KEUTAMAAN MENGAJARKAN AL-QUR'AN



MUQADDIMAH:
Sungguh para sahabat Nabi saw. mengerti dan memahami bahwasanya mereka adalah orang-orang yang memangku/membawa risalah yang sangat agung dan mereka pun merasakan bahwa tanggung jawab tersebut adalah tanggung jawab yang sangat sulit dan berat. Sebagaimana ucapan Nabi saw.:

عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنهما-: أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من النار. رواه البخاري
Dari Abdullah bin Amru bin Al-'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhumā- bahwa Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sampaikanlah oleh kalian dariku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah (kabar) oleh kalian dari Bani Israil dan tidak apa-apa. Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka." (H.R. Bukhari)

Keterangan:
Makna hadis: Sampaikanlah kepada manusia ilmu yang diwariskan dariku, yaitu Kitab atau Sunnah, walaupun apa yang kalian sampaikan itu sedikit, seperti satu ayat dari Al-Qur`ān, dengan syarat ia mengetahui dan memahami apa yang disampaikannya. Perintah untuk menyampaikan tersebut hukumnya wajib jika hal itu hanya dia yang bisa melakukan. Jika ada orang lain yang sanggup, seperti karena jika di suatu negeri telah banyak para penyeru kepada Allah yang mengajar manusia dan menjelaskan kepada mereka tentang urusan-urusan agama mereka, maka menyampaikan hal tersebut tidak menjadi wajib baginya, tapi menjadi sunnah. Tidak apa-apa dan kalian tak berdosa bila menceritakan berita dari Bani Israil mengenai berbagai peristiwa nyata yang menimpa mereka, seperti turunnya api dari langit untuk memakan kurban, atau kisah bunuh diri mereka sebagai syarat bertobat dari penyembahan anak sapi atau menyampaikan dengan rinci berbagai kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`ān yang mengandung pelajaran dan nasehat. Barangsiapa melakukan dusta atas namaku, hendaknya ia menyiapkan tempat tinggal untuk dirinya di neraka. Hal ini terjadi karena dusta kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak seperti berdusta kepada manusia (umumnya). Berdusta kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- adalah berbohong kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Selanjutnya itu adalah dusta terhadap syariat. Sebab, wahyu yang diberitakan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- adalah syariat. Dengan demikian, siksaannya lebih dahsyat.
Maka para sahabat Nabi saw. mencurahkan segala kemampuannya untuk senantiasa mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an kepada yang lain serta bersegera untuk bertabligh (menyampaikan) dan berta’lim (mengajarkan kepada yang lain) terhadap ilmu yang ia dengar dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mengetahui dan memahami bahwa mengajarkan Al-Qur’an kepada yang lain merupakan perintah/kewajiban dan suatu kehormatan/kemuliaan. Serta pada kesempatan kali ini kami (penulis) akan memaparkan, menjelaskan dan menerangkan mengenai kedua hal tersebut.

PERTAMA: MENGAJARKAN AL-QUR’ANUL KARIM MERUPAKAN PERINTAH/KEWAJIBAN SERTA TUGAS KERASULAN.
Mengajarkan Al-Qur’anul Karim merupakan suatu kewajiban. Maka Al-Qur’anul yang Agung ini yang Allah swt. turunkan kepada Rasul terakhir Muhammad saw., maka beban/tanggung jawab ini dipikul oleh seorang malaikat yang terpercaya yaitu Jibril as. yang diberikan (wahyu tersebut) kepada Nabi saw.

 نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
Dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Q.S. Asy-Syu’ara {26}: 193-196)

keterangan:
Al-Qur’an itu dibawa turun secara berangsur-angsur oleh Ar-Ruh Al-Amin yaitu Jibril, atas izin Allah. Ruh adalah sesuatu yang dengannya raga menjadi hidup, begitu juga Al-Qur’an.

Jibril langsung memasukkan Al-Qur’an ke dalam hatimu, wahai Nabi Muhmmad, yang dengan itu Al-Qur’an terpelihara. Tujuannya agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan kepada manusia agar mawas diri. Jika mereka memilih kekafiran dan kefasikan, setelah datangnya penjelasan, mereka akan diberi sanksi yang berat oleh Allah.

Al-Qur'an yang diturunkan kepadamu, dan penjelasanmu tentangnya itu dengan bahasa Arab yang jelas. dengan demikian, bisa dengan mudah dipahami oleh masyarakat Arab, di mana Al-Qur’an turun pertama kali kepada mereka.

Pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa Al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad adalah kitab suci yang berasal dari Tuhan semesta alam. Diturunkan kepada Muhammad secara berangsur-angsur dengan perantaraan Jibril, malaikat yang bertugas membawa wahyu kepada para rasul. Al-Qur'an itu ditanamkan ke dalam hati Muhammad, maksudnya ialah Al-Qur'an itu dibacakan oleh Jibril sedemikian rupa sehingga Nabi Muhammad memahami betul arti dan maksudnya. Dengan pemahaman dan pengertian yang demikian, maka Nabi Muhammad mudah menyampaikan kepada umatnya dan umatnya mudah pula menerimanya.
Sebagai contoh, ketika Surah al-An'am yang ayatnya berjumlah 165 ayat dan Surah Yusuf sebanyak 111 ayat diturunkan sekaligus, Rasulullah langsung menerima dan menghafalnya. Ini bukti bahwa Al-Qur'an telah dihunjamkan ke hati Rasul oleh malaikat dengan lisannya.

Allah menerangkan bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan fasih serta gaya bahasa yang indah. Di dalamnya terdapat pula ayat-ayat yang menantang orang-orang musyrik Mekah agar membuat ayat-ayat yang lain seperti ayat-ayat Al-Qur'an itu, kalau mereka tidak percaya bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari Allah dan hanyalah buatan Muhammad sendiri. Akan tetapi, mereka tidak mampu menandinginya, walaupun dengan membuat satu surah pun yang sefasih dan seindah gaya bahasa Al-Qur'an. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi orang-orang musyrik Mekah itu untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu hanyalah buatan Muhammad semata. Tegasnya, kendati Al-Qur'an itu diturunkan dalam bahasa Arab, yakni bahasa mereka sendiri, tetapi mereka tidak mampu menandingi ayat-ayatnya. Kalau Muhammad dapat membuat Al-Qur'an, tentu menurut logikanya, mereka juga dapat membuatnya, karena sama-sama bangsa Arab dan sama-sama berbahasa Arab.

Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur'an itu, mengetahui keindahan gaya bahasanya, dan meyakini bahwa Al-Qur'an itu bukan bersumber dari manusia. Mereka mengetahui betul sampai di mana batas kemampuan manusia, namun mereka tetap tidak mau beriman kepadanya karena sifat takabur dan keingkaran yang berurat dan berakar pada diri mereka.

Dan Rasulullah saw. yang paling mulia ini memenuhi panggilan/perintah tuhan-Nya untuk senantiasa bertabligh dan berta’lim serta bertilawah (membacakan Al-Qur’an) kepada mereka. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (67)
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah {5}: 67)

Keterangan:
Sesudah menjelaskan tentang keingkaran Ahli Kitab, maka pada ayat ini Allah menerangkan tugas Rasulullah, yang di antaranya adalah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada mereka. Demikian informasi dari sabab nuzul yang diriwayatkan Ibnu Mardawaih. "Wahai Rasul! Sampaikanlah kepada orang-orang Ahli Kitab apa yang diturunkan kepadamu, yaitu ajaran-ajaran Islam melalui wahyu dari Tuhanmu. Itulah tugas atau kewajibanmu. Jika tidak engkau lakukan apa yang diperintahkan itu, berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah akan selalu memelihara engkau dari gangguan atau maksud buruk manusia. Tugasmu hanya menyampaikan ajaran Islam dan bukan menjadikan mereka beriman, karena sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir, sehingga kekafiran mereka bukan menjadi tanggung jawabmu.

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya tantangan di kalangan Ahli Kitab, orang musyrik dan orang-orang fasik.

Ayat ini menganjurkan kepada Nabi Muhammad agar tidak perlu takut menghadapi gangguan dari mereka dalam membentangkan rahasia dan keburukan tingkah laku mereka itu karena Allah menjamin akan memelihara Nabi Muhammad dari gangguan, baik masa sebelum hijrah oleh kafir Quraisy maupun sesudah hijrah oleh orang Yahudi. Apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah amanat yang wajib disampaikan seluruhnya kepada manusia. Menyampaikan sebagian saja dari amanat-Nya dianggap sama dengan tidak menyampaikan sama sekali. Demikianlah kerasnya peringatan Allah kepada Muhammad. Hal tersebut menunjukkan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban Rasul. Tugas penyampaian tersebut tidak boleh ditunda meskipun penundaan itu dilakukan untuk menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya, karena masa penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan penyembunyian terhadap amanat Allah.

Ancaman terhadap penyembunyian sebagian amanat Allah sama kerasnya dengan ancaman terhadap sikap seseorang yang beriman kepada sebagian rasul saja dan beriman kepada sebagian ayat Al-Qur'an saja. Meskipun seorang rasul bersifat maksum yakni terpelihara dari sifat tidak menyampaikan, namun ayat ini menegaskan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar atau ditunda-tunda meskipun menyangkut pribadi Rasul sendiri seperti halnya yang kemudian terjadi antara Zainab binti Jahsy dengan Nabi Muhammad sebagaimana yang diuraikan dalam al-Ahzab/33: 37 : "Dan (ingatlah) ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak engkau takuti. (al-Ahzab/33:37).

Dalam hubungan ini Aisyah dan Anas berkata, "Kalaulah kiranya Nabi Muhammad akan menyembunyikan sesuatu dalam Al-Qur'an, tentu ayat inilah yang disembunyikannya." Dari keterangan 'Aisyah dan Anas ini jelaslah peristiwa yang kemudian terjadi antara Zainab binti Jahsy dengan Zaid ialah perceraian yang berkelanjutan dengan berlakunya kehendak Allah yaitu menikahkan Zainab dengan Nabi Muhammad. Hal tersebut tidak dikemukakan oleh Nabi Muhammad kepada Zaid ketika ia mengadukan peristiwanya kepada Nabi Muhammad pada hal beliau sudah mengetahuinya dengan perantaraan wahyu. Nabi Muhammad saw, menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya sesuai dengan kesopanan disamping menghindarkan tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh golongan orang-orang munafik. Meskipun demikian Nabi Muhammad masih juga menerima kritik Allah seperti diketahui pada ayat dalam surah al-Ahzab tersebut.

Tegasnya, ayat 67 ini mengancam orang-orang yang menyembunyikan amanat Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: "Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur'an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat." (al-Baqarah/2:159).

Sejalan dengan ancaman Al-Qur'an ini, Nabi Muhammad bersabda mengingatkan orang-orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan: Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu pengetahuan lalu disembunyikannya maka ia akan dikekang pada hari Kiamat dengan kekangan dari api neraka. (Riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Selanjutnya akhir ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir yang mengganggu Nabi Muhammad dan pekerjaan mereka itu pastilah sia-sia karena Allah tetap melindungi Nabi-Nya dan tetap akan meninggikan kalimat-Nya.

إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا وَلَهُ كُلُّ شَيْءٍ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (91) وَأَنْ أَتْلُوَ الْقُرْآنَ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَقُلْ إِنَّمَا أَنَا مِنَ الْمُنْذِرِينَ (92)
Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) Yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nyalah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan supaya aku membacakan Al-Qur’an (kepada manusia). Maka barang siapa yang mendapat petunjuk, maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya; dan barang siapa yang sesat, maka katakanlah, "Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan.” (Q.S. An-Naml {27}: 91-92)

Keterangan:
Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada siapa pun juga, "Aku hanya diperintahkan oleh Allah yang perintah-Nya tidak dapat diabaikan agar menyembah semata-mata hanya kepada Tuhan negeri ini, yakni Mekah, yang Dia telah menjadikan suci padanya dengan menjadikannya aman dari pertumpahan darah, tidak boleh ada orang atau sesuatu yang terzalimi di situ, sampai pun hewan dan tumbuhan. Dan bagi Tuhanku itu segala sesuatu adalah milik-Nya, Dan aku juga diperintahkan selain menyembah kepada-Nya agar aku termasuk orang Muslim, yang berserah diri, patuh melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menyampaikan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa beliau hanya disuruh Allah menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah dijadikan sebagai tanah Haram (Tanah Suci), diharamkan adanya pertumpahan darah atau berbuat kezaliman terhadap siapa pun di sana. Penyebutan negeri Mekah secara khusus pada ayat ini karena di sana terdapat Ka'bah, yaitu rumah peribadatan yang pertama kali dibangun di muka bumi ini sebagai tempat manusia menghadap ketika salat di mana pun mereka berada, sesuai dengan firman-Nya: Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. (ali 'Imran/3: 96)

Adapun yang wajib disembah hanya Allah, bukan berhala-berhala yang oleh diletakkan kaum musyrikin di sana, sesuai dengan firman Allah: Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka'bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan. (Quraisy/106: 3-4).

Ini merupakan celaan yang keras kepada orang-orang kafir Mekah yang tidak menyembah Allah yang mempunyai Baitullah, tetapi menyembah berhala-berhala yang mereka tempatkan di sekitarnya. Kepunyaan Allah segala sesuatu, baik di langit maupun bumi, dari segi ciptaan, pemilikan, dan pengurusannya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu, hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah dan kepada-Nya Nabi saw diperintahkan supaya berserah diri dengan penuh keikhlasan dan ketauhidan yaitu jalan lurus atau agama Islam, sesuai dengan firman-Nya: Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik."(al-An'am/6: 161)

Dan di samping yang aku lakukan khusus buat diriku, aku diperintahkan pula agar aku membacakan semua ayat-ayat suci Al-Qur'an kepada manusia. Maka barangsiapa mendapat petunjuk dari hasil penyampaianku, atau bacaan dan pemahaman Al-Qur'an yang kusampaikan, maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk untuk kebaikan dirinya, dalam hal ini aku hanya berfungsi sebagai penyampai kabar gembira, dan barangsiapa yang enggan memperhatikan tuntunan Al-Qur'an sehingga dia sesat dan tidak menemukan jalan yang benar, maka katakanlah kepadanya dan kepada siapa pun juga, "Sesungguhnya aku ini tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan dari sekian banyak nabi dan rasul yang telah diutus sebelum aku. Hidayah ada di tangan Tuhan."

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan supaya membacakan Al-Qur'an kepada manusia, untuk mengungkap makna dan rahasia yang terkandung di dalamnya, dan menyerap dalil-dalil tentang kekuasaan Allah yang dapat dilihat pada alam semesta. Dengan demikian, beliau dapat menyelami hakikat hidup yang sebenarnya dan menerima limpahan karunia Allah kepadanya.
Nabi saw mengulang bacaan ayat itu beberapa puluh kali sampai terbit fajar. Ketika membacanya tampaklah bagi beliau beberapa rahasia yang terkandung di dalamnya, sehingga beliau merasakan faedah membaca ayat Al-Qur'an serta memahami isinya, sesuai dengan firman-Nya: Demikianlah Kami bacakan kepadamu (Muhammad) sebagian ayat-ayat dan peringatan yang penuh hikmah. (ali 'Imran/3: 58)

Firman Allah yang lain: Demikianlah, Kami telah mengutus engkau (Muhammad) kepada suatu umat yang sungguh sebelumnya telah berlalu beberapa umat, agar engkau bacakan kepada mereka (Al-Qur'an) yang Kami wahyukan kepadamu. (ar-Ra'd/13: 30)

Barang siapa yang mengikuti ajaran Al-Qur'an, beriman kepada Nabi Muhammad, dan menerima petunjuknya, maka sungguh ia telah menempuh jalan lurus menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Petunjuk itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri. Akan tetapi, barang siapa yang sesat, dan menyeleweng dari jalan lurus yang telah dirintis oleh Nabi, maka kemudaratan akan dirasakan oleh mereka sendiri. Nabi saw tidak akan menderita kerugian apa pun sebab tugas beliau hanya sekadar memberi peringatan sesuai dengan firman Allah: Maka sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, dan Kamilah yang memperhitungkan (amal mereka). (ar-Ra'd/13: 40)

Dan firman Allah: Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud/11: 12)

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (2)
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. Al-Jumu’ah {62}: 2)

Keterangan:
Dialah yang mengutus seorang Rasul, Muhammad kepada kaum yang buta huruf, yang secara khusus ditujukan kepada bangsa Arab yang kebanyakan tidak bisa baca tulis, dari kalangan mereka sendiri, yaitu dari kalangan bangsa Arab, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ayat-ayat Al-Qur’an, yang isinya menyucikan jiwa mereka yang beriman kepadanya; dan mengajarkan kepada mereka yang membuka diri menerima dan membenaran kerasulan beliau, Kitab Al-Qur’an, dan Hikmah yakni Sunah Nabi, meskipun sebelumnya, yakni sebelum kelahiran Rasulullah di masa jahiliah, mereka, sebagian di antara para sahabat Rasulullah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Keyakinan mereka menyimpang dari prinsip tauhid dan perilaku mereka bertentangan dengan nilai kemanusiaan, salah satunya mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Allah menerangkan bahwa Dialah yang mengutus kepada bangsa Arab yang masih buta huruf, yang pada saat itu belum tahu membaca dan menulis, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yaitu Nabi Muhammad saw dengan tugas sebagai berikut:

1. Membacakan ayat suci Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.

2. Membersihkan mereka dari akidah yang menyesatkan, kemusyrikan, sifat-sifat jahiliah yang biadab sehingga mereka itu berakidah tauhid mengesakan Allah, tidak tunduk kepada pemimpin-pemimpin yang menyesatkan dan tidak percaya lagi kepada sesembahan mereka seperti batu, berhala, pohon kayu, dan sebagainya.

3. Mengajarkan kepada mereka al-Kitab yang berisi syariat agama beserta hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.

Disebutkan secara khusus bangsa Arab yang buta huruf tidaklah berarti bahwa kerasulan Nabi Muhammad saw itu ditujukan terbatas hanya kepada bangsa Arab saja. Akan tetapi, kerasulan Nabi Muhammad saw itu diperuntukkan bagi semua makhluk terutama jin dan manusia, sebagaimana firman Allah: Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (al-Anbiya'/21: 107)

Dan firman-Nya: Katakanlah (Muhammad), "Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua," (al-A'raf/7: 158)

Ayat kedua Surah al-Jumu'ah ini diakhiri dengan ungkapan bahwa orang Arab itu sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Mereka itu pada umumnya menganut dan berpegang teguh kepada agama samawi yaitu agama Nabi Ibrahim. Mereka lalu mengubah dan menukar akidah tauhid dengan syirik, keyakinan mereka dengan keraguan, dan mengadakan sesembahan selain dari Allah.

KEDUA: MENGAJARKAN AL-QUR’ANUL KARIM MERUPAKAN KEMULIAAN DAN KELUHURAN.
Alangkah agungnya dan besarnya pahala yang akan didapat bagi ahlul qur’an di sisi Allah swt. jika mereka benar-benar ikhlas dan membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran riya serta ujub yang dapat menghanguskan seluruh amal yang dilakukannya.

Dan sungguh banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi saw. yang menjelaskan keutamaan yang sangat agung dan pahala yang sangat besar bagi orang yang peduli serta memperhatikan kepada Al-Qur’an secara tilawah, tadabbur, ta’alum, ta’lim serta istiqomah sesuai manhaj/kurikulum yang lurus, maka ini semua seperti perdagangan yang saling menguntungkan. Sebagaimana dalil-dalil di bawah ini:

DALIL PERTAMA:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (Q.S. Fatir {35}: 29-30)

Keterangan:
Pada ayat ini Allah menyebutkan sebagian tanda orang yang takut kepada-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah, yakni Al-Qur’an, lalu mereka mengkaji dan mengamalkan kandungannya, dan melaksanakan salat dengan sempurna syarat dan rukunnya, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada-nya dengan diam-diam dan terang-terangan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mereka itu mengharapkan perdagangan dengan Allah yang tidak akan pernah rugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun segala khilaf dan dosa, Maha Mensyukuri, yakni memberi pahala atas perbuatan baik hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya, dan sebagainya.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang selalu membaca Al-Qur'an, meyakini berita, mempelajari kata dan maknanya lalu diamalkan, mengikuti perintah, menjauhi larangan, mengerjakan salat pada waktunya sesuai dengan cara yang telah ditetapkan dan dengan penuh ikhlas dan khusyuk, menafkahkan harta bendanya tanpa berlebih-lebihan dengan ikhlas tanpa ria, baik secara diam-diam atau terang-terangan, mereka adalah orang yang mengamalkan ilmunya dan berbuat baik dengan Tuhan mereka. Mereka itu ibarat pedagang yang tidak merugi, tetapi memperoleh pahala yang berlipat ganda sebagai karunia Allah, berdasarkan amal baktinya. Firman Allah: Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. (an-Nisa'/4: 173)

Selain dari itu, mereka juga akan memperoleh ampunan atas kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri hamba-hamba-Nya, memberikan pahala yang sempurna terhadap amal-amal mereka, memaafkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya. Sejalan dengan ini firman Allah: Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri. (asy-Syura/42: 23)

DALIL KEDUA:
عن عثمان بن عفان -رضي الله عنه- عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: خَيرُكُم من تعلَّمَ القرآنَ وعلَّمَهُ. رواه البخاري
Dari Usman bin 'Affan -raḍiyallāhu 'anhu- dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, beliau bersabda, "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya." (H.R. Bukhari)

Keterangan:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya". Obyek pembicaraan ini mencakup seluruh umat. Sebaik-baik manusia adalah orang yang memadukan antara dua kriteria ini, yakni mempelajari Al-Qur`ān dan mengajarkannya, ia mempelajarinya dari orang lain dan mengajarkannya pada orang lain, sebab mempelajari Al-Qur`ān merupakan ilmu yang paling prestisius. Proses mempelajari dan mengajarkan ini meliputi pembelajaran cara baca maupun maknanya (tafsirnya). Orang yang menjadi guru hafalan Al-Qur`ān, yakni yang mengajarkan tilawah pada manusia dan membimbing mereka menghafalnya, maka ia termasuk kategori orang yang mengajarkannya, demikian pula orang yang mempelajari Al-Qur`ān dalam konteks ini, ia juga termasuk kategori orang yang mempelajarinya. Adapun jenis yang kedua, yakni mengajarkan makna Al-Qur`ān, maka maksudnya adalah mengajarkan tafsir Al-Qur`ān, misalnya seorang yang membuka majelis untuk orang banyak agar mengajarkan mereka tafsir (penjelasan) firman Allah -'Azzā wa Jallā-, dan tata cara menafsirkan Al-Qur`ān. Apabila seseorang mengajari orang lain tata cara menafsirkan Al-Qur`ān dan mengajarkannya berbagai kaidah tafsir didalamnya, maka aktifitasnya ini termasuk kategori mengajarkan Al-Qur`ān.
Masih dalam hadits riwayat Al-Bukhari dari Utsman bin Affan, tetapi dalam redaksi yang agak berbeda, disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَفْضَلَكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ .رواه البخاري
“Sesungguhnya orang yang paling utama di antara kalian adalah yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.” (H.R. Bukhari)

Keterangan:
Dalam dua hadits di atas, terdapat dua amalan yang dapat membuat seorang muslim menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya sesama muslim lainnya, yaitu belajar Al-Qur`an dan mengajarkan Al-Qur`an.

Tentu, baik belajar ataupun mengajar yang dapat membuat seseorang menjadi yang terbaik di sini, tidak bisa lepas dari keutamaan Al-Qur`an itu sendiri. Al-Qur`an adalah kalam Allah, firman-firman-Nya yang diturunkan kepada Nabi-Nya melalui perantara Malaikat Jibril Alaihissalam. Al-Qur`an adalah sumber pertama dan acuan utama dalam ajaran Islam.

Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Al-Qur`an selama empat puluh tahun di mesjid agung Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: “Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini”.

PEMAHAMAN YANG SALAH!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (H.R. Bukhari)

Keterangan:
Di antara pemahaman yang salah dalam memahami hadis di atas adalah membatasi golongan manusia yang layak disebut sebagai orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya hanyalah sebatas orang yang mempelajari dan mengajarkan huruf dan lafadz Al-Qur’an, Tajwid dan ilmu Qiro`ahnya semata! Ini adalah sebuah keyakinan yang salah!

AKIBAT DARI MEYAKINI PEMAHAMAN YANG SALAH TERSEBUT:
Ketika seseorang meyakini keyakinan yang salah ini, maka sangat memungkinkan ia akan merasa cukup bila sudah menguasai ilmu Tajwid dan Qiro`ah atau sudah hafal Al-Qur’an, maka bisa jadi ia akan berhenti ataupun malas dari melanjutkan mempelajari tafsir Al-Qur’an, memahami makna dan penjelasan kandungannya, baik berupa aqidah yang shohihah, ibadah, akhlak karimah serta hukum-hukum Syari’at. Karena ia merasa sudah mengamalkan hadits ini, guna meraih derajat yang terbaik!

TUJUAN AL-QUR’AN DITURUNKAN:
Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah telah menjelaskan :

فالقرآن الكريم نزل لأمور ثلاثة: التعبد بتلاوته، وفهم معانيه والعمل به
“Al-Qur’an itu diturunkan untuk tiga tujuan: beribadah dengan membacanya, memahami makna dan mengamalkannya”

Lihatlah, di sini Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menunjukkan tiga perkara yang menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an, tentunya ketiga perkara ini sama-sama pentingnya, sama-sama baiknya, sama-sama menjadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an!

Pertama dari tujuan tersebut adalah beribadah kepada Allah dengan membacanya, tentunya membacanya dengan tajwid dan ilmu Qiro`ah,
Kedua, memahami makna atau tafsirnya.
Ketiga, mengamalkannya.

Maka -misalnya- ketika seseorang baru meraih salah satu dari tiga perkara itu dengan baik, berarti baru meraih sepertiga dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an! Janganlah berhenti sampai di situ saja, teruskan meraih dua perkara yang lainnya.

MAKNA YANG BENAR DARI HADITS DI ATAS:
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu setelah membawakan hadits di atas, lalu menjelaskan maknanya:

وتعلم القرآن وتعليمه يتناول تعلم حروفه وتعليمها , وتعلم معانيه وتعليمها
Mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya mencakup: Mempelajari dan mengajarkan huruf-hurufnya, Mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya.

وهو أشرف قسمي تعلمه وتعليمه, فإن المعنى هو المقصود, واللفظ وسيلة إليه
Yang terakhir inilah (yaitu no.2, pent.) merupakan jenis mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya yang paling mulia, karena makna Al-Qur’an itulah yang menjadi tujuan yang dimaksud, sedangkan lafadz Al Qur’an adalah sarana untuk mencapai maknanya.

 فتعلم المعنى وتعليمه تعلم الغاية وتعليمها
Maka mempelajari dan mengajarkan makna-maknanya (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan tujuan.

وتعلم اللفظ المجرد وتعليمه تعلم الوسائل وتعليمها
sedangkan mempelajari dan mengajarkan lafadz semata (hakekatnya) adalah mempelajari dan mengajarkan sarana

 وبينهما كما بين الغايات والوسائل
Dan (perbandingan) diantara keduanya seperti perbandingan antara tujuan dan sarana.

Kesimpulan:
Mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya mencakup dua macam sekaligus,yaitu: Lafadz dan maknanya. Berarti kedua-duanya sama-sama pentingnya.

Perbandingan keduanya, seperti perbandingan antara tujuan dan sarana. Berarti, jenis yang satu lebih mulia dari yang lainnya.

Mempelajari makna-maknanya dan mengajarkan makna-maknanya (tafsirnya) lebih mulia dari mempelajari huruf-hurufnya dan mengajarkan huruf-hurufnya saja (tajwidnya semata).

Oleh karena itu, pantaslah jika dua orang yang masyhur disebut sebagai pakar Tafsir di kalangan Sahabat, yaitu: Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selain keduanya, berpandangan bahwa orang yang membaca Al-Qur’an dengan tartil dan mentadabburi (merenungi) maknanya -walaupun sedikit jumlah Ayat Al-Qur’an yang dibacanya- lebih utama daripada orang yang cepat dalam membaca Al-Qur’an, sehingga banyak jumlah Ayat Al-Qur’an yang dibacanya, namun tanpa mentadabburi maknanya.

Di zaman Al-Fudhail rahimahullah pun sudah dijumpai adanya orang yang di dalam mengamalkan Al-Qur’an lebih kepada “sebatas membacanya semata”, padahal sesungguhnya mengamalkan Al-Qur’an lebih luas daripada sekedar membacanya saja, karena dalam Al-Qur’an terdapat aqidah, ibadah, mu’amalah dan hukum-hukum Islam yang tertuntut untuk kita amalkan.

 Berkata Al-Fudhail rahimahullah menuturkan fenomena yang beliau lihat di masanya:

إنما نزل القرآن ليعمل به ، فاتخذ الناس قراءته عملا
“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, namun ternyata ada saja orang yang menjadikan (sebatas) membacanya sebagai sebuah bentuk pengamalannya”,
Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah setelah membawakan perkataan Al-Fudhail di atas, bertutur:

فأهل القرآن هم العالمون به والعاملون بما فيه، لا بمجرد إقامة الحروف
“Ahlul Qur’an, mereka adalah orang-orang yang mengetahui maknanya dan mengamalkan isinya, bukan hanya sekedar melafadzkan huruf-hurufnya dengan benar.”

DALIL KETIGA:
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (H.R. Muslim, no. 2699)

Keterangan:
Ada empat keutamaan yang disebutkan bagi orang yang duduk di rumah Allah dan mempelajari kitab Allah:

PERTAMA: AKAN RAIH KETENANGAN.
Sebagaimana disebutkan saat dibacakan surat Al-Kahfi. Disebutan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata:

بَيْنَمَا رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ، وَفَرَسٌ لَهُ مَرْبُوطٌ فِى الدَّارِ، فَجَعَلَ يَنْفِرُ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ فَنَظَرَ فَلَمْ يَرَ شَيْئًا، وَجَعَلَ يَنْفِرُ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم– فَقَالَ «تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ»
“Ada seseorang yang sedang membaca (surat Al-Kahfi). Di sisinya terdapat seekor kuda yang diikat di rumah. Lantas kuda tersebut lari. Pria tersebut lantas keluar dan melihat-lihat ternyata ia tidak melihat apa pun. Kuda tadi ternyata memang pergi lari. Ketika datang pagi hari, peristiwa tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Ketenangan itu datang karena Al-Qur’an.” (H.R. Bukhari, no. 4839 dan Muslim, no. 795)

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Itulah yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an itulah sebab turunnya rahmat dan hadirnya malaikat. Hadits itu juga mengandung pelajaran tentang keutamaan mendengar Al-Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 74)

KEDUA: AKAN DINAUNGI RAHMAT ALLAH.
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan:

إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-A’raf: 56)

Dalam hadits Salman, ada yang berdzikir pada Allah, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika itu, beliau pun bersabda:

مَا كُنْتُمْ تَقُوْلُوْنَ؟ فَإِنِّي رَأَيْتُ الرَّحْمَةَ تَنْزِلُ عَلَيْكُمْ، فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُشَارِكَكُمْ فِيْهَا.
“Apa yang kalian ucapkan? Sungguh aku melihat rahmat turun di tengah-tengah kalian. Aku sangat suka sekali bergabung dalam majelis semacam itu.” (H.R. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1: 122. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi).

KETIGA: MALAIKAT AKAN MENGELILINGI MAJELIS ILMU.
Tanda bahwasanya malaikat ridha dan suka pada orang-orang yang berada dalam majelis ilmu.

وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.” (H.R. Abu Daud, no. 3641; Ibnu Majah, no. 223; At-Tirmidzi, no. 2682. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Sedangkan Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini). Maksudnya, para malaikat benar-benar menghormati para penuntut ilmu. Atau maksudnya pula malaikat turun dan ikut dalam majelis ilmu. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 493)

KEEMPAT: AKAN DISEBUT OLEH ALLAH DI SISI MAKHLUK-MAKHLUK MULIA.
Coba kalau kita di dunia ini disanjung-sanjung di hadapan presiden atau tokoh terkemuka, kita pasti merasa seperti berada di atas. Pujian bagi penuntut ilmu lebih dari itu. Karena mereka disanjung-sanjung di hadapan makhluk yang mulia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِى فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلإٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلإٍ خَيْرٍ مِنْهُ
“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku pada-Ku. Aku bersamanya kala ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, maka aku akan menyebut-nyebutnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu.” (H.R. Muslim, no. 2675)

Tak inginkah kita mendapatkan ketenangan jiwa dan keutamaan seperti dikemukakan dalam hadits di atas. Cobalah meraihnya dalam majelis ilmu syar’i, bukan pada majelis warung kopi, bukan majelis yang penuh dengan kesia-siaan.

DALIL KEEMPAT:
عن عائشة -رضي الله عنها- قالتْ: قالَ رسولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-: الذي يقرَأُ القرآنَ وهو مَاهِرٌ به مع السَّفَرَةِ الكِرَامِ البَرَرَةِ، والذي يقرَأُ القرآنَ ويَتَتَعْتَعُ فيه وهو عليه شَاقٌ لَهُ أجْرَانِ. رواه البخاري
Dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, ia berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Orang yang membaca Al-Qur`ān dan ia mahir membacanya, maka ia bersama para malaikat yang mulia dan berbakti. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur`ān dengan terbata-bata dan merasa kesulitan dalam membacanya, maka baginya dua pahala." (H.R. Bukhari)

Keterangan:
Hadits Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Orang yang membaca Al-Qur`ān dan ia mahir membacanya, maka ia bersama para malaikat yang mulia dan berbakti." Orang yang mahir adalah orang yang membaca Al-Qur`ān dengan baik dan pandai. Yang dimaksud dengan mahir di sini adalah kualitas bacaan disertai bagusnya hafalan. "Bersama para malaikat yang mulia dan berbakti." Mereka adalah para malaikat. Hal ini sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), yang ditinggikan (dan) disucikan, di tangan para utusan (malaikat), yang mulia lagi berbakti. (QS. Abasa: 13-16). Orang yang mahir bersama para malaikat, karena Allah -Ta'ālā- memudahkannya baginya sebagaimana dimudahkan kepada para malaikat yang mulia dan berbakti. Dia seperti para malaikat itu dalam bacaan Al-Qur`ān, dan bersama mereka dalam derajat di sisi Allah. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur`ān dengan terbata-bata dan merasa kesulitan dalam membacanya, maka baginya dua pahala." Pertama, untuk bacaan. Kedua, untuk kepayahan dan kesulitan.

Hadits ini setidaknya menjadi peringatan dan motivasi. Peringatan bagi yang bisa dan mahir membaca al-Qur`an dengan lancar agar tidak menyia-nyiakan kesempatan besar ini. Serta motivasi bagi yang tidak bisa membaca dengan lancar agar terus mencoba dan terus mencoba untuk bisa membaca dan lebih dekat serta cinta terhadap al-Qur`an.

DALIL KELIMA:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَعَلَّمُوا القُرْآنَ فَاقْرَءُوهُ وَأَقْرِئُوهُ، فَإِنَّ مَثَلَ القُرْآنِ لِمَنْ تَعَلَّمَهُ فَقَرَأَهُ وَقَامَ بِهِ كَمَثَلِ جِرَابٍ مَحْشُوٍّ مِسْكًا يَفُوحُ بِرِيحِهِ كُلُّ مَكَانٍ وَمَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَهُ فَيَرْقُدُ وَهُوَ فِي جَوْفِهِ كَمَثَلِ جِرَابٍ أُوكِئَ عَلَى مِسْكٍ.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Pelajarilah Al-Qur’an, kemudian bacalah ia, dan bacakanlah ia (ajarkan kepada orang lain). Karena sesungguhnya perumpamaan Al-Qur’an bagi orang yang mempelajarinya, lalu membacanya dan mengamalkannya adalah seperti sebuah wadah (terbuka) yang berisi kasturi, seluruh tempat merasakan wanginya. Dan perumpamaan orang yang mempelajari Al-Qur’an, tetapi ia tidur sementara al Qur’an berada di dalam dadanya, adalah seperti sebuah wadah (diikat) yang berisi kasturi”.

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Tirmidzi, no. 2876; Ibnu Majah, no. 217;
2. Ibnu Khuzaimah, no. 1509, 2540;
3. Ibnu Hiban, no. 2126, 2578.
Semua dari jalur Abdul Hamid bin Ja’far, dari Sa’id Al-Maqburiy, dari ‘Atho’ maula Abi Ahmad, dari Abu Huroiroh.
Imam Tirmidzi, no. 2876, juga meriwayatkan dari jalur Laits bin Sa’ad, dari Sa’id Al-Maqburiy, dari ‘Atho’ maula Abi Ahmad, dari Nabi ﷺ.

Derajat Hadits:
Hadits ini lemah sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama.
Syaikh Al-Albani rahimahullaah berkata: “Dho’if”.
Syaikh Al-A’zhomiy rahimahullaah berkata: “Isnadnya dho’if”.
Imam At-Tirmidzi rahimahullaah meriwayatkan hadits ini di dalam Sunannya, no. 2876, lalu berkata, “Hadits ini Hasan”.
Tetapi pernyataan beliau kurang tepat, sebab ada dua cacat hadits ini.
Syaikh Al-Albani rahimahullaah berkata: “Hadits ini memiliki dua cacat:
Pertama:
‘Atho’ maula Abi Ahmad perowi yang majhul (tidak dikenal). Karena tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Abdul Hamid bin Ja’far, dan Adz-Dzahabiy berkata: “Dia tidak dikenal”. Al-Hafizh (Ibnu Hajar) rahimahullaah juga berkata seperti itu di dalam At-Taqrib, “Maqbul”. Karena yang dikenal dari beliau, umumnya tidak mengatakan ini kecuali pada perowi yang majhul (tidak dikanal) keadaannya atau jati diri orangnya. Dan beliau menjelaskan di dalam muqoddimah (kitab At-Taqrib) bahwa maksudnya: Maqbul (diterima) di saat ada penguatnya, jika tidak ada, maka layyinul hadits (lemah haditsnya). Ini istilah beliau, dan tidak ada masalah dengan istilah, sebagaimana dijelaskan para ulama.

Kedua:
Mursal (yaitu hadits dari tabi’in langsung kepada Nabi). Karena Laits bin Sa’ad meriwayatkan dari Sa’id Al-Maqburiy, dari ‘Atho’ maula Abi Ahmad, dari Nabi.
Sanad ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2876 dan Bukhori di dalam biografi ‘Atho’ di dalam kitab At-Tarikh, dan beliau berkata: “Ini yang lebih benar”.

Ini sangat jelas, dari membandingkan antara biografi Laits (bin Sa’ad), yang beliau seorang perowi yang tsiqoh (terpercaya), tsabat (kokoh), imam, dengan biografi Abdul Hamid bin Ja’far, yang beliau seorang perowi yang shoduq (jujur), namun terkadang keliru.

Ditambah lagi perkataan imam Nasai di dalam As-Sunan Al-Kubro, 5/228: “Selain Abdul Hamid bin Ja’far telah meriwayatkannya dengan mursal, dan yang terkenal adalah mursal”.

Juga perkataan Abu Hatim di dalam Al-‘Ilal, 1/279/827: “Yang shohih yang diriwayatkan oleh Laits (bin Sa’ad)”.

Kesimpulan:
Hadits ini lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil keyakinan atau amalan. Sesungguhnya di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits–hadits yang shohih sudah cukup dalil yang menyebutkan keutamaan membaca dan menghafalkan Al-Qur’an, sehingga tidak membutuhkan hadits lemah. Wallohu a’lam.

Kita jangan menisbatkan hadits ini kepada Nabi ﷺ, sebab khawatir terkena ancaman di dalam hadits shohih berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Dari Abu Huroiroh radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat tinggalnya di Neraka”.

Berdusta atas nama Nabi ﷺ adalah berdusta di dalam syari’at, sehingga dampaknya mengenai seluruh umat, maka dosanya lebih besar dan hukumannya lebih berat. Wallohul Musta’an

DALIL KEENAM:
عن سهل بن سعد الساعدي رضي الله عنه مرفوعاً: لأعطين الراية غدا رجلا يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله، يفتح الله على يديه، فبات الناس يدوكون ليلتهم أيهم يعطاها فلما أصبحوا غدوا على رسول الله صلى الله عليه وسلم كلهم يرجو أن يعطاها: فقال: أين علي بن أبي طالب؟ فقيل: هو يشتكي عينيه، فأرسلوا إليه فأتي به، فبصق في عينيه، ودعا له فبرأ كأن لم يكن به وجع، فأعطاه الراية فقال: انفذ على رسلك حتى تنزل بساحتهم، ثم ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله تعالى فيه، فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم.
Dari Sahal bin Sa'ad As-Sā'idi -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', (Nabi bersabda), "Aku akan menyerahkan bendera ini besok kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya juga sebaliknya Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Allah memberikan kemenangan lewat kedua tangannya." Orang-orang pun begadang semalaman dalam keadaan penasaran siapa yang akan diberi bendera itu. Saat pagi tiba, mereka pun datang menemui Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, semuanya berharap dirinyalah yang diberi bendera tersebut. Nabi bertanya, "Di mana Ali bin Abi Ṭālib?" Dijawab, "Dia mengeluhkan kedua matanya." Lantas orang-orang mengirimkan utusan kepadanya dan membawanya ke hadapan beliau. Selanjutnya beliau meludah di kedua matanya dan mendoakan kebaikan untuknya hingga sembuh seakan-akan tidak pernah merasa sakit. Beliau menyerahkan bendera kepadanya lalu bersabda, "Majulah dengan perlahan-lahan sampai engkau tiba di arena mereka lalu serulah mereka kepada Islam dan beritahukan kepada mereka tentang kewajiban yang harus ditunaikan terhadap hak Allah -Ta'ālā-. Demi Allah, bila Allah memberikan hidayah kepada seseorang karena perantaramu, itu lebih baik bagimu dari unta merah."

Keterangan:
Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memberi kabar gembira kepada para sahabat mengenai kemenangan kaum muslimin terhadap orang Yahudi esok hari di tangan seseorang yang memiliki keutamaan besar dan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Para sahabat pun menanti-nanti hal itu. Semuanya ingin agar dirinyalah yang terpilih karena mereka sangat ingin mendapatkan kebaikan. Saat mereka pergi sebagaimana dijanjikan, Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mencari Ali. Secara kebetulan Ali tidak hadir karena menderita sakit mata. Lantas ia hadir lalu Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- meludah di kedua matanya dengan ludah yang penuh berkah sehingga hilanglah rasa sakit yang diderita dengan sempurna dan beliau menyerahkan komando pasukan serta menyuruhnya untuk melaksanakan tugas dengan perlahan-lahan sampai mendekati benteng musuh lalu meminta mereka untuk masuk Islam. Apabila mereka menerimanya maka ia harus memberitahu mereka tentang kewajiban yang harus dilaksanakan seorang muslim. Setelah itu Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjelaskan kepada Ali tentang keutamaan dakwah kepada Allah dan seorang da'i apabila berhasil menjadikan seseorang mendapat hidayah melalui tangannya, maka hal itu lebih baik baginya dari harta dunia yang paling berharga. Bagaimana jika dia berhasil menjadikan lebih banyak lagi orang untuk mendapatkan hidayah di tangannya.

DALIL KETUJUH:
عن أبي هريرة رضي الله عنه مرفوعًا: مَن دَعَا إلى هُدى، كَان لَه مِنَ الأَجر مِثل أُجُور مَن تَبِعَه، لاَ يَنقُصُ ذلك مِن أُجُورِهِم شَيئًا، ومَنْ دَعَا إلى ضَلاَلَة، كان عَلَيه مِن الإِثْم مِثل آثَامِ مَن تَبِعَه، لاَ يَنقُصُ ذلك مِن آثَامِهِم شَيْئًا. رواه مسلم
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', "Siapa mengajak kepada petunjuk (kebajikan), maka ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia menanggung dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun." (H.R. Muslim)

Keterangan:
Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- mengabarkan bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Siapa yang mengajak kepada petunjuk (kebajikan), maka ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun." Siapa mengajak kepada petunjuk (kebajikan), maksudnya ia menjelaskan petunjuk (kebajikan) kepada manusia dan mengajak mereka untuk mengikutinya. Contohnya, menjelaskan pada manusia bahwa dua rakaat salat Duha adalah sunah dan seyogyanya seseorang itu mengerjakan dua rakaat salat Duha. Lalu orang-orang mengikutinya dan mereka menunaikan salat Duha. Maka ia memperoleh pahala sebanyak pahala mereka tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun, karena karunia Allah itu luas. Atau, misalnya ia berkata kepada manusia, "Jadikan salat terakhir kalian di malam hari salat Witir, dan jangan kalian tidur kecuali setelah salat Witir, kecuali orang yang bersemangat bangun di akhir malam hendaknya ia melaksanakan salat witirnya di akhir malam." Lalu orang-orang mengikuti nasehatnya ini. Maka ia mendapatkan pahala sebesar pahala mereka. Artinya, setiap kali satu orang yang diberi petunjuk oleh Allah melalui dirinya melakukan salat Witir, maka ia mendapatkan sebesar pahalanya. Demikian pula amal-amal saleh yang lain. Sedang dalam sabda Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Dan siapa mengajak pada kesesatan, maka ia menanggung dosa sebesar dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun". Maksudnya, bila ia mengajak kepada perbuatan dosa dan kepada sesuatu yang mengandung dosa, seperti mengajak orang-orang kepada perbuatan sia-sia, kebatilan, nyanyian, riba atau perkara-perkara haram lainnya. Setiap orang yang terpengaruh oleh ajakannya, maka bagi dia juga ditulislah dosa sebesar dosa-dosa mereka itu. Sebab ia mengajak kepada perbuatan dosa. Mengajak kepada petunjuk (kebajikan) dan mengajak kepada perbuatan dosa bisa dilakukan dengan ucapan, seperti bila seseorang mengatakan, "Lakukan ini, lakukan itu", dan bisa juga dengan perbuatan, khususnya dari sosok yang diikuti banyak orang. Orang yang diikuti jika melakukan sesuatu, maka seolah-olah ia mengajak manusia melakukannya. Oleh sebab ini, mereka beralasan dengan perbuatannya dan mengatakan, "Fulan melakukan ini, maka hal ini boleh, atau ia meninggalkan ini, hal ini boleh ditinggalkan."

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia (Kader Pemuda Persis Kota Bandung)

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama