MEMERINTAHKAN TAPI DIRI TIDAK MENGERJAKAN



KAJIAN RIYADUS SHALIHIN

Bab Beratnya Siksaan untuk Orang yang Menyuruh Berbuat Baik dan Mencegah Kemungkaran, Namun Dia Tidak Melakukan Apa yang Diucapkannya Itu

MUQADDIMAH:

Di antara adab menuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Karena ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi dengan amal. Maka hendaknya orang yang berilmu mengamalkan ilmunya. Karena orang yang berilmu besok pada hari kiamat akan dimintai pertanggung jawabannya, apakah ilmu yang dimiliki telah diamalkan?

Diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ditanya tentang umurnya untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya untuk apa ia amalkan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan serta tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (H.R. At-Tirmidzi, Abu Isa berkata, Hadits ini hasan shahih).

Keterangan:

Muhammad Ali bin Muhammad bin Alan Al-Bakri Ash-Shadiqi menjelaskan, bahwa maksud dari kalimat, untuk apa ilmunya ia amalkan adalah apakah ia beramal (dengan ilmunya) ikhlas karena Allah sehingga ia akan mendapat pahala, atau ia beramal karena riya’ sehingga Allah mengadzabnya, jika Allah menghendaki.”  (Dalilul Falihin, Li Thuruqil Riyadhush Shalihin, IV/140)

Seorang muslim memang wajib menuntut ilmu. Namun ketika ilmu sudah diraih, maka ia dituntut untuk mengamalkannya. Fudhail bin Iyadh berkata:

عَلَى النَّاسِ أَنْ يَتَعَلَّمُوْا فَإِذَا عَلِمُوْا فَعَلَيْهِمُ الْعَمَلُ

Wajib bagi manusia untuk belajar. Jika telah berilmu maka wajib bagi mereka untuk mengamalkannya.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Iqtidha’ul Ilmi Al-Amal, hal. 37)

Hingga para salaf pun enggan menambah ilmu sampai mereka betul-betul telah mengamalkannya. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud beliau berkata:

كُنَّا إِذَا تَعَلَّمْنَا مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَشْرَ آيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ لَمْ نَتَعَلَّمْ مِنَ الْعَشْرِ الَّتِى نَزَلَتْ بَعْدَهَا حَتَّى نَعْلَمَ مَا فِيهِ. قِيلَ لَهُ: مِنَ الْعَمَلِ قَالَ نَعَمْ.

“Kami jika belajar sepuluh ayat Al Qur’an dari Nabi, kami tidak akan belajar sepuluh ayat yang turun berikutnya hinga kami mengetahui isinya. Kemudian ditanyakan, “Maksudnya mengamalkannya? Ia menjawab, “Iya.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim).

Ubai bin Ka’ab juga berkata, “Sesungguhnya Rasulullah membaca Al-Qur’an kepada mereka (para shahabat) sepuluh ayat dari Al-Qur’an. Beliau tidak akan menambah sepuluh ayat yang lain hingga mereka benar-benar belajar untuk mengamalkannya. Para shahabat berkata, “Kami belajar Al-Qur’an dan mengamalkannya secara bersamaan.” (Syarh Al Mukhalilat, I/22)

Maka hendaknya setiap pencari ilmu merasa takut jika tidak bisa mengamalkan ilmunya. Karena ilmu yang dipelajari dan dikuasai akan dimintai pertanggung-jawaban di hadapan Allah.

Adapun tanggung jawab ilmu adalah amal. Abu Darda’ berkata:

مَا عَلِمَ اللهُ عَبْداً عِلْماً إِلَّا كَلَّفَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَمَارَهُ مِنَ الْعَمَلِ

“Tidaklah Allah mengetahui seorang hamba yang berilmu kecuali Allah akan meminta pertanggung jawaban amal kepadanya pada hari kiamat.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Iqtidha’ul Ilmi Al-Amal, hal. 36)

Demikian pula seseorang yang memiliki ilmu tidak disebut alim (orang yang berilmu) hingga ia mengamalkan apa yang ia ketahui. Bahkan sekiranya seseorang membaca ribuan kitab, menghafal banyak hadits dan atsar sekalipun, ia tetap dianggap sebagai orang yang tidak berilmu.

Maka syarat seseorang dikatakan alim (berilmu) adalah ketika ia dapat mengamalkan ilmu yang dimilikinya.

Ali bin Abi Thalib berkata:

 يَا حَمَلَةَ الْعِلْمِ اعْمَلُوا بِهِ فَإِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَوَافَقَ عِلْمُهُ عَمَلَهُ، وَسَيَكُونُ أَقْوَامٌ يَحْمِلُونَ الْعِلْمَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يُخَالِفُ عَمَلُهُمْ عِلْمَهُمْ وَتُخَالِفُ سَرِيرَتُهُمْ عَلَانِيَتَهُمْ يَجْلِسُونَ حِلَقًا يُبَاهِي بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى إنَّ الرَّجُلَ لَيَغْضَبُ عَلَى جَلِيسِهِ أَنْ يَجْلِسَ إلَى غَيْرِهِ وَيَدَعَهُ ، أُولَئِكَ لَا تَصْعَدُ أَعْمَالُهُمْ فِي مَجَالِسِهِمْ تِلْكَ إلَى اللَّهِ تَعَالَى.

“Wahai para pemegang ilmu, hendaklah kalian mengamalkannya (ilmu yang telah diketahui), karena seorang alim adalah yang mengamalkan apa yang ia ketahui dan ilmunya sesuai dengan amalannya. Akan ada beberapa kaum, mereka membawa ilmu dan ilmu mereka tidak melewati kerongkongan mereka, amal mereka menyelisihi ilmu mereka, batin mereka tidak sesuai dengan lahir mereka, mereka duduk-duduk bermajlis dalam sebuah kelompok dan sebagian mereka membanggakan atas sebagian yang lain, hingga ada seorang laki-laki marah kepada teman majlisnya karena ia berpindah ke tempat lain dan meninggalkannya. Mereka itulah yang amal mereka tidak diangkat kepada Allah.” (Sunan Ad-Darimi)

Fudhail bin Iyadh juga berkata:

لَا يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً بِمَا عَلِمَ حَتَّى يَعْمَلُ بِهِ ، فَإِذَا عَمِلَ بِهِ كَانَ عَالمِاً

Orang yang berilmu senantiasa (dianggap) bodoh terhadap apa yang diketahui hingga ia mengamalkannya. Jika ia telah mengamalkannya maka ia benar-benar orang yang berilmu.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Iqtidha’ul Ilmi Al-Amal, hal. 37)

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad, berkata, “Sekira engkau membaca ilmu seratus tahun dan engkau kumpulukan seribu kitab, semua itu tidak akan membantumu berhak mendapat rahmat Allah hingga engkau mengamalkannya.

Allah berfirman, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39). Allah juga berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Orang yang berilmu memang banyak memiliki keutamaan. Namun jika ilmu tersebut tidak diamalkan, maka ia tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya. Ia bagaikan pohon tanpa buah yang tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi hujjah atas pemiliknya pada hari kiamat. Maka seorang penuntut ilmu hendaknya mengamalkan ilmunya. Tidak hanya sebatas belajar, namun hendaknya diikuti dengan amal perbuataan. 


ALLAH SWT. BERFIRMAN:

AYAT PERTAMA:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir? (Al-Baqarah: 44)

Tambahan:

Selanjutnya, setelah memerintahkan salat dan zakat, ayat ini mengecam pemuka-pemuka Yahudi yang sering kali memberi tuntunan kepada orang lain agar berbuat baik, tetapi melakukan sebaliknya dan melupakan diri mereka. Mengapa kamu, Bani Israil atau pemuka-pemuka Yahudi, menyuruh orang lain, baik yang seagama dengan kamu maupun orang-orang musyrik atau siapa saja, untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri dan tidak menyuruh dirimu untuk melakukan kebajikan itu? Kamu melakukan hal itu, padahal kamu membaca Kitab Taurat? Tidakkah kamu mengerti dan berakal sehingga memiliki kendali yang menghalangi kamu terjerumus ke dalam dosa dan kesulitan?

Meski pembicaraan pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi, nasihat yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi kaum muslim, apalagi para pemuka agama, yakni hendaknya mengingatkan diri sendiri lebih dahulu sebelum mengajak orang lain berbuat baik.

Latar belakang ayat ini menurut Ibnu 'Abbas adalah di antara orang-orang Yahudi di Medinah ada yang memberi nasihat kepada keluarga dan kerabat dekatnya yang sudah masuk Islam supaya tetap memeluk agama Islam. Yang diperintahkan orang ini adalah benar yaitu menyuruh orang lain untuk berbuat benar tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya. Maka pada ayat ini Allah mencela tingkah laku dan perbuatan mereka yang tidak baik dan membawa kepada kesesatan. Di antara kesesatan-kesesatan yang telah dilakukan bangsa Yahudi ialah mereka menyatakan beriman kepada kitab suci mereka yaitu Taurat, tetapi ternyata mereka tidak membacanya dengan baik.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa mereka "melupakan" diri mereka. Maksudnya ialah "membiarkan" diri mereka rugi, sebab biasanya manusia tidak pernah melupakan dirinya untuk memperoleh keuntungan, dan dia tak rela apabila orang lain mendahuluinya mendapat kebahagiaan. Ungkapan "melupakan" itu menunjukkan betapa mereka melalaikan dan tidak mempedulikan apa yang sepatutnya mereka lakukan, seakan-akan Allah berfirman, "Jika benar-benar kamu yakin kepada Allah bahwa Dia akan memberikan pahala atas perbuatan yang baik, dan mengancam akan mengazab orang-orang yang meninggalkan perbuatan-perbuatan yang baik itu, mengapakah kamu melupakan kepentingan dirimu sendiri?"

Cukup jelas bahwa susunan kalimat ini mengandung celaan yang tak ada taranya, karena barang siapa menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan kebajikan tetapi dia sendiri tidak melakukannya, berarti dia telah menyalahi ucapannya sendiri. Para pendeta yang selalu membacakan kitab suci kepada orang-orang lain, tentu lebih mengetahui isi kitab itu daripada orang-orang yang mereka suruh untuk mengikutinya. Besar sekali perbedaan antara orang yang melakukan suatu perbuatan padahal dia belum mengetahui benar faedah dari perbuatan itu, dengan orang yang meninggalkan perbuatan itu padahal dia mengetahui benar faedah dari perbuatan yang ditinggalkannya itu. Oleh sebab itu, Allah memandang bahwa mereka seolah-olah tidak berakal, sebab orang yang berakal, betapapun lemahnya, tentu akan mengamalkan ilmu pengetahuannya.

Firman Allah ini, walaupun ditujukan kepada Bani Israil, namun menjadi pelajaran pula bagi yang lain. Setiap bangsa, baik perseorangan maupun keseluruhannya, hendaklah memperhatikan keadaan dirinya, dan berusaha untuk menjauhkan diri dari keadaan dan sifat- sifat seperti yang terdapat pada bangsa Yahudi yang dikritik dalam ayat tersebut di atas, agar tidak menemui akibat seperti yang mereka alami.

AYAT KEDUA:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3) 

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash-Shaff: 2-3)


Tambahan:

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya! Mengapa kamu mengatakan secara terbuka di hadapan orang banyak atau secara tertutup sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Apakah kamu merasa tidak bersalah melakukannya?

Setelah Allah menerangkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia mengingatkan kaum Muslimin akan kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka, yaitu mereka mengatakan suatu perkataan, tetapi mereka tidak merealisasikan atau mengerjakannya. Di antaranya, mereka berkata, "Kami ingin mengerjakan kebajikan-kebajikan yang diperintahkan Allah," tetapi jika datang perintah itu, mereka tidak mengerjakannya.

Ada dua macam kelemahan manusia yang dikemukakan ayat ini, yaitu:

1. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan mereka. Kelemahan ini kelihatannya mudah diperbaiki, tetapi sukar dilaksanakan. Sangat banyak manusia yang pandai berbicara, suka menganjurkan suatu perbuatan baik, dan mengingatkan agar orang lain menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas bahwa 'Abdullah bin Rawahah berkata, "Para mukmin pada masa Rasulullah sebelum jihad diwajibkan berkata, "Seandainya kami mengetahui perbuatan-perbuatan yang disukai Allah, tentu kami akan melaksanakannya." Maka Rasulullah menyampaikan bahwa perbuatan yang paling disukai Allah ialah beriman kepada-Nya, berjihad menghapuskan kemaksiatan yang dapat merusak iman, dan mengakui kebenaran risalah yang disampaikan Nabi-Nya. Setelah datang perintah jihad, sebagian orang-orang yang beriman merasa berat melakukannya. Maka turunlah ayat ini sebagai celaan akan sikap mereka yang tidak baik itu.

2. Tidak menepati janji yang telah mereka buat. Suka menepati janji yang telah ditetapkan merupakan salah satu ciri dari ciri-ciri orang-orang yang beriman. Jika ciri itu tidak dipunyai oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, berarti ia telah menjadi orang munafik.

Rasulullah saw bersabda:Tanda orang munafik ada tiga macam: bila berjanji, ia menyalahi janjinya, bila berkata, ia berdusta dan bila dipercaya, ia berkhianat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Namun tidak berarti bahwa orang-orang tidak boleh mengatakan kebenaran bila ia sendiri belum mampu melaksanakannya. Mengatakan kebenaran wajib, sedangkan melaksanakannya tergantung kemampuan. Allah berfirman: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (at-Tagabun/64: 16)

Perbuatan kamu, wahai orang-orang yang beriman, yang tidak melakukan apa yang sudah dikatakan atau disampaikan kepada orang lain sangatlah dibenci di sisi Allah, jika kamu mengikuti kebiasaan orang-orang munafik, mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan, bermuka dua, tidak ada kesatuan kata dan perbuatan dan tidak ada integritas.

Allah memperingatkan bahwa sangat besar dosanya orang mengatakan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Hal ini berlaku baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan masyarakat.

Menepati janji merupakan perwujudan iman yang kuat. Budi pekerti yang agung, dan sikap yang berperikemanusiaan pada seseorang, menimbulkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan menyalahi janji tanda iman yang lemah, serta tingkah laku yang jelek dan sikap yang tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan saling mencurigai dan dendam di dalam masyarakat. Oleh karena itulah, agama Islam sangat mencela orang yang suka berdusta dan menyalahi janjinya.

Agar sifat tercela itu tidak dipunyai oleh orang-orang beriman, alangkah baiknya jika menepati janji dan berkata benar itu dijadikan tujuan pendidikan yang utama yang diajarkan kepada anak-anak di samping beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan melatih diri mengerjakan berbagai bentuk ibadah yang diwajibkan.

AYAT KETIGA:

قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (88) 

Syuaib berkata, "Hai kaumku, bagaimana pikiran kalian jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah¬-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang kalian darinya. 'Aku tidak ber-maksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. (Huud: 88)

Tambahan:

Mendengar sindiran mereka itu, dia -Nabi Syuaib- berkata, Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata tentang apa yang aku sampaikan kepadamu dari Tuhanku, dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik lagi banyak dan melimpah, pantaskah aku mengabaikan perintah dan larangan-Nya? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya, yakni aku tidak bermaksud melarang kamu melakukan sesuatu, sementara aku sendiri mengerjakan apa yang aku larang itu. Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan dan keadilan selama aku masih sanggup melakukannya, bukan untuk memonopoli. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah Dan tidak ada taufik bagiku untuk menegakkan kebenaran melainkan dengan pertolongan Allah. Kepada-Nya aku bertawakal setelah berusaha maksimal, dan hanya kepada-Nya pula aku kembali, yakni mengembalikan segala urusan.

Pada ayat ini Allah swt menerangkan jawaban Syuaib a.s. terhadap bantahan kaumnya itu dengan mengatakan, "Hai kaumku bagaimana pikiranmu tentang persoalan ini jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku bahwa dakwah yang kusampaikan kepadamu itu bukan pendapatku sendiri tetapi wahyu dari Allah. Ia telah menganugerahkan kepadaku bermacam-macam rezeki yang baik. Semuanya aku peroleh dengan jalan yang halal, tanpa mengurangi takaran dan timbangan dan cara-cara lain yang sifatnya mengurangi atau merugikan hak orang lain dengan cara yang tidak sah. Apa yang kukatakan ini kepadamu sekalian adalah hasil percobaan dan pengalamanku dalam usaha yang berhasil baik yang mengandung kebajikan dan keberkahan, bukan sekadar berdasarkan teori atau omongan orang yang belum berpengalaman."

Selanjutnya Nabi Syuaib a.s. menjelaskan kepada kaumnya dengan mengatakan, "Sama sekali aku tidak bermaksud melarangmu untuk mengurangi takaran dan timbangan serta perbuatan-perbuatan lain yang sifatnya mengurangi atau merugikan hak orang lain dengan jalan yang tidak halal, lalu kemudian aku sendiri mengerjakannya, tetapi sejak semula aku telah berlaku jujur dan tidak mengerjakan penipuan dan kecurangan."

Kemudian Nabi Syuaib a.s. mengatakan bahwa ia tidak akan mendapat taufik dalam setiap langkah yang diambilnya, kecuali dengan hidayah dan pertolongan Allah. Kemudian ia menyatakan lagi bahwa ia tidak punya daya dan kekuatan, hanya kepada Allah-lah dia bertawakal dalam menunaikan dakwah yang disampaikan kepada kaumnya. Dan kepada-Nyalah ia kembali dalam segala urusan di dunia ini, dan Dialah yang akan membalas semua amalnya di hari akhirat.

Ayat-ayat dalam bab ini banyak dan terkenal, adapun hadits-haditsnya:

وعن أَبي زيد أسامة بن حارثة رضي الله عنهما، قَالَ: سمعت رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: «يُؤْتَى بالرَّجُلِ يَوْمَ القيَامَةِ فَيُلْقَى في النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أقْتَابُ بَطْنِهِ فَيدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ في الرَّحَى، فَيَجْتَمِعُ إِلَيْه أهْلُ النَّارِ، فَيَقُولُونَ: يَا فُلانُ، مَا لَكَ؟ أَلَمْ تَكُ تَأمُرُ بالمعْرُوفِ وَتنهَى عَنِ المُنْكَرِ؟ فَيقُولُ: بَلَى، كُنْتُ آمُرُ بِالمَعْرُوفِ وَلا آتِيهِ، وأنْهَى عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

Dari Abu Zaid yaitu Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Akan didatangkan seorang lelaki pada hari kiamat, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka, lalu keluarlah isi perutnya -usus-ususnya-, terus berputarlah orang tadi pada isi perutnya sebagaimana seekor keledai mengelilingi gilingan. Para ahli neraka berkumpul di sekelilingnya lalu bertanya: "Mengapa engkau ini hai Fulan? Bukankah engkau dahulu suka memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran?" Orang tersebut menjawab: "Benar, saya dahulu memerintahkan kepada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang dari kemungkaran, tetapi saya sendiri mengerjakannya." (Muttafaq 'alaih)

Tambahan:

Hadis ini berisi peringatan keras bagi orang yang memerintahkan kebaikan namun ia tidak melakukannya, dan melarang kemungkaran tapi ia justru mengerjakannya. Kita berlindung pada Allah dari keburukan ini. Pada hari kiamat, malaikat datang membawa seseorang lalu dilemparkan ke dalam neraka. Orang itu tidak masuk neraka dengan pelan-pelan, tapi dilemparkan ke dalamnya seperti batu dilempar ke laut. Maka ususnya keluar dari perut akibat lemparan yang sangat keras. Lalu ia berputar-putar membawa ususnya seperti keledai mengitari alat penggilingan. Para penghuni neraka berkumpul mengerumuninya seraya bertanya padanya, "Kenapa kamu? Apa yang membuatmu masuk ke sini, padahal engkau dulu memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran?" Ia menjawab seraya mengakui kesalahan dirinya, "Aku memerintahkan kebaikan namun aku tidak melaksanakannya dan aku melarang kemungkaran tapi aku melakukannya." Jadi, seseorang itu wajib memulai dengan dirinya sendiri, memerintahnya dengan kebaikan dan melarangnya dari kemungkaran. Karena manusia yang paling besar haknya atas dirimu, setelah Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- adalah dirimu sendiri.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Kader Pemuda Persis Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama