Muqaddimah:
Setelah ayat sebelumnya menjelaskan tentang upaya tahrif (perubahan)
Ahli Kitab terhadap kitab suci mereka, ayat ini kembali menginformasikan
keburukan mereka, yakni dengan cara menuduh bahwa rasul menginginkan agar
disembah oleh para pengikutnya. Tidak mungkin bagi seseorang yakni seorang
rasul yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah, yaitu pemahaman
terhadap agama serta pengetahuan tentang rahasia-rahasia syariat, dan kenabian,
kemudian dia berkata kepada manusia,"Jadilah kamu penyembahku, bukan
penyembah Allah." Tuduhan syirik ini jelas tidak benar dan tidak mungkin
dilakukan oleh seorang rasul. Tetapi, yang benar, rasul itu berkata,
"Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah yang istiqamah. Demikian ini, karena kamu
mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya, sehingga kamu bisa
menunjukkan sikap ketaatan yang sempurna dan menjauhi sikap syirik!"
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ
اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا
عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (79) وَلا يَأْمُرَكُمْ
أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ
بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (80)
Tidak wajar
bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, "Hendaklah kalian menjadi
penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata),
"Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani[1]),
karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap
mempelajarinya[2]),
dan (tidak wajar pula baginya) menyuruh kalian menjadikan malaikat dan para
nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kalian berbuat kekafiran di
waktu kalian sudah (menganut agama) Islam[3]).''
(Q.S. Ali-Imran {3}: 79-80)
Sababun Nuzul:
1. Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika
pendeta-pendeta kaum Yahudi dan kaum Nasrani Najran berkumpul di hadapan
Rasulullah saw. dan diajak masuk Islam, berkatalah Abu Rafi’ Al-Qurazhi:
“Apakah tuan menginginkan agar kami menyembah tuan seperti Nasrani menyembah
Isa?” Rasulullah menjawab: “Ma’adzallah (Aku berlindung kepada Allah
dari hal itu).” Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas, sebagai sanggahan
bahwa tiada seorang nabi pun yang mengajak umatnya untuk menyembah dirinya
sendiri. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Al-Baihaqi, yang bersumber dari
Ibnu Abbas.
2. Dalam riawayat lain dikemukakan bahwa
seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw. dan berkata: “Ya Rasulallah, apakah
mengucapkan salam kepada tuan itu sebagaimana memberi salam kepada teman kami?
Apakah tidak perlu sujud kepada tuan?” Nabi menjawab: “Jangan, cukup kamu
menghormat Nabimu, dan beritahukan yang hak kepada yang layak engkau beritahu,
karena sesungguhnya tidak dibenarkan seseorang bersujud kepada selain Allah.”
Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas, sebagai penegasan atas ucapan
Rasulullah. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Tafsirnya, yang bersumber
dari Al-Hasan.
Tafsir Mufradat:
Adapun
firman Allah Swt.:
مَا كانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتابَ
وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِباداً لِي مِنْ
دُونِ اللَّهِ
Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah, dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, "Hendaklah kalian menjadi
penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” (Ali Imran: 79)
Maksudnya,
tidak layak bagi seorang manusia yang diberi Al-Kitab, hikmah dan kenabian,
berkata kepada manusia, "Sembahlah aku bersama Allah."
Apabila hal
ini tidak layak bagi seorang nabi dan tidak pula bagi seorang rasul, terlebih
lagi bagi seorang manusia selain dari kalangan para nabi dan para rasul. Karena
itulah Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa tidak layak bagi seorang mukmin
memerintahkan kepada manusia untuk menyembah dirinya. Al-Hasan Al-Basri
mengatakan bahwa dikatakan demikian karena umat terdahulu (yakni Ahli Kitab),
sebagian dari mereka menyembah sebagian yang lain; mereka menyembah rahib-rahib
dan pendeta-pendetanya. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu
firman-Nya:
اتَّخَذُوا أَحْبارَهُمْ وَرُهْبانَهُمْ أَرْباباً مِنْ
دُونِ اللَّهِ
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah.
(At-Taubah: 31), hingga akhir ayat.
Di dalam
kitab Musnad -dan Imam Turmuzi seperti yang akan disebutkan kemudian- disebutkan
bahwa Addi ibnu Hatim pernah berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَبَدُوهُمْ. قَالَ «بَلَى
إِنَّهُمْ أَحَلُّوا لَهُمُ الْحَرَامَ وَحَرَّمُوا عَلَيْهِمُ الْحَلَالَ،
فَاتَّبَعُوهُمْ فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ»
"Wahai
Rasulullah, mereka sama sekali tidak menyembahnya (para rahib dan orang-orang
alim mereka)." Nabi Saw. menyangkal, "Tidak demikian,
sesungguhnya mereka (para rahib dan orang-orang alim mereka) menghalalkan yang
haram dan mengharamkan atas mereka yang halal, lalu mereka (para pengikutnya)
mengikutinya. Yang demikian itulah cara penyembahan mereka kepada orang-orang
alim dan para rahib mereka."
Orang-orang
yang tidak mengerti dari kalangan para rahib dan para pendeta serta
pemimpin-pemimpin kesesatanlah yang termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
dicela dan dicemoohkan oleh ayat ini. Lain halnya dengan para rasul dan para
pengikut mereka dari kalangan ulama yang amilin (mengamalkan ilmunya). Maka
sesungguhnya yang mereka perintahkan hanyalah apa-apa yang diperintahkan oleh
Allah Swt., lalu disampaikan oleh para rasul kepada mereka. Sesungguhnya yang
mereka larang hanyalah apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt., kemudian
disampaikan kepada mereka oleh rasul-rasul Allah yang mulia. Semua rasul
merupakan delegasi yang menghubungkan antara Allah dan makhluk-Nya untuk
menyampaikan risalah dan amanat yang diembankan kepada mereka oleh Allah Swt.,
lalu mereka menunaikan tugas ini dengan sempurna, menasihati makhluk Allah, dan
menyampaikan kebenaran kepada makhluk-Nya. (Umdatut Tafsir juz 1 hal 343-344)
Kata ثُمَّ yakni kemudian yang diletakkan antara
uraian tentang anugerah-anugerah-Nya dan pernyataan bahwa mereka menyuruh orang
untuk menyembah manusia. Kata kemudian itu, bukan bermakna adanya jarak
waktu, tetapi untuk mengisyaratkan betapa jauh ucapan demikian dari sifat-sifat
mereka, dan betapa ucapan tersebut tidak masuk akal.
Kalau nabi
dan rasul demikian itu halnya, maka tentu lebih tidak wajar lagi bagi manusia
biasa untuk mengucapkan kata-kata demikian. Tidak wajar ada manusia yang dengan
ucapan atau perbuatan memerintahkan atau bahkan mengisyaratkan agar dia
disembah, dan dikultuskan. Karena itu, para diktator adalah orang-orang yang
merasa dirinya tuhan-tuhan yang harus disembah, ditaati dan diagungkan. (Tafsir
Al-Mishbah vol 2 hal 133)
Firman Allah
Swt.:
وَلكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِما كُنْتُمْ
تُعَلِّمُونَ الْكِتابَ وَبِما كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Akan tetapi
(dia berkata), "Hendaklah kalian menjadi orang-orang rabbani, karena
kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian telah mempelajarinya." (Ali Imran: 79)
Yakni tetapi
rasul itu mengatakan kepada manusia, "Jadilah kalian orang-orang
Rabbani." Arti Rabbani, menurut Ibnu Abbas, Abu Razin serta ulama lainnya
yang bukan hanya seorang disebut orang-orang yang bijaksana, orang-orang alim
lagi orang-orang penyantun. Sedangkan menurut Al-Hasan dan lain-lainnya disebut
orang-orang ahli fiqih.
Ad-Dahhak
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: karena kalian
selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap
mempelajarinya. (Ali Imran: 79) Bahwa makna yang dimaksud ialah sudah
merupakan suatu keharusan bagi orang yang memahami Al-Qur'an menjadi orang yang
ahli fiqih.
Tu'allimuna di sini
menurutnya dibaca ta'lamuna, yang artinya memahami maknanya.
Menurut qiraat lain dibaca tu'allimuna yang artinya
mempelajarinya, sedangkan makna tadrusuna ialah hafal
lafaz-lafaznya. (Umdatut Tafsir juz 1
hal 344)
Kata رَبَّانِي terambil dari kata رَبّ
yang memiliki
aneka makna, antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata ini berdiri sendiri, maka yang
dimaksud tidak lain kecuali Allah swt.
Mereka yang dianugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua
orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas, gerak dan langkah, niat
dan ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah
swt. Yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu.
Kata تَدْرُسُونَ digunakan untuk meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam
konteks teks -baik dalam kitab suci maupun selainnya- ia adalah membahas,
mendiskusikan teks untuk menarik informasi dan pesan-pesan yang dikandungnya.
Seorang Rabbani -menurut ayat ini- paling tidak melakukan dua hal. Pertama,
terus-menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua terus-menerus
mempelajarinya. Pengertian terus-menerus itu, dipahami dari bentuk kata
kerja mudhari yang digunakan untuk kedua hal tersebut.
Bila seorang Rabbani harus terus-menerus mengajar, karena manusia tidak
pernah luput dari kekurangan. Seandainya si A telah tahu, maka si B dan si C
boleh jadi belum, atau lupa, atau mereka adalah generasi muda yang selama ini
belum mengetahui. Itu dari satu sisi. Di sisi lain, Rabbani bertugas
terus-menerus membahas dan mempelajari kitab suci, karena firman-firman Allah
sedemikan luas kandungan maknanya, sehingga semakin digali semakin banyak yang
dapat diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama. Kitab Allah yang tertulis,
tidak ubahnya dengan kitab-Nya yang terhampar, yaitu alam raya. Walaupun alam
raya sejak diciptakannya hingga kini, tidak berubah, namun rahasia yang
dikandungnya tidak pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia alam tidak
henti-hentinya terungkap, dan dari saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang
belum ditemukan sebelum ini. Jika demikian, seseorang tidak berhenti belajar,
meneliti dan membahas, baik objeknya alam raya maupun kitab suci. Nah, yang
ditemukan dalam bahasan dan penelitian itu, hendaknya diajarkan pula, sehingga
bertemu antara mengajar dan meneliti dalam satu lingkaran yang tidak terputus
kecuali dengan putusnya lingkaran, yakni dengan kematian seseorang. Bukankah
pesan agama “Belajarlah dari buaian hingga liang lahad” dan bukankah Al-Qur’an
menegaskan kerugian orang-orang yang tidak saling wasiat mewasiati tentang
kebenaran dan ketabahan, yakni saling ajar mengajar tentang ilmu dan petunjuk
serta saling ingat mengingatkan tentang perlunya ketabahan dalam hidup ini. (Tafsir
Al-Mishbah vol 2 hal 133-134)
Kemudian
Allah Swt. berfirman:
{وَلا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلائِكَةَ
وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا}
dan tidak
wajar pula baginya menyuruh kalian menjadikan malaikat dan para nabi sebagai
tuhan. (Ali
Imran: 80)
Maksudnya,
dan tidak layak baginya memerintahkan kalian menyembah seseorang selain Allah,
baik dia seorang rasul ataupun malaikat yang terdekat di sisi-Nya.
{أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ}
Apakah
(patut) dia menyuruh kalian berbuat kekafiran di waktu kalian sudah (menganut
agama) Islam? (Ali
Imran: 80).
Yakni tidak
layak baginya melakukan demikian, melainkan hanya pantas dilakukan oleh orang
yang menyeru kepada penyembahan selain Allah; dan barang siapa yang menyeru
orang lain menyembah selain Allah, maka sesungguhnya dia menyeru kepada
kekufuran. Tetapi para nabi hanya memerintahkan orang-orang untuk beriman,
yaitu menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Seperti yang disebutkan di
dalam firman-Nya:
وَما أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا
نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami
tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah oleh
kalian akan Aku." (Al-Anbiya:
25)
وَلَقَدْ بَعَثْنا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu." (An-Nahl: 36), hingga akhir ayat.
وَسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رُسُلِنا
أَجَعَلْنا مِنْ دُونِ الرَّحْمنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ
Dan
tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu,"Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan
untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?" (Az-Zukhruf: 45)
Allah Swt.
berfirman menceritakan hal malaikat:
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلهٌ مِنْ دُونِهِ
فَذلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
Dan barang
siapa di antara mereka mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah tuhan selain
dari Allah," maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam. Demikian
Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim. (Al-Anbiya: 29) (Umdatut Tafsir juz 1 hal 344)
Penyebutan para malaikat dan nabi-nabi pada
ayat ini, hanya sekedar sebagai contoh. Yang dimaksud adalah selain Allah,
seperti bulan, matahari atau leluhur. Bahwa hanya malaikat dan nabi-nabi yang
disebut oleh ayat ini, karena itulah yang disembah oleh masyarakat Jahiliah dan
orang Yahudi serta Nasrani.
Baik untuk dicatat bahwa pakar-pakar bahasa
menyatakan, patron kata yang dibubuhi penambahan huruf ta’ mengandung
makna keterpaksaan dan rasa berat (hati atau pikiran atau tenaga) untuk
melakukannya. Jika demikian, penyembahan kepada selain Allah swt. yang
digambarkan oleh ayat ini dengan kata تَتَّخِذُوا
yang diterjemahkan di atas dengan menjadikan, mengandung makna bahwa
penyembahan itu -bila terjadi- pada hakikatnya dipaksakan atas jiwa manusia
bukan merupakan sesuatu yang lahir dari fitrah atau naluri normalnya. Demikian
tulis Al-Biqa’i dalam tafsirnya.
Ada juga yang memahami kata مُسْلِمُونَ pada ayat ini sebagai
kaum muslimin umat Nabi Muhammad saw. Asy-Sya’rawi menulis bahwa ayat ini
seakan-akan berkaitan dengan kaum muslimin yang bermaksud menghormati rasul
melebihi yang sewajarnya, mereka bermaksud sujud kepada beliau, maka Nabi saw.
melarang mereka dan menegaskan bahwa sujud hanya diperkenankan untuk Allah swt.
Agaknya pendapat pertama lebih tepat, apalagi bila disadari bahwa ayat ini turun
di Madinah, setelah sekian lama Rasul saw. menanamkan akidah tauhid di kalangan
masyarakat, sehingga larangan sujud kepada selain Allah sudah sangat populer,
walau di kalangan non muslim. Dengan
demikian, mustahil rasanya ada seorang muslim yang bermaksud sujud kepada Nabi
saw. (Tafsir
Al-Mishbah vol 2 hal 135-136)
Tafsir Ayat:
Pada ayat 79 menerangkan, Tidak
mungkin terjadi dan tidak pantas bagi seorang manusia yang diberi kitab oleh
Allah dan diberi pelajaran tentang pengetahuan agama, serta diangkat menjadi
nabi, kemudian dia mengajak manusia untuk menyembah dirinya sendiri bukan
menyembah Allah. Orang yang diberi keutamaan-keutamaan seperti itu tentunya
akan mengajak manusia mempelajari sifat-sifat Allah serta mempelajari
hukum-hukum agama, dan memberikan contoh yang baik dalam hal menaati Allah dan
beribadah kepada-Nya, serta mengajarkan Kitab kepada sekalian manusia.
Nabi sebagai seorang manusia yang telah diberi keutamaan yang telah
disebutkan, tentu tidak mungkin dan tidak pantas menyuruh orang lain menyembah
dirinya, sebab dia adalah makhluk Allah. Maka penciptanya yaitu Allah yang
harus disembah. Ditegaskan kepadanya adalah menyuruh manusia agar bertakwa
kepada Allah, mengajarkan Al-Kitab dan melaksanakannya, hal itu telah
ditegaskan oleh firman Allah: Katakanlah, "Hanya Allah yang aku sembah
dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku."
(az-Zumar/39: 14)
Barang siapa menyuruh manusia menyembah dirinya, berarti ia
mengakui bahwa Allah mempunyai sekutu yaitu dirinya sendiri. Barang siapa
mempersekutukan Allah dengan lain-Nya, berarti ia telah menghilangkan kemurnian
ibadah kepada Allah semata. Dengan hilangnya kemurnian ibadah berarti hilang
pulalah arti ibadah.
Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), "Kami tidak
menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya." Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara
mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. (az-Zumar/39: 3)
Begitu juga firman Allah yang menceritakan seruan Nabi Hud kepada
kaumnya: Agar kamu tidak
menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada)
hari yang sangat pedih." (Hud/11: 26)
Semua nabi menyuruh manusia agar menyembah Allah: Dan kepada kaum samud (Kami utus)
saudara mereka, Saleh. Dia berkata, "Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak
ada tuhan bagimu selain Dia. (Hud/11: 61)
Pada ayat 80 menerangkan, Begitu
juga, tidak mungkin bagi seorang rasul menyuruh kalian menjadikan para malaikat
dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah patut dia menyuruh kamu menjadi kafir
setelah kamu menjadi muslim, pemeluk Islam yang inti ajarannya adalah tauhid?
Ini menunjukkan sifat utama para rasul-juga mereka yang melanjutkan dakwah para
rasul-yaitu al-amin, atau bisa dipercaya dalam segala hal, terutama dalam
melaksanakan tugas dakwah.
Tidak pantas bagi seorang manusia yang telah diberi wahyu oleh
Allah, kemudian memerintahkan kepada manusia untuk menjadikan malaikat dan para
nabi sebagai Tuhan. Hal itu seluruhnya tidak pernah dilakukan oleh para Nabi
termasuk Nabi Muhammad saw. Yang pernah terjadi ialah orang-orang Arab
menyembah malaikat. Orang Yahudi menyembah Uzair dan orang-orang Nasrani
menyembah Al-Masih, yang dianggap sebagai putra Tuhan. Semua tindakan ini
bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi karena nabi-nabi
itu semuanya menyuruh manusia untuk menyembah Allah Yang Maha Esa.
SAUDARA KU…
PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI
KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN
KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI
SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA
AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).
[1] Rabbani ialah orang yang sempurna ilmu dan takwanya
kepada Allah swt.
[2] Menurut riwayat, bahwa
segolongan daripada ketua-ketua Yahudi dan Nashara datang kepada Rasulullah, bertanya:
“Ya Muhammad! Apakah engkau mengajak kami menyembahmu sebagaimana orang-orang
Nashara menyembah Isa anak Maryam?” Rasulullah jawab: “Ma’adzallah!”: Aku
berlindung kepada Allah, lalu turun ayat tersebut yang maksudnya, bahwa seorang
manusia yang Allah jadikan nabi dan beri Kitab agama dan hukum untuk keperluan
dunia dan Akhirat itu, tidak bisa jadi berkata: “Hai manusia dari golongan
Yahudi dan Nashara, lantaran kamu mengajarkan kitab agama kamu kepada manusia
dan lantaran kamu membaca kitab agama kamu dengan tetap, maka marilah jadi
hamba-hamba Allah yang bersandar dan berbakti hanya kepada Allah, tidak kepada
Isa atau lainnya.” (Tafsir Al-Furqan hal 117)
[3] Sebagaimana seorang nabi
itu tidak patut dan tidak akan mengajak manusia supaya menyembah dirinya,
begitu juga tidak patut dan tidak akan ia menyuruh kamu menganggap malaikat dan
nabi-nabi sebagai tuhan-tuhan. Bisakah jadi ia menyuruh kamu jadi kafir sesudah
kamu jadi Muslimin? Tentu tidak! (Tafsir Al-Furqan hal 117)
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan