MUQADDIMAH:
Allah SWT
menciptakan manusia tidak semata-mata untuk hidup begitu saja di muka bumi ini,
melainkan untuk beribadah dan menyembah-Nya. Hal ini dijelaskan dalam kitab
umat Muslim yaitu Al-Qur’an.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (56)
“Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat:
56).
Manusia adalah salah
satu makhluk ciptaan Allah, dan merupakan ciptaan-Nya yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk lainnya.
لَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S.
At-Tin: 4)
Dalam Kitab Tafsir Al-Wasith, Wahbah
Az-Zuhaili memaknai kalimat fi ahsani taqwim pada ayat ke-4 dari surah
At-Tin dengan “rupa terbaik serta bentuk terindah”. Lebih lanjut beliau
menegaskan, “kebaikan dan keindahan itu dilihat dari keseimbangan struktur
biologis (jasmani) dan psikologis (ruhani), dan dikuatkan dengan adanya potensi
akal pikiran serta perasaan.” Inilah makna kalimat “dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”, menurut Az-Zuhaili.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami
bahwa kita semua terlahir ke dunia ini dengan kualitas terbaik. Hal ini
dimungkinkan karena Allah Yang Maha Sempurna tidak mungkin menciptakan
makhluk-Nya biasa-biasa saja. Demikian disebutkan dalam Q.S. Al-A’la ayat 2.
الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2)
yang menciptakan, dan
yang menyempurnakan (penciptaan-Nya)
Dengan kualitas terbaik ini, tentu Allah
menginginkan kita untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan aktivitas terbaik
pula. Inilah bukti rasa syukur kita yang sesungguhnya, yaitu memaksimalkan potensi
yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Setiap orang mendambakan
menjadi manusia yang terbaik. Terbaik di dunia dan di akhirat, dan terbaik di
hadapan Allah SWT. Manusia terbaik itu tidak diukur dari harta, jabatan, dan
popularitasnya. Ada beberapa kriteria untuk menjadi manusia terbaik. Dengan
mengetahuinya, seseorang akan berupaya untuk memantaskan diri dengan kriteria
itu.
Andai label ‘Sebaik-baik
Manusia’ itu bisa dibeli, maka tentu saja orang-orang berharta akan lebih dulu
mendapatkan predikat ‘Sebaik-baik Manusia’ itu. Tapi, bersyukurlah kita
terlahir sebagai seorang muslim yang mukmin. Karena rupanya, untuk mendapatkan
titel ‘Sebaik-baik Manusia’ itu tak perlulah merogoh kocek yang banyak, tapi
perlu perjuangan yang besar dan keimanan yang kuat.
Menjadi manusia terbaik
merupakan harapan dan keinginan bagi setiap orang yang hidup. Manusia terbaik
terbagi dua: Ada manusia terbaik menurut Allah dan ada manusia terbaik menurut
manusia. Adapun manusia terbaik menurut manusia, belum tentu terbaik menurut
Allah, belum tentu steril dari dosa dan belum tentu masuk surga. Tapi manusia
terbaik menurut Allah pasti steril dari dosa dan masuk surga. Maka pada
kesempatan kali ini, penulis berusaha mengumpulkan dalil-dalil baik dari Qur’an
maupun Hadits yang menerangkan, memaparkan serta menjelaskan mengenai kriteria
manusia terbaik.
MANUSIA TERBAIK MENURUT
QUR’AN
Di dalam Qur’an
dijelaskan mengenai manusia terbaik dan paling utama:
PERTAMA:
ORANG BERIMAN DAN BERAMAL SHALIH
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ
خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah
sebaik-baik makhluk. (Q.S. Al-Bayyinah: 7)
Keterangan:
Sungguh,
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya dengan iman yang benar dan
mengerjakan kebajikan dengan ikhlas dan sesuai ketetentuan syariat, mereka itu
adalah sebaik-baik makhluk. Mereka adalah makhluk yang Allah kehendaki untuk
menjadi khalifah (pengganti/generasi terbaik) di bumi.
Dalam ayat
ini, Allah menerangkan ganjaran bagi orang-orang yang beriman. Jiwa mereka
telah disinari oleh cahaya petunjuk dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi
saw. Mereka juga mengamalkannya dengan mengorbankan jiwa, harta, dan apa saja
yang dimilikinya pada jalan Allah, serta bertingkah laku baik dengan seluruh
hamba Allah. Mereka itu tergolong makhluk yang paling baik.
KEDUA:
ORANG KAYA TAPI TAAT KEPADA ALLAH TA’ALA
وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ
أَوَّابٌ
Dan Kami karuniakan
kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat
taat [kepada Tuhannya]. (Q.S. Shad: 30)
Keterangan:
Dan tidak
hanya anugerah ilmu pengetahuan dan kenabian, kepada Nabi Dawud Kami karuniakan
pula seorang putra yang mengikuti jejak dan perjuangannya, yaitu Nabi Sulaiman.
Dia adalah sebaik-baik hamba yang selalu beribadah dan bersyukur. Sungguh, dia
sangat taat pada perintah Allah.
Allah
menjelaskan bahwa di samping Daud yang dianugerahi kemuliaan dan kekuasaan, dia
juga dianugerahi putra yang saleh, yang mempunyai kemampuan melanjutkan
perjuangannya, yaitu Sulaiman. Ia mewarisi sifat-sifat ayahnya. Ia terkenal
sebagai hamba yang taat beribadah dan dalam segala urusan ia selalu bersyukur
kepada Allah. Ia yakin bahwa segala macam kenikmatan dan keindahan itu terwujud
hanyalah semata-mata karena limpahan rahmat Allah dan karunia-Nya. Itulah
sebabnya ia disebut sebagai hamba Allah yang paling baik, dan sebagai pujian
yang pantas diberikan kepadanya. Allah menyifatinya sebagai hamba-Nya yang amat
taat kepada-Nya. Dengan demikian Allah mengangkat Nabi Sulaiman menjadi nabi
penerus kenabian dan kerajaan Nabi Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya
yang tertuang dalam Kitab Zabur. Allah berfirman:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ
دَاوُدَ
Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud. (Q.S. An-Naml:
16)
KETIGA: ORANG
YANG DITIMPA UJIAN (PENYAKIT, MISKIN, MUSIBAH) TAPI BERSABAR DAN TAAT
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا
فَاضْرِبْ بِهِ وَلا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ
إِنَّهُ أَوَّابٌ (44)
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka
pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami
dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (Q.S. Shad: 44)
Keterangan:
Nabi Ayyub
pernah bersumpah akan memukul istrinya akibat kelalaiannya dalam merawat
beliau. Allah mengizinkan beliau untuk melaksanakan sumpah itu tanpa
mendatangkan rasa sakit berlebih kepada istrinya. Untuk itu Allah berfirman,
“Dan ambillah seikat rumput dengan tanganmu, lalu pukullah istrimu sekali saja
dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah yang pernah kauucapkan.”
Sesungguhnya Kami dapati dia sebagai seorang yang sabar dan ikhlas dalam
menghadapi cobaan. Dialah sebaik-baik hamba yang tidak pernah putus asa.
Sungguh, dia sangat taat dalam melaksanakan perintah Kami. Ujian dan cobaan
bisa menimpa siapa saja. Jika hal itu dihadapi dengan sabar, tawakal, dan
berusaha secara maksimal, niscaya Allah akan mengganti dengan imbalan lebih
banyak, bahkan terkadang tidak terduga.
Kemudian
Allah mengisahkan keringanan hukuman bagi istrinya yang diberikan kepada Ayub.
Allah memerintahkan agar Ayub mengambil seberkas rumput untuk dipukulkan kepada
istrinya. Pukulan rumput ini cukup sebagai pengganti dari sumpah yang pernah ia
ucapkan. Dalam ayat-ayat Al-Qur'an tidak disebutkan apa sebab ia bersumpah dan
apa sumpahnya. Hanya hadis sajalah yang menyebutkan bahwa ia bersumpah karena
istrinya, yang bernama Rahmah putri Ifraim, pergi untuk sesuatu keperluan dan
terlambat datang. Ayub bersumpah akan memukulnya 100 kali apabila ia sembuh.
Dengan pukulan seikat rumput itu, ia dianggap telah melaksanakan sumpahnya,
sebagai kemurahan bagi Ayub sendiri dan bagi istrinya yang telah melayaninya
dengan baik pada saat sakit. Dengan adanya kemurahan Allah itu, Ayub pun
terhindar dari melanggar sumpah.
Di akhir ayat, Allah memuji bahwa Ayub adalah hamba-Nya yang sabar, baik, dan
taat. Sabar menghadapi cobaan yang diberikan kepadanya, baik cobaan yang
menimpa dirinya, hartanya, serta keluarganya. Dia dimasukkan dalam golongan
hamba-Nya yang baik perangainya karena tidak mudah berputus asa, dan
menumpahkan harapannya kepada Allah. Dia juga sebagai hamba-Nya yang taat,
karena kegigihannya memperjuangkan perintah-perintah agama serta memelihara
diri, keluarga, dan kaumnya dari kehancuran.
Mengenai
ketaatan Ayub dapat diketahui dari sebuah riwayat bahwa apabila ia menemui
cobaan mengatakan: "Ya Allah, Engkaulah yang mengambil dan Engkau pula
yang memberi."
Pada waktu
bermujanat ia pun berkata: "Ya Tuhanku, "Engkau telah mengetahui
betul bahwa lisanku tidak akan berbeda dengan hatiku, hatiku tidak mengikuti
penglihatan, hamba sahaya yang kumiliki tidak akan mempermainkan aku, aku tidak
makan terkecuali bersama-sama anak yatim dan aku tidak berada dalam keadaan
kenyang dan berpakaian sedang di sampingku ada orang yang lapar atau
telanjang."
KEEMPAT:
PARA SAHABAT NABI DAN ORANG YANG MENGIKUTI JEJAK MEREKA
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kalian
adalah umat yang terbaik dikeluarkan untuk manusia, memerintahkan yang ma’ruf,
mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali ‘Imran: 110)
Keterangan:
Setelah
Allah menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umat Islam dan menjaga persatuan dan
kesatuan, maka dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban tersebut dikarenakan
kamu (umat Islam) adalah umat terbaik dan paling utama di sisi Allah yang dilahirkan,
yaitu ditampakkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, karena kamu
menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada
Allah dengan iman yang benar, sehingga kalian menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya serta beriman kepada rasul-rasul-Nya. Itulah tiga faktor
yang menjadi sebab umat Islam mendapat julukan umat terbaik. Sekiranya Ahli
Kitab beriman sebagaimana umat Islam beriman, menyuruh yang makruf dan mencegah
yang mungkar serta tidak bercerai berai dan berselisih tentang kebenaran ajaran
agama Allah, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Kenyataannya di antara mereka
ada yang beriman sebagaimana imannya umat Islam, sehingga sebagian kecil dari
mereka ini pantas mendapat julukan sebaik-baik umat, namun kebanyakan mereka
adalah orang-orang fasik, tidak mau mengikuti petunjuk dan tidak taat kepada
Allah serta mengingkari syariat-Nya.
Ayat ini
mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin agar tetap memelihara
sifat-sifat utama itu dan agar mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi.
Umat yang
paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak
kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua
sifat itu telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa Nabi dan telah menjadi
darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam
waktu yang singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan
patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji
keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah-belah selalu
berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Ini
adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan
berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah
kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong untuk berjihad
dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam
firman Allah:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
"Sesungguhnya
orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (Q.S. Al-Hujurat: 15)
Jadi ada
dua syarat untuk menjadi umat terbaik di dunia, sebagaimana diterangkan dalam
ayat ini, pertama, iman yang kuat dan, kedua, menegakkan amar makruf dan
mencegah kemungkaran. Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat
itu jaya dan mulia dan apabila kedua hal itu diabaikan dan tidak dipedulikan
lagi, maka tidak dapat disesalkan bila umat itu jatuh ke lembah kemelaratan.
Ahli Kitab
itu jika beriman tentulah lebih baik bagi mereka. Tetapi sedikit sekali di
antara mereka yang beriman seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, dan
kebanyakan mereka adalah orang fasik, tidak mau beriman, mereka percaya kepada
sebagian kitab suci dan kafir kepada sebagiannya yang lain, atau mereka percaya
kepada sebagian rasul seperti Musa dan Isa dan kafir kepada Nabi Muhammad saw.
Siapakah
umat terbaik dalam ayat ini? Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:
“Mereka adalah para sahabat Nabi yang berhijrah bersama Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dari Makkah ke Madinah.” (Musnad Ahmad No. 2463. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Al Hakim dalam Al Mustadrak No.
6164, katanya: shahih. Disepakati Adz Dzahabi)
Imam Ibnu
Katsir Rahimahullah mengatakan:
وَالصَّحِيحُ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ عامةٌ فِي جَمِيعِ الْأُمَّةِ،
كُلُّ قَرْن بِحَسْبِهِ، وَخَيْرُ قُرُونِهِمُ الَّذِينَ بُعثَ فِيهِمْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلونهم، ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Yang benar
adalah ayat ini berlaku secara umum bagi semua umat ini [Islam], setiap
masing-masing zaman, dan sebaik-baik zaman mereka adalah manusia yang ketika
itu pada mereka diutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian
yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka. (Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 2/94)
Demikianlah
generasi sahabat, dan kita pun bisa menjadi khairu ummah sebagaimana
mereka jika sudah memenuhi syarat-syarat seperti mereka. Imam Ibnu Jarir,
meriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar Radhiallahu ‘Anhu berkhuthbah
ketika haji:
مَنْ سَرَّه أَنْ يَكُونَ مِنْ تِلْكَ الْأُمَّةِ فَلْيؤدّ شَرْط
اللَّهِ فِيهَا
Barang
siapa yang suka dirinya menjadi seperti umat tersebut maka penuhilah syarat
yang Allah tentukan dalam ayat itu. (Tafsir Ath Thabari, 7/102)
Ayat ini
diperkuat oleh hadits berikut:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baiknya
manusia adalah zamanku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya. (H.R.
Bukhari No. 2652)
Tentunya
maksud manusia pada zaman Nabi adalah manusia yang beriman kepadanya di
zamannya, yaitu para sahabatnya. Bukan kaum munafiq dan kaum kafir yang hidup
di zamannya.
MANUSIA
TERBAIK MENURUT HADITS
Rasulullah
adalah hamba Allah terbaik. Beliau adalah manusia pilihan Allah SWT. Bukan
sekadar pilihan, tetapi juga merupakan orang yang mendapatkan keistimewaan luar
biasa dari Allah SWT. Keistimewaan Rasulullah adalah
mengetahui siapa-siapa dari hamba Allah yang menjadi pilihan-Nya. Perkataan
Rasulullah adalah perkataan yang sudah pasti benarnya. Menurut Nabi Muhammad SAW, untuk bisa menjadi ‘Sebaik-baik Manusia’ maka
bisa memperhatikan beberapa sabdanya berikut ini:
PERTAMA: PALING KONSISTEN TERHADAP KEWAJIBAN
»إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً«
Sesungguhnya yang terbaik di antara kamu
adalah yang paling bagus qadha-nya. (H.R.
Bukhari No. 2305, Muslim No. 1601, dari Abu Hurairah)
Keterangan:
Maksud “qadha” adalah yang paling konsisten
menepati kebenaran yang wajibkan kepadanya. (Ta’liq Mushthafa Al Bugha, 2/809)
Ya Rabbi, tidak mudah
menjadi orang yang selalu menepati janjinya. Betapa banyak di antara kita yang
saat berjanji mulut bicara hingga berbusa, tapi entah kapan janji-janji itu
akan diwujudkan. Salah satu indikasi menjadi sebaik-baik manusia, dalam hadis
di atas adalah orang yang senantiasa berusaha untuk selalu menepati janjinya,
kapan dan kepada siapa pun.
KEDUA:
TERBAIK PADA MASA JAHILIYAH DAN ISLAM
وعن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال
رسول الله -صلى الله عليه وسلم: تَجِدُون النَّاسَ مَعَادِن: خِيَارُهُم فِي
الجَاهِليَّة خِيَارُهُم فِي الإِسْلاَم إِذَا فَقِهُوا، وَتَجِدُون خِيَار
النَّاس فِي
هَذَا الشَّأْن أَشَدُّهُم كَرَاهِيَة لَه، وَتَجِدُون
شَرَّ النَّاس ذَا الوَجْهَين، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلاَء بِوَجه، وَهَؤُلاَء
بِوَجْه.
Dari Abu
Hurariah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah - ṣallallāhu 'alaihi wa
sallam- bersabda, "Kalian mendapati manusia itu seperti barang-barang
tambang; orang-orang mulia pada masa jahiliah adalah orang-orang yang mulia
pada masa Islam jika mereka memahami (agama). Kalian mendapati manusia pilihan
dalam hal ini adalah orang yang paling benci agama ini (tadinya), dan kalian
mendapati seburuk-buruk manusia adalah orang yang bermuka dua; yang
datang kepada satu kelompok dengan satu wajah, dan kepada kelompok lain dengan
wajah lain pula."
Keterangan:
Rasulullah -ṣallallāhu
'alaihi wa sallam- menyerupakan manusia dengan berbagai barang tambang. Ini
mengandung isyarat kepada beberapa makna, di antaranya: adanya perbedaan watak
manusia dan sifat akhlak serta psikisnya. Dari keterangan ini dapat dipahami
adanya perbedaan barang tambang. Juga mengandung isyarat perbedaan manusia
dalam menerima perbaikan, ada orang yang menerima dengan mudah, ada yang
membutuhkan kesabaran, ada juga yang tidak bisa menerima sebagaimana keadaan
barang tambang. Penyerupaan dengan barang-barang tambang pun mengandung isyarat
perbedaan manusia dalam kemuliaan dan kehinaan asalnya. Hal tersebut dapat
dipahami dari perbedaan nilai barang-barang tambang; ada yang mahal seperti
emas dan perak, ada yang murah seperti besi dan lempengan logam. Penyerupaan
dengan barang tambang mengandung isyarat daya pikul seperti barang-barang
tambang. Yang dimaksud barang tambang orang Arab adalah asal dan garis nasab
mereka. Sabda beliau, "Orang-orang mulia pada masa jahiliah adalah
orang-orang mulia pada masa Islam jika mereka memahami agama." Yakni,
sesungguhnya manusia paling mulia dari sisi garis keturunan dan asal, mereka
adalah orang-orang mulia pada masa jahiliah dengan syarat mereka memahami
agama. Contohnya Bani Hasyim adalah golongan Quraisy yang mulia pada masa
jahiliah dari segi garis keturunan dan asal berdasarkan ketetapan nas hadis
yang sahih. Demikian juga pada masa Islam dengan syarat mereka memahami dan
mempelajari agama Allah. Jika mereka tidak memahami agama -meskipun berasal
dari nasab pilihan bangsa Arab- maka mereka bukanlah manusia paling mulia di
sisi Allah dan mereka bukan manusia pilihan. Hadis ini mengandung bukti bahwa
terkadang manusia bisa menjadi mulia dengan garis keturunannya tetapi dengan
syarat dia memiliki pemahaman mengenai agamanya. Tidak diragukan lagi bahwa
garis keturunan memiliki pengaruh, karena itulah Bani Hasyim adalah manusia
paling baik dan mulia garis keturunannya. Karena itulah Rasulullah -ṣallallāhu
'alaihi wa sallam- merupakan makhluk paling mulia, "Allah lebih mengetahui
di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya," (Al-An'ām: 124). Seandainya
klan dari Bani Adam ini bukan klan paling mulia, tentu di dalamnya tidak akan
ada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Karena Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi
wa sallam- tidak akan diutus kecuali di klan paling mulia dan paling luhur
garis keturunannya.
KETIGA: PALING
BAGUS AKHLAKNYA
»إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا«
Sesungguhnya yang terbaik di antara
kalian adalah yang terbaik akhlaknya. (H.R. Bukhari No. 3559, dari Ibnu Umar,
Muslim No. 2321, dari Ibnu Amr. Ini lafazh Bukhari)
Keterangan:
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi
wa sallam- bukanlah orang yang perkataannya keji dan perbuatannya buruk, bukan
pula orang yang sengaja dan memaksa diri melakukan hal itu. Namun beliau adalah
orang yang memiliki akhlak yang agung. Beliau menyampaikan bahwa mukmin terbaik
adalah orang yang paling baik akhlaknya, karena akhlak yang baik akan mengajak
pada kebaikan dan meninggalkan keburukan.
KEEMPAT: MEMPELAJARI AL QURAN DAN MENGAJARKANNYA
»خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ«
Sebaik-baiknya kalian adalah yang mempelajari
Al Quran dan mengajarkannya. (H.R. Bukhari No. 5027, dari Utsman)
Keterangan:
"Sebaik-baik kalian
adalah orang yang mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya". Obyek
pembicaraan ini mencakup seluruh umat. Sebaik-baik manusia adalah orang yang
memadukan antara dua kriteria ini, yakni mempelajari Al-Qur`ān dan
mengajarkannya, ia mempelajarinya dari orang lain dan mengajarkannya pada orang
lain, sebab mempelajari Al-Qur`ān merupakan ilmu yang paling prestisius. Proses
mempelajari dan mengajarkan ini meliputi pembelajaran cara baca maupun maknanya
(tafsirnya). Orang yang menjadi guru hafalan Al-Qur`ān, yakni yang mengajarkan
tilawah pada manusia dan membimbing mereka menghafalnya, maka ia termasuk
kategori orang yang mengajarkannya, demikian pula orang yang mempelajari
Al-Qur`ān dalam konteks ini, ia juga termasuk kategori orang yang
mempelajarinya. Adapun jenis yang kedua, yakni mengajarkan makna Al-Qur`ān,
maka maksudnya adalah mengajarkan tafsir Al-Qur`ān, misalnya seorang yang
membuka majelis untuk orang banyak agar mengajarkan mereka tafsir (penjelasan)
firman Allah -'Azzā wa Jallā-, dan tata cara menafsirkan Al-Qur`ān. Apabila seseorang
mengajari orang lain tata cara menafsirkan Al-Qur`ān dan mengajarkannya
berbagai kaidah tafsir didalamnya, maka aktifitasnya ini termasuk kategori
mengajarkan Al-Qur`ān.
KELIMA: MANUSIA YANG PANJANG UMUR DAN AMALNYA
SEMAKIN BAIK
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِكُمْ؟ قَالُوا:
نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: خِيَارُكُمْ أَطْوَلُكُمْ أَعْمَارًا، وَأَحْسَنُكُمْ أَعْمَالًا
Maukah aku tunjukkan manusia terbaik di antara
kalian? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Manusia
terbaik di antara kamu adalah yang paling panjang usianya dan semakin baik
amalnya.” (H.R. Ahmad No. 7212, dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan: shahih lighairih. Al Hakim, Al Mustadrak No.
1255, katanya: shahih sesuai syarat Syaikhan [Bukhari-Muslim])
Keterangan:
Ada pepatah ‘Tua-tua keladi, makin tua
makin jadi’ sebuah pepatah yang menunjukan usia seseorang yang sudah senja tapi
prilakunya kian menjadi-jadi dan membuat orang lain yang melihatnya tidak
menyenanginya. Sebaliknya, salah satu tanda keberkahan hidup seorang hamba
adalah ketika dia diberi umur panjang hingga usia lanjut, tapi dia semakin
shalih dan banyak beramal.
Orang semacam itu benar-benar sadar bahwa
sebentar lagi kereta kematian akan datang menghampirinya, sehingga dengan segala
daya dan upaya ia meningkatkan amal ibadahnya dan sekuat tenaga memperbanyak
bekal menuju kehidupan akhirat. Dia sangat sadar bahwa seusianya itu sudah
seharusnya memperbanyak istighfar dan zikrullah selalu agar termasuk
orang-orang yang beruntung di akhirat kelak.
Kenapa orang yang
panjang umurnya dan baik amalnya merupakan orang terbaik? Karena orang yang
banyak kebaikannya, setiap kali umurnya bertambah maka pahalanya juga bertambah
dan derajatnya semakin tinggi. Kesempatan hidupnya merupakan tambahan pahala
dengan sebab nilai amalannya yang terus tambah, walaupun hanya sekedar
istiqâmah di atas iman. Karena adakah yang lebih besar dari iman di dalam
kehidupan ini? Sebaliknya, seburuk-buruk orang adalah orang yang panjang
umurnya dan buruk amalnya, karena waktu dan jam seperti modal bagi pedagang.
Seyogyanya, dia menggunakan modalnya dalam perdagangan yang menjanjikan
keuntungan. Semakin banyak modal yang diinvestasikan, maka keuntungan yang akan
diraihnya juga semakin banyak. Barangsiapa melewatkan hidup untuk kebaikannya
maka dia telah beruntung dan sukses. Namun barangsiapa menyia-nyiakan modalnya,
dia tidak akan beruntung dan bahkan merugi dengan kerugian yang nyata.
Hadits ini menjelaskan keutamaan panjang umur
yang disertai dengan amal yang baik. Syaikh Abdurrauf al-Munâwi rahimahullah
menjelaskan perkara tersebut dengan berkata, “Karena termasuk keadaan seseorang
adalah bertambah dan meningkat dari satu kedudukan menuju kedudukan (di
atasnya) sehingga mencapai kedudukan kedekatan (kepada Allâh), maka seorang
Mukmin yang berusaha mencari bekal untuk akhirat dan berusaha menambah amal
shalih tidak layak menginginkan berhentinya dari apa yang dia inginkan itu
dengan mengharapkan kematian.”
Oleh karena itu
seorang Mukmin jangan sampai menyia-nyiakan umur dan waktunya. Hendaklah dia
selalu waspada terhadap kehidupannya, umur yang masih ada hendaklah diisi
dengan amal sholih. Jika tidak, maka kerugian yang akan didapatkan.
KEENAM: MANUSIA YANG PALING BERMANFAAT BAGI
MANUSIA LAINNYA
وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia lainnya. (H.R. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al
Awsath No. 5787. Al Qudha’i, Musnad Syihab No. 129. Dihasankan
Syaikh Al Albani. Lihat Shahihul Jami’ No. 6662)
Keterangan:
Bisa jadi
kita bukan orang yang berpengaruh. Bisa jadi kita berpendidikan rendah,
berekonomi lemah dan tak banyak pengikut serta pengaruh. Namun, ketika kita
bisa memberi banyak manfaat bagi orang lain, maka Insya Allah kita termasuk
dalam kelompok sebaik-baik manusia seperti dijelaskan dalam hadis di atas.
Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu
karakter yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim lebih
diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain, bukan hanya mencari
manfaat dari orang atau memanfaatkan orang lain. Ini adalah bagian dari
implementasi konsep Islam yang penuh cinta, yaitu memberi.
Selain itu, manfaat kita memberikan manfaatkan kepada
orang lain, semuanya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Sebagaimana
firman Allah:
إِنْ
أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ…
“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian
berbuat baik bagi diri kalian sendiri …” (QS al-Isrâ/ 17: 7), dan sabda
Rasulullah saw:
…
وَمَنْ
كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ
“… dan barangsiapa (yang bersedia) membantu keperluan
saudaranya, maka Allah (akan senantiasa) membantu keperluannya.” (Hadits
Riwayat Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 168, hadits no. 2442 dan
Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 18, hadits no. 6743 dari Abdullah bin
Umar r.a)
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ
عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ
فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِى عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ
مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ
إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ
بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.
“Barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari suatu
kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari
kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan,
maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi
aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah
akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama
muslim. Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu
masjid (rumah Allah) untuk membaca al-Qur’an, melainkan mereka akan diliputi
ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan
menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya.
Barangsiapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.” (Hadits
Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 71, hadits no. 7028, dari Abu
Hurairah r.a.)
Setelah mengetahui manfaat “menjadi pribadi yang
bermanfaat”, pertanyaannya adalah: “bagaimana caranya agar kita menjadi pribadi
yang bermanfaat?”
Allah berfirman:
وَمَا
أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ
رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan),
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S Yûsuf/12: 53)
Suatu ketika, Hasan al-Bashri menyuruh beberapa
muridnya untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dia berkata, “Temuilah Tsabit
al-Bunani dan pergilah kalian bersamanya.” Lalu, mereka mendatangi Tsabit yang
ternyata sedang (melakukan) i’tikaf di masjid. Dan, Tsabit pun meminta maaf,
karena tidak bisa pergi bersama mereka. Mereka pun kembali lagi kepada Hasan
dan memberitahukan perihal Tsabit.
Hasan berkata, “Katakanlah kepadanya, ‘Hai Tsabit,
apa engkau tidak tahu bahwa langkah kakimu dalam rangka menolong saudaramu
sesama muslim itu lebih baik bagimu daripada ibadah haji yang kedua kali? Kemudian,
mereka kembali menemui Tsabit dan menyampaikan apa yang dikatakan Hasan
al-Bashri. Maka, Tsabit pun meninggalkan i’tikafnya dan pergi bersama mereka
untuk membantu orang yang membutuhkan.
Banyak cara bisa dilakukan agar menjadi orang yang
bermanfaat bagi masyarakat. Bisa dengan menolong dalam bentuk tenaga,
memberikan bantuan dalam bentuk materi, memberi pinjaman, memberikan taushiyah
keagamaan, meringankan beban penderitaan, membayarkan utang, memberi makan,
hingga menyisihkan waktu untuk menunggu tetangga yang sakit.
Pemimpin yang baik juga bermanfaat bagi bawahannya,
sebagaimana penguasa yang adil pun bermanfaat bagi rakyatnya. Bahkan, membuat
orang lain menjadi gembira juga termasuk amalan bermanfaat yang dicintai oleh
Allah SWT.
Adalah (sebuah) ironi, jika banyak orang kaya yang
lebih senang naik haji berulang kali daripada membantu kaum dhuafa’ yang
membutuhkan uluran tangan. Banyak juga orang kaya yang ‘jor-joran’
(berlomba-lomba) membangun masjid mewah, sedangkan di sekelilingnya masih
banyak kaum fakir-miskin yang membutuhkan bantuan. Padahal, Allah tidak butuh
disembah dengan indahnya masjid ataupun ibadah haji yang berulang-ulang.
Mengapa kita tidak pernah berfikir untuk beramal
saleh dengan cara ‘memberi manfaat’ pada semua orang yang berinteraksi dengan
diri kita, atau (bahkan) beramal saleh dengan cara berbuat baik kepada sesama
makhluk Allah, yang lebih kita prioritaskan dalam situasi dan kondisi tertentu
daripada sekadar membangun kesalehan spiritual yang tak banyak berguna bagi
orang lain?
Kita tak perlu mengatakan bahwa urusan akhirat itu
lebih penting daripada urusan dunia, atau sebaliknya. Karena keduanya saling
melengkapi. Ingat firman Allah:
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ
الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Q.S al-Qashash/28: 77)
Lima Langkah-langkah Menjadi Pribadi Yang Bermanfaat
Banyak cara untuk menjadi orang yang bermanfaat.
Tetapi kali ini penulis sajikan lima langkah (praktis) untuk menjadi orang yang
bermanfaat.
Langkah Pertama: Menjadi Pribadi Yang Bermanfaat
Adalah Kemauan
Kuncinya adalah kemauan. Kemauan kita akan dapat
memberikan manfaat kepada orang lain. (1) Jika kita mempunyai harta, kita bisa
memberikan manfaat kepada orang lain dengan harta. (2) Jika kita memunyai ilmu,
kita bisa memberikan manfaat ilmu kepada orang lain. (3) Jika kita memunyai
tenaga, kita bisa memberikan manfaat dari tenaga kita kepada orang lain.
Ini adalah langkah awal. Anda harus memiliki kemauan
untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Bagaimana pun kondisi Anda. Jangan
malah mencari-cari cara untuk mendapatkan manfaat dari orang lain, bahkan
memanfaatkan orang lain.
Jika Anda mau, bagaimana pun kondisi Anda, Anda bisa
memberikan manfaat kepada orang lain. Bagaimana? Mau atau tidak? Jadi kata
kuncinya adalah: “kemauan”.
Langkah Kedua: Take Action Now (Lakukan Sekarang)
Apa yang bisa Anda ‘lakukan sekarang’ untuk memberikan
manfaat kepada orang lain? Anda bisa berbagi (melakukan sharing) artikel ini
melalui facebook atau twitter Anda, misalnya. Ini jauh lebih memberikan manfaat
kepada teman-teman Anda daripada Anda sibuk mengupdate status yang tidak
penting, bahkan hanya berisi keluhan dan caci maki.
Lihatlah sekitar Anda, adakah yang bisa Anda bantu.
Adakah yang bisa Anda lakukan untuk memerbaiki lingkungan, rumah, atau kantor
Anda? Akan banyak yang bisa Anda lakukan untuk memberikan manfaat kepada orang
lain.
Langkah Ketiga: Biasakanlah Untuk Memberikan Manfaat.
Dan Jadikan Hal Itu (Kegiatan Untuk Memberikan Manfaat) Menjadi Gaya Hidup Anda
Jika memberikan manfaat kepada orang sudah menjadi
kebiasaan Anda, maka Anda sudah mulai menjadi pribadi yang bermanfaat. Pada langkah
kedua, Anda baru disebutkan melakukan kebaikan (belum menjadi akhlaq), namun
jika sudah menjadi kebiasaan dan menjadi gaya hidup Anda, maka Anda sudah mulai
menjadi pribadi yang bermanfaat.
Ini yang kadang-kadang dilupakan orang. Banyak orang
yang hanya membahas sampai pada taraf ‘melakukan kebaikan’ dengan cara membantu
orang orang lain. Namun hal itu belum menjadi kepribadian, baru sebatas mau
melakukan. Sebuah tindakan, akan menjadi sebuah akhlaq pada saat Anda sudah
melakukannya dengan biasa, tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Ketika Anda memberi, belum tentu merupakan
kepribadian Anda. Namun jika Anda sudah biasa memberi dan menjadi gaya hidup
Anda, barulah disebut kepribadian (Anda).
Langkah Keempat: Tingkatkan Manfaat Diri Anda
Harus ditingkatkan? Tentu saja! Sebab menurut hadits
di atas tidak hanya mengatakan menjadi pribadi yang bermanfaat, tetapi ada kata
‘superlatif’, yaitu paling. Artinya Anda ditantang untuk menjadi juara dalam
kebaikan. Anda harus menjadi yang paling memberikan manfaat kepada orang lain.
Bukan sekadar memberikan manfaat.
Bagaimana cara meningkatkan manfaat diri Anda? Ya,
Anda harus meningkatkan kuantitas dan kualitas kebaikan Anda. Kuantitas bisa
dilihat dari frekuensi dan besarnya apa yang Anda berikan kepada orang lain. Sementara
kualitas manfaat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas diri Anda,
yaitu dengan meningkatkan keterampilan dan kemampuan Anda, sehingga apa yang
Anda berikan semakin bermanfaat.
Langkah Kelima: Raihlah Manfaatnya Untuk Anda Juga
Jangan sampai ‘Anda’ memberikan manfaat kepada banyak
orang, tetapi (lupa) ‘tidak’ memberikan manfaat untuk diri Anda sendiri. Jangan
salah faham! Saya sama sekali tidak mengatakan agar kita berharap dari orang
yang kita berikan manfaat. Bukan itu! Namun, yang saya maksud adalah: kita
harus menghindari dari semua penghapus pahala amal itu, yaitu: “ketidak
ikhlasan atau riyâ’.”
Jadi, agar kita benar-benar mendapatkan dari manfaat
yang kita berikan kepada orang lain, kita harus ikhlas. Ikhlas adalah kunci
diterimanya amal. Dan hanya amal yang diterima Allah SWT yang akan memberikan
manfaat kepada kita dunia dan akhirat.
Niatkan, bahwa apa yang kita lakukan hanya karena
Allah, bukan karena ingin disebut pribadi yang bermanfaat (pujian). Penyakit
riyâ’ sungguh tidak terlihat, sangat samar, sehingga kita harus hati-hati.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw pernah
bersabda:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ ؛ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ
النَّمْلِ . فَقَامَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ حَزْنٍ ، وَقَيْسُ بْنُ
المُضَارِبِ فَقَالاَ : وَاللَّهِ لَتَخْرُجَنَّ مِمَّا خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ
اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ ؛ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ . فَقَالَ
لَهُ : مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ ، وَهُوَ أَخْفَى
مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : قُولُوا : اللَّهُمَّ إِنَّا
نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ ، وَنَسْتَغْفِرُكَ
لِمَا لاَ نَعْلَمُ.
“Pada suatu hari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam berkhutbah di hadapan kami, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia,
takutlah kalian terhadap syirik karena dia lebih halus dari langkah semut.”
Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami harus menghindarinya,
sementara dia lebih halus dari langkah semut?” Maka beliau menjawab: “Berdoalah
dengan membaca, ‘Allâhumma innâ na’ûdzu bika min an nusyrika bika syaian
na’lamuhu wa nastaghfiruka limâ lâ na’lamuhu (Ya Allah, sesungguhnya kami
berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami
mengetahuinya dan kami meminta ampun kepada-Mu terhadap apa yang kami tidak
ketahui).” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu Musa
al-Asy’ari, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal. 403, hadits no. 19835)
Tetapi, jangan khawatir! Sekecil apa pun amal saleh
kita, Allah akan membalasnya dengan pahala yang sepadan dengannya. Sebagaimana
firmanNya:
فَمَن
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah-pun,
ia akan mendapatkan balasannya.” (Q.S al-Zalzalah/99: 7)
Itulah kelima langkah menjadi pribadi yang
bermanfaat, bahkan ‘paling bermanfaat’. Selanjutnya, yang kita perlukan adalah
‘kemauan dan keberanian untuk memulainya’, sekarang juga. Ibda’ bi nafsik!
KETUJUH: MANUSIA YANG PALING TENANG, KHUSYU, DAN
TUMA’NINAH KETIKA SHALAT
»خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاة«
Sebaik-baiknya kamu adalah yang paling lentur
bahunya ketika shalat. (H.R. Abu Daud No. 672. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 672)
Keterangan:
Maksud hadits ini adalah mereka yang
shalatnya tenang, tuma’ninah, khusyu, tidak menoleh, dan tidak mengganggu bahu
saudaranya. (Imam Al Khathabi, Ma’alimus Sunan, 1/184. Lihat juga Imam Al
Munawi, Faidhul Qadir, 3/466, Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud,
3/221)
Maksud hadits ini adalah
bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika
berada di dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk
menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati
yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam
Badzlul-Majhuud 4/338 dan Ma’alimus-Sunan 1/184).
KEDELAPAN: SUAMI
YANG TERBAIK SIKAPNYA TERHADAP ISTRINYA
خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي
Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap
istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku. (H.R. At Tirmidzi No. 3895,
dari ‘Aisyah. Imam At Tirmidzi berkata: hasan shahih. Imam Ibnu Majah
No. 1977, dari Ibnu Abbas, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 15699,
Ibnu Hibban No. 4177. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul
Jami’ No. 3314)
Keterangan:
Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling baik
akhlaknya dan beliau diutus ke muka bumi tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Tak hanya urusan ibadah, beliau juga teladan terbaik dalam berinteraksi kepada
istri.
Beliau juga orang pertama yang
menjalankan pesan Al-Qur'an. Di antara pesannya adalah "perlakukanlah
pasangan hidupmu (istri-istrimu) dengan baik".
Berikut cara interaksi Nabi saw. kepada para istrinya:
1. Berlaku adil dalam waktu kunjung,
menginap dan nafkahnya kepada para istrinya.
2. Tidak pernah berpergian jauh tanpa
didampingi istri. Beliau selalu mengundi nama-nama istrinya siapa yang
beruntung mendampingi beliau.
3. Sangat sabar menyikapi kelakuan istri.
Beliau tidak pernah mencela, memarahi apalagi memukulnya. Kisah Ummul mukminin
'Aisyah radhiyallahu 'anha yang cemburu hingga memecahkan piring menjadi bukti
betapa sabarnya Rasulullah yang memunguti pecahan-pecahan piring
itu dengan tangannya sendiri sambil sedikit berguma, "Bunda kalian sedang
cemburu".
4. Selalu membantu pekerjaan istri. Menyapu
rumah hingga menjahit pakaian.
5. Bersenda gurau dan bermain untuk menghibur
istri. Beliau pernah adu balap lari dengan Ummul mukminin 'Aisyah radhiyallahu
'anha.
6. Sikap setia Rasulullah yang tidak ada tandingannya. Hal itu
ditunjukkan dengan tidak melupakan jasa istri pertamamanya ummul mukminin
Khadijah Al-Kubra radhiyallahu 'anha, yang selalu dikenang. "Setiap kali
beliau berkurban di Idul Adha beliau tidak lupa untuk mengirimkan dagingnya
kepada kerabat Khadijah kendati dia sudah wafat."
KESEMBILAN: MANUSIA YANG TIDAK SUKA MENGUSIK
DAN MENYAKITI SAUDARANYA
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الإِسْلاَمِ
أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ
Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, Islam
apakah yang paling utama? Beliau bersabda: “Yaitu orang yang muslim lainnya
aman dari lisan dan tangannya.” (H.R. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, dari
Abu Musa Al Asy’ari)
Keterangan:
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa
seorang Muslim adalah orang yang membuat kaum Muslim lain selamat dari lisan
dan tangannya. Artinya, Muslim diajarkan untuk menjaga hubungan baik dengan
Allah dan manusia dengan menjaga lisan dan tangannya.
Lisannya dilarang untuk melukai,
berbohong dan memerintah bawahan melakukan perbuatan melanggar hukum atau
perbuatan dosa. Sementara tangannya dilarang digunakan untuk berbuat
dosa. Dosa yang lahir dari tangan seperti menandatangani kesepakatan yang
merugikan orang lain, memukul, membunuh dan lain sebagainya.
Ibn Hajar dalam
kitab Fathul Bari mengutip al-Karmani bahwa kata afdhal bermakna yang lebih
banyak pahalanya, sedang kata khair yang lebih banyak
manfaatnya. Tapi bisa juga beda redaksi pertanyaan dan jawaban karena
disesuaikan dengan penanya dan audiensnya.
Hadits ini sangat dalam
maknanya. Amalan Islam yang paling afdhal. Dalam redaksi Sahih Muslim,
kata Islam menjadi Muslim. Sehingga pertanyaanya menjadi Muslim manakah yang
paling utama. Keduanya dianggap sama oleh Ibn Hajar.
Jawaban Nabi luar biasa:
yang paling utama itu adalah mereka yang menjadikan Muslim lainnya selamat dari
lisan dan tangannya. Ini introspeksi ke dalam internal kita. Kita rajin ibadah,
tapi kenapa gemar mencaci? Kita rajin baca Quran tapi kenapa enteng memfitnah
& menebar hoaks?
Kita rajin tahajud, tapi
mengapa mulut kita selalu nyinyir? Kita rajin sedekah, tapi kenapa merampas hak
orang lain? Kita pakai sorban dan gamis, tapi kenapa kita mencaci-maki pemimpin
kita?
Pesan Nabi ini sangat
humanis. Kita diminta melakukan jaminan keamanan sosial. Bagaimana
orang hendak bekerja, bila selalu di-bully, difitnah, dan dihadang
dengan berbagai isu? Bagaimana orang bisa merasa aman dan nyaman, bila kondisi
rumah tangga, lingkungan dan tempat kerja membuat dia merasa tertekan dan
keamanannya terganggu? Pesan Nabi di atas
relevan dengan kondisi kita ini.
KESEPULUH: ‘SEBAIK-BAIK MANUSIA’ ADALAH ORANG YANG
GEMAR MEMBERIKAN MAKANAN KEPADA ORANG LAIN DAN MENJAWAB SALAM
Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:
خِيَارُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ
وَرَدَّ السَّلَامَ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang
memberikan makanan dan menjawab salam.” (H.R. Ahmad 6/16).
Keterangan:
Ada dua amal yang bisa dilakukan oleh seorang muslim
jika ia ingin mendapat label sebagai sebaik-baik manusia dalam hadis di atas:
Pertama, orang yang memberi makanan, dan kedua, orang
yang menjawab salam. Mari kita analisa, orang yang memberi makan disebut
sebagai sebaik-baik manusia, mengapa? Bisakah kita merasakan saat sedang
kelaparan? Fahamilah, ternyata orang yang lapar apalagi kelaparan akan membuat
lemah bukan hanya fisiknya saja tapi juga imannya, akhirnya ia bisa bertindak
nekad dan melanggar aturan agama.
Kedua, orang yang ringan menjawab salam. Hari ini,
tak sedikit orang yang acuh dan tak mau menjawab salam. Jika ditanya apakah
mereka yang tidak menjawab salam itu bukan orang muslim? Tentu mereka akan
marah jika disebut non muslim? Menjawab salam menjadi salah satu tanda
sebaik-baik manusia. Karena itu, segeralah menjawab salam jika ada saudara kita
yang menebar salam.
KESIMPULAN:
Tentu menjadi
sebaik-baik makhluk menjadi tujuan utama bagi seorang Muslim. Akan tetapi,
menuju kepada pribadi yang paripurna, atau setidaknya menjadi pribadi yang
bertaqwa dan berihsan perlu perjuangan yang tak ringan.
Ingatlah, hidup hanya
sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai
manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai
khairunnas. Sebaik-baik manusia!
Semua adalah pilihan. Termasuk hidup ini juga
pilihan. Semua ada di tangan kita; dengan cara apa kita mau menjadi
‘Sebaik-baik Manusia’ maka Rasulullah SAW sudah menjelaskan dalam beberapa
hadisnya di atas. Silahkan, tinggal pilih kita mau menjadi sebaik-baik manusia
dengan cara mengamalkan ibadah dan amal apa, semua sekali lagi tergantung pada
kita, wallahua’lam.
Penulis : Al-Ustadz Faqih Aulia
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan