Pada penghujung 2022 ini kita semua perlu bermuhasabah
tentang apa yang dipersiapkan dari program tahun 2023.
Urusan dunia dan akhirat diprogramkan, Allah Ta’ala
bertanya, “Fa aina tadzhabuun?”, maka jawabannya pun terdapat dalam
al-Qur’an, “Fastabiqul khairat!”, “Fantashiru fil ardi!”.
Intinya kepada urusan dunia berjalanlah, namun dalam
urusan akhirat hendaklah berlomba-lomba.
Terkadang manusia lebih semangat dalam urusan dunia
daripada akhirat, padahal kepada Allah Ta’ala kita Kembali.
Artinya kemana pun kita pergi, tetaplah kembalinya
kepada Allah; namun antara dua kemungkinan, apakah Kembali dalam keadaan
selamat ataukah malah dalam keadaan celaka.
Pertanyaan kedua, bekal apakah yang telah kita
persiapkan menghadap Ilahi Rabbi.
Demikian diantara yang disampaikan oleh al-Ustadz Budi
Harto Fitriana (Senior Pemuda Persis Pangalengan) sambil menunggu kedatangan
al-Ustadz Hamdan Abu Nabhan.
Al-Ustadz Abu Nabhan menyampaikan, Allah Ta’ala
berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam. Qs. Ali Imran [3]: 102.
Baik berkaitan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud
ataupun penekanan dari Imam al-Qurthubiy terkait pentingnya memperhatikan
ungkapan, “Yaa ayyuhal ladziina aamanuu”. Kemudian, ayat-ayat yang memerintahkan
bertakwa sangatlah banyak. Adapun pada ayat ini penekanannya adalah “haqqo
tuqootihi…”.
Ayat Ali Imran ini selaras dengan salahsatu ayat pada
al-Quran surat al-Anfal [8] awal suratnya Allah Ta’ala menyebutkan sifat-sifat
orang-orang bertakwa, lantas Allah Ta’ala berfirman, “ulaa-ika humul
mu-minuuna haqqo.”
Lima syarat pada awal al-Anfal tersebut menjadi
ciri-ciri orang bertakwa sesungguh-sungguhnya. Bagaimana jika Sebagian dari 5?
Pokoknya, jika kurang dari lima itu takwanya belum sesungguh-sungguhnya.
Pada suatu tempat banyak pedagang, namun ada seorang
pedagang yang dikatakan, “huwa taajirun haqqo.” Pada suatu kaum banyak
tukang sya’ir, namun ada seorang tukang sya’ir yang dikatakan, “huwa
syaa’irun haqqo.” Anggota Persis dan otonom itu banyak, namun seorang
diantara mereka dikatakan, “Inilah Persis yang sebenar-benarnya.”
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Jika kita dilarang mati, maka apa perintah yang kita
terima? Karena kematian itu diluar kuasa manusia, maka jika ada perintah dan
larangan di luar kuasa manusia, maka yang dimaksud bukan itu, tetapi
perhatikanlah sebelum ataupun sesudah perintah atau larangan itu ada petunjuk
apa. Demikian disampaikan pada salahsatu kitab Ushul Fiqh.
Tuntaskan, baru dimengerti:
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Huruf wawu nya “lil haal,” artinya inilah yang
membersamai.
هذَا أَمْرٌ مِنَ
اللهِ لِعِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْ يَتَّقُوْهُ حَقَّ تَقْوَاهُ، وَأَنْ يَسْتَمِرُّوْا
عَلَى ذَالِكَ وَيَثْبُتُوْا عَلَيْهِ وَيَسْتَقِيْمُوْا إِلَى الْمَمَاتِ.
Firman Allah ini adalah perintah kepada hamba-hambaNya
yang beriman, untuk bertakwa kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan
perintah untuk terus menerus padanya dan tetap padanya juga istiqamah (padanya)
sampai mati. Tafsir as-Sa’diy, hal. 130.
Sebagaimana Rasulullah saw yang ibadahnya itu tidak
berhenti, tidak seperti kita yang tidak berhenti hanya merencanakan.
Besar sekali jasa para ulama dalam membuka pemahaman
terhadap al-Quran. Seperti ayat tersebut terlihat sebagai larangan, padahal itu
adalah perintah untuk tetap istiqamah dalam keislaman sebagaimana digambarkan
oleh Imam as-Sa’diy.
Agar lebih jelas, bagaimanakah takwa
sesungguh-sungguhnya itu, maka al-Qurthubiy menjelaskan:
رَوَى البُخَارِيُّ
عَنْ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: (حَقَّ تُقَاتِهِ أَنْ يُطَاعَ فَلَا يُعْصَى وَأَنْ يُذْكَرَ فَلَا يُنْسَى
وَأَنْ يُشْكَرَ فَلَا يُكْفَرُ.
Imam al-Bukhariy meriwayatkan dari Murrah dari
Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “(Sebenar-benar takwa
kepadaNya) ialah dengan ta’at dan tidak maksiat kepadaNya, ingat dan tidak lupa
kepadaNya, bersyukur dan tidak kufur kepadaNya.” Tafsir al-Qurtubiy,
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV: 149.
Terkadang kita suka memborong, taat ya, maksiat juga.
Nah itu bukan takwa sesunggunya. Terkadang kita mengingat kepada Allah,
terkadang pula suka sengaja melupakan, nah itu bukanlah takwa sesungguhnya.
Jika tidak ada shalat, akankah kita ingat kepada
Allah?. ada shalat saja kita terkadang lupa kepada Allah Ta’ala, apalagi jika
tidak ada shalat.
Sejak bangun tidur kita mengingat Allah Ta’ala,
mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin
nusyuur.”
Selanjutnya, kita masuk ke WC pun berdzikir, dan
seterusnya dalam setiap aktifitas ada dzikirnya.
Artinya takwa sesungguhnya itu maksimal dan optimal.
وَأَخْرَجَ ابْنُ
جَرِيْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ وَالنُّحَاسُ فِيْ نَاسِخِهِ
مِنْ طَرِيْقِ عَلِيٍّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ { اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ } قَالَ: { حق تقاته } أَنْ يُجَاهِدُوْا فِيْ اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ ، وَلَا
تَأْخُذُهُمْ فِيْ اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ ، وَيَقُوْمُوْا للهِ بِالقِسْطِ وَلَوْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَآبَائِهِمْ وَأُمَّهَاتِهِمْ.
Telah meriwayatkan Imam Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir,
Ibnu Abi Hatim dan an-Nahas pada kitab Nasikhnya melalui sanad Ali dari Ibnu
Abbas, (sebenar-benar takwa kepadaNya) ialah berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar
jihad, tidak terpengaruh -pada jalan Allah- celaan orang yang mencela dan
menegakkan keadilan karena Allah, walaupun beresiko terhadap diri mereka, bapak
mereka dan ibu mereka. Tafsir ad-Dur al-Mantsur, III: 707.
Seorang yang berjihad itu siap jahdun dan juhdun,
bersungguh-sungguh dan berlelah-lelah. Jihad dan senang-senang itu seperti
dua kutub yang sulit bertemu.
Artinya yang mewujudkan “haqqo tuqotihi” bukanlah
sembarangan orang, namun hanya orang-orang pilihan. Mewujudkan ketakwaan yang
melebihi ikhtiyar orang lain sehingga tidak ada yang ditinggalkan sedikit pun.
Sebagaimana ungkapan pada Tafsir al-Manar:
أَيْ بَالِغُوا فِي
التَّقْوَى حَتَّى لَا تَتْرُكُوا مِنَ الْمُسْتَطَاعِ مِنْهَا شَيْئًا.
Ya’ni wujudkanlah ketakwaan dengan sangat, sehingga
kamu tidak meninggalkan dari apa yang mampu dilakukan darinya sedikit pun. Tafsir
al-Manar, IV: 18.
Mampukah kita melaksanakan rawatib? Beratkah? Maka
selama mampu, orang yang sungguh-sungguh bertakwa itu selalu dikerjakan selama
mampu.
Terkadang kita merasa dikejar-kejar waktu Ketika
beribadah shalat, malah menjadi alasan untuk menyederhanakan bahkan
meninggalkan shalat.
Selanjutnya ma’na, “Illaa wa antum muslimun”:
اِسْتَمِرُّوْا عَلَى
الإِسْلَامِ ، وَحَافِظُوْا عَلَى أَدَاءِ الوَاجِبَاتِ ، وَتَرْكِ الْمَنْهِيَّاتِ
حَتَّى الْمَوْتِ.
Terus meneruslah kamu dalam agama Islam dan
peliharalah melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan sampai
mati. Tafsir al-Maraghiy, IV: 16.
Tidak berhenti melaksanakan perintah dan terus-menerus
melaksanakan larangan sehingga berhenti saat meninggal dunia.
وَحَيْثُ كَانَ الْخِطَابُ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ كَانَ الْمُرَادُ إِيْجَابَ الثَّبَاتِ عَلَى الإِسْلَامِ إِلَى الْمَوْتِ.
Karena khitabnya kepada orang-orang beriman, maka
maksudnya mewajibkan tetap dalam agama Islam sampai mati. Tafsir Abu
as-Su’ud, Irsyad al-‘Aql as-Salim, I: 394.
وَهُوَ فِيْ الْحَقِيْقَةِ
نَهْيٌ عَنْ تَرْكِ الإِسْلَامِ.
Dan perintah tersebut pada hakikatnya merupakan larangan
meninggalkan agama Islam. Al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz, al-Wahidiy,
hal. 99.
وَفِيْ هذِهِ الآيَةِ
تَأْكِيْدٌ لِلنَّهْيِ عَنْ إِطَاعَةِ أَهْلِ الكِتَابِ.
Dan pada ayat tersebut penguatan larangan mentaati
ahli kitab. Tafsir al-Alusiy, Ruh al-Ma’aniy, III: 22.
فَاتَّقُوا اللَّهَ
مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْراً لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ
يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik
untuk dirimu. Dan barangsiapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, maka
mereka itulah orang-orang yang beruntung. Qs. At-Taghabun [64]: 16.
Jangan cepat-cepat mengatakan tidak mampu pada kewajiban,
maka ikhtiarkan dahulu hingga batas kemampuan.
Ada perbedaan dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan, sebagaimana hadis berikut:
فِي الصَّحِيحَيْنِ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اِسْتَطَعْتُمْ
وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ".
Pada dua kitab Shahih dari Abu Hurairah RA ia berkata:
Rasulullah saw bersabda, “Bila aku menyuruh kamu, maka lakukanlah menurut
kemampuanmu, dan apapun yang aku larang, maka tinggalkanlah.” Tafsir
Ibnu Katsir, VIII: 114.
Shalat wajib sambil berdiri, namun saat tidak bisa
berdiri maka bukan berarti boleh tidak shalat, tetapi laksanakanlah shalat
sambil duduk. Dan seterusnya.
Amar ma’ruf nahyi munkar itu tetap harus dilaksanakan,
maka wajib dengan tangan (kekuasaan). Namun jika tidak mampu, tidak punya
kekuasaan, bukan berarti kewajiban itu hilang, maka laksanakanlah semampunya.
Berbeda dengan melaksanakan perintah, maka dalam
menjauhi larangan itu harus totalitas.
Jangan menjadi “hailah”, alasan “mampu versi
kita”, maka mampunya adalah ukuran syari’at. Jangan dipahami “inhirof”, menyeleweng.
Seperti mengapa kita tidak rawatib, beralasan semampunya, padahal kita mampu.
Demikian diantara yang disampaikan oleh al-Ustadz
Hamdan Abu Nabhan (Anggota Tim Kesekretariatan Dewan Hisbah PP Persis) pada
Kajian Berkala Setiap Ahad IV Ba’da ‘Ashar yang diselenggarakan oleh PR Persis
Sukamanah bekerjasama dengan PC Pemuda Persis Pangalengan.
Kajian kali ini bertempat di Masjid Al-Hikmah 1 Citere
Hilir Sukamanah Cabang Pangalengan pada Ahad, 25 Desember 2022.
Contributor: abu akyas
Illustrator: Aditya Rahman
Media Partner: Prodakh Media Dakwah.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan