IDIOM BAHASA SUNDA SEBAGAI SUPLEMEN DALAM MEMBENTUK KARAKTER PEMIMPIN RUJUKAN UMMAT

 


Abstrak

Karya tulis ilmiah ini merupakan suatu usaha dalam menyajikan pembahasan mengenai aspek kehidupan bagi seorang pemimpin yang didasari oleh dua sudut pandang yang saling mengisi satu sama lain, yaitu sudut pandang bahasa sebagai hasil dari kebudayaan dan sudut pandang agama. Keduanya diolah sedemikian rupa, sebagai upaya dasar dalam membahas konsen mengenai pemimpin rujukan ummat. Adapun pembahasan dalam karya tulis ini, yaitu:1) Tujuan utama dari karya tulis ini, yaitu menyajikan suatu pandangan yang berbeda dalam pembahasan mengenai kepemimpinan, yang kemudian diharapkan dapat memberikan suatu gagasan dalam membentuk karakter seorang pemimpin yang ideal; 2) Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan perspektif kebudayaan; 3) Hasil serta pembahasan utama adalah bagaimana idiom dapat menjadi suplemen dalam membentuk karakter seorang pemimpin rujukan ummat, yang terdiri dari tiga idiom yang berasal dari bahasa Sunda; 4) Kesimpulannya, yaitu, bagaimana seorang pemimpin dapat mengimplementasikan idiom-idiom tersebut, agar dapat menjadi seorang pemimpin rujukan ummat yang ‘masagi’.

Kata kunci: Idiom, Pemimpin, Ummat.

 

Abstract

This scientific paper is an attempt to present a discussion of aspects of life for a leader based on two complementary points of view, namely the language point of view as a result of culture and the religious point of view. Both of them are processed in such a way, as a basic effort in discussing concerns regarding the reference leader of the ummah. The discussions in this paper are: 1) The main objectives of this paper are to present a different view in the discussion of leadership, which is then expected to provide an idea in shaping the character of an ideal leader; 2) The method used is a qualitative research method, using a cultural perspective; 3) The main results and discussion are how idioms can be a supplement in shaping the character of a reference leader of the ummah, which consists of three idioms originating from Sundanese; 4) The conclusion, namely, how a leader can implement these idioms, in order to become a 'masagi' ummah reference leader.

Keywords: Idiom, Leader, Ummah.

 


A.      PENDAHULUAN

Kehidupan kita tidak terlepas dari peran budaya yang menjadi fondasi dalam melaksanakan peran sebagai makhluk yang berfikir serta berakal dalam menghadapi arah perkembangan hidup yang senantiasa menciptakan pemikiran baru pada setiap peradabannya.

Budaya terbentuk dari komponen-komponen yang saling mengisi satu sama lain, dan setiap komponen tersebut memiliki peran yang sangat penting. Salah satu hasil dari kebudayaan, adalah terciptanya bahasa yang menjadi alat komunikasi satu sama lain, sehingga memudahkan kita dalam berkomunikasi. Lebih jauhnya, dengan adanya bahasa kita dapat menuangkan hasil pemikiran dalam media lisan serta tulisan.

Bahasa merupakan salah satu unsur dari ketujuh unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaningrat. Dalam menjelaskan isi kebudayaan, Koentjaningrat merujuk pada konsepsi Malinowski tetang unsur-unsur budaya universal, yaitu sebagai berikut: 1) bahasa, 2) teknologi, 3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, 4) organisasi sosial, 5) sistem pengetahuan, 6) religi, dan 7) kesenian. Pada dasarnya, bahasa menjadi sumbu utama dalam perkembangan antar unsur budaya tersebut.

Dalam Kitab Suci Al-Qur’an sendiri, pembahasan mengenai bahasa disinggung dalam Q.S Ar-Rum ayat 22 yang artinya “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”. Sangat jelas, Al-Qur’an sebagai pedoman yang tidak ada keraguan di dalamnya, telah menyajikan redaksi firman Allah, bagaimana bahasa diciptakan sebagai alat berkomunikasi bagi ummat-Nya.

Mengenai pembahasan karya tulis ini, adalah suatu usaha dalam menyajikan karya yang di dalamnya terdapat komponen yang saling mendukung satu sama lain, yaitu pembahasan antara keluhungan bahasa dengan pembentukan karakter pemimpin yang akan menjadi seorang pemimpin rujukan ummat. Dalam hal ini, pemimpin rujukan ummat merupakan seseorang yang dapat menjadi cerminan dengan segala keilmuan agamanya, yang akan menuntun dirinya serta ummat agar dapat mengamalkan segala perintah dan larangan, sesuai dengan Al-qur’an dan As-sunnah. Selain itu, pemimpin rujukan ummat merupakan sebagian aspek dari tema besar dalam kegiatan Persada VIII yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Pemuda Persatuan Islam Kabupaten Bandung pada tahun 2021 ini, dengan tema umum “Pemuda Persis sebagai Pemimpin Rujukan Ummat”.

Dari penjabaran-penjabaran yang telah  diuraikan sebelumnya, memberikan suatu gagasan untuk menyusun suatu karya yang didasari oleh pandangan hasil kebudayaan terhadap suatu tujuan untuk membentuk karakter pemimpin yang kelak akan menjadi rujukan ummat. Aspek bahasa yang digunakan dalam pembahasannya, yaitu konsen mengenai Idiom yang merupakan bagian dari ilmu bahasa. Pada puncak pembahasaannya, akan dibahas mengenai idiom yang berasal dari bahasa Sunda, yang mana bahasa Sunda sendiri memiliki kekayaan bahasa yang sangat luas dan memiliki arti yang mendalam.

Mengenai idiom, Alwasilah (2009:126) membicarakan pengertian dan wujud idiom. Dikatakan bahwa idiom merupakan kelompok kata-kata yang mempunyai makna tersendiri yang berbeda dari makna tiap kata dalam kelompok itu, sedangkan wujud idiom dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Contohnya, besar kepala. Di sini besar kepala bukan bagian kepala yang besar atau sebaliknya melainkan makna idiom dari besar kepala yaitu sombong.

Keraf (2001:97) menyebutkan idiom dibicarakan dalam kaitannya dengan pendayagunaan kata dan kesesuaian pilihan kata. Dikatakan bahwa idiom disejajarkan dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia. Untuk mengetahui makna idiom harus mempelajarinya sebagai penutur asli, tidak mungkin lewat kata-kata yang membentuknya. Misalnya seorang asing yang sudah mengetahui makna kata makan dan tangan, tidak akan memahami makna frasa makan tangan. Siapa yang berpikir bahwa makan tangan sama artinya dengan kena tinju atau beruntung besar? Dan selanjutnya idiom-idiom yang mempergunakan kata makan seperti: makan garam, makan hati (berulam jantung), makan suap, dan sebagainya hanya bisa dimengerti bila diberitahu bahwa artinya adalah berpengalaman dalam hidup, bersusah hati, (karena perbuatan orang lain), menerima uang sogok, dan sebagainya. Jadi, idiom menurut Keraf (2001:98) adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa umum, biasanya berbentuk frasa sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembahasan para ahli bahasa mengenai idiom dalam bahasa Indonesia belum ada yang mendalam dan terperinci walaupun hakikat idiom pada umumnya sama. Dalam kata lain, begitu pun dalam bahasa Sunda yang akan menjadi konsen dalam karya tulis ini. Dengan demikian, idiom adalah gabungan kata yang berupa frase maupun kalimat yang maknanya tidak dapat disimpulkan dari unsur yang membentuk gabungan tersebut.

Menurut Chaer (2007:296) idiom terbagi atas dua jenis yaitu idiom penuh dan idiom sebagian, yaitu sebagai berikut:

a.      Idiom Penuh

Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Misalnya, ringan tangan berarti suka membantu.

b.     Idiom Sebagian

Idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, gelap gulita berarti situasi yang sunyi. Tangan besi berarti kuasa karena kekerasan.

Dengan kata lain idiom ialah sekelompok kata, dua buah kata atau lebih untuk menyatakan suatu maksud yang mempunyai asumsi, serta memiliki kiasan. Ungkapan dapat ditemukan, dan digunakan dalam bahasa sehari-hari, maupun karangan jika dibandingkan dengan peribahasa. Dalam kaitannya, memiliki dua unsur yang saling mengisi satu sama lain, yaitu unsur inti dan unsur penjelas.

 

B.      METODE PENELITIAN

Dalam menyusun karya tulis ini, peneliti menggunakan metode penelitian dengan metode penelitian kualitatif, karena dirasa tepat dengan bahan serta arah pembahasan yang akan disajikan.

Menurut Strauss dan Corbin dalam Cresswell, J. (1998:24 ), yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain. Salah satu alasan menggunakan pendekatan kualitatif adalah pengalaman para peneliti dimana metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi dibalik fenomena yang kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.

Bogdan & Biklen, S. (1992: 21-22) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasil kan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang sifatnya umum terhadap kenyataan sosial dari perpektif partisipan. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi didapat setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian. Penelitian kualitatif juga disebut dengan : interpretive research, faturalistic research, phenomenological research.

Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Di antara dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah dengan menerapkan pendekatan kebudayaan.

Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.

 

C.      HASIL DAN BAHASAN

Pada hasil penghimpunan data yang telah didapat, maka akan dipaparkan pembahasannya pada  berikutnya.

 

1.    Idiom Tong Lali kana Purwadaksi sebagai Prinsip Dasar Seorang Pemimpin

Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita sering mendengar ungkapan tong lali kana purwadaksi atau sing inget kana purwadaksi, secara harfiah artinya jangan lupa serta ingatlah terhadap puwadaksi. Kata purwadaksi sendiri memili nilai filosofis yang amat mendalam, yang telah dijadikan sebagai salah satu ungkapan sebagai pandangan hidup. Yang secara istilah memiliki arti bahwa kita harus mengetahui asal usul diri kita, seperti dari mana asal dan akan ke mana kita kembali. Dalam kehidupan tentu kita dihadapkan atas awal kehidupan serta akhir dari kehidupan yang akan mendatang. Kita tidak serta merta hidup begitu saja, namun harus memaknai atas segala sesuatu yang telah, sedang, dan yang akan kita jalani.

Dari kamus Umum Bahasa Sunda, kata purwadaksi berasal dari kara purwa yang berarti wiwitan atau awal dan daksi yang berari wekasan atau akhir. Secara umum, kata purwadaksi memiliki arti bahwa akan ada awal dan akhir dari segala sesuatu. Tentu, ini merupakan ungkapan sejak zaman dahulu yang sering diungkapkan oleh para pendahulu nenek moyang kita, yang memiliki konotasi sebagai pengingat atas diri kita. Lebih jauhnya, ungkapan tersebut menjadi sebuah lecutan agar kita dapat mehahami diri serta jiwa kita secara mendasar, dan kita dapat memahami diri kita seutuhnya.

Pada hakikatnya, tidak setiap orang dapat merepresentasikan apa yang ada dalam dirinya, meski hanya mendeskripsikan sebagian kecil mengenai dirinya sendiri. Yang pada akhirnya, kekurangpahaman atas dirinya sendiri, membawa dirinya ke arah yang tidak semestinya. Karena ketidaktahuan atas apa yang ada dalam dirinya dapat menyebabkan mudah terbawanya oleh arus yang tak bermuara, dan aliran yang tak berhulu.

Secara khusus, penjabaran mengenai purwadaksi mencakup ke dalam tiga pertanyaan, yaitu: 1) dari mana kita berasal?, 2) untuk apa kita hidup?, 3) dan ke mana kita akan kembali?. Adapun uraiannya sebagai berikut:

a.      Dari mana kita berasal?

Mengenai pertanyaan tersebut, Allah telah berfirman dalam ayat-ayat-Nya, hingga dijelaskan mengenai proses penciptaan manusia di beberapa ayat. Namun berikut ini merupakan sebagian dari ayat-ayat penciptaan, yaitu: Surah Al-Insan ayat 2, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat,”. Kemudian dalam Surat Al-Baqoroh ayat 30, Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi....”.

Dari ayat-ayat tersebut telah jelas, bahwa kita merupakan makhluk yang diciptakan oleh Sang Kholik.

b.      Untuk apa kita hidup?

Setiap orang memiliki tujuannya masing-masing, memiliki porsi kemampuan dan kekurangannya masing-masing, serta memilik cara sendiri dalam mengarungi segala sesuatunya. Namun Allah Swt. telah menjelaskan dalan firman-Nya, yaitu dalam Surah Ad-Dzariyat ayat 56 yang artinya “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”. Dalil tersebut merupakan dalil populer yang tidak jarang telah dipelajari sejak dari Madrasah Diniyyah hingga pengajian-pengajian.

c.      Ke mana kita akan kembali?

Dalam menjawab perntanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus memahami dari pertanyaan pertama dan kedua, karena dari kedua aspek tersebut yang akan membawa arah tujuan akhir kita akan ke mana. Apakah hidup kita hanya untuk penghidupan dunia saja? Atau hidup kita didasari pula oleh keakhiratan.

Dari ketiga aspek tersebut, kita harus memahaminya satu persatu serta keseluruhan. Karena dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita akan mendapatkan jawaban bagi diri kita sendiri. Pada hakikatnya, hanya kita yang mampu memahami secara utuh apa yang ada dalam diri kita, bagaimana cara berfikir kita, dan bagaimana tindakan yang harus diambil dalam menghadapi sesuatu. Pandangan orang lain menjadi sebuah stimulus atas apa yang nampak dari diri kita. Maka ketika berbicara pemimpin, seorang pemimpin pemikirannya harus telah sampai ke ranah tersebut.

Sebagaimana termaktub dalam hadits yang popular, “setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya”. Sebelum masuk terhadap apa tugas seorang pemimpin, seseorang harus paham terlebih dahulu atas dirinya sendiri serta harus bisa menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Tentu hal tersebut bukanlah hal yang mudah, karena membutuhkan ilmu dan pengetahuan yang luas. Dengan demikian, bahwa dalam menerapkan konsep purwadaksi, kita pun dituntut untuk terus menerus menimba ilmu dan membendung diri kita dari ketidaktahuan.

Dalam membentuk karakter seorang pemimpin, atau bahkan diri kita sendiri, sangat banyak asupan yang harus kita gali. Karena bukan hanya dihadapkan terhadap sistem, sumber daya manusia, serta aksi. Tetapi kita dituntut agar dapat memahami apa yang ada disekitar kita, baik itu kehidupan pribadi, atau saat berinteraksi dengan orang lain. Hal tersebut dapat kita cerna dari diskusi-diskusi bermakna mengenai ilmu kehidupan yang ada di masyarakat. Karena bagi seorang pemimpin, masyarakat serta kehidupan di sekitar merupakan ilmu berjalan yang harus dijemput penjelasannya.

Ketika berbicara mengenai keummatan, seorang pemimpin tentu saja harus memahami banyak mengenai ilmu agama, serta harus juga banyak memahami ilmu hidup yang ada pada kehidupan ummat itu sendiri. Sebelum menjadi pribadi yang akan menjadi panutan serta rujukan ummat, pasti ummat pun akan mencari lalu menilai karakter pribadi yang seperti apa yang harus didengarkannya. Maka tidak serta merta kita dapat menyampaikan ilmu dengan begitu saja kepada ummat, tanpa didasari oleh informasi mengenai situasi dan kondisi yang ada pada ummat.

Dari penjabaran mengenai purwadaksi, seorang pemimpin yang akan menjadi rujukan ummat, bida menjadikan pandangan mengenai 3 pertanyaan utama terkait konsep purwadaksi sebagai ilmu dalam memahami keummatan dan menjadikannya peluru dalam menyampaikan dakwah terhadap ummat. Karena yang disampaikan merupakan konsep dasar dalam memahami kehidupan, serta acuan dalam mencanangkan tujuan kita serta ummat dalam kehidupan.

Selain pandangan-pandangan yang telah disampaikan, konsep purwadaksi dalam islam yang dirasa sesuai dengan pembahasan, yaitu adanya kesadaran dalam melaksanakan norma serta aturan agama. Bagaimana kita tidak dapat melakukan sesuatu secara begitu saja, semuanya harus dikembalikan pada pedoman dalam beragama, tiada lain harus sesuai dengan Kitab Al-Qur,an serta Sunnah Rasulullah Saw. Sebagaimana ternukil dalam sebuah hadits yang artinya, Dari Katsir bin Abdillah dari ayahnya dari kakeknya r.a, ia berkata; sesungguhnya Rasulullah Saw. Telah bersabda; “Aku telah tinggalkan bagimu dua urusan, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya” (H.R Imam Malik).

Hal tersebut senada dengan poin ke lima pada Bai’at Anggota Pemuda Persatuan Islam, yaitu “Akan senantiasa taat kepada Allah, Rasul, dan Pemimpin kami selama tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Maka oleh sebab itu, Pemimpin Rujukan Ummat yang memahami konsep yang berdasarkan idiom purwadaksi sangat perlu dipahami oleh seluruh kader Pemuda Persatuan Islam. Darena dalam menyampaikan dakwah, kita dituntut menjadi pribadi yang siap dari ilmu agama serta ilmu kehidupan yang terdapat di masyarakat. Begitupun ketika kita berbicara pemimpin secara umum.

 

2.    Idiom Hadé Gogog Hadé Tagog sebagai Prinsip dalam Tindakan

Setelah kita dapat memahami idiom tong lali kana purwadaksi, maka ada idiom selanjutnya yang menjadi tugas dari masing-masing pemimpin rujukan ummat. Yaitu hadé gogog hadé tagog, yang merupakan suatu kiasan dari dasar tindak yang akan kita lakukan.

Hadé gogog hadé tagog mempunyai arti selain dari memiliki rupa dan jiwa yang tegas dan rupawan, juga memiliki budi pekerti dan sikap yang terpuji. Dalam arti lain, yaitu memiliki jiwa yang tegas dalam berbicara dan memiliki kepribadian yang kharismatik.

Dalam melakukan suatu tindakan, kita tidak dapat serta merta melakukan dengan seenaknya, kita harus memahami sebab dan akibat yang akan kita lakukan. Semuanya penuh pertimbangan akan manfaat bagi diri sendiri. Di sisi lain, kita pun harus menjaga sikap kita dalam bertindak, karena kita hidup di negara yang someah yang ramah dan hangat sikapnya,  serta menjunjung tinggi norma serta aturan yang berlaku.

Dalam memahami idiom hadé tata hadé basa ada idiom atau pribahasa Sunda lainnya yaitu tunggul tong dirurud catang tong dirumpak  yang artinya kita pun harus menjaga lingkungan di sekitar, jangan sampai merusaknya, karena selain kita harus menghormati sesama sebagai makhluk, kita pun harus menghargai apa yang ada di sekitar, dengan menjaga alam, melindungi hewan, dan menjaga kelestariannya.

Idiom tersebut sangat relevan bagi seorang pemimpin yang akan menjadi rujukan ummat, karena ummat juga akan menilai serta mendengar dari apa yang disampaikan oleh panutannya. Dalam kata lain dalam istilah agama, yaitu dapat menjadi seorang uswah hasanah, sebagaimana banyak tergambar dalam pribadi Rasulullah Saw. Ayat mengenai uswah hasanah terdapat dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik (uswah hasanah) bagimu.” Pada konteks luasnya, ayat tersebut juga ditujukan kepada kita selaku ummat-Nya.

Hal ihwal menjadi seorang uswah hasanah, terkandung juga dalam Bai’at Anggota Pemuda Persatuan Islam pada poin pertama, yaitu “Senantiasa bersedia menjadi hamba Allah yang mengamalkan syari’ah Islam dengan semestinya, penuh tanggung jawab, menjadi uswatun hasanah bagi keluarga dan masyarakat dalam aqidah, ibadah dan muamalah.”

Kenapa kita harus memahami konsep hadé gogog hadé tagog? Karena sebagai pemimpin akan didengar jika budi pekertinya bagus. Selain itu, apa yang disampaikannya itu dapat dicontohkan juga dalam kehidupannya sehari-hari. Selantang apapun yang kita sampaikan, itu akan terasa kurang diterima jika kita tidak memiliki kharisma dalam diri kita, begitupun sebaliknya. Ibarat kita menyampaikan ilmu yang bersifat praktis terhadap orang lain, tetapi diri kita sendiri pun belum melakukannya sama sekali.

Kembali lagi, bahwa semuanya harus didasari oleh keilmuan. Karena kita harus bertindak berdasarkan ilmu, kita berbicara harus berdasarkan ilmu, jangan sampai kita malah menyesatkan dan menyampaikan suatu ilmu yang tidak memiliki dasar sama sekali. Karena hadé gogog hadé tagog pun harus murwadaksi, harus sesuai dengan asal muasal atas apa yang akan dilakukan, serta memahami akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang kita sampaikan.

Sebagaimana kutipan dari John C. Maxwell “Kompetensi lebih dari sekedar kata-kata. Kompetensi adalah kemampuan seorang pemimpin untuk berkata-kata, membuat rencana, dan bertindak sedemikian rupa hingga orang lain mengetahui bahwa pemimpin ini mengetahui caranya dan orang lain itu juga mengetahui bahwa ia mengikuti pemimpin itu”.

 

3.    Idiom Hadé Tata Hadé Basa sebagai Prinsip dalam Komunikasi

Hadé tata hadé basa merupakan idiom pelengkap bagi seorang pemimpin, setelah ia paham atas pandangan hidupnya, lalu paham terhadap konsekuensi tindakannya, maka cara menyampaikan itu semua dengan ucapan harus dapat diterima oleh khalayak. Oleh karena itu seorang pemimpin harus mampu bersikap dan berbicara sesuai dengan kaidah norma bahasa yang berlaku. 

Maka dalam ungkapan lainnya yaitu nyaur kudu diukur nyabda kudu diunggang, yang artinya seorang pemimpin dapat mengendalikan lisannya, dapat menyampaikan maksud dan tujuan yang benar dari ucapannya, sehingga dapat dimengerti oleh orang lain. Hal tersebut harus tempuh, jangan sampai menyampaikan hal yang dapat menyebabkan kegaduhan serta dapat menyakiti salah satu pihak.

Maka setiap ucapannya harus penuh dengan kelembutan dan mudah dimengerti, ketika harus tegas maka ia akan tegas tanpa kesombongan. Dalam artian, harus dapat menyesuaikan seni dalam berbicara, ia harus paham ketika dihadapkan dengan lawan bicara sebaya, lebih tua, dan yang lebih muda. Lalu pada akhirnya, apa yang ia sampaikan dapat diterima oleh semua kalangan. Tugas lainnya yaitu sebagimana idiom lainnya, saur kudu diukur, reka basa tong pasalia yang artinya seorang pemimpin mampu mengukur apa yang disampaikannya, serta menata dengan baik penggunaan bahasa serta diksi dalam berbicara.

Adapun ketika harus tegas dalam artian mengingatkan dengan menggunakan nada yang tinggi, ia akan memohon maaf atas tindakannya tersebut. Seperti tergambar dalam ungkapan luhur saur bahé carek yang berarti bahasa yang tinggi serta seolah menasehati, bukan berarti ia merasa paling benar, namun mencoba menyampaikan ilmu, misalnya ketika berdawah, penuh dengan penekanan agar menjadi bahan muhasabah bagi semua, bukan berarti dalam rangka menggurui.

Dalam satu hadits termaktub, yang artinya “Seorang muslim adalah di mana muslim lainnya selamat dari lisan dari dari tangannya (kuasanya)”. Oleh karenanya, pemimpin yang akan menjadi rujukan ummat harus pula memegang teguh dalil tersebut. Karena sehebat apapun yang kita sampaikan, ketika menyinggung atau menyakiti hati orang lain, tentu akan mendapat penilaian yang sedikit berbeda, bahkan samapi kepada hilangnya respek.

Karena bagi Pemuda Persatuan Islam sendiri, mengamalkan poin kedua dari Ba’iat Anggota yang berbunyi “Bersedia menjadi mujahid dakwah yang akan memelihara dan memakmurkan masjid serta membasmi kemungkaran, bid’ah, khurafat, takhayul, taqlid, dan syirik demi pemurnian ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Harus memahami pola komunikasi terlebih dahulu, agar dapat diterima serta dipahami oleh oleh ummat.

Di sisi lain, Gilbert Amelio, beliau berpendapat bahwa “Mengembangkan keterampilan komunikasi sangat penting agat kita bisa memimpin dengan efektif. Sang pemimpin harus bisa membagikan pengetahuan dan pemikirannya untuk menciptakan desakan serta antusiasme dalam diri orang lain. Jika seorang pemimpin tidak bisa menyampaikan pesannya dengan jelas dan tidak dapat memotivasi orang lain untuk menindaklanjutinya. Maka memiliki pesan untuk disampaikan pun menjadi percuma.

Pada intinya, seorang pemimpin rujukan ummat harus memahami pola komukasi agara dapat menyampaikan pesan, dan meminimalisir kesalahpahaman. Selain itu, komunikasi dapat melancarkan segala urusan, baik itu diplomasi, birokrasi, atau membangun relasi secara luas. Oleh karenanya sangat penting sekali pemimpin dapat menerapkan idiom hadé tata hadé basa  dalam dirinya ketika berkaitan dengan komunikasi.

 

D.      PENUTUP

Pada akhirnya sampai kepada kesimpulan di mana seluruh idiom-idiom tersebut harus disatupadukan oleh seorang pempimpin. Karena semuanya harus diimplementasikan sebagai prinsip dasar dalam membentuk karakter, sehingga karakter yang dihasilkan dapat menjadi pelengkap bagi pemimpin rujukan ummat.

Pemuda Persatuan Islam telah memiliki strategi sendiri dalam menyiapkan kader-kadernya agar menjadi pemimpin rujukan ummat, namun peneliti merasa bahwa tidak salahnya melengkapi keilmuan tersebut oleh pandangan hidup yang berasal dari budaya kita sendiri. Keadiluhungan yang terkandungnya dapat didalami lebih lanjut, dalam pembahasan ini hanya sebatas mengemukakan pendapat mengenai sumplemen penting untuk membentuk karakter yang kuat. Dari sudut pandang agama, konsep tersebut dapat diterima, begitupun sebaliknya. Karena pandangan yang disajikan bukan suatu hal yang menjurus terhadap budaya praktis yang bermuatan kemusyrikan.

Harapan yang ingin disampaikan, yaitu bahwa karya tulis ini dapat menjadi bacaan yang dapat memberikan suplemen bagi setiap pembacanya. Sehingga dapat memberikan suplemen dalam membangun fondasi pemimpin yang Masagi”. Pemimpin yang masagi merupakan gambaran dari pemimpin yang dapat mengimplementasikan setiap ilmu yang didapatnya dari berbagai sisi atau multidisiplin ilmu, lalu dapat mengamalkan dalam kehidupannya. Dalam arti luas pemimpin yang teu lali kana purwadasi, hadé gogog hadé tagog, hadé tata hadé basa, pemimpin yang memahami konsep kausalitas secara substansial, serta dapat merepresentasikan dalam tindakannya yang penuh dengan kharisma, serta dapat menyampaikan ucapannya secara baik dan benar.

Maka dengan suplemen-suplemen tersebut, selain akan membentuk pemimpin masagi, akan membentuk karakter yang berpegangan terhadap idiom sacangreud pageuh sagolék pangkék. Yaitu suatu sikap yang tegas, konsisten, menepati janji, serta berpegang teguh terhadap kebenaran.

Seluruh aspek yang telah dijabarkan, sangat dianjurkan untuk dikaji, selain terus menambah wawasan ilmu agama, diimbangi juga oleh ilmu hidup. Menjadi pemimpin rujukan ummat, bukanlah suatu hal yang mudah, oleh karena itu teruslah berkembang dan terus mengasah pengetahuan agar lebih berkualitas.

 

UCAPAN TERIMA KASIH

Mangrupikeun salah sawios kabingahan, bingah amarwata suta, bingah kagiri-giri, tiasa ilubiung dina pasanggiri Karya Tulis Ilmiah dina raraga ngareuah-reuah PERSADA VIII. Seja ngahaturkeun sewu nuhun ka pihak anu baris ngarojong kana guaran karya tulis ieu, diantawisna nyaéta réng-réngan Pemuda Persis PC. Pangalengan anu parantos maparin kamandang. Hapunten tina sagala rupi kakirangan, boh dina reakaan basa, kitu deui  wangun kecap nu kirang mernah. Mugia tiasa janten girang kaélmuan kanggé urang sadayana.

Merupakan suatu kebahagiaan, kami dapat berpartisipasi dalam lomba Karya Tulis Ilmiah dalam rangka menyambut serta menggembirakan PERSADA VIII. Terima kasih terhadap pihak yang telah mendukung dalam penyusunan karya tulis ini, diantaranya yaitu keluarga Pemuda Persis PC. Pangalengan atas saran pandang yang telah diberikan. Mohon maaf dari segala kekurangan, baik itu dari penggunaan bahasa maupun pemilihan diksi yang kurang tepat. Semoga dapat menjadi sumber keilmuan bagi kita semua.

PERSADA VIII, Rongkah !

Karya : 

1. Najmy Adilla Syafruddin, PC. Pangalengan, PJ. Al-Ittifaq
2. Irfan Sofian Haidir, PC. Pangalengan, PJ. Al-Ittifaq

DAFTAR SUMBER

Buku

Danadibrata, R.A. 2015. Kamus Basa Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.

LBSS. 2007. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Geger Sunten.

Maxwell, John C. 2009. 21 Ciri Pokok Seorang Pemimpin. Surabaya: Mic Publishing.

Pemuda Persis, PP. 2015. Qaidah Asasi Qaidah Dakhili Pemuda Persatuan Islam 2015-2020. Bandung: Pimpinan Pusat Pemuda Persatuan Islam.

Zakaria, A. 2006. Al-Hidayah: Edisi Kompilasi. Garut; Ibn Azka Press.

Artikel

Atma Pratiwi, 2018. Heppy. Idiom Pada Rubrik Berita Nasional Kategori Pendidikan Dalam Cnnindonesia.com. Pena Literasi, 1 (1), 2-3.

Saepul Rahmat, Pupu. 2009. Penelitian Kualitatif. Equilibrium, 5 (9), 2-3.

Siti Fitriani, Rani. 2016. Efeumisme Dalam Bahasa Sunda Sebagai Pendidikan Karakter. Deiksis, 3 (1), 82.

Sumarto. 2019. Budaya, Pemahaman dan Penerapannya “Aspek Sistem Religi, Bahasa, Pengetahuan, Sosial, Keseninan dan Teknologi”. Literasiologi, 1 (2), 148-151.

Artikel Surat Kabar

Irawan, Tito (1425 H/2004 M, Rabiuts Tsani). Bila Keimanan Yang Menimpin. Al-Qudwah, hlm 4-5.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama