Muqaddimah:
Ayat yang lalu membicarakan sikap orang-orang mukmin, namun
tujuannya adalah kecaman kepada orang-orang munafik yang mengaku dengan
lidahnya bahwa mereka adalah orang-orang mukmin. Karena itu ayat 53 ini kembali
berbicara tentang keburukan orang-orang munafik dengan menyatakan:
وَأَقْسَمُوا
بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ قُلْ لَا
تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (53)
Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah,
jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah,
"Janganlah kalian bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang
sudah dikenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Q.S.
An-Nur {24}: 53)
Tafsir Mufradat:
Allah Swt. menceritakan keadaan orang-orang
munafik yang pada mulanya bersumpah kepada Rasulullah Saw. bahwa jika Rasul
memerintahkan kepada mereka untuk berangkat perang, niscaya mereka akan
berangkat. Allah Swt. berfirman:
{قُلْ
لَا تُقْسِمُوا طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ}
Katakanlah, "Janganlah kalian
bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan
yang sudah dikenal. (An-Nur: 53)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud
ialah ketaatan yang kalian dituntut untuk melakukannya sudah dikenal. Dengan
kata lain, ketaatan kalian itu telah diketahui sesungguhnya hanyalah ucapan
belaka yang tidak dibarengi dengan perbuatan. Manakala kalian bersumpah,
berarti kalian dusta. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:
{يَحْلِفُونَ
لَكُمْ لِتَرْضَوْا}
Mereka akan bersumpah kepada kalian agar kalian
rida. (At-Taubah: 96), hingga akhir ayat.
Dan Firman Allah Swt.:
{اتَّخَذُوا
أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً}
Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai
perisai. (Al-Mujadilah: 16), hingga akhir ayat.
Watak mereka adalah pendusta, sehingga dalam
keadaan mempunyai alternatif lain pun mereka masih berdusta. Sebagaimana yang
disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain:
{أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ
فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ
إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ لَئِنْ أُخْرِجُوا لَا يَخْرُجُونَ مَعَهُمْ وَلَئِنْ
قُوتِلُوا لَا يَنْصُرُونَهُمْ وَلَئِنْ نَصَرُوهُمْ لَيُوَلُّنَّ الأدْبَارَ
ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ}
Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang
munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara Ahli
Kitab, "Sesungguhnya jika kalian diusir, niscaya kami pun akan keluar
bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun
untuk (menyusahkan) kalian; dan jika kalian
diperangi, pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan bahwa
sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka diusir,
orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika
mereka diperangi, niscaya mereka tiada akan menolongnya; sesungguhnya jika
mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian
mereka tidak akan mendapat pertolongan. (Al-Hasyr: 11-12)
Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya:
{طَاعَةٌ
مَعْرُوفَةٌ}
(karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan
yang sudah dikenal. (An-Nur: 53)
Maksudnya, ketaatan yang kalian dituntut untuk
melakukannya ialah ketaatan yang sudah dikenal, tanpa memakai sumpah dan segala
macam janji. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang mukmin, tanpa memakai sumpah segala.
{إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan. (An-Nur: 53)
Yakni Dia Maha Mengetahui kalian, siapa yang
taat dan siapa yang durhaka di antara kalian. Sumpah dan menampakkan ketaatan
sekalipun di batin memendam hal yang bertentangan; walaupun hal ini tidak
diketahui oleh makhluk, tetapi Allah Swt. mengetahui rahasia dan yang
tersembunyi. Tiada suatu kepalsuan pun yang tersembunyi bagi Allah, bahkan Dia
Maha Mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati hamba-hamba-Nya, sekalipun
mereka menampakkan hal yang berbeda dengannya. (Umdatut Tafsir juz 2 hal
593)
Al-Biqa’i memahami perintah Nabi saw. kepada
mereka menyangkut perintah apapun secara umum, sedang janji mereka لَيَخْرُجُنَّ dipahami oleh ulama itu dalam arti pasti
mereka keluar dari keadaan yang mereka peragakan selama ini menuju apa yang
engkau perintahkan. Ini karena selama ini mereka juga selalu berkata kepada
Nabi saw. “Di mana pun engkau berada kami akan bersamamu, kalau engkau di
Madinah kami pun akan berada di sana, kalau engkau keluar, kami pun akan
keluar, kalau engkau berjihad, kami pun akan berjihad.”
Nah, ketika itu seakan-akan ada yang bertanya:
“Apa yang harus dilakukan untuk menguji kebenaran ucapan mereka itu?”
Pertanyaan itu dijawab bahwa itu adalah sesuatu yang jelas, karena setiap
ucapan harus ada buktinya, karena itu wahai Nabi saw. katakanlah kepada mereka
janganlah bersumpah karena pengetahuan tentang keadaan kamu serta apa yang kamu
lakukan tidak membutuhkan sumpah, tetapi yang dibutuhkan adalah motivasi keluar
yang berdasar kerelaan dan kepatuhan bukan keterpaksaan dalam bersumpah. Demikian
lebih kurang al-Biqa’i.
Kata طَاعَةٌ
menurut al-Biqa’i sengaja ditampilkan dalam bentuk nakirah/ indefinit
yakni tanpa disertai alif dan lam agar ia tidak diduga sebagai
ketaatan tertentu. Bentuk kata itu dipilih menurutnya untuk mengisyaratkan
bahwa ketaatan walaupun diusahakan untuk dirahasiakan namun pasti akan nampak
tanda-tandanya dalam perangai seseorang, demikian juga halnya dengan
kedurhakaan. Dalam konteks ini al-Biqa’i mengemukakan riwayat yang menyatakan
bahwa: Tidak seorang pun merahasiakan satu rahasia, kecuali Allah mengenakan
untuknya “pakaian” sesuatu yang dirahasiakannya itu (HR. ath-Thabarani melalui
Jundub), dan karena itu lanjutan ayat ini diakhiri dengan “Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Tafsir Al-Mishbah vol 9 hal
384-385)
Tafsir Ayat:
Dan selain sikap orang
munafik yang menolak hukum darimu, wahai Nabi
Muhammad, mereka juga bersumpah dengan nama Allah
dengan sumpah sungguh-sungguh bahwa jika engkau suruh
mereka untuk berperang, pastilah mereka akan pergi. Demikian
sumpah mereka. Untuk merespons sumpah mereka, katakanlah wahai Nabi,
"Janganlah kamu bersumpah palsu karena yang diminta oleh Allah dari
kamu adalah ketaatan yang baik dan tulus, bukan ketaatan di mulut
saja. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan, baik
pekerjaan lahir maupun batin."
Pada ayat ini Allah kembali
menerangkan tingkah laku orang-orang munafik yaitu mereka dengan mudah
mengucapkan janji-janji yang muluk-muluk dan diperkuat dengan sumpah, tetapi tidak
pernah mereka tepati. Mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa bila
mereka diminta untuk ikut berperang bersama orang-orang mukmin mereka pasti
akan ikut dan tidak akan menolak, bagaimana pun keadaan dan situasi mereka dan
tidak akan memikirkan apa yang akan terjadi dalam peperangan itu, seakan-akan
mereka yakin benar bahwa perintah berperang itu adalah untuk kepentingan
bersama dan untuk menegakkan agama Allah. Tetapi Allah mengetahui apa yang
tersimpan dalam hati mereka, bahwa mereka bila benar-benar diajak untuk
berperang melawan musuh, mereka akan mencari dalih dan alasan agar mereka tidak
ikut pergi dan tinggal saja di Madinah. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan
kepada Nabi Muhammad saw agar melarang mereka bersumpah, karena sumpah seperti
itu berat resikonya. Mereka tidak perlu bersumpah karena Allah sudah mengetahui
bahwa ketaatan dan kepatuhan mereka hanya di mulut saja dan tidak timbul dari
hati nurani yang bersih. Senada dengan ayat ini Allah berfirman: Mereka akan
bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu
menerima mereka, Allah tidak akan rida kepada orang-orang yang fasik.
(at-Taubah/9: 96)
Dan firman-Nya: Dan mereka
(orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka
termasuk golonganmu; namun mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka
orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (at-Taubah/9: 56)
Oleh karena itu Allah
mengingatkan mereka terhadap sumpah palsu yang mereka ucapkan itu dan mengancam
akan menimpakan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka yang jahat itu, dan
menjelaskan bahwa Dia mengetahui segala tingkah laku mereka dan niat jahat
mereka serta tipu daya yang mereka atur untuk menipu kaum Muslimin.
AYAT 54:
Setelah itu Allah mengingatkan
orang-orang mukmin agar tidak teperdaya oleh ulah orang-orang munafik.
“Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul dalam semua perintah dan larangan mereka dengan ketaatan yang
tulus. Jika kamu berpaling maka kamu akan tersesat dan merugi,
karena sesungguhnya kewajiban Rasul itu hanyalah apa yang dibebankan
kepadanya, yaitu menyampaikan risalah Allah, dan kewajiban kamu hanyalah
apa yang dibebankan kepadamu, yaitu menerima dengan tulus tuntunan Rasul
tersebut. Jika kamu taat kepadanya dan melaksanakan
tuntunannya, niscaya kamu mendapat petunjuk menuju kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat. Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan amanat
Allah dengan jelas melalui ucapan, pembenaran, dan keteladanannya.”
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ
تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ (54)
Katakanlah, "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
rasul; dan jika kalian berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah
apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kalian adalah semata-mata apa yang
dibebankan kepada kalian. Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya kalian
mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (Q.S. An-Nur
{24}: 54)
Amr:
Dalam ayat ini, dijelaskan perintah menaati Allah dan
Rasul-Nya. Hukum ini tetap wajib selama tidak ada dalil yang menyelisihinya.
Segala sesuatu yang menyebabkan terlaksananya kewajiban ini, misalnya
terciptanya berbagai macam sarana untuk beribadah dan mempelajari agama,
menjadi wajib pula. Sesuatu yang wajib mutlak tidak akan terlaksana kecuali
dengan penyempurnanya dan segala sesuatu yang menjadi penyempurna wajib mutlak
menjadi wajib pula. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
مَالَا يَتِمُ الْوَاجِبُ الْمُطْلَقُ إِلَّا بِهِ وَاجِبٌ
Nahi:
Ketika kita diperintah melaksanakan sesuatu, berarti kita
dilarang untuk meninggalkannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
اَلْأَمْرُ بِالشَّيْءِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ
Perintah terhadap sesuatu adalah larangan kebalikannya.
Kebalikan ayat ini adalah larangan kita untuk taat kepada
selain Allah dan Rasul-Nya. (Qur’an Ushul Fiqih karya Kyai Amin Muchtar hal
357)
Tafsir Mufradat:
Kemudian Allah Swt. berfirman:
{قُلْ أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ}
Katakanlah, "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada
Rasul.” (An-Nur: 54)
Artinya, ikutilah petunjuk Kitabullah dan
sunnah Rasul-Nya.
Firman Allah Swt.:
{فَإِنْ تَوَلَّوْا}
dan jika kalian berpaling. (An-Nur: 54)
Yakni jika kalian berpaling dan meninggalkan apa yang
disampaikan oleh rasul kepada kalian.
{فَإِنَّمَا
عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ}
maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang
dibebankan kepadanya. (An-Nur: 54)
Yaitu menyampaikan risalah dan menunaikan amanat.
{وَعَلَيْكُمْ مَا
حُمِّلْتُمْ}
dan kewajiban kalian adalah semata-mata apa yang dibebankan
kepada kalian. (An-Nur: 54)
Yakni menerima hal tersebut, menghormatinya, dan mengerjakan
apa yang telah digariskan olehnya.
{وَإِنْ تُطِيعُوهُ
تَهْتَدُوا}
Dan jika kalian taat kepadanya, niscaya kalian mendapat
petunjuk. (An-Nur: 54)
Demikian itu karena rasul menyeru kalian kepada jalan yang
lurus, yaitu:
{صِرَاطِ اللَّهِ
الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ}
jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. (Asy-Syura: 53), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا عَلَى الرَّسُولِ
إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ}
Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang. (An-Nur: 54)
Sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{فَإِنَّمَا
عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ}
karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja,
sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka. (Ar-Ra'd: 40)
Dan firman Allah Swt. yang mengatakan:
{فَذَكِّرْ إِنَّمَا
أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ}
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah
orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka. (Al-Ghasyiyah: 21-22) (Umdatut
Tafsir juz 2 hal 593-594)
Para pakar al-Qur’an menerangkan bahwa apabila perintah
kepada Allah dan Rasul-Nya digabung dengan menyebut hanya sekali perintah taat,
maka hal itu mengisyaratkan bahwa ketaatan yang dimaksud adalah ketaatan yang
diperintahkan Allah swt., baik yang diperintahkan-Nya secara langsung dalam
al-Qur’an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasul melalui hadits-hadits
beliau. Perintah taat kepada Rasul saw. di sini menyangkut hal-hal yang
bersumber dari dari Allah swt., bukan yang beliau perintahkan secara langsung.
Adapun bila perintah taat diulangi seperti pada QS. an-Nisa {4}: 59 (atau
seperti bunyi ayat yang ditafsirkan ini) maka di sana Rasul saw. memiliki
wewenang serta hak untuk ditaati walaupun tidak ada dasarnya dari al-Qur’an.
Itu sebabnya perintah taat kepada Ulul Amri tidak disertai dengan kata taatilah
karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka
bertentangan dengan ketaatan kepada Allah swt. atau Rasul saw.
Perintah taat kepada Rasul saw. adalah perintah tanpa syarat,
dan ini menunjukkan bahwa tidak ada perintah Rasul yang salah atau keliru,
tidak ada juga yang bertentangan dengan perintah Allah swt., karena jika ada,
maka tentu kewajiban taat kepada beliau tidak sejalan dengan perintah taat
kepada Allah, dan tentu juga ada di antara perintah beliau yang keliru.
Firman-Nya: فَإِنْ
تَوَلَّوْا fa in tawallau dapat dipahami sebagai lanjutan dari apa yang diperintahkan
untuk disampaikan. Asalnya berbunyi تَتَوَلَّوْا tatawallau yakni jika kamu wahai mitra bicara berpaling,
maka kewajiban Rasul hanyalah
apa yang dibebankan kepadanya (sebagaimana penjelasan di atas). Bisa juga kata
tersebut merupakan akibat dan konsekuensi dari kandungan perintah apa yang
disampaikan oleh Nabi saw. itu. Seakan-akan ayat ini menyatakan: Apabila engkau
wahai Nabi Muhammad saw. telah menyampaikannya, lalu mereka berpaling dan
enggan taat, maka kewajibanmu wahai Nabi, hanya apa yang dibebankan kepadamu
menyangkut tabligh yakni penyampaian risalah Ilahi dan bagi mereka apa yang
dibebankan kepada mereka yaitu menerima dan melaksanakan tuntunan risalah itu.
Ayat di atas menggunakan kata beban untuk
menggambarkan kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal ini mengesankan bahwa hal
tersebut akan terus terpikul dengan berat sampai terlaksananya tugas, dan kalau
tidak maka beban berat berupa dosa akan terbawa hingga hari kiamat. (Tafsir
Al-Mishbah vol 9 hal 386-387)
Tafsir ayat:
Kemudian Allah memerintahkan lagi kepada Nabi
Muhammad untuk mengatakan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan sungguh-sungguh. Jangan selalu berpura-pura beriman, tetapi perbuatan
dan tingkah laku mereka bertentangan dengan kata-kata yang mereka ucapkan. Ini
adalah sebagai peringatan terakhir kepada mereka. Bila mereka tetap juga
berpaling dari kebenaran dan melakukan hal-hal yang merugikan perjuangan kaum
Muslimin maka katakanlah kepada mereka bahwa dosa perbuatan mereka itu akan
dipikulkan di atas pundak mereka sendiri dan tidak akan membahayakan Nabi dan
kaum Muslimin sedikit pun. Mereka akan mendapat kemurkaan Allah dan
siksaan-Nya. Bila mereka benar-benar taat dan keluar dari kesesatan dengan
menerima petunjuk Allah dan Rasul-Nya niscaya mereka akan termasuk golongan
orang-orang yang beruntung. Kewajiban Rasul hanya menyampaikan petunjuk dan
nasihat. Menerima atau menolak adalah keputusan masing-masing, di luar tanggung
jawab Rasul.
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar disebutkan:
53.
Dan orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah
seberat-berat sumpah yang bisa mereka sanggupi untuk bersumpah dengannya, jika
engkau suruh mereka keluar untuk berjihad, pastilah mereka akan pergi.
Katakanlah kepada mereka wahai Rasul, “Janganlah kalian bersumpah, karena
kedustaan sumpah kalian sudah diketahui, dan dustanya ketaatan yang kalian
katakan juga sudah diketahui.” Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan, tiada suatu amalan kalian pun yang tersembunyi bagi-Nya
meskipun kalian menyembunyikannya.
54.
Katakanlah -wahai Rasul- kepada orang-orang munafik itu,
“Taatlah kalian kepada Allah dan kepada Rasul, baik dalam perkara lahir ataupun
batin; dan jika kalian berpaling dari perkara yang diperintahkan pada kalian
berupa ketaatan kepada keduanya, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah
apa yang dibebankan kepadanya berupa penyampaian wahyu, adapun kewajiban kamu
sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu berupa sikap taat, dan
beramal sesuai perintah yang disampaikannya. Dan jika kalian taat kepadanya
dengan mengerjakan amalan yang diperintahkannya, dan menjauhi larangan yang dia
peringatkan, niscaya kalian akan mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Dan
tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan amanat Allah dengan
terang, dan dia tidak ditugaskan menganugerahkan kepada kalian petunjuk maupun
memaksa kalian untuk itu”.
Taat Kepada Rasul Meliputi
Empat Perkara:
1.
(طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ): Menaati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap apa yang
diperintahkannya.
2.
(تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ): Membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap apa
yang dikabarkannya.
3.
(اِجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ): Menjauhi apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam larang
dan peringatkan.
4.
(أَنْ لَا يُعْبَدَ اللهُ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ): Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan.
Inilah makna syahadat Muhammad Rasulullah.
Faedah Ayat:
1.
Nadzar itu makruh karena dalam ayat disebutkan “لَا تُقْسِمُوا”, janganlah kalian bersumpah.
2.
Wajib mengaitkan ketaatan dengan perkara makruf menurut
syariat, bukan menurut pandangan manusia.
3.
Tidak boleh ada penambahan atau pengurangan dalam syariat.
Karena dalam ayat disebutkan “لَا
تُقْسِمُوا” yaitu ketaatan yang sudah
makruf.
4.
Ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu karena “إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ”.
5.
Kita diperintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
6.
Dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu
adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu.
7.
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.
8.
Tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang.
9.
Rasul adalah orang yang amanat dalam menyampaikan wahyu.
Fiqih Nadzar:
Nadzar adalah iltizamul qurbah lam tata’ayyan
bi shiighoh, melazimkan (mewajibkan) suatu ibadah yang tidak
diharuskan, dengan lafaz tertentu.
Dalam Fath Al-Qorib disebutkan, nadzar adalah:
اِلْتِزَامُ
قُرْبَةٍ غَيْرِ لاَزِمَةٍ بِأَصْلِ الشَّرْعِ
“Mewajibkan suatu bentuk ketaatan yang berdasarkan syariat
asalnya tidaklah wajib.”
Rukun Nadzar:
1.
Naadzir: berakal, baligh, ikhtiyar
(atas pilihan sendiri).
2.
Mandzur bihi: qurbah lam tata’ayyan.
3.
Shighah: lafaz yang menyatakan
mewajibkan diri.
Nadzar ada dua macam
1.
Nadzar al-lajaj yaitu nadzar yang melarang diri dari melakukan sesuatu,
tetapi tidak dimaksudkan untuk ketaatan (qurbah) dan wajib membayar kafarat sumpah
atau yang ia sanggupi dengan melakukan nadzar.
2.
Nadzar tabarrur, ada dua bentuk yaitu: (a) nadzar yang tidak dikaitkan pada
sesuatu (ghairu mu’allaq) seperti bernadzar “LILLAHI, wajib atas saya berpuasa
atau memerdekakan budak”; (b) nadzar yang dikaitkan pada sesuatu yang diharap
dan disukai oleh jiwa (mu’allaq), seperti “jika penyakitku disembuhkan oleh
Allah, aku mengharuskan diriku untuk shalat, puasa, atau sedekah”, maka ia
punya keharusan melaksanakan shalat minimal dua rakaat, puasa minimalnya sehari,
sedekah yang minimal dianggap harta yang sedikit untuk bersedekah. Jika
bernadzar shalat atau puasa pada waktu tertentu lantas lupus, shalat dan puasa
itu wajib diqadha.
Nadzar yang wajib ditunaikan adalah nadzar al-mujazah (nadzar ketaatan) jika dikaitkan dengan suatu yang mubah dan hasil
nadzar adalah bentuk ketaatan. Jika nadzar tersebut terwujud, wajib ditunaikan.
Tidak Boleh Bernadzar Dalam
Maksiat:
Nadzarnya tidaklah sah dan pelakunya berdosa. Nadzar ini ada
dua bentuk:
1.
Mengaitkan dengan suatu ketaatan agar mendapatkan hasil
berupa perbuatan maksiat. Contoh: jika saya membunuh si fulan, maka saya akan
berpuasa selama sehari. Nadzar semacam ini karena dikaitkan dengan maksiat,
maka dihukumi maksiat.
2.
Bernadzar untuk melakukan maksiat. Contoh: bernadzar mau
meminum khamar, membunuh seseorang tanpa kesalahan, bunuh diri, membunuh anak.
Nadzar semacam ini tidak sah dan tidak perlu ditunaikan.
Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ
نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat
kepada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (HR. Bukhari, no.
6696)
Nadzar Dalam Hal Mubah:
1.
Meninggalkan yang mubah.
2.
Melaksanakan yang mubah.
Seperti ini tidaklah sah karena nadzar itu harus dalam
ketaatan.
Siapa yang bersumpah dalam nadzar mubah, maka tidak wajib ia
menunaikan kafarat.
Nadzar Dalam Hal Makruh:
Tidaklah dianggap, seperti bernadzar “akan menoleh dalam
shalat”.
Catatan:
Ø Bernadzar dengan sesuatu yang
wajib ‘ain seperti shalat lima waktu tidaklah sah. Karena wajib syari lebih
didahulukan daripada wajib karena nadzar.
Ø Bernadzar dengan sesuatu yang
wajib kifayah, maka tetap menjadi wajib.
Kafarat Sumpah:
1.
Memilih antara tiga hal yaitu:
a)
Memerdekakan satu orang budak mukmin yang selamat dari cacat
yang mengurangi bekerjanya, atau
b)
Memberi makan sepuluh orang miskin setiap miskin satu mud
dari makanan pokok di negerinya, atau
c)
Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin masing-masing
satu pakaian (kemeja, serban, khimar, baju, tidak mesti baru, yang penting
kualitasnya tidak hilang);
2.
Jika tidak menemukan dari tiga hal tadi, maka berpuasa selama
tiga hari.
Dalil tentang kafarat sumpah adalah firman Allah Ta’ala,
لَا
يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ
بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ
أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)
SAUDARA KU… PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU
TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH,
KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN
ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT
ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).
Penulis : Ustadz Faqih Aulia
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan