sisi Allah juga
shalatnya Nabi Dawud. Ia tidur separuh malam, lalu bangun -untuk bershalat
malam- sepertiga malam, kemudian tidur lagi seperenam malam. Ia berpuasa sehari
dan berbuka sehari. Ia tidak akan lari jikalau menemui -berhadapan dengan-
musuhnya.
وفي
رواية قَالَ: أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حسَبٍ، وكَانَ يَتَعَاهَدُ
كَنَّتهُ أي: امْرَأَة ولَدِهِ فَيسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا، فَتَقُولُ لَهُ:
نِعْمَ الرَّجْلُ مِنْ رجُل لَمْ يَطَأْ لنَا فِرَاشاً ولَمْ يُفتِّشْ لنَا كَنَفاً
مُنْذُ أَتَيْنَاهُ فَلَمَّا طالَ ذَلِكَ عليه ذكَرَ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلّى
اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم. فقَالَ: «الْقَني به» فلَقيتُهُ بَعْدَ ذلكَ فَقَالَ:
«كيفَ تَصُومُ ؟» قُلْتُ كُلَّ يَوْم، قَالَ: «وَكيْفَ تَخْتِم ؟» قلتُ: كُلَّ
لَيلة، وذَكَر نَحْوَ مَا سَبَق وكَان يقْرَأُ عَلَى بعْض أَهْلِه السُّبُعَ
الَّذِي يقْرؤهُ، يعْرضُهُ مِن النَّهَارِ لِيكُون أَخفَّ علَيِهِ بِاللَّيْل،
وَإِذَا أَراد أَنْ يَتَقَوَّى أَفْطَر أَيَّاماً وَأَحصَى وصَام مِثْلَهُنَّ
كَراهِيةَ أَن يتْرُك شيئاً فارقَ علَيهِ النَّبِي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم .كُلُّ هذِه الرِّوَايات صحيِحةٌ
مُعْظَمُهَا فِي الصَّحيحيْنَ وقليلٌ منْهَا في أَحَدِهِما .
Ada pula riwayat lain yang menyebutkan
demikian: “Ia berkata: Ayahku mengawinkan saya dengan seorang wanita yang
memiliki keturunan baik. Ayah membuat janji dengan menantunya -wanita itu-
yakni istri anaknya, untuk menanyakan pada wanita perihal keadaan suaminya.
Setelah ditanya, istrinya itu berkata: Sebaik-baik lelaki ialah suamiku itu, ia
tidak pernah menginjak hamparan kita dan tidak pernah memeriksa tabir kita
-maksudnya tidak pernah berkumpul untuk menyetubuhi istrinya- sejak kita datang
padanya.” Setelah peristiwa itu berjalan lama, maka ayahnya memberitahukan hal
tersebut kepada Nabi shalallahu alaihi wasalam, lalu beliau bersabda kepada
ayahnya: “Pertemukanlah saya dengan lelaki itu.” Saya menemui Nabi shalallahu
alaihi wasalam sesudah diadukan oleh ayahku itu, beliau shalallahu alaihi
wasalam bertanya: “Bagaimanakah caranya engkau berpuasa?” Saya menjawab: “Saya
berpuasa tiap hari.” Beliau shalallahu alaihi wasalam bertanya: “Bagaimanakah
caranya engkau mengkhatamkan al-Quran?” Saya menjawab: “Setiap malam saya
khatamkan sekali.” Seterusnya orang itu menyebutkan sebagaimana cerita yang
sebelumnya. Ia menghabiskan sebagian bacaan al-Quran itu atas istrinya sebanyak
sepertujuh bagian, yang dibacanya itu dirampungkannya di waktu siang agar lebih
ringan untuk apa yang akan dibacanya di waktu malamnya. Jikalau ia hendak
memperkuatkan dirinya, ia berbuka selama beberapa hari dan dihitunglah jumlah
hari berbukanya itu kemudian berpuasa sebanyak hari di atas itu pula. Sebabnya
ia melakukan demikian, karena ia tidak senang kalau meninggalkan sesuatu sejak
ia berpisah dengan Nabi shalallahu alaihi wasalam. Semua riwayat di atas adalah
shahih, sebagian besar dari shahih Bukhari dan shahih Muslim dan hanya sedikit
saja yang tertera dalam salah satu kedua kitab shahih itu -yakni Bukhari dan
Muslim saja-.
HADITS
KESEPULUH:
وَعَنْ أَبِي رِبْعِيٍّ حَنْظَلَةَ بْنِ
الرَّبِيْعِ اْلأُسَيِّدِيِّ الْكَاتِبِ أَحَدِ كُتَّابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَقِيَنِي أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ؟ قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ!
قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَا تَقُولُ؟! قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُولِ الله
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّي
كَأَنَّا رَأْيُ عَيْنِ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَافَسْنَا اْلأَزْوَاجَ وَاْلأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ فَنَسِيْنَ
كَثِيْرًا. قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : فَوَاللهِ لَنَلْقَى
مِثْلَ هَذَا، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقُلْتُ: نَافَقَ
حَنْظَلَةُ يَا رَسُولَ اللهِ! فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : "وَمَا ذَاكَ؟" قُلْتُ: يَا رَسُولُ اللهِ
نَكُونُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَّةِ حَتَّي كَأَنَّا رَأْيُ
عَيْنِ ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالْأَوْلَادَ
وَالضَّيْعَاتِ نَسِيْنَا كَثِيْرًا. فَقَالَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ تَدُوْمُوْنَ
عَلَى مَا تَكُونُوْنَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ
عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةَ سَاعَةً
وَسَاعَةَ" ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. (رواه مسلم)
Dari
Abu Rib’i Hanzhalah bin Rabi’ Al-Usayydiy, salah seorang sekretaris
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, ia berkata, ‘Saya bertemu
dengan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, kemudian ia bertanya,
‘Bagaimanakah keadaanmu hai Hanzhalah?’ Saya menjawab, ‘Hanzahalah, ‘Hanzhalah
kini telah munafik.’ Abu Bakar terperanjat seraya berkata, ‘Subhanallah,apa
yang kamu katakan?’ Saya menjelaskan, ‘Kalau kami di hadapan Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, kemudian beliau menceritakan tentang surga dan neraka,
maka seakan-akan kami melihat dengan mata kepala, tetapi bila kami pergi
meninggalkan beliau dan bergaul dengan istri dan anak-anak serta mengurusi
berbagai urusan, maka kami sering lupa.’ Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah, kami
juga demikian.’ Kemudian, saya dan Abu Bakar pergi menghadap Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, lalu saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, Hanzhalah telah
muafik’. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bertanya,
‘Mengapa demikian?’ Saya menjawab, ‘Wahai Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam, apabila kami berada di hadapanmu, kemudian engkau
menceritakan tentang neraka dan surga, maka seolah-olah kami melihat dengan
mata kepala, namun bila kami keluar dan bergaul bersama istri dan anak-anak
serta mengurusi berbagai macam persoalan, maka kami sering lupa’.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, ‘Demi Zat
Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kamu tetap sebagaimana
keadaanmu di hadapanku dan mengingat-ingatnya, niscaya para malaikat akan
menjabat tanganmu di tempat tidurmu dan di jalanan. Tetapi hai Hanzhalah,
sesaat dan sesaat.’ Beliau mengulanginya sampai tiga kali.” (Diriwayatkan oleh
Muslim)
Keterangan:
Di
akhir hadits ini Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
‘Tetapi hai Hanzhalah, sesaat dan sesaat’. Beliau mengulanginya sampai tiga
kali. Artinya sesaat untuk Allah, sesaat untuk keluarga dan anak, dan sesaat
untuk diri sendiri sehingga manusia juga memberikan hak kepada dirinya untuk
beristirahat dan memberi hak kepada orang yang berhak.
HADITS
KESEBELAS:
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَيْنَمَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ
قَائِمٍ، فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا: أَبُو إِسْرَائِيْلَ نَذَرَ أَنْ يَقُوْمَ
فِي الشَّمْسِ وَلَا يَقْعُدَ، وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ، وَيَصُوْمَ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : "مُرُوْهُ
فَلْيَتَكَلَّمَ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ".
(رواه البخاري)
Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Tatkala
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berkhutbah, tiba-tiba ada
seorang lelaki berdiri, kemudian beliau menanyakannya. Para shahabat menjawab,
‘Dia adalah Abu Israil, ia bernadzar akan berdiri pada waktu panas, tidak akan
duduk dan tidak akan berteduh, juga tidak akan berbicara, sedangkan dia sedang
berpuasa.’ Kemudian, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
‘Perintahkanlah dia supaya berbicara, berteduh, duduk, dan perintahkanlah dia
supaya menyempurnakan puasanya’.” (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Keterangan:
Sahabat ini bernazar tidak akan berbicara, tidak akan makan,
tidak akan minum, akan berdiri di bawah sinar matahari dan tidak akan berteduh.
Ini merupakan penyiksaan terhadap diri dan menyusahkannya, dan ini adalah nazar
yang haram. Karena itu, Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melarang
itu. Beliau menyuruhnya agar menyempurnakan puasanya, karena puasa adalah
ibadah yang disyariatkan. Karena itu, barangsiapa bernazar untuk melakukan
ibadah yang disyariatkan, maka ia harus melaksanakannya. Dan barangsiapa
bernazar melaksanakan ibadah yang tidak disyariatkan, maka ia tidak boleh melaksanakannya.
Nadzar
orang itu telah tercampur antara yang dicintai oleh Allah dan sesuatu yang
tidak dicintai-Nya. Sesuatu yang dicintai Allah adalah puasa karena puasa
adalah ibadah. Sedangkan nadzarnya untuk berdiri di bawah terik matahari tanpa
pelindung dan tidak akan berbicara adalah nadzar yang tidak disukai Allah. Oleh
karena itu Nabi memerintahkan kepada orang itu agar meninggalkan nadzarnya. Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ
يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa
yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa
yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (H.R.
Bukhari no. 6696)
Hendaklah
diketahui bahwa hukum asal nadzar adalah makruh. Bahkan sebagian orang
berpendapat haram, dan tidak boleh bernadzar, karena jika seseorang bernadzar
berarti dia telah membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak dibebankan Allah
kepadanya.
SAUDARA KU… PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU
TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH,
KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN
ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT
ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).
Penulis : Al-Ustadz Faqih Aulia
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan