Suami
sebagai kepala rumah tangga, pemimpin, pengayom, penanggungjawab, guru, pemberi
teladan, pemberi perlindungan, penasihat, dan pengikhtiyar nafkah bagi
keluarganya tidak boleh tidak perlu menempatkan jerih payah menafkahi keluarga
sesuai dengan tuntutan Rabb-nya dan tuntunan Rasul-Nya; agar setiap Lelah menjadi
Lillah tanpa harus ada keluh kesah dan merasa bersalah ataupun berbangga diri
dengan gegabah.
Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”
(QS. An Nisa: 34).
Imam
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ‘dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka‘: “yaitu berupa mahar, nafkah dan
tanggungan yang Allah wajibkan kepada para lelaki untuk ditunaikan terhadap
istri mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/292).
Imam
An-Nawawi pada kitab fenomenalnya, Riyadlush Shalihin membuat satu judul
tentang BAB NAFKAH KEPADA KELUARGA. Beberapa ayat dan hadis beliau kutip
sebagai berikut:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِا لْمَعْرُوْفِ ۗ
"Dan
kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut." (QS. Al-Baqarah: 233)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak pada kitabnya, Tathriz Riyadlish Shalihin mengungkapkan
bahwa maksudnya, kewajiban ayah bagi seorang anak ialah menafkahi ibu anak
tersebut serta pakaiannya, baik ibu-ibu anak itu masih di dalam kekuasaanya
atau telah dicerai dengan baik, sedangkan nomimalnya sesuai dengan adat
kebiasaan yang berlaku bagi perempuan di daerahnya, tidak berlebihan dan juga
tidak kikir dengan sekadar kemampuannya.
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖ ۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّاۤ اٰتٰٮهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا
مَاۤ اٰتٰٮهَا ۗ
"Hendaklah
orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang
yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa
yang diberikan Allah kepadanya."
(QS. At-Talaq 65: 7)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan nafkah
kepada ibu yang menyusui. Ayat ini berlaku umum untuk semua macam nafkah.
Adapun
Syaikh
Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy Syanqithi mengatakan, “Para ulama menyatakan,
dalam ayat yang mulia ini, ada 2 perkara penting:
- Wajibnya nafkah, yaitu dalam
kalimat لِيُنفِقْ. Sehingga
memberi nafkah pada istri hukumnya wajib.
- Nafkah dikaitkan dengan keadaan
si suami. Jika suami adalah orang kaya, sesuai dengan apa yang
Allah karuniakan baginya dari kekayaannya. Jika suami miskin, maka
semampunya sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya dalam kondisi
miskin tersebut.”
Setelah
mengetahui wajibnya nafkah suami kepada istri, kita telaah apa yang dimaksud
nafkah. Nafkah atau an nafaqah secara bahasa artinya
pengeluaran. Dalam kitab Al Fiqhul Muyassar (1/337)
dijelaskan,
النفقة لغة: مأخوذة من الإنفاق، وهو في
الأصل بمعنى الإخراج والنفاد، ولا يستعمل الإنفاق إلا في الخير
“An
Nafaqah secara bahasa diambil dari dari kata al infaq, yang pada dasarnya
bermakna: pengeluaran. Dan kata al infaq ini tidak digunakan kecuali dalam hal
yang baik”.
Dalam Al
Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan:
وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف
قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها
“secara
syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi
tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok),
pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut.”
وَمَاۤ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ شَيْءٍ فَهُوَ
يُخْلِفُهٗ ۚ وَهُوَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ
"Dan
apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi Rezeki
yang terbaik." (QS. Saba' 34:
Ayat 39)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa maksudnya, Allah akan menggantinya, baik secara
langsung maupun bertempo.
٢٨٩/١- عن أبي
هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "دِينَارٌ
أنْفَقْتَهُ في سَبيلِ اللهِ ، وَدِينار أنْفَقْتَهُ في رَقَبَةٍ ، وَدِينارٌ
تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ ، وَدِينَارٌ أنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ ،
أعْظَمُهَا أجْراً الَّذِي أنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ." [صحيح] - [رواه مسلم]
1/289-Dari
Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu
'alaihi wa sallam- bersabda, "Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan
Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang
engkau berikan kepada orang-orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan
kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang
engkau nafkahkan untuk keluargamu." Hadis sahih - Diriwayatkan oleh
Muslim.
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa nafkah wajib
lebih besar pahalanya dari pada ibadah sunnah.
وعن أبي عبد الله، ويقال له: أبو عبد
الرحمن ثوبان بن بجدد مولى رسول الله ﷺ قال: قال رسول الله ﷺ: أفْضَلُ دِينَارٍ
يُنْفقُهُ الرَّجُلُ : دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ ، وَدينَارٌ يُنْفقُهُ
عَلَى دَابَّتِهِ في سَبيلِ الله ، وَدِينارٌ يُنْفقُهُ عَلَى أصْحَابهِ في سَبيلِ
اللهِ. (رواه مسلم)
2/290.
Dari Abu Abdillah-ada yang mengatakan namanya ialah Abu Abdir Rahman, Tsauban
bin Bujdud, hamba sahaya Rasulullah berkata, "Rasulullah bersabda, 'Dinar
yang diinfakkan oleh seseorang lelaki yang paling utama ialah dinar yang
dinafkahkan kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan kepada kendaraannya
untuk berjuang di jalan Allah, dan dinar yang dinafkahkan kepada
shahabat-sahabatnya untuk berjuang di jalan Allah'." (HR Muslim)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa memberi nafkah kepada keluarga disebutkan
lebih dahulu di dalam hadits ini karena ada perhatian lebih lantaran memberi
nafkah kepada keluarga paling mulia.
وعن أم سلمة ها، قالت: قلت: يَا رَسُول
الله ، هَلْ لِي أجرٌ فِي بَنِي أَبي سَلَمَة أنْ أُنْفِقَ عَلَيْهِمْ ، وَلَسْتُ
بِتَارِكتهمْ هكَذَا وَهكَذَا إنَّمَا هُمْ بَنِيّ ؟ فَقَالَ : « نَعَمْ ، لَكِ
أجْرُ مَا أنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ. (متفق عليه)
3/291.
Dari Ummu Salamah berkata, "Saya pernah bertanya, 'Ya Rasulullah,
apakah saya mendapat pahala jika saya menafkahi anak-anak Abu Salamah dan saya
tidak membiarkan mereka begitu saja seperti ini, sebab mereko tak lain adalah
anak-anak saya juga. Beliau menjawab, 'Ya, engkau memperoleh pahala dari apa
yang engkau nafkahkan kepada mereka." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa hadits ini sebagai dalil bahwa memberikan
nafkan kepada keluarga dan lainnya mendapatkan pahala, meskipun pemberian
nafkah tersebut sudah semestinya menjadi kewajibannya.
٢٩٢/٤-
وعن سعد بن أبي
وقاص في حديثه ة الطويل الذي قدمناه في أول الكتاب في باب النية: أن رسول اللہ ﷺ
قال له: وإنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إلا
أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ في فيِّ امرأتِك. (متفق عليه)
4/292.
Dari Sa'ad bin Abu Waqqash Ra meriwayatkan di dalam haditsnya yang panjang yang
telah kami uraikan di depan pada permulaan kitab, tepatnya dalam bab niat,
bahwa Rasulullah bersabda kepada Sa'ad, "Sesungguhnya tiada suatu
nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridaan Allah,
melainkan engkau pasti akan mendapatkan pahalanya sekalipun makanan yang engkau
berikan ke dalam mulut istrimu." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa hadits ini terdapat pesan bahwa segala
sesuatu yang dimaksudkan mencari keridaan Allah, maka pelakunya akan diberi
pahala meskipun melakukan cumbu-rayu.
وعن أبي مسعود البدري الله عن النبي قال: إِذَا
أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِيَ لَهُ صَدَقَة.
(متفق عليه)
5/293.
Dari Mas'ud Al-Badri Ra meriwayatkan dari Nabi Saw yang bersabda, "Jika
seseorang lelaki memberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat mengharapkan
keridhaan Allah, maka apa yang dinafkahkan itu merupakan sedekah baginya."
(Muttafaq 'alaih)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa hadits ini menjadi dalil bahwa memberi
nafkah kepada keluarga meskipun merupakan suatu kewajiban, hal ini menjadi
sedekah baginya apabila ia mengharapkan keridaan Allah.
وعن عبد الله بن عمرو بن العاص ما ، قال:
قال رسول الله ﷺكَفَى بِالمَرْءِ إثْمَاً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوت. (حديث صحيح رواه أبو أن داود وغيره)
6/294.
Dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash berkata, "Rasulullah bersabda, 'Cukuplah
seseorang dianggap berdosa, jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ditanggung
makannya." (HR Abu Dawud dan lain-lain.)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam
kitab shahih-nya dengan makna sebagaimana di atas, bahwa Rasulullah Saw
bersabda, "Cukuplah seseorang dianggap berdosa, jika ia tidak memberikan
makan orang yang menjadi tanggungannya."
Hadits
ini sebagai dalil besarnya dosa orang yang tidak mau memberi nafkah kepada
istri, anaknya, atau orang lain yang wajib diberi nafkah olehnya. Demikian pula
binatang kendaraanya.
وعن أبي هريرة : أن النبي ﷺ قال: مَا مِنْ
يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ إلا مَلَكانِ يَنْزلاَنِ ، فَيقُولُ أحَدُهُمَا :
اللَّهُمَّ أعْطِ مُنْفقاً خَلَفاً ، وَيَقُولُ الآخَرُ : اللَّهُمَّ أعْطِ
مُمْسِكاً تلَفاً. (متفق عليه)
7/295.
Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, "Tiada suatu hari
pun melainkan pada pagi harinya ada dua malaikat turun ke bumi, yang satu
berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang memberi nafkah,' sedang
malaikat lainnya berkata, 'Ya Allah, berikanlah kehancuran kepada orang yang
tidak mau menginfakkan hartanya'." (Muttafaq 'alaih)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa ganti di dalam hadits ini bisa berupa apa
saja mencakup harta, pahala, dan lain sebagainya. Sedangkan kehancuran dapat
mencakup harta itu sendiri atau kerusakan pada diri pemilik harta tersebut.
وعنه عن النبي ﷺ قال: اليَدُ العُلْيَا
خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى ، وَابْدَأ بِمَنْ تَعُولُ ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ
مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنىً ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ ، وَمَنْ
يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ. (رواه البخاري)
8/296.
Dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, "Tangan di atas
lebih baik dari pada tangan di bawah. Dan mulailah dahulu dengan keluargamu.
Sebaik baik sedekah ialah harta yang diberikan di luar kebutuhannya. Barang
siapa menahan diri dari meminta-minta, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya
dan barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan membuatnya cukup."
(HR Al-Bukhari)
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa tangan di atas ialah tangan orang yang
memberi sedangkan tangan di bawah ialah tangan orang yang meminta.
Syaikh
Faishal Alu Mubarak mengatakan bahwa Al-Hafizh berkata, "Kesimpulan hadits
di atas ialah bahwa tangan paling tinggi ialah tangan orang yang memberikan
infak, kemudian orang yang menjaga diri dari mengambil pemberian, kemudian
orang yang mengambil tanpa meminta, sedangkan tangan yang paling rendah ialah
tangan peminta-minta dan orang yang menolak.
Syaikh Faishal Alu Mubarak mengatakan
pula bahwa hadits ini mengandung beberapa faedah:
1. Kewajiban memulai dari orang yang
wajib diberi nafkah olehnya dan sesungguhnya sebaik-baik sedekah ialah
menyedekahkan harta kelebihan dari kebutuhannya dan orang yang ditanggungnya.
2. Anjuran untuk menjaga diri dari
meminta-minta dan anjuran untuk merasa cukup.
Wallaahu A’lam, abu akyas.
Illustrator: Kominfo PC Pemuda Persis Pangalengan (Raka
& Nazib).
Media Partner: At-Tahrik Media.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan