MANUSIA TERBAIK MENURUT AL-QUR’AN & AL-HADITS

 


MUQADDIMAH:

Allah SWT menciptakan manusia tidak semata-mata untuk hidup begitu saja di muka bumi ini, melainkan untuk beribadah dan menyembah-Nya. Hal ini dijelaskan dalam kitab umat Muslim yaitu Al-Qur’an.

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (56)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat: 56).

Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah, dan merupakan ciptaan-Nya yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya. 

 لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)

Dalam Kitab Tafsir Al-Wasith, Wahbah Az-Zuhaili memaknai kalimat fi ahsani taqwim pada ayat ke-4 dari surah At-Tin dengan “rupa terbaik serta bentuk terindah”. Lebih lanjut beliau menegaskan, “kebaikan dan keindahan itu dilihat dari keseimbangan struktur biologis (jasmani) dan psikologis (ruhani), dan dikuatkan dengan adanya potensi akal pikiran serta perasaan.” Inilah makna kalimat “dalam bentuk yang sebaik-baiknya”, menurut Az-Zuhaili.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa kita semua terlahir ke dunia ini dengan kualitas terbaik. Hal ini dimungkinkan karena Allah Yang Maha Sempurna tidak mungkin menciptakan makhluk-Nya biasa-biasa saja. Demikian disebutkan dalam Q.S. Al-A’la ayat 2.

 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى (2)

yang menciptakan, dan yang menyempurnakan (penciptaan-Nya)

Dengan kualitas terbaik ini, tentu Allah menginginkan kita untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan aktivitas terbaik pula. Inilah bukti rasa syukur kita yang sesungguhnya, yaitu memaksimalkan potensi yang telah Allah anugerahkan kepada kita.

Setiap orang mendambakan menjadi manusia yang terbaik. Terbaik di dunia dan di akhirat, dan terbaik di hadapan Allah SWT. Manusia terbaik itu tidak diukur dari harta, jabatan, dan popularitasnya. Ada beberapa kriteria untuk menjadi manusia terbaik. Dengan mengetahuinya, seseorang akan berupaya untuk memantaskan diri dengan kriteria itu.

Andai label ‘Sebaik-baik Manusia’ itu bisa dibeli, maka tentu saja orang-orang berharta akan lebih dulu mendapatkan predikat ‘Sebaik-baik Manusia’ itu. Tapi, bersyukurlah kita terlahir sebagai seorang muslim yang mukmin. Karena rupanya, untuk mendapatkan titel ‘Sebaik-baik Manusia’ itu tak perlulah merogoh kocek yang banyak, tapi perlu perjuangan yang besar dan keimanan yang kuat.

 

Menjadi manusia terbaik merupakan harapan dan keinginan bagi setiap orang yang hidup. Manusia terbaik terbagi dua: Ada manusia terbaik menurut Allah dan ada manusia terbaik menurut manusia. Adapun manusia terbaik menurut manusia, belum tentu terbaik menurut Allah, belum tentu steril dari dosa dan belum tentu masuk surga. Tapi manusia terbaik menurut Allah pasti steril dari dosa dan masuk surga. Maka pada kesempatan kali ini, penulis berusaha mengumpulkan dalil-dalil baik dari Qur’an maupun Hadits yang menerangkan, memaparkan serta menjelaskan mengenai kriteria manusia terbaik.

MANUSIA TERBAIK MENURUT QUR’AN

Di dalam Qur’an dijelaskan mengenai manusia terbaik dan paling utama:

PERTAMA: ORANG BERIMAN DAN BERAMAL SHALIH

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (Q.S. Al-Bayyinah: 7)

Keterangan:

Sungguh, orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya dengan iman yang benar dan mengerjakan kebajikan dengan ikhlas dan sesuai ketetentuan syariat, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Mereka adalah makhluk yang Allah kehendaki untuk menjadi khalifah (pengganti/generasi terbaik) di bumi.

Dalam ayat ini, Allah menerangkan ganjaran bagi orang-orang yang beriman. Jiwa mereka telah disinari oleh cahaya petunjuk dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi saw. Mereka juga mengamalkannya dengan mengorbankan jiwa, harta, dan apa saja yang dimilikinya pada jalan Allah, serta bertingkah laku baik dengan seluruh hamba Allah. Mereka itu tergolong makhluk yang paling baik.

KEDUA: ORANG KAYA TAPI TAAT KEPADA ALLAH TA’ALA

وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat [kepada Tuhannya]. (Q.S. Shad: 30)

Keterangan:

Dan tidak hanya anugerah ilmu pengetahuan dan kenabian, kepada Nabi Dawud Kami karuniakan pula seorang putra yang mengikuti jejak dan perjuangannya, yaitu Nabi Sulaiman. Dia adalah sebaik-baik hamba yang selalu beribadah dan bersyukur. Sungguh, dia sangat taat pada perintah Allah.

Allah menjelaskan bahwa di samping Daud yang dianugerahi kemuliaan dan kekuasaan, dia juga dianugerahi putra yang saleh, yang mempunyai kemampuan melanjutkan perjuangannya, yaitu Sulaiman. Ia mewarisi sifat-sifat ayahnya. Ia terkenal sebagai hamba yang taat beribadah dan dalam segala urusan ia selalu bersyukur kepada Allah. Ia yakin bahwa segala macam kenikmatan dan keindahan itu terwujud hanyalah semata-mata karena limpahan rahmat Allah dan karunia-Nya. Itulah sebabnya ia disebut sebagai hamba Allah yang paling baik, dan sebagai pujian yang pantas diberikan kepadanya. Allah menyifatinya sebagai hamba-Nya yang amat taat kepada-Nya. Dengan demikian Allah mengangkat Nabi Sulaiman menjadi nabi penerus kenabian dan kerajaan Nabi Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya yang tertuang dalam Kitab Zabur. Allah berfirman:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. (Q.S. An-Naml: 16)

 

KETIGA: ORANG YANG DITIMPA UJIAN (PENYAKIT, MISKIN, MUSIBAH) TAPI BERSABAR DAN TAAT

وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ (44)

Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (Q.S. Shad: 44)

Keterangan:

Nabi Ayyub pernah bersumpah akan memukul istrinya akibat kelalaiannya dalam merawat beliau. Allah mengizinkan beliau untuk melaksanakan sumpah itu tanpa mendatangkan rasa sakit berlebih kepada istrinya. Untuk itu Allah berfirman, “Dan ambillah seikat rumput dengan tanganmu, lalu pukullah istrimu sekali saja dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah yang pernah kauucapkan.” Sesungguhnya Kami dapati dia sebagai seorang yang sabar dan ikhlas dalam menghadapi cobaan. Dialah sebaik-baik hamba yang tidak pernah putus asa. Sungguh, dia sangat taat dalam melaksanakan perintah Kami. Ujian dan cobaan bisa menimpa siapa saja. Jika hal itu dihadapi dengan sabar, tawakal, dan berusaha secara maksimal, niscaya Allah akan mengganti dengan imbalan lebih banyak, bahkan terkadang tidak terduga.

Kemudian Allah mengisahkan keringanan hukuman bagi istrinya yang diberikan kepada Ayub. Allah memerintahkan agar Ayub mengambil seberkas rumput untuk dipukulkan kepada istrinya. Pukulan rumput ini cukup sebagai pengganti dari sumpah yang pernah ia ucapkan. Dalam ayat-ayat Al-Qur'an tidak disebutkan apa sebab ia bersumpah dan apa sumpahnya. Hanya hadis sajalah yang menyebutkan bahwa ia bersumpah karena istrinya, yang bernama Rahmah putri Ifraim, pergi untuk sesuatu keperluan dan terlambat datang. Ayub bersumpah akan memukulnya 100 kali apabila ia sembuh. Dengan pukulan seikat rumput itu, ia dianggap telah melaksanakan sumpahnya, sebagai kemurahan bagi Ayub sendiri dan bagi istrinya yang telah melayaninya dengan baik pada saat sakit. Dengan adanya kemurahan Allah itu, Ayub pun terhindar dari melanggar sumpah.
Di akhir ayat, Allah memuji bahwa Ayub adalah hamba-Nya yang sabar, baik, dan taat. Sabar menghadapi cobaan yang diberikan kepadanya, baik cobaan yang menimpa dirinya, hartanya, serta keluarganya. Dia dimasukkan dalam golongan hamba-Nya yang baik perangainya karena tidak mudah berputus asa, dan menumpahkan harapannya kepada Allah. Dia juga sebagai hamba-Nya yang taat, karena kegigihannya memperjuangkan perintah-perintah agama serta memelihara diri, keluarga, dan kaumnya dari kehancuran.

Mengenai ketaatan Ayub dapat diketahui dari sebuah riwayat bahwa apabila ia menemui cobaan mengatakan: "Ya Allah, Engkaulah yang mengambil dan Engkau pula yang memberi."

Pada waktu bermujanat ia pun berkata: "Ya Tuhanku, "Engkau telah mengetahui betul bahwa lisanku tidak akan berbeda dengan hatiku, hatiku tidak mengikuti penglihatan, hamba sahaya yang kumiliki tidak akan mempermainkan aku, aku tidak makan terkecuali bersama-sama anak yatim dan aku tidak berada dalam keadaan kenyang dan berpakaian sedang di sampingku ada orang yang lapar atau telanjang."

KEEMPAT: PARA SAHABAT NABI DAN ORANG YANG MENGIKUTI JEJAK MEREKA

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kalian adalah umat yang terbaik dikeluarkan untuk manusia, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Q.S. Ali ‘Imran: 110)

 

 

 

Keterangan:

Setelah Allah menjelaskan kewajiban berdakwah bagi umat Islam dan menjaga persatuan dan kesatuan, maka dalam ayat ini dijelaskan bahwa kewajiban tersebut dikarenakan kamu (umat Islam) adalah umat terbaik dan paling utama di sisi Allah yang dilahirkan, yaitu ditampakkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, karena kamu menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah dengan iman yang benar, sehingga kalian menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta beriman kepada rasul-rasul-Nya. Itulah tiga faktor yang menjadi sebab umat Islam mendapat julukan umat terbaik. Sekiranya Ahli Kitab beriman sebagaimana umat Islam beriman, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar serta tidak bercerai berai dan berselisih tentang kebenaran ajaran agama Allah, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Kenyataannya di antara mereka ada yang beriman sebagaimana imannya umat Islam, sehingga sebagian kecil dari mereka ini pantas mendapat julukan sebaik-baik umat, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik, tidak mau mengikuti petunjuk dan tidak taat kepada Allah serta mengingkari syariat-Nya.

Ayat ini mengandung suatu dorongan kepada kaum mukminin agar tetap memelihara sifat-sifat utama itu dan agar mereka tetap mempunyai semangat yang tinggi.

Umat yang paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu mengajak kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman kepada Allah. Semua sifat itu telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa Nabi dan telah menjadi darah daging dalam diri mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka sebelumnya adalah umat yang berpecah-belah selalu berada dalam suasana kacau dan saling berperang antara sesama mereka. Ini adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan mereka menjalankan ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Iman yang mendalam di hati mereka selalu mendorong untuk berjihad dan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ  

"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (Q.S. Al-Hujurat: 15)

Jadi ada dua syarat untuk menjadi umat terbaik di dunia, sebagaimana diterangkan dalam ayat ini, pertama, iman yang kuat dan, kedua, menegakkan amar makruf dan mencegah kemungkaran. Maka setiap umat yang memiliki kedua sifat ini pasti umat itu jaya dan mulia dan apabila kedua hal itu diabaikan dan tidak dipedulikan lagi, maka tidak dapat disesalkan bila umat itu jatuh ke lembah kemelaratan.

Ahli Kitab itu jika beriman tentulah lebih baik bagi mereka. Tetapi sedikit sekali di antara mereka yang beriman seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, dan kebanyakan mereka adalah orang fasik, tidak mau beriman, mereka percaya kepada sebagian kitab suci dan kafir kepada sebagiannya yang lain, atau mereka percaya kepada sebagian rasul seperti Musa dan Isa dan kafir kepada Nabi Muhammad saw.

Siapakah umat terbaik dalam ayat ini? Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Mereka adalah para sahabat Nabi yang berhijrah bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Makkah ke Madinah.” (Musnad Ahmad No. 2463. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 6164, katanya: shahih. Disepakati Adz Dzahabi)

 

 

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وَالصَّحِيحُ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ عامةٌ فِي جَمِيعِ الْأُمَّةِ، كُلُّ قَرْن بِحَسْبِهِ، وَخَيْرُ قُرُونِهِمُ الَّذِينَ بُعثَ فِيهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلونهم، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Yang benar adalah ayat ini berlaku secara umum bagi semua umat ini [Islam], setiap masing-masing zaman, dan sebaik-baik zaman mereka adalah manusia yang ketika itu pada mereka diutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/94)

Demikianlah generasi sahabat, dan kita pun bisa menjadi khairu ummah sebagaimana mereka jika sudah memenuhi syarat-syarat seperti mereka. Imam Ibnu Jarir, meriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar Radhiallahu ‘Anhu berkhuthbah ketika haji:

مَنْ سَرَّه أَنْ يَكُونَ مِنْ تِلْكَ الْأُمَّةِ فَلْيؤدّ شَرْط اللَّهِ فِيهَا

Barang siapa yang suka dirinya menjadi seperti umat tersebut maka penuhilah syarat yang Allah tentukan dalam ayat itu. (Tafsir Ath Thabari, 7/102)

Ayat ini diperkuat oleh hadits berikut:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baiknya manusia adalah zamanku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya. (H.R. Bukhari No. 2652)

Tentunya maksud manusia pada zaman Nabi adalah manusia yang beriman kepadanya di zamannya, yaitu para sahabatnya. Bukan kaum munafiq dan kaum kafir yang hidup di zamannya.

MANUSIA TERBAIK MENURUT HADITS

Rasulullah adalah hamba Allah terbaik. Beliau adalah manusia pilihan Allah SWT. Bukan sekadar pilihan, tetapi juga merupakan orang yang mendapatkan keistimewaan luar biasa dari Allah SWT. Keistimewaan Rasulullah adalah mengetahui siapa-siapa dari hamba Allah yang menjadi pilihan-Nya. Perkataan Rasulullah adalah perkataan yang sudah pasti benarnya. Menurut Nabi Muhammad SAW, untuk bisa menjadi ‘Sebaik-baik Manusia’ maka bisa memperhatikan beberapa sabdanya berikut ini:

PERTAMA: PALING KONSISTEN TERHADAP KEWAJIBAN

»إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً«

Sesungguhnya yang terbaik di antara kamu adalah yang paling bagus qadha-nya. (H.R. Bukhari No. 2305, Muslim No. 1601, dari Abu Hurairah)

Keterangan:

Maksud “qadha” adalah yang paling konsisten menepati kebenaran yang wajibkan kepadanya. (Ta’liq Mushthafa Al Bugha, 2/809)

Ya Rabbi, tidak mudah menjadi orang yang selalu menepati janjinya. Betapa banyak di antara kita yang saat berjanji mulut bicara hingga berbusa, tapi entah kapan janji-janji itu akan diwujudkan. Salah satu indikasi menjadi sebaik-baik manusia, dalam hadis di atas adalah orang yang senantiasa berusaha untuk selalu menepati janjinya, kapan dan kepada siapa pun.

 

 

 

 

 

 

KEDUA: TERBAIK PADA MASA JAHILIYAH DAN ISLAM

وعن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم: تَجِدُون النَّاسَ مَعَادِن: خِيَارُهُم فِي الجَاهِليَّة خِيَارُهُم فِي الإِسْلاَم إِذَا فَقِهُوا، وَتَجِدُون خِيَار النَّاس فِي هَذَا الشَّأْن أَشَدُّهُم كَرَاهِيَة لَه، وَتَجِدُون شَرَّ النَّاس ذَا الوَجْهَين، الَّذِي يَأْتِي هَؤُلاَء بِوَجه، وَهَؤُلاَء بِوَجْه.

Dari Abu Hurariah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah - ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Kalian mendapati manusia itu seperti barang-barang tambang; orang-orang mulia pada masa jahiliah adalah orang-orang yang mulia pada masa Islam jika mereka memahami (agama). Kalian mendapati manusia pilihan dalam hal ini adalah orang yang paling benci agama ini (tadinya), dan kalian mendapati seburuk-buruk manusia adalah orang yang bermuka dua; yang datang kepada satu kelompok dengan satu wajah, dan kepada kelompok lain dengan wajah lain pula."  

Keterangan:

Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menyerupakan manusia dengan berbagai barang tambang. Ini mengandung isyarat kepada beberapa makna, di antaranya: adanya perbedaan watak manusia dan sifat akhlak serta psikisnya. Dari keterangan ini dapat dipahami adanya perbedaan barang tambang. Juga mengandung isyarat perbedaan manusia dalam menerima perbaikan, ada orang yang menerima dengan mudah, ada yang membutuhkan kesabaran, ada juga yang tidak bisa menerima sebagaimana keadaan barang tambang. Penyerupaan dengan barang-barang tambang pun mengandung isyarat perbedaan manusia dalam kemuliaan dan kehinaan asalnya. Hal tersebut dapat dipahami dari perbedaan nilai barang-barang tambang; ada yang mahal seperti emas dan perak, ada yang murah seperti besi dan lempengan logam. Penyerupaan dengan barang tambang mengandung isyarat daya pikul seperti barang-barang tambang. Yang dimaksud barang tambang orang Arab adalah asal dan garis nasab mereka. Sabda beliau, "Orang-orang mulia pada masa jahiliah adalah orang-orang mulia pada masa Islam jika mereka memahami agama." Yakni, sesungguhnya manusia paling mulia dari sisi garis keturunan dan asal, mereka adalah orang-orang mulia pada masa jahiliah dengan syarat mereka memahami agama. Contohnya Bani Hasyim adalah golongan Quraisy yang mulia pada masa jahiliah dari segi garis keturunan dan asal berdasarkan ketetapan nas hadis yang sahih. Demikian juga pada masa Islam dengan syarat mereka memahami dan mempelajari agama Allah. Jika mereka tidak memahami agama -meskipun berasal dari nasab pilihan bangsa Arab- maka mereka bukanlah manusia paling mulia di sisi Allah dan mereka bukan manusia pilihan. Hadis ini mengandung bukti bahwa terkadang manusia bisa menjadi mulia dengan garis keturunannya tetapi dengan syarat dia memiliki pemahaman mengenai agamanya. Tidak diragukan lagi bahwa garis keturunan memiliki pengaruh, karena itulah Bani Hasyim adalah manusia paling baik dan mulia garis keturunannya. Karena itulah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- merupakan makhluk paling mulia, "Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya," (Al-An'ām: 124). Seandainya klan dari Bani Adam ini bukan klan paling mulia, tentu di dalamnya tidak akan ada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Karena Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak akan diutus kecuali di klan paling mulia dan paling luhur garis keturunannya. 

KETIGA: PALING BAGUS AKHLAKNYA

»إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا«

Sesungguhnya  yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik akhlaknya. (H.R. Bukhari No. 3559, dari Ibnu Umar, Muslim No. 2321, dari Ibnu Amr. Ini lafazh Bukhari)

Keterangan:

Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bukanlah orang yang perkataannya keji dan perbuatannya buruk, bukan pula orang yang sengaja dan memaksa diri melakukan hal itu. Namun beliau adalah orang yang memiliki akhlak yang agung. Beliau menyampaikan bahwa mukmin terbaik adalah orang yang paling baik akhlaknya, karena akhlak yang baik akan mengajak pada kebaikan dan meninggalkan keburukan.  

 

 

KEEMPAT: MEMPELAJARI AL QURAN DAN MENGAJARKANNYA

»خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ«

Sebaik-baiknya kalian adalah yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya. (H.R. Bukhari No. 5027, dari Utsman)

Keterangan:

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya". Obyek pembicaraan ini mencakup seluruh umat. Sebaik-baik manusia adalah orang yang memadukan antara dua kriteria ini, yakni mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya, ia mempelajarinya dari orang lain dan mengajarkannya pada orang lain, sebab mempelajari Al-Qur`ān merupakan ilmu yang paling prestisius. Proses mempelajari dan mengajarkan ini meliputi pembelajaran cara baca maupun maknanya (tafsirnya). Orang yang menjadi guru hafalan Al-Qur`ān, yakni yang mengajarkan tilawah pada manusia dan membimbing mereka menghafalnya, maka ia termasuk kategori orang yang mengajarkannya, demikian pula orang yang mempelajari Al-Qur`ān dalam konteks ini, ia juga termasuk kategori orang yang mempelajarinya. Adapun jenis yang kedua, yakni mengajarkan makna Al-Qur`ān, maka maksudnya adalah mengajarkan tafsir Al-Qur`ān, misalnya seorang yang membuka majelis untuk orang banyak agar mengajarkan mereka tafsir (penjelasan) firman Allah -'Azzā wa Jallā-, dan tata cara menafsirkan Al-Qur`ān. Apabila seseorang mengajari orang lain tata cara menafsirkan Al-Qur`ān dan mengajarkannya berbagai kaidah tafsir didalamnya, maka aktifitasnya ini termasuk kategori mengajarkan Al-Qur`ān.  

KELIMA: MANUSIA YANG PANJANG UMUR DAN AMALNYA SEMAKIN BAIK

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِكُمْ؟ قَالُوا: نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: خِيَارُكُمْ أَطْوَلُكُمْ أَعْمَارًا، وَأَحْسَنُكُمْ أَعْمَالًا

Maukah aku tunjukkan manusia terbaik di antara kalian? Mereka menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Manusia terbaik di antara kamu adalah yang paling panjang usianya dan semakin baik amalnya.” (H.R. Ahmad No. 7212, dari Abu Hurairah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Al Hakim, Al Mustadrak No. 1255, katanya: shahih sesuai syarat Syaikhan [Bukhari-Muslim])

Keterangan:

Ada pepatah ‘Tua-tua keladi, makin tua makin jadi’ sebuah pepatah yang menunjukan usia seseorang yang sudah senja tapi prilakunya kian menjadi-jadi dan membuat orang lain yang melihatnya tidak menyenanginya. Sebaliknya, salah satu tanda keberkahan hidup seorang hamba adalah ketika dia diberi umur panjang hingga usia lanjut, tapi dia semakin shalih dan banyak beramal.

Orang semacam itu benar-benar sadar bahwa sebentar lagi kereta kematian akan datang menghampirinya, sehingga dengan segala daya dan upaya ia meningkatkan amal ibadahnya dan sekuat tenaga memperbanyak bekal menuju kehidupan akhirat. Dia sangat sadar bahwa seusianya itu sudah seharusnya memperbanyak istighfar dan zikrullah selalu agar termasuk orang-orang yang beruntung di akhirat kelak.

Kenapa orang yang panjang umurnya dan baik amalnya merupakan orang terbaik? Karena orang yang banyak kebaikannya, setiap kali umurnya bertambah maka pahalanya juga bertambah dan derajatnya semakin tinggi. Kesempatan hidupnya merupakan tambahan pahala dengan sebab nilai amalannya yang terus tambah, walaupun hanya sekedar istiqâmah di atas iman. Karena adakah yang lebih besar dari iman di dalam kehidupan ini? Sebaliknya, seburuk-buruk orang adalah orang yang panjang umurnya dan buruk amalnya, karena waktu dan jam seperti modal bagi pedagang. Seyogyanya, dia menggunakan modalnya dalam perdagangan yang menjanjikan keuntungan. Semakin banyak modal yang diinvestasikan, maka keuntungan yang akan diraihnya juga semakin banyak. Barangsiapa melewatkan hidup untuk kebaikannya maka dia telah beruntung dan sukses. Namun barangsiapa menyia-nyiakan modalnya, dia tidak akan beruntung dan bahkan merugi dengan kerugian yang nyata.
Hadits ini menjelaskan keutamaan panjang umur yang disertai dengan amal yang baik. Syaikh Abdurrauf al-Munâwi rahimahullah menjelaskan perkara tersebut dengan berkata, “Karena termasuk keadaan seseorang adalah bertambah dan meningkat dari satu kedudukan menuju kedudukan (di atasnya) sehingga mencapai kedudukan kedekatan (kepada Allâh), maka seorang Mukmin yang berusaha mencari bekal untuk akhirat dan berusaha menambah amal shalih tidak layak menginginkan berhentinya dari apa yang dia inginkan itu dengan mengharapkan kematian.”

Oleh karena itu seorang Mukmin jangan sampai menyia-nyiakan umur dan waktunya. Hendaklah dia selalu waspada terhadap kehidupannya, umur yang masih ada hendaklah diisi dengan amal sholih. Jika tidak, maka kerugian yang akan didapatkan.

KEENAM: MANUSIA YANG PALING BERMANFAAT BAGI MANUSIA LAINNYA

وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. (H.R. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath No. 5787. Al Qudha’i, Musnad Syihab No. 129. Dihasankan Syaikh Al Albani. Lihat Shahihul Jami’ No. 6662)

Keterangan:

Bisa jadi kita bukan orang yang berpengaruh. Bisa jadi kita berpendidikan rendah, berekonomi lemah dan tak banyak pengikut serta pengaruh. Namun, ketika kita bisa memberi banyak manfaat bagi orang lain, maka Insya Allah kita termasuk dalam kelompok sebaik-baik manusia seperti dijelaskan dalam hadis di atas.

Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang harus dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim lebih diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain, bukan hanya mencari manfaat dari orang atau memanfaatkan orang lain. Ini adalah bagian dari implementasi konsep Islam yang penuh cinta, yaitu memberi.

Selain itu, manfaat kita memberikan manfaatkan kepada orang lain, semuanya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri. Sebagaimana firman Allah:

إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ

“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri …” (QS al-Isrâ/ 17: 7), dan sabda Rasulullah saw:

وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ

“… dan barangsiapa (yang bersedia) membantu keperluan saudaranya, maka Allah (akan senantiasa) membantu keperluannya.” (Hadits Riwayat Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 168, hadits no. 2442 dan Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 18, hadits no. 6743 dari Abdullah bin Umar r.a)

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.

“Barangsiapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan ke surga baginya. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu masjid (rumah Allah) untuk membaca al-Qur’an, melainkan mereka akan diliputi ketenangan, rahmat, dan dikelilingi para malaikat, serta Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.” (Hadits Riwayat Muslim, Shahîh Muslim, juz VIII, hal. 71, hadits no. 7028, dari Abu Hurairah r.a.)

Setelah mengetahui manfaat “menjadi pribadi yang bermanfaat”, pertanyaannya adalah: “bagaimana caranya agar kita menjadi pribadi yang bermanfaat?”

Allah berfirman:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Yûsuf/12: 53)

Suatu ketika, Hasan al-Bashri menyuruh beberapa muridnya untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dia berkata, “Temuilah Tsabit al-Bunani dan pergilah kalian bersamanya.” Lalu, mereka mendatangi Tsabit yang ternyata sedang (melakukan) i’tikaf di masjid. Dan, Tsabit pun meminta maaf, karena tidak bisa pergi bersama mereka. Mereka pun kembali lagi kepada Hasan dan memberitahukan perihal Tsabit.

Hasan berkata, “Katakanlah kepadanya, ‘Hai Tsabit, apa engkau tidak tahu bahwa langkah kakimu dalam rangka menolong saudaramu sesama muslim itu lebih baik bagimu daripada ibadah haji yang kedua kali? Kemudian, mereka kembali menemui Tsabit dan menyampaikan apa yang dikatakan Hasan al-Bashri. Maka, Tsabit pun meninggalkan i’tikafnya dan pergi bersama mereka untuk membantu orang yang membutuhkan.

Banyak cara bisa dilakukan agar menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat. Bisa dengan menolong dalam bentuk tenaga, memberikan bantuan dalam bentuk materi, memberi pinjaman, memberikan taushiyah keagamaan, meringankan beban penderitaan, membayarkan utang, memberi makan, hingga menyisihkan waktu untuk menunggu tetangga yang sakit.

Pemimpin yang baik juga bermanfaat bagi bawahannya, sebagaimana penguasa yang adil pun bermanfaat bagi rakyatnya. Bahkan, membuat orang lain menjadi gembira juga termasuk amalan bermanfaat yang dicintai oleh Allah SWT.

Adalah (sebuah) ironi, jika banyak orang kaya yang lebih senang naik haji berulang kali daripada membantu kaum dhuafa’ yang membutuhkan uluran tangan. Banyak juga orang kaya yang ‘jor-joran’ (berlomba-lomba) membangun masjid mewah, sedangkan di sekelilingnya masih banyak kaum fakir-miskin yang membutuhkan bantuan. Padahal, Allah tidak butuh disembah dengan indahnya masjid ataupun ibadah haji yang berulang-ulang.

Mengapa kita tidak pernah berfikir untuk beramal saleh dengan cara ‘memberi manfaat’ pada semua orang yang berinteraksi dengan diri kita, atau (bahkan) beramal saleh dengan cara berbuat baik kepada sesama makhluk Allah, yang lebih kita prioritaskan dalam situasi dan kondisi tertentu daripada sekadar membangun kesalehan spiritual yang tak banyak berguna bagi orang lain?

Kita tak perlu mengatakan bahwa urusan akhirat itu lebih penting daripada urusan dunia, atau sebaliknya. Karena keduanya saling melengkapi. Ingat firman Allah:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S al-Qashash/28: 77)

Lima Langkah-langkah Menjadi Pribadi Yang Bermanfaat

Banyak cara untuk menjadi orang yang bermanfaat. Tetapi kali ini penulis sajikan lima langkah (praktis) untuk menjadi orang yang bermanfaat.

 

 

Langkah Pertama: Menjadi Pribadi Yang Bermanfaat Adalah Kemauan

Kuncinya adalah kemauan. Kemauan kita akan dapat memberikan manfaat kepada orang lain. (1) Jika kita mempunyai harta, kita bisa memberikan manfaat kepada orang lain dengan harta. (2) Jika kita memunyai ilmu, kita bisa memberikan manfaat ilmu kepada orang lain. (3) Jika kita memunyai tenaga, kita bisa memberikan manfaat dari tenaga kita kepada orang lain.

Ini adalah langkah awal. Anda harus memiliki kemauan untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Bagaimana pun kondisi Anda. Jangan malah mencari-cari cara untuk mendapatkan manfaat dari orang lain, bahkan memanfaatkan orang lain.

Jika Anda mau, bagaimana pun kondisi Anda, Anda bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Bagaimana? Mau atau tidak? Jadi kata kuncinya adalah: “kemauan”.

Langkah Kedua: Take Action Now (Lakukan Sekarang)

Apa yang bisa Anda ‘lakukan sekarang’ untuk memberikan manfaat kepada orang lain? Anda bisa berbagi (melakukan sharing) artikel ini melalui facebook atau twitter Anda, misalnya. Ini jauh lebih memberikan manfaat kepada teman-teman Anda daripada Anda sibuk mengupdate status yang tidak penting, bahkan hanya berisi keluhan dan caci maki.

Lihatlah sekitar Anda, adakah yang bisa Anda bantu. Adakah yang bisa Anda lakukan untuk memerbaiki lingkungan, rumah, atau kantor Anda? Akan banyak yang bisa Anda lakukan untuk memberikan manfaat kepada orang lain.

Langkah Ketiga: Biasakanlah Untuk Memberikan Manfaat. Dan Jadikan Hal Itu (Kegiatan Untuk Memberikan Manfaat) Menjadi Gaya Hidup Anda

Jika memberikan manfaat kepada orang sudah menjadi kebiasaan Anda, maka Anda sudah mulai menjadi pribadi yang bermanfaat. Pada langkah kedua, Anda baru disebutkan melakukan kebaikan (belum menjadi akhlaq), namun jika sudah menjadi kebiasaan dan menjadi gaya hidup Anda, maka Anda sudah mulai menjadi pribadi yang bermanfaat.

Ini yang kadang-kadang dilupakan orang. Banyak orang yang hanya membahas sampai pada taraf ‘melakukan kebaikan’ dengan cara membantu orang orang lain. Namun hal itu belum menjadi kepribadian, baru sebatas mau melakukan. Sebuah tindakan, akan menjadi sebuah akhlaq pada saat Anda sudah melakukannya dengan biasa, tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

Ketika Anda memberi, belum tentu merupakan kepribadian Anda. Namun jika Anda sudah biasa memberi dan menjadi gaya hidup Anda, barulah disebut kepribadian (Anda).

Langkah Keempat: Tingkatkan Manfaat Diri Anda

Harus ditingkatkan? Tentu saja! Sebab menurut hadits di atas tidak hanya mengatakan menjadi pribadi yang bermanfaat, tetapi ada kata ‘superlatif’, yaitu paling. Artinya Anda ditantang untuk menjadi juara dalam kebaikan. Anda harus menjadi yang paling memberikan manfaat kepada orang lain. Bukan sekadar memberikan manfaat.

Bagaimana cara meningkatkan manfaat diri Anda? Ya, Anda harus meningkatkan kuantitas dan kualitas kebaikan Anda. Kuantitas bisa dilihat dari frekuensi dan besarnya apa yang Anda berikan kepada orang lain. Sementara kualitas manfaat ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas diri Anda, yaitu dengan meningkatkan keterampilan dan kemampuan Anda, sehingga apa yang Anda berikan semakin bermanfaat.

Langkah Kelima: Raihlah Manfaatnya Untuk Anda Juga

Jangan sampai ‘Anda’ memberikan manfaat kepada banyak orang, tetapi (lupa) ‘tidak’ memberikan manfaat untuk diri Anda sendiri. Jangan salah faham! Saya sama sekali tidak mengatakan agar kita berharap dari orang yang kita berikan manfaat. Bukan itu! Namun, yang saya maksud adalah: kita harus menghindari dari semua penghapus pahala amal itu, yaitu: “ketidak ikhlasan atau riyâ’.”

Jadi, agar kita benar-benar mendapatkan dari manfaat yang kita berikan kepada orang lain, kita harus ikhlas. Ikhlas adalah kunci diterimanya amal. Dan hanya amal yang diterima Allah SWT yang akan memberikan manfaat kepada kita dunia dan akhirat.

Niatkan, bahwa apa yang kita lakukan hanya karena Allah, bukan karena ingin disebut pribadi yang bermanfaat (pujian). Penyakit riyâ’ sungguh tidak terlihat, sangat samar, sehingga kita harus hati-hati.

 

 

Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw pernah bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ ؛ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ . فَقَامَ إِلَيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ حَزْنٍ ، وَقَيْسُ بْنُ المُضَارِبِ فَقَالاَ : وَاللَّهِ لَتَخْرُجَنَّ مِمَّا خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا هَذَا الشِّرْكَ ؛ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ . فَقَالَ لَهُ : مَنْ شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ ، وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : قُولُوا : اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ ، وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ.

“Pada suatu hari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam berkhutbah di hadapan kami, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, takutlah kalian terhadap syirik karena dia lebih halus dari langkah semut.” Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kami harus menghindarinya, sementara dia lebih halus dari langkah semut?” Maka beliau menjawab: “Berdoalah dengan membaca, ‘Allâhumma innâ na’ûdzu bika min an nusyrika bika syaian na’lamuhu wa nastaghfiruka limâ lâ na’lamuhu (Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya dan kami meminta ampun kepada-Mu terhadap apa yang kami tidak ketahui).” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu Musa al-Asy’ari, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz IV, hal. 403, hadits no. 19835)

Tetapi, jangan khawatir! Sekecil apa pun amal saleh kita, Allah akan membalasnya dengan pahala yang sepadan dengannya. Sebagaimana firmanNya:

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah-pun, ia akan mendapatkan balasannya.” (Q.S al-Zalzalah/99: 7)

Itulah kelima langkah menjadi pribadi yang bermanfaat, bahkan ‘paling bermanfaat’. Selanjutnya, yang kita perlukan adalah ‘kemauan dan keberanian untuk memulainya’, sekarang juga. Ibda’ bi nafsik!

KETUJUH: MANUSIA YANG PALING TENANG, KHUSYU, DAN TUMA’NINAH KETIKA SHALAT

»خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاة«

Sebaik-baiknya kamu adalah yang paling lentur bahunya ketika shalat. (H.R. Abu Daud No. 672. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 672)

Keterangan:

Maksud hadits ini adalah mereka yang shalatnya tenang, tuma’ninah, khusyu, tidak menoleh, dan tidak mengganggu bahu saudaranya. (Imam Al Khathabi, Ma’alimus Sunan, 1/184. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 3/466, Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 3/221)

Maksud hadits ini adalah bahwa salah satu katagori orang yang paling baik adalah orang yang ketika berada di dalam shaff, kemudian ada orang lain yang memegang bahunya untuk menyempurnakan (merapatkan dan meluruskan) shaff, ia akan tunduk dengan hati yang ikhlash lagi lapang tanpa ada pembangkangan [lihat selengkapnya dalam Badzlul-Majhuud 4/338 dan Ma’alimus-Sunan 1/184).

KEDELAPAN: SUAMI YANG TERBAIK SIKAPNYA TERHADAP ISTRINYA

خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي

Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku. (H.R. At Tirmidzi No. 3895, dari ‘Aisyah. Imam At Tirmidzi berkata: hasan shahih. Imam Ibnu Majah No. 1977, dari Ibnu Abbas, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 15699, Ibnu Hibban No. 4177. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 3314)

Keterangan:

Nabi Muhammad saw. adalah orang yang paling baik akhlaknya dan beliau diutus ke muka bumi tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia. Tak hanya urusan ibadah, beliau juga teladan terbaik dalam berinteraksi kepada istri.

Beliau juga orang pertama yang menjalankan pesan Al-Qur'an. Di antara pesannya adalah "perlakukanlah pasangan hidupmu (istri-istrimu) dengan baik". 

Berikut cara interaksi Nabi saw. kepada para istrinya:

1.     Berlaku adil dalam waktu kunjung, menginap dan nafkahnya kepada para istrinya.

2.     Tidak pernah berpergian jauh tanpa didampingi istri. Beliau selalu mengundi nama-nama istrinya siapa yang beruntung mendampingi beliau.

3.     Sangat sabar menyikapi kelakuan istri. Beliau tidak pernah mencela, memarahi apalagi memukulnya. Kisah Ummul mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha yang cemburu hingga memecahkan piring menjadi bukti betapa sabarnya Rasulullah yang memunguti pecahan-pecahan piring itu dengan tangannya sendiri sambil sedikit berguma, "Bunda kalian sedang cemburu".

4.     Selalu membantu pekerjaan istri. Menyapu rumah hingga menjahit pakaian.

5.     Bersenda gurau dan bermain untuk menghibur istri. Beliau pernah adu balap lari dengan Ummul mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha.

6.     Sikap setia Rasulullah yang tidak ada tandingannya. Hal itu ditunjukkan dengan tidak melupakan jasa istri pertamamanya ummul mukminin Khadijah Al-Kubra radhiyallahu 'anha, yang selalu dikenang. "Setiap kali beliau berkurban di Idul Adha beliau tidak lupa untuk mengirimkan dagingnya kepada kerabat Khadijah kendati dia sudah wafat."

KESEMBILAN: MANUSIA YANG TIDAK SUKA MENGUSIK DAN MENYAKITI SAUDARANYA

قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ

Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama? Beliau bersabda: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.” (H.R. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, dari Abu Musa Al Asy’ari)

Keterangan:

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa seorang Muslim adalah orang yang membuat kaum Muslim lain selamat dari lisan dan tangannya. Artinya, Muslim diajarkan untuk menjaga hubungan baik dengan Allah dan manusia dengan menjaga lisan dan tangannya.

Lisannya dilarang untuk melukai, berbohong dan memerintah bawahan melakukan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan dosa. Sementara tangannya dilarang digunakan untuk berbuat dosa. Dosa yang lahir dari tangan seperti menandatangani kesepakatan yang merugikan orang lain, memukul, membunuh dan lain sebagainya.

Ibn Hajar dalam kitab Fathul Bari mengutip al-Karmani bahwa kata afdhal bermakna yang lebih banyak pahalanya, sedang kata khair yang lebih banyak manfaatnya. Tapi bisa juga beda redaksi pertanyaan dan jawaban karena disesuaikan dengan penanya dan audiensnya.

Hadits ini sangat dalam maknanya. Amalan Islam yang paling afdhal. Dalam redaksi Sahih Muslim, kata Islam menjadi Muslim. Sehingga pertanyaanya menjadi Muslim manakah yang paling utama. Keduanya dianggap sama oleh Ibn Hajar.

Jawaban Nabi luar biasa: yang paling utama itu adalah mereka yang menjadikan Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Ini introspeksi ke dalam internal kita. Kita rajin ibadah, tapi kenapa gemar mencaci? Kita rajin baca Quran tapi kenapa enteng memfitnah & menebar hoaks?

Kita rajin tahajud, tapi mengapa mulut kita selalu nyinyir? Kita rajin sedekah, tapi kenapa merampas hak orang lain? Kita pakai sorban dan gamis, tapi kenapa kita mencaci-maki pemimpin kita?

Pesan Nabi ini sangat humanis. Kita diminta melakukan jaminan keamanan sosial. Bagaimana orang hendak bekerja, bila selalu di-bully, difitnah, dan dihadang dengan berbagai isu? Bagaimana orang bisa merasa aman dan nyaman, bila kondisi rumah tangga, lingkungan dan tempat kerja membuat dia merasa tertekan dan keamanannya terganggu? Pesan Nabi di atas relevan dengan kondisi kita ini.

 

 

 

 

KESEPULUH: ‘SEBAIK-BAIK MANUSIA’ ADALAH ORANG YANG GEMAR MEMBERIKAN MAKANAN KEPADA ORANG LAIN DAN MENJAWAB SALAM

Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

خِيَارُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَرَدَّ السَّلَامَ

“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang memberikan makanan dan menjawab salam.” (H.R. Ahmad 6/16).

Keterangan:

Ada dua amal yang bisa dilakukan oleh seorang muslim jika ia ingin mendapat label sebagai sebaik-baik manusia dalam hadis di atas:

Pertama, orang yang memberi makanan, dan kedua, orang yang menjawab salam. Mari kita analisa, orang yang memberi makan disebut sebagai sebaik-baik manusia, mengapa? Bisakah kita merasakan saat sedang kelaparan? Fahamilah, ternyata orang yang lapar apalagi kelaparan akan membuat lemah bukan hanya fisiknya saja tapi juga imannya, akhirnya ia bisa bertindak nekad dan melanggar aturan agama.

Kedua, orang yang ringan menjawab salam. Hari ini, tak sedikit orang yang acuh dan tak mau menjawab salam. Jika ditanya apakah mereka yang tidak menjawab salam itu bukan orang muslim? Tentu mereka akan marah jika disebut non muslim? Menjawab salam menjadi salah satu tanda sebaik-baik manusia. Karena itu, segeralah menjawab salam jika ada saudara kita yang menebar salam.

KESIMPULAN:

Tentu menjadi sebaik-baik makhluk menjadi tujuan utama bagi seorang Muslim. Akan tetapi, menuju kepada pribadi yang paripurna, atau setidaknya menjadi pribadi yang bertaqwa dan berihsan perlu perjuangan yang tak ringan. 

Ingatlah, hidup hanya sekali dan sebentar saja, sudah sepantasnya kita senantiasa memaksimalkan nilai manfaat diri ini, yakni menjadi seperti yang disabdakan Nabi SAW, sebagai khairunnas. Sebaik-baik manusia!

Semua adalah pilihan. Termasuk hidup ini juga pilihan. Semua ada di tangan kita; dengan cara apa kita mau menjadi ‘Sebaik-baik Manusia’ maka Rasulullah SAW sudah menjelaskan dalam beberapa hadisnya di atas. Silahkan, tinggal pilih kita mau menjadi sebaik-baik manusia dengan cara mengamalkan ibadah dan amal apa, semua sekali lagi tergantung pada kita, wallahua’lam.  




Penulis : Al-Ustadz Faqih Aulia

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama