PEMBUKTIAN IMAN BUKAN SEKEDAR ANGAN

 

Pentingnya Iman

Iman merupakan pondasi keislaman seseorang kualitasnya merupakan jaminan dan berdampak besar pada perilaku sehari-hari, karena kedudukan iman bukan terletak pada perkataan dan perbuatan melainkan pada hati yang kemudian menjadi langkah sikap dan kepribadian mengambil batasan-batasan hidup berlandaskan syariat Islam. Secara definisi bahasa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan pengertian iman merupakan pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Karena lafadz iman adalah fi’il lazim (kata kerja yang tida membutuhkan objek), sedangkan tashdiq sendiri adalah fi’il muta’addi (membutuhkan objek).[1]

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ ٨٢

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk (al-An’am: 82).

Kesucian iman mesti selalu terjaga jangan sampai tercampur dengan keyakinan yang menjerumuskan pada kesesatan yaitu menyekutukan Allah swt ataupun menjadikan sesuatu lebih penting daripada urusan iman itu sendiri. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini bahwa yang dimaksud dengan beriman dan tidak mencapuradukkan dengan kezaliman (syirik) adalah beribadah secara ikhlas kepada Allah semata dan tidak sama sekali menyekutukan-Nya sampai hari kiamat serta dijamin mendapat petunjuk ketika di dunia maupun di akhirat kelak.[2]

Penjelasan diatas menjadi penegasan bahwa ternyata iman bukan semata-mata mengikrarkan tiada Tuhan selain Allah dan yang lainnya, melainkan merelakan secara sempurna dari mulai pola pikir hingga tindakan untuk selalu menerima dan tunduk pada aturan syariat Islam. Kesucian iman ini jangan sampai tercampur dengan beragam kepentingan dan hawa nafsu yang menjadikan sesuatu lebih penting daripada Iman itu sendiri yakni ikhlas dalam mengamalkannya dengan jaminan mendapat petunjuk ketika di dunia hingga akhirat kelak.

Iman mesti dibuktikan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika menjelaskan ayat diatas beliau memberikan pendapat bahwa kedzaliman yang dilakukan seseorang pada dirinya sendiri adalah berlaku syirik kepada Allah swt sehingga tidak akan mendapat petunjuk dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada dasarnya hal ini merupakan pengejawantahan dari golongan manusia yang diwarisi kitab suci al-Qur’an dan akan terlihat kualitas iman seseorang kepada Rabb ‘Azza wa Jalla mengacu kepada aktivitas mereka ketika mengamalkan beragam syariat di kehidupan sehari-hari, selengkapnya dalam surat Fatir ayat 32 sebagai berikut.

ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚوَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ ۚوَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ ٣٢

Kemudian, Kitab Suci itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu, di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Itulah (dianugerahkannya kitab suci adalah) karunia yang besar.

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini bahwa al-Qur’an akan diwariskan kepada tiga golongan antara lain:

1)    Golongan lalai

Dalam ayat ini disebutkan ada sebagian manusia yang melalaikan kewajiban atasnya tetapi mengerjakan sebagian hal-hal diharamkan dan golongan ini termasuk pada keadaan mendzalimi diri sendiri.

2)   Pertengahan

Golongan manusia berikutnya yang membuktikan imannya adalah mereka menunaikan hal-hal yang diwajibkan atas dirinya dan meninggalkan perkara haram, tetapi adakalanya meninggalkan sebagian dari urusan sunnah dan mengerjakan hal-hal makruh.

3)   Totalitas

Adalah mereka yang mengerjakan semua kewajiban dan hal-hal yang disunatkan, meninggalkan baik perkara haram maupun makruh.

Ali bin Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini bahwa golongan pertama telah menganiaya diri sendiri dengan lalai terhadap perintah-Nya akan diampuni, adapun mereka yang berada dipertengahan akan dihisab dengan ringan dan selanjutnya golongan cepat dalam mengerjakan kebaikan akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.[3] Pendapat tersebut memperlihatkan betapa besarnya kasih sayang Allah swt kepada umat Nabi Muhammad saw yaitu dengan Maha Bijaksana-Nya memberikan keputusan keselamatan akhirat disesuaikan dengan kualitas iman yang dimiliki.

Tafsir al-Munir memberikan tafsir ayat ini adalah ketika al-Qur’an selesai diturunkan kepada Muhammad saw yang disampaikan kepada para sahabat dan umatnya selama itu pula mereka merupakan umat terbaik diantara manusia (ali-Imran: 110) mereka yang memilih dan melaksanakan golongan ketiga merupakan anugrah terbesar disisi Allah swt.[4]

 

Sebenar-benarnya Mu’min

۞ قَالَتِ الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۗوَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٤

Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami baru berislam’ karena iman (yang sebenarnya) belum masuk ke dalam hatimu. Jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amal perbuatanmu.” Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini adalah wahyu tentang sekelompok orang dari Bani Asad bin Khuzaimah yang datang kepada Rasulullah SAW di tahun kelaparan dan kemudian mereka menunjukkan keislamannya tetapi hati mereka tidak beriman. Mereka mengotori jalan-jalan Madinah dengan kotoran, menaikkan harga dan berkata; Orang Arab mendatangi Anda dengan sepeda mereka sendiri, kami mendatangi Anda dengan beban, keluarga dan keturunan kami tidak seperti Bani Fulan dan Bani Fulan. Mereka berkata bahwa mereka merasa telah membantu Nabi Muhammad dan menginginkan sedekah; kepada kami. Kemudian Allah menurunkan ayat ini tentang mereka.[5]

Pemaparan diatas menunjukan iman mesti tahan uji baik ketika lapang maupun sempit sehingga berserah diri yang merupakan arti dari islam itu sendiri mesti totalitas semata-mata mengharap ridho Allah swt. Semua amal shaleh yang diperbuat bukan diniatkan untuk membantu terhadap apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw kepada umatnya melainkan menjadi penyelamat di dunia dan syafaat kelak di akhirat, bentuk ujian dari Allah swt sejatinya merupakan bentuk kasih sayang kepada umat-Nya untuk mengetahui iman sebagai hal fundamental terhadap keislaman seseorang dan dihadapi dengan sabar secara aktif bukan meratapi ujian yang diberikan.

Pembuktian iman tidak sebatas pengakuan dan kepercayaan terhadap Allah sebagai Dzat yang patut disembah melainkan mesti diikuti oleh aktualisasi keimanan itu sendiri dengan sempurna yaitu ishlahul aqidah (dengan jalan membasmi khurafat, tahayyul, dan syirik di kalangan umat Islam), ishlahul ibadah (dengan jalan membasmi bid’ah dan taqlid serta membimbing umat dengan tuntunan al-Qur’an dan Sunnah), ishlahul muamalah (dengan jalan membimbing umat dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya atas dasar al-Qur’an dan Sunnah) dan ishlahul khuluqil ummah (degan jalan memperbaiki akhlaq masyarakat).[6] Prinsip tersebut berlaku diamalkan baik secara individu maupun kelompok dengan tujuan membumikan al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap aspek kehidupan sehingga tercapai islam sebagai kasih sayang Allah terhadap alam semesta.

Wallahu ‘alam bii shawwab.

Kontributor: Ustadz Fahrevi Firdaus (Bidang Dakwah PC Pemuda Persis Pangalengan)

Ilustrator: Aditya Rahman.


[1] Lihat Syarh al-Arbain, hal.34

[2] Lihat Fathul Majid syarah Kitabuttauhid, hal. 23

[3] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, VI: 547

[4] Lihat Tafsir al-Munir, 11: 607

[5] Lihat Tafsir Ma’alim at-Tanzil, IV: 196, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. XVI: 315.

[6] Shidiq Amien, Panduan Hidup Berjamaah, Bandung: Persis Pers, 32-39

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama