SEORANG NABI TIDAK AKAN MENYURUH MANUSIA MENYEMBAH DIRINYA

 

Muqaddimah:

Setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang upaya tahrif (perubahan) Ahli Kitab terhadap kitab suci mereka, ayat ini kembali menginformasikan keburukan mereka, yakni dengan cara menuduh bahwa rasul menginginkan agar disembah oleh para pengikutnya. Tidak mungkin bagi seseorang yakni seorang rasul yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah, yaitu pemahaman terhadap agama serta pengetahuan tentang rahasia-rahasia syariat, dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia,"Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah." Tuduhan syirik ini jelas tidak benar dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang rasul. Tetapi, yang benar, rasul itu berkata, "Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah yang istiqamah. Demikian ini, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya, sehingga kamu bisa menunjukkan sikap ketaatan yang sempurna dan menjauhi sikap syirik!"

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (79) وَلا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (80)

Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, "Hendaklah kalian menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata), "Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani[1]), karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya[2]), dan (tidak wajar pula baginya) menyuruh kalian menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kalian berbuat kekafiran di waktu kalian sudah (menganut agama) Islam[3]).'' (Q.S. Ali-Imran {3}: 79-80)

 

 

 

 

 

 

Sababun Nuzul:

1.     Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika pendeta-pendeta kaum Yahudi dan kaum Nasrani Najran berkumpul di hadapan Rasulullah saw. dan diajak masuk Islam, berkatalah Abu Rafi’ Al-Qurazhi: “Apakah tuan menginginkan agar kami menyembah tuan seperti Nasrani menyembah Isa?” Rasulullah menjawab: “Ma’adzallah (Aku berlindung kepada Allah dari hal itu).” Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas, sebagai sanggahan bahwa tiada seorang nabi pun yang mengajak umatnya untuk menyembah dirinya sendiri. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Al-Baihaqi, yang bersumber dari Ibnu Abbas.

2.     Dalam riawayat lain dikemukakan bahwa seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw. dan berkata: “Ya Rasulallah, apakah mengucapkan salam kepada tuan itu sebagaimana memberi salam kepada teman kami? Apakah tidak perlu sujud kepada tuan?” Nabi menjawab: “Jangan, cukup kamu menghormat Nabimu, dan beritahukan yang hak kepada yang layak engkau beritahu, karena sesungguhnya tidak dibenarkan seseorang bersujud kepada selain Allah.” Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas, sebagai penegasan atas ucapan Rasulullah. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Tafsirnya, yang bersumber dari Al-Hasan.

Tafsir Mufradat:

Adapun firman Allah Swt.:

مَا كانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِباداً لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, "Hendaklah kalian menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” (Ali Imran: 79)

Maksudnya, tidak layak bagi seorang manusia yang diberi Al-Kitab, hikmah dan kenabian, berkata kepada manusia, "Sembahlah aku bersama Allah."

Apabila hal ini tidak layak bagi seorang nabi dan tidak pula bagi seorang rasul, terlebih lagi bagi seorang manusia selain dari kalangan para nabi dan para rasul. Karena itulah Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa tidak layak bagi seorang mukmin memerintahkan kepada manusia untuk menyembah dirinya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dikatakan demikian karena umat terdahulu (yakni Ahli Kitab), sebagian dari mereka menyembah sebagian yang lain; mereka menyembah rahib-rahib dan pendeta-pendetanya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

اتَّخَذُوا أَحْبارَهُمْ وَرُهْبانَهُمْ أَرْباباً مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (At-Taubah: 31), hingga akhir ayat.

Di dalam kitab Musnad -dan Imam Turmuzi seperti yang akan disebutkan kemudian- disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَبَدُوهُمْ. قَالَ «بَلَى إِنَّهُمْ أَحَلُّوا لَهُمُ الْحَرَامَ وَحَرَّمُوا عَلَيْهِمُ الْحَلَالَ، فَاتَّبَعُوهُمْ فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ»

"Wahai Rasulullah, mereka sama sekali tidak menyembahnya (para rahib dan orang-orang alim mereka)." Nabi Saw. menyangkal, "Tidak demikian, sesungguhnya mereka (para rahib dan orang-orang alim mereka) menghalalkan yang haram dan mengharamkan atas mereka yang halal, lalu mereka (para pengikutnya) mengikutinya. Yang demikian itulah cara penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan para rahib mereka."
Orang-orang yang tidak mengerti dari kalangan para rahib dan para pendeta serta pemimpin-pemimpin kesesatanlah yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dicela dan dicemoohkan oleh ayat ini. Lain halnya dengan para rasul dan para pengikut mereka dari kalangan ulama yang amilin (mengamalkan ilmunya). Maka sesungguhnya yang mereka perintahkan hanyalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Swt., lalu disampaikan oleh para rasul kepada mereka. Sesungguhnya yang mereka larang hanyalah apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt., kemudian disampaikan kepada mereka oleh rasul-rasul Allah yang mulia. Semua rasul merupakan delegasi yang menghubungkan antara Allah dan makhluk-Nya untuk menyampaikan risalah dan amanat yang diembankan kepada mereka oleh Allah Swt., lalu mereka menunaikan tugas ini dengan sempurna, menasihati makhluk Allah, dan menyampaikan kebenaran kepada makhluk-Nya. (Umdatut Tafsir juz 1 hal 343-344)

Kata ثُمَّ yakni kemudian yang diletakkan antara uraian tentang anugerah-anugerah-Nya dan pernyataan bahwa mereka menyuruh orang untuk menyembah manusia. Kata kemudian itu, bukan bermakna adanya jarak waktu, tetapi untuk mengisyaratkan betapa jauh ucapan demikian dari sifat-sifat mereka, dan betapa ucapan tersebut tidak masuk akal.

Kalau nabi dan rasul demikian itu halnya, maka tentu lebih tidak wajar lagi bagi manusia biasa untuk mengucapkan kata-kata demikian. Tidak wajar ada manusia yang dengan ucapan atau perbuatan memerintahkan atau bahkan mengisyaratkan agar dia disembah, dan dikultuskan. Karena itu, para diktator adalah orang-orang yang merasa dirinya tuhan-tuhan yang harus disembah, ditaati dan diagungkan. (Tafsir Al-Mishbah vol 2 hal 133)

Firman Allah Swt.:

وَلكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِما كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتابَ وَبِما كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Akan tetapi (dia berkata), "Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian telah mempelajarinya." (Ali Imran: 79)

Yakni tetapi rasul itu mengatakan kepada manusia, "Jadilah kalian orang-orang Rabbani." Arti Rabbani, menurut Ibnu Abbas, Abu Razin serta ulama lainnya yang bukan hanya seorang disebut orang-orang yang bijaksana, orang-orang alim lagi orang-orang penyantun. Sedangkan menurut Al-Hasan dan lain-lainnya disebut orang-orang ahli fiqih. 

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: karena kalian selalu  mengajarkan Al-Kitab  dan  disebabkan kalian tetap mempelajarinya. (Ali Imran: 79) Bahwa makna yang dimaksud ialah sudah merupakan suatu keharusan bagi orang yang memahami Al-Qur'an menjadi orang yang ahli fiqih.
Tu'allimuna di sini menurutnya dibaca ta'lamuna, yang artinya memahami maknanya. Menurut qiraat lain dibaca tu'allimuna yang artinya mempelajarinya, sedangkan makna tadrusuna ialah hafal lafaz-lafaznya.
(Umdatut Tafsir juz 1 hal 344)

Kata رَبَّانِي terambil dari kata رَبّ yang memiliki aneka makna, antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata ini berdiri sendiri, maka yang dimaksud tidak lain kecuali Allah swt.

Mereka yang dianugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas, gerak dan langkah, niat dan ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah swt. Yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu.

Kata تَدْرُسُونَ digunakan untuk meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam konteks teks -baik dalam kitab suci maupun selainnya- ia adalah membahas, mendiskusikan teks untuk menarik informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya.

Seorang Rabbani -menurut ayat ini- paling tidak melakukan dua hal. Pertama, terus-menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua terus-menerus mempelajarinya. Pengertian terus-menerus itu, dipahami dari bentuk kata kerja mudhari yang digunakan untuk kedua hal tersebut.

Bila seorang Rabbani harus terus-menerus mengajar, karena manusia tidak pernah luput dari kekurangan. Seandainya si A telah tahu, maka si B dan si C boleh jadi belum, atau lupa, atau mereka adalah generasi muda yang selama ini belum mengetahui. Itu dari satu sisi. Di sisi lain, Rabbani bertugas terus-menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firman-firman Allah sedemikan luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali semakin banyak yang dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama. Kitab Allah yang tertulis, tidak ubahnya dengan kitab-Nya yang terhampar, yaitu alam raya. Walaupun alam raya sejak diciptakannya hingga kini, tidak berubah, namun rahasia yang dikandungnya tidak pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia alam tidak henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang belum ditemukan sebelum ini. Jika demikian, seseorang tidak berhenti belajar, meneliti dan membahas, baik objeknya alam raya maupun kitab suci. Nah, yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu, hendaknya diajarkan pula, sehingga bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan putusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang. Bukankah pesan agama “Belajarlah dari buaian hingga liang lahad” dan bukankah Al-Qur’an menegaskan kerugian orang-orang yang tidak saling wasiat mewasiati tentang kebenaran dan ketabahan, yakni saling ajar mengajar tentang ilmu dan petunjuk serta saling ingat mengingatkan tentang perlunya ketabahan dalam hidup ini. (Tafsir Al-Mishbah vol 2 hal 133-134)  

Kemudian Allah Swt. berfirman:

{وَلا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا}

dan tidak wajar pula baginya menyuruh kalian menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. (Ali Imran: 80)
Maksudnya, dan tidak layak baginya memerintahkan kalian menyembah seseorang selain Allah, baik dia seorang rasul ataupun malaikat yang terdekat di sisi-Nya.

{أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ}

Apakah (patut) dia menyuruh kalian berbuat kekafiran di waktu kalian sudah (menganut agama) Islam?  (Ali Imran: 80).

Yakni tidak layak baginya melakukan demikian, melainkan hanya pantas dilakukan oleh orang yang menyeru kepada penyembahan selain Allah; dan barang siapa yang menyeru orang lain menyembah selain Allah, maka sesungguhnya dia menyeru kepada kekufuran. Tetapi para nabi hanya memerintahkan orang-orang untuk beriman, yaitu menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:

وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh kalian akan Aku." (Al-Anbiya: 25)

وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu." (An-Nahl: 36), hingga akhir ayat.

وَسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنا أَجَعَلْنا مِنْ دُونِ الرَّحْمنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu,"Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?" (Az-Zukhruf: 45)

Allah Swt. berfirman menceritakan hal malaikat:

وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلهٌ مِنْ دُونِهِ فَذلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ

Dan barang siapa di antara mereka mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah tuhan selain dari Allah," maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam. Demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (Al-Anbiya: 29) (Umdatut Tafsir juz 1 hal 344)

Penyebutan para malaikat dan nabi-nabi pada ayat ini, hanya sekedar sebagai contoh. Yang dimaksud adalah selain Allah, seperti bulan, matahari atau leluhur. Bahwa hanya malaikat dan nabi-nabi yang disebut oleh ayat ini, karena itulah yang disembah oleh masyarakat Jahiliah dan orang Yahudi serta Nasrani.

Baik untuk dicatat bahwa pakar-pakar bahasa menyatakan, patron kata yang dibubuhi penambahan huruf ta’ mengandung makna keterpaksaan dan rasa berat (hati atau pikiran atau tenaga) untuk melakukannya. Jika demikian, penyembahan kepada selain Allah swt. yang digambarkan oleh ayat ini dengan kata تَتَّخِذُوا yang diterjemahkan di atas dengan menjadikan, mengandung makna bahwa penyembahan itu -bila terjadi- pada hakikatnya dipaksakan atas jiwa manusia bukan merupakan sesuatu yang lahir dari fitrah atau naluri normalnya. Demikian tulis Al-Biqa’i dalam tafsirnya.   

Ada juga yang memahami kata مُسْلِمُونَ pada ayat ini sebagai kaum muslimin umat Nabi Muhammad saw. Asy-Sya’rawi menulis bahwa ayat ini seakan-akan berkaitan dengan kaum muslimin yang bermaksud menghormati rasul melebihi yang sewajarnya, mereka bermaksud sujud kepada beliau, maka Nabi saw. melarang mereka dan menegaskan bahwa sujud hanya diperkenankan untuk Allah swt. Agaknya pendapat pertama lebih tepat, apalagi bila disadari bahwa ayat ini turun di Madinah, setelah sekian lama Rasul saw. menanamkan akidah tauhid di kalangan masyarakat, sehingga larangan sujud kepada selain Allah sudah sangat populer, walau di kalangan non muslim. Dengan demikian, mustahil rasanya ada seorang muslim yang bermaksud sujud kepada Nabi saw. (Tafsir Al-Mishbah vol 2 hal 135-136)   

Tafsir Ayat:

Pada ayat 79 menerangkan, Tidak mungkin terjadi dan tidak pantas bagi seorang manusia yang diberi kitab oleh Allah dan diberi pelajaran tentang pengetahuan agama, serta diangkat menjadi nabi, kemudian dia mengajak manusia untuk menyembah dirinya sendiri bukan menyembah Allah. Orang yang diberi keutamaan-keutamaan seperti itu tentunya akan mengajak manusia mempelajari sifat-sifat Allah serta mempelajari hukum-hukum agama, dan memberikan contoh yang baik dalam hal menaati Allah dan beribadah kepada-Nya, serta mengajarkan Kitab kepada sekalian manusia.

Nabi sebagai seorang manusia yang telah diberi keutamaan yang telah disebutkan, tentu tidak mungkin dan tidak pantas menyuruh orang lain menyembah dirinya, sebab dia adalah makhluk Allah. Maka penciptanya yaitu Allah yang harus disembah. Ditegaskan kepadanya adalah menyuruh manusia agar bertakwa kepada Allah, mengajarkan Al-Kitab dan melaksanakannya, hal itu telah ditegaskan oleh firman Allah: Katakanlah, "Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku." (az-Zumar/39: 14)

Barang siapa menyuruh manusia menyembah dirinya, berarti ia mengakui bahwa Allah mempunyai sekutu yaitu dirinya sendiri. Barang siapa mempersekutukan Allah dengan lain-Nya, berarti ia telah menghilangkan kemurnian ibadah kepada Allah semata. Dengan hilangnya kemurnian ibadah berarti hilang pulalah arti ibadah.

Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. (az-Zumar/39: 3)

Begitu juga firman Allah yang menceritakan seruan Nabi Hud kepada kaumnya: Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih." (Hud/11: 26)

Semua nabi menyuruh manusia agar menyembah Allah: Dan kepada kaum samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Hud/11: 61)

Pada ayat 80 menerangkan, Begitu juga, tidak mungkin bagi seorang rasul menyuruh kalian menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah patut dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi muslim, pemeluk Islam yang inti ajarannya adalah tauhid? Ini menunjukkan sifat utama para rasul-juga mereka yang melanjutkan dakwah para rasul-yaitu al-amin, atau bisa dipercaya dalam segala hal, terutama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Tidak pantas bagi seorang manusia yang telah diberi wahyu oleh Allah, kemudian memerintahkan kepada manusia untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Hal itu seluruhnya tidak pernah dilakukan oleh para Nabi termasuk Nabi Muhammad saw. Yang pernah terjadi ialah orang-orang Arab menyembah malaikat. Orang Yahudi menyembah Uzair dan orang-orang Nasrani menyembah Al-Masih, yang dianggap sebagai putra Tuhan. Semua tindakan ini bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi karena nabi-nabi itu semuanya menyuruh manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa.

 

SAUDARA KU…

PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).



[1] Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah swt.

[2] Menurut riwayat, bahwa segolongan daripada ketua-ketua Yahudi dan Nashara datang kepada Rasulullah, bertanya: “Ya Muhammad! Apakah engkau mengajak kami menyembahmu sebagaimana orang-orang Nashara menyembah Isa anak Maryam?” Rasulullah jawab: “Ma’adzallah!”: Aku berlindung kepada Allah, lalu turun ayat tersebut yang maksudnya, bahwa seorang manusia yang Allah jadikan nabi dan beri Kitab agama dan hukum untuk keperluan dunia dan Akhirat itu, tidak bisa jadi berkata: “Hai manusia dari golongan Yahudi dan Nashara, lantaran kamu mengajarkan kitab agama kamu kepada manusia dan lantaran kamu membaca kitab agama kamu dengan tetap, maka marilah jadi hamba-hamba Allah yang bersandar dan berbakti hanya kepada Allah, tidak kepada Isa atau lainnya.” (Tafsir Al-Furqan hal 117)

[3] Sebagaimana seorang nabi itu tidak patut dan tidak akan mengajak manusia supaya menyembah dirinya, begitu juga tidak patut dan tidak akan ia menyuruh kamu menganggap malaikat dan nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Bisakah jadi ia menyuruh kamu jadi kafir sesudah kamu jadi Muslimin? Tentu tidak! (Tafsir Al-Furqan hal 117)

 

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama