10 HAL MENDATANGKAN CINTA ALLAH TA'ALA

 


بسم الله الرحمن الرحيم

“10 HAL YANG MENDATANGKAN CINTA ALLAH”

MUQADDIMAH:
Semoga kita senantiasa mendapatkan cinta Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.
Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

PERTAMA:
 قراءة القرآن بالتدبر و التفهم لمعانيه و ما أريد به
Membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an, pen]

Al-Qur’an itu direnungkan. Kita istilahkan dengan tadabbur, dalam KBBI disebut dengan tadabur. Tadabbur ini penting karena dengan tadabbur, kita akan bisa mengambil pelajaran-pelajaran penting hingga Al-Qur’an bisa diamalkan isinya. Ini keadaannya berbeda sekali jika kita hanya membaca Al-Qur’an atau menghafalkannya, tanpa memahami arti, memahami tafsirannya, hingga tadabbur.
Berikut adalah ayat-ayat yang mendorong kita untuk tadabbur Al-Qur’an.

Ayat Pertama:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)

Ayat Kedua:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad: 29)

Ayat Ketiga:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Memahami Al-Qur’an dan merenungkannya akan membuahkan iman. Adapun jika Al-Qur’an cuma sekadar dibaca tanpa ada pemahaman dan perenungan (tadabbur), itu bisa pula dilakukan oleh orang fajir (ahli maksiat) dan munafik, di samping dilakukan oleh pelaku kebaikan dan orang beriman.” (Zaad Al-Ma’ad, 1:327)

Bagaimana cara tadabbur?
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Apabila engkau ingin memetik manfaat dari Al-Qur’an, maka fokuskan hatimu saat membaca dan mendengarkannya. Pasang baik-baik telingamu dan posisikanlah diri seperti posisi orang yang diajak bicara langsung oleh Dzat yang memfirmankannya. Al-Qur’an ini makin sempurna pengaruhnya bergantung pada faktor pemberi pengaruh yang efektif, tempat yang kondusif, terpenuhinya syarat, terwujudnya pengaruh, dan ketiadaan faktor yang menghalanginya. Semua ini telah terkandung dalam firman Allah:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf: 37).

Dari awal surah Qaf hingga ayat ke-37 ini namanya faktor pemberi pengaruh.
Firman-Nya: Bagi orang yang punya hati, berarti hati yang hidup. Ini representasi dari tempat yang hidup. Sebagaimana disebutkan pula dalam surah:

لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (QS. Yasin: 70)

Firman-Nya “atau yang menggunakan pendengarannya”, maksudnya mengarahkan pendengarannya dan memasang indra dengarnya pada apa yang diucapkan padanya. Ini namanya syarat terwujudnya pengaruh.

Firman-Nya “sedang dia menyaksikannya” maksudnya, hatinya menyaksikan, hadir dan tidak ke mana-mana, serta mendengarkan kitab Allah. Orang yang hatinya menyaksikan dan memahami, hatinya tidak lupa maupun lalai. Ini menunjukkan untuk tadabbur Al-Qur’an harus menghilangkan faktor yang menghalangi, yaitu kelalaian dan tidak hadirnya hati dari apa yang diucapkan padanya, dari memperhatikan dan merenungkannya.

Bila ada faktor pengaruh yaitu Al-Qur’an, tempat yang kondusif yaitu hati yang hidup, syarat juga terpenuhi yaitu mendengarkan dengan seksama, faktor penghalang tidak ada yaitu kelalaian dan memahami maksud ucapan, dan berpaling pada sesuatu yang lain, niscaya muncul pengaruh, yaitu kemampuan mengambil manfaat dan mengambil peringatan.” Lihat Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim, hlm. 5, 6, 156; dinukil dari Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah, hlm. 225-226.
Ringkasnya, langkah untuk tadabbur Al-Qur’an ada empat:
Ada ayat yang dibaca.
Hati kita hidup.
Mendengarkan dengan seksama.
Tidak lalai dan memahami maksud ucapan.

KEDUA:
 التقرب إلى الله بالنوافل بعد الفرائض
Mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.
Ibadah sunnah memiliki keutamaan yang sangat besar, sehingga tidak selayaknya seorang muslim bermudah-mudah dalam meninggalkannya. Berikut ini beberapa keutamaan ibadah sunnah dalam syariat.

Pertama: Menyempurnakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah wajib
Tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam pelaksanaan ibadah wajib, kita masih memiliki banyak kekurangan. Shalat wajib kita yang kurang khusyu’, atau puasa Ramadhan kita yang kurang sempurna. Di sinilah fungsi ibadah sunnah, yaitu menyempurnakan atau menambal kekurangan yang terdapat dalam ibadah wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ، فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ، قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
“Sesungguhnya perkara pertama kali yang dihisab pada hari kiamat dari amal seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka sungguh dia beruntung dan selamat. Jika shalatnya buruk, maka sungguh dia celaka dan rugi. Jika terdapat suatu kekurangan pada shalat wajibnya, Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?” Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (HR. Tirmidzi no. 413, An-Nasa’i no. 466, shahih)


Dalam riwayat Ahmad dengan lafadz:

إِنَّ مِنْ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، قَالَ: يَقُولُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya perkara pertama kali yang dihisab pada hari kiamat dari amal manusia adalah shalat.” Rasulullah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat, dan Allah lebih mengetahui, “Periksalah shalat hamba-Ku, apakah sempurna atau ada kekurangan?” Jika shalatnya sempurna, maka dicatat sempurna untuknya. Jika terdapat suatu kekurangan, Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunnah?” Jika seorang hamba memiliki amal ibadah sunnah, Allah Ta’ala berfirman, “Sempurnakanlah ibadah wajibnya dengan ibadah sunnahnya.” Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (HR. Ahmad no. 9494)

Kedua: Mendatangkan kecintaan dari Allah Ta’ala sehingga menjadi wali atau kekasih-Nya yang pilihan
Seorang hamba yang ingin menjadi kekasih pilihan Allah, hendaklah dia mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah, di samping melaksanakan ibadah yang bersifat wajib. Hal ini sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wali Allah:

إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
“Allah Ta’ala berfirman, “Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, maka aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal sunnah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatan yang dia gunakan untuk melihat; menjadi tangan yang dia gunakan untuk memegang; dan menjadi kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, sungguh akan Aku beri. Jika dia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari no. 6502)

Berdasarkan hadits di atas, terdapat dua tingkatan wali atau kekasih Allah Ta’ala.
Tingkatan pertama, yaitu al-muqtashiduun (pertengahan) atau ash-haabul yamiin (golongan kanan). Mereka bersikap sederhana (pertengahan) dalam amal, yaitu dengan melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, namun terkadang mengerjakan yang makruh dan meninggalkan amal sunnah.

Tingkatan kedua, yaitu as-saabiquun al-muqarrabuun (orang yang bersegera dalam kebaikan dan sangat dekat dengan Allah Ta’ala). Mereka berlomba-lomba dan bersegera berbuat kebaikan, yaitu dengan melaksanakan yang wajib, meninggalkan yang haram, senantiasa berusaha mengerjakan amal sunnah, dan juga meninggalkan perkara makruh. Inilah derajat atau tingkatan kewalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkatan pertama.

KETIGA:
 دوام ذكره على كل حال: باللسان و القلب و العمل والحال
Terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya. 

Allah Ta’ala berfirman:

إنَّ في خَلْقِ السَّماوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.” (QS. Ali Imran: 190-191)

Faedah Ayat:
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Inilah keadaanmu wahai manusia. Ingatlah Allah ketika berdiri. Jika tidak mampu, ingatlah Allah ketika duduk. Jika tidak mampu, ingatlah Allah ketika berbaring. Inilah keringanan dan kemudahan dari Allah.” (Dinukil dari Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 846)

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdzikir (mengingat) Allah pada setiap waktunya.” (HR. Muslim) [HR. Bukhari, no. 19 dan Muslim, no. 737]

Faedah Hadits:
Dzikir bisa dilakukan dalam keadaan apa pun sesuai keadaan seseorang. Ini sekaligus kritikan kepada orang sufi (tasawwuf) yang berdzikir mesti dengan membuat ritual tertentu, seperti dengan dansa, lompat-lompat, dan dengan alat musik. Ini semua termasuk amalan yang tidak ada petunjuknya dalam agama kita.

Lafaz “Allah, Allah, Allah” yang disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) yang diucapkan dalam rangka ibadah termasuk amalan yang menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak pernah dilakukan oleh beliau dan para sahabatnya.

Seorang muslim yang baik adalah yang tidak lalai dari berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaan.

Hadits ini menjadi dalil bagi sebagian ulama seperti ulama Malikiyyah mengenai bolehnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambali menyatakan haramnya membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan nifas.

KEEMPAT:
 إيثار محابة على محابك عند غلبات الهوى، والتسنم إلى محابه، و إن صعب المرتقى
Lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Madârij as-Sâlikîn memaparkan tingkatan kedua dari berbagai tingkatan îtsâr yaitu: lebih mendahulukan ridha Allâh daripada ridha selain-nya; meskipun harus menghadapi ujian yang dahsyat, beban yang berat, serta meski fisik begitu lemah.

Pengaruh dari perbuatan yang lebih mendahulukan apa yang dicinta Allâh Azza wa Jalla daripada yang lainnya bisa terlihat jelas dalam tiga hal.

Pertama: Menundukkan Hawa Nafsu
Tak ada yang bisa mendaki menuju kecintaan Allâh Azza wa Jalla kecuali orang yang bisa menundukkan dan mengekang hawa nafsunya yang terlarang. Hawa nafsu yang terlarang adalah ketika seseorang cenderung pada setiap yang batil dan haram.

Syaikh Muhammad as-Saffarini rahimahullah dalam Manzhûmat al- dâb berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa ketika jiwa seorang melawan hawa nafsunya; di sanalah letak kemuliaan dan kekuatan jiwanya dalam menghadapi syetan dan bala tentaranya; dan jiwanya tidak hina. Ketika ia dera hawa nafsunya dengan cambuk mutaba’ah dan iqtida’ (mengikuti dan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam), serta mengarahkannya dengan kendali takwa, maka terwujudlah bagi jiwanya kemuliaan, kekuatan dan keluhuran karena ia menerapkan ittiba’ kepada Nabi dan menyelisihi bid’ah.

Mengapa melawan hawa nafsu bisa mendatangkan kecintaan Allâh?
Jawabnya, karena saat hawa nafsu mendominasi, seseorang harus memilih satu dari dua pilihan: memilih ucapan atau perbuatan yang membuat Allâh ridha, ataukah memilih hal yang memuaskan hawa nafsunya.

Oleh sebab itulah melawan hawa nafsu dan bersabar dalam menghadapinya termasuk dalam kategori jihad; bahkan termasuk tingkatan jihad tertinggi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Seorang Muslim harus takut kepada Allâh Azza wa Jalla, dan mencegah diri dari hawa nafsunya. keberadaan nafsu dan syahwat itu sendiri tidak menjadi sebab seseorang dihukum, namun ia dihukum dan disiksa karena ia memperturutkan nafsu dan syahwatnya. Bila seseorang ingin (mengerjakan yang terlarang), namun ia menahan dirinya, berarti ia telah mencegah nafsunya, sebagai bentuk ibadah kepada Allâh dan bentuk amal shalih.”

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

المُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فيِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Orang yang berjihad adalah orang yang berperang melawan (hawa nafsu) dirinya karena Allâh Azza wa Jalla.

Jadi, semua orang diperintahkan untuk melawan (nafsunya) sebagaimana ia diperintahkan untuk melawan orang yang memerintahkan dan menyerukan maksiat.
Kedua: Menyelisihi Hawa Nafsu Orang Lain
Maksudnya, tidak ikut-ikutan ketika orang-orang di sekitarnya menyimpang atau menyelisihi kebenaran. Seorang Mukmin harus mengedepankan apa yang Allâh Azza wa Jalla cintai daripada apa yang disukai manusia. Konsekuensinya adalah dia harus menyeru kepada kebenaran dan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran serta siap menanggung resiko dakwahnya.

Ketiga: Melawan Syaitan dan Memerangi Para Walinya

Cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan tunduk kepada syaitan adalah dua kutub yang tidak akan pernah bertemu. Sang musuh terlaknat senantiasa mengintai iman hamba hingga ia berhasil melenyapkannya dari hati para hamba. Lalu bagaimana mungkin seseorang akan menang, bila ia sadar bahwa hatinya sedang diserang syaitan dan bala tentaranya namun dia tidak melakukan perlawanan?
Sebagian Ulama membuat permisalan untuk hal tersebut. Iman diumpamakan sebagai sebuah negeri yang punya 5 benteng. Benteng pertama dari emas, kedua dari perak, ketiga dari besi, keempat dari batu bata, dan kelima dari batu bata mentah. Selama para penjaga benteng menjaga dengan baik benteng dari bata mentah, maka musuh pun tidak akan tamak untuk bisa menghancurkan benteng selanjutnya. Namun bila mereka teledor, musuh akan bertekad kuat merobohkan benteng yang selanjutnya, lalu berikutnya, dan begitu seterusnya; hingga akhirnya semuanya luluh lantak. Demikian pula iman, ada lima benteng yaitu keyakinan, lalu keikhlasan, lalu menunaikan yang wajib, kemudian menunaikan yang sunnah, selanjutnya menjaga adab-adab. Selama hamba menjaga adab-adab dengan baik, syaitan pun tak akan tamak untuk bisa merobohkannya. Namun bila ia meninggalkan adab, syaitan akan rakus untuk merongrong yang sunnah, lalu yang wajib, kemudian merongrong keikhlasan, dan akhirnya menghancurkan keyakinan.

Mengenai berperang melawan syaitan dan para tentaranya, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allâh, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [An-Nisa’/4:76]

Di antara tanda kecintaan kepada Allâh adalah mencintai syariat Allâh, sehingga seorang hamba komitmen dengannya dan mendakwahkannya. Ia akan memerangi musuh-musuh syariat Islam, tak gentar dengan apapun jua. Maka seorang mujahid muslim yang rela mengorbankan ruhnya agar manusia mau masuk ke agama Allâh, maka amalnya ini patutlah untuk menjadi puncak Islam.

Allâh pun mencintai para mujahidin yang berjuang demi tegaknya kalimat Allâh. Dia Azza wa Jalla berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” [Al-Maidah/5: 54]

Dan jihad punya cakupan yang luas karena jihad merupakan upaya mengerahkan segala daya untuk menolak segala hal yang menjauhkan diri dan manusia dari agama Allâh. Dalam al-Quran jihad ditautkan dengan hidayah; petunjuk; baik untuk diri sendiri maupun manusia secara umumnya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. [Al-Ankabut/29: 69]

Maka yang paling sempurna petunjuknya adalah yang paling besar jihadnya. Dan jihad yang paling wajib adalah jihad melawan diri, melawan hawa nafsu, melawan syaitan dan melawan dunia (hal-hal duniawi). Maka barangsiapa yang berjihad melawan empat hal ini di jalan Allâh, Allâh pun akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan menambatkannya ke surga Allâh. Dan barangsiapa yang meninggalkan jihad, maka luput darinya petunjuk sesuai dengan jihad yang ia tinggalkan.

Kecintaan kepada Allâh berkonsekuensi pada jihad. Karena seorang pecinta akan mencinta apa yang dicinta oleh kekasihnya, dan membenci apa yang dibenci kekasihnya; Mereka inilah orang yang Allâh ridha dengan apa yang mereka ridha, yang Allâh murka karena marah mereka. Karena, mereka ini sejatinya tidaklah ridha kecuali pada yang diridhai-Nya, dan tidak marah selain pada hal yang Dia murkai.

KELIMA:
 مطالعة القلب لأسمائه و صفاته
Merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Sikap ini bisa menumbuhkan rasa cinta kepada Allah. Karena setiap hati pasti tertarik untuk mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan membenci apa saja yang menyakitinya. Dalam hal berbuat baik ini. Tak ada yang melebihi Allah. Karena setiap detik Allah memberikan nikmat-Nya pada hamba-Nya. Dalam berbagai hal, hamba selalu berada dalam gelimang kebaikan-Nya, yang nyaris tidak bisa dihitung oleh seseorang. Cukuplah nikmat pernapasan sebagai contohnya. Dalam sehari, setidaknya hamba bernafas sebanyak dua puluh empat ribu kali, dan setiap tarikan nafas itu adalah nikmat dari Allah. Jika pernapasan itu merupakan nikmat paling kecil, maka nikmat yang lebih besar darinya jelas tidak bisa kita hitung banyaknya. Mahabenar Allah ketika berfirman:

 وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ (18) 
Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl {16}: 18)

Keterangan:
Begitu banyak nikmat dan karunia yang Allah anugerahkan kepada kalian, baik di langit, darat, air, maupun dalam diri manusia; semua demi kemaslahatan dan kebaikan manusia. Dan jika kamu, wahai manusia, berkumpul dan bersama-sama memakai alat-alat tercanggih sekalipun untuk menghitung nikmat Allah kepada kalian, niscaya kamu sampai kapan pun tidak akan mampu menghitung jumlah-nya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun atas kesalahan-kesalahanmu, Maha Penyayang kepadamu sehingga Dia tidak memutus nikmat-Nya kepadamu meski kamu mendurhakai dan mengingkari-Nya.
Allah lalu menegaskan bahwa apabila manusia mau menghitung nikmat-Nya, tentu mereka tak akan dapat menentukan jumlahnya karena pikiran manusia itu sangat terbatas, sedangkan nikmat Allah begitu luas. Oleh sebab itu, kewajiban manusia hanyalah mensyukuri nikmat-nikmat itu dan memanfaatkannya untuk memenuhi keperluan hidupnya dan berkhidmat kepada masyarakat sesuai dengan tuntunan dan keridaan Allah.

Di akhir ayat ditegaskan bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Pengampunan disebut dalam ayat ini karena kebanyakan manusia mensyukuri sebagian kecil dari nikmat yang mereka terima, sedangkan nikmat-nikmat yang sangat luas mereka lupakan begitu saja. Penyebutan kata-kata Maha Penyayang menunjukkan bahwa Allah tidak akan memberikan hukuman kepada mereka dengan segera karena keingkaran mereka terhadap nikmat Allah yang Mahaluas itu.
Belum lagi nikmat yang dirasakan dalam bentuk luputnya beragam bahaya dan gangguan dari dirinya yang jumlahnya sama dengan nikmat pemberian yang dilimpahkan kepadanya. Padahal Allah memeliharanya siang dan malam, sebagaimana. Firman-Nya:
قُلْ مَنْ يَكْلَؤُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مِنَ الرَّحْمَنِ بَلْ هُمْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِمْ مُعْرِضُونَ (42) 
Katakanlah, "Siapakah yang dapat memelihara kalian di waktu malam dan siang hari dari (azab Allah) Yang Maha Pemurah?” Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berpaling dari mengingati Tuhan mereka. (Al-Anbiya’ [21]: 42)

Keterangan:
Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, sebagai jawaban atas ejekan orang-orang kafir dengan pertanyaan, “Siapakah yang akan menjaga kamu pada waktu malam dan siang dari siksaan Allah Yang Maha Pengasih di dunia?” Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyadarkan mereka bahwa tidak seorang pun berkuasa melindungi mereka dari azab Allah; tetapi mereka enggan mengingat Tuhan mereka dengan beriman dan beribadah kepada-Nya.

Dengan ayat ini Allah menyuruh Nabi untuk menjawab ejekan itu dengan cara mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang siapakah yang dapat memelihara dan melindungi mereka dari azab Allah, baik pada waktu malam maupun pada waktu siang?

Pertanyaan itu dimaksudkan untuk menyadarkan mereka, bahwa tidak seorang pun kuasa untuk melindungi mereka dari siksa dan azab Allah, karena Dia Mahakuasa untuk berbuat apa yang dikehendaki-Nya. Andaikata mereka selalu ingat tentang iradah dan kekuasaan Allah, niscaya mereka tidak akan mengejek atau menantang semacam itu. Akan tetapi karena mereka adalah orang-orang yang telah berpaling dari mengingat Allah dan kekuasaan-Nya, maka itulah sebabnya mengapa mereka mengejek Rasul-Nya dan menantang dengan sikap yang angkuh agar azab tersebut segera ditimpakan kepada mereka.

KEENAM:
 مشاهدة بره و إحسانه وآلائه، و نعمه الباطنة والظاهرة
Memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Siapa yang mengenal Allah dengan nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya pasti akan mencintai-Nya. Jalan untuk meraih cinta Allah ini hanya bisa dilalui oleh hamba-hamba-Nya yang istimewa dan para wali-Nya. Ia adalah pintu para pencinta sejati, dan tidak ada yang bisa memasukinya kecuali mereka. Pengenalan (ma’rifat) ini tidak pernah mengenal rasa puas; makin luas pengenalan seseorang, makin dalam ia dihunjam oleh rasa rindu, cinta dan kehausan jiwa.

Bila motivasi untuk berbuat baik dan menyenangkan seseorang berpadu dengan dorongan meraih kesempurnaan dan keindahan, maka tidak ada yang ingin ketinggalan dengan jenis cinta ini kecuali hati yang berkarat yang sama sekali tak tersentuh dengan nilai kebaikan sedikit pun.
Jika kesempurnaan adalah sesuatu yang bisa menjadi obyek cinta karena hakikat kesempurnaan itu sendiri, tentu Allah lebih pantas untuk dicintai karena Dzat dan Sifat-Nya, lantaran tidak ada sesuatu yang lebih sempurna dari-Nya. Sehingga tiap manusia dan sifat Allah menuntut cinta yang khusus.
Mengetahui dan beriman kepada nama-nama dan sifat Allah SWT tak mungkin menjadi hal yang sia-sia bagi umat Islam. Setidaknya, terdapat beberapa manfaat yang bisa didapatkan apabila seorang hamba beriman dan mengetahui tentang keduanya.
Nama dan sifat yang sesuai dengan kesempurnaan dan keagungan Allah perlu diketahui sambil terus beriman dan memaknai kebesaran-Nya.

Dalam pandangan ahli sunnah wal-jamaah, nama-nama dan sifat Allah dapat dimaknai sebagai keimanan dan pengetahuan bagi manusia, kehendak Allah untuk menjaga, berdoa kepada Allah dengan memanggil asma-Nya, dan bertindak sesuai kehendak-Nya. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat Al-A’raf ayat 180: 

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Imam As-Syaukani berpendapat bahwa ayat tersebut mengandung informasi mengenai jumlah nama-nama Allah tanpa diperinci. Dan asmaul husna adalah sebaik-baiknya nama, dan memiliki konotasi paling terhormat jika ditelisik secara kebahasaan. Maka dengan nama-nama paling terbaik dan terhormat inilah, manusia diperintahkan untuk menyebut asma Allah SWT. Sebab jika seorang hamba menyebut asma Allah dalam setiap doa-doa, maka doanya itu dapat menjadi salah satu alasan bagi Allah untuk mengabulkan permintaannya. 

Dengan mengetahui dan menyebut asma Allah SWT, terdapat beberapa manfaat bagi umat Islam apabila dilakukan. Pertama: Dicintai Allah. 

Yakni barangsiapa yang bermuhasabah dan melekatkan hatinya dengan menyebut asma Allah, inilah pertanda baginya bahwa pintu cinta kepada Allah SWT telah terbuka lebar.
Dan hati yang dipenuhi rasa cinta kepada Allah SWT maka akan senantiasa membuat bibirnya terus berucap kebaikan. Senantiasa menyebut asma Allah, dan kemudian merasa takut apabila melanggar segala larangan-Nya. 

Dengan demikian, orang yang hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah akan selalu berusaha untuk menjauhi larangan Allah, dan menjalankan perintah-Nya. Setidaknya dengan mengenal dan membaca asmaul husna, hatinya dapat termotivasi menuju jalan kebaikan. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah penggalan ayat 165: 

 وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ 
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah seluruhnya, dan bahwa Allah amat berat sisaan-Nya (maka niscaya ia akan menyesal).” 

Kedua: Rindu kepada Allah. 
Yakni semakin dalam seorang hamba mengetahui dan mengenal Allah dan mengetahui asma-Nya, maka semakin banyak pula kerinduan darinya kepada Allah SWT. Kerinduan untuk bertemu Allah, menjadi salah satu manfaat bagi orang-orang yang kerap menyebut asma Allah.

Ketiga: Takut kepada Allah. 
Rasulullah SAW merupakan utusan Allah yang paling mengetahui segala kebesaran Allah, maka pengetahuan Nabi itulah yang pada akhirnya menjadi alasan mengapa beliau menjadi makhluk Allah yang paling takut terhadap Rabbnya. Nabi Muhammad SAW bersabda: 

فَوَاللهِ لَأَنَا أَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَة 
“Demi Allah, akulah (Muhammad) orang yang paling mengenal Allah, dan aku pula lah yang paling takut kepada-Nya.” 

Keempat: Keridhaan. 
Keridhaan adalah buah dari mengenal asma dan sifat Allah. Dan barangsiapa yang mengenal keadilan dan kebijaksanaan-Nya, maka kasih sayang dan kemuliaan serta kelembutan akan menyertainya dalam waktu penghakiman.

Kelima: Harapan dan Doa. 
Yakni orang yang beriman dengan mengenal dan menyebut asma dan sifat Allah akan senantiasa tergesa-gesa menghaturkan doa kepada Allah setiap saat. Dengan mengetahui lebih dalam mengenai asma dan sifat Allah, seorang hamba akan selalu menaruh harap dan kemudian memanjatkan doa kepada-Nya. Allah berfiman dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 186: 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ 
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu mengenai Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

KETUJUH:
 وهو من أعجبه
Inilah yang begitu istimewa yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Tak ada sepatah kata pun yang mampu mengungkapkan makna ini. Dan tidak ada sesuatu pun yang lebih dicintai Allah selain sikap remuk redam. Tunduk, pasrah, merunduk, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.

Tidak ada yang lebih mendekati datangnya pertolongan, bantuan, rahmat, dan rezeki selain hati yang hancur berkeping-keping ini. Tak terkira pula nikmat ketaatan yang dirasakan oleh para pecinta yang tegak di atas pondasi amal. Ilmu dan ahwal (kondisi spiritual) mereka
Hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang telah didominasi rasa remuk redam dan perendahan diri di hadapan-Nya ini. Allah sangat suka bila hamba-Nya mendaki ke maqam ini, karena inilah hakikat ‘ubudiyah, dan bentukan katanya pun menunjukkan hal itu. Karena itu ada ungkapan Arab yang menyatakan thariqun dan mu’abbad,’ yakni jalan yang direndahkan dengan diinjak oleh kaki
Sikap merendahkan diri ini beragam;
Perendahan diri pencinta kepada Kekasihnya, inilah sikap merendahkan diri yang paling ulama.
Perendahan diri seorang budak kepada tuannya.

Perendahan diri pelaku kejahatan di hadapan Sang Pemberi nikmat, Pelaku kebaikan dan Penguasa dirinya.
Perendarahan diri seorang yang lemah kepada Yang Maha Menguasai seluruh hajat dan kebutuhannya.

Allah SWT menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Ibadah tak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun ‘uqubat (hukum dan peradilan).

Ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah SWT merupakan bukti hakiki keimanan seorang Muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah SWT dalam firman-Nya (yang artinya): 

 إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51) 
“Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin itu–manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka–adalah ungkapan, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS an-Nur [24]: 51).

Imam Ibnul Qayyim Aljauziyah menyebutkan bahwa "ibadah" yang sempurna itu harus menggabungkan dua hal sekaligus secara bersamaan. Yang pertama adalah cinta dan yang kedua adalah tunduk Artinya, kita belum menjadi hamba Allah yang benar kecuali kita telah beribadah dengan penuh cinta dan penuh ketundukan kepada Allah SWT.

Ibnul Qayyim berkata, "Bila engkau mencintai Allah tapi engkau tidak tunduk kepadaNya, maka engkau bukanlah hambaNya. Jika engkau tunduk kepadaNya tapi engkau tidak mencintaiNya, maka engkau bukanlah hambaNya. Engkau baru seorang hamba yang benar bila mencintaiNya dan tunduk kepadaNya". (Madaariju As Salikin).

Bila seseorang beribadah karena senang, tapi dia tidak patuh dengan aturan Allah, maka dia belum beribadah dengan benar dan belum menjadi hamba yang benar. Dia hanya sedang melakukan hobby atau kesukaannya. Ini biasanya terjadi dalam hal ibadah-ibadah yang menyenangkan. Seperti ibadah haji, umroh dan lain-lain.

Sebaliknya bila seseorang tunduk beribadah kepada Allah, tapi dia tidak senang dan mencintai Allah, maka dia sedang terpaksa. Tidak tulus dan tidak ikhlas. Manusia saja tidak suka dengan orang yang bekerja terpaksa. Apalagi Allah yang Maha Mulia.
Dalil-dalil yang menunjukkan perintah mencintai dan juga tunduk kepada Allah sangat banyak di dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah saw.

Allah menegaskan bahwa orang yang beriman itu tandanya adalah dia sangat amat cinta kepada Allah. Sedangkan orang kafir mencintai tuhan-tuhan lain selain Allah:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (165) 
"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)." (QS Al baqarah: 165).

Dalam ayat lain, Allah memuji orang yang beriman, generasi pilihan, yang karakternya adalah mencintai Allah dan Allah mencintai mereka:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ
"Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela...." (QS Al maidah: 54).

Rasulullah saw menyatakan bahwa kesempurnaan iman itu terletak pada cinta kepada Allah dan RasulNya:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
"Tiga hal yg apabila dimiliki oleh seseorang niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu orang paling mencintai Allah dan RasulNya melebihi selain keduanya. Dan orang yg mencintai orang lain karena Allah. Dan orang yang tidak mau kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak rela dilemparkan ke dalam api neraka". (HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).
Dalam hal ketundukan dan kepatuhan, Allah ta'ala menegaskan perintahNya dengan sangat jelas: 

 قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32) 
Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS Ali Imran: 32).

Allah juga menegaskan bahwa orang yang ingkar (tidak patuh) kepadaNya, melanggar batas-batas hukumNya, akan dimasukkan ke dalam neraka yang abadi:

 وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خالِداً فِيها وَلَهُ عَذابٌ مُهِينٌ (14) 
"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." (QS An nisa: 14).

Dengan demikian, kesempurnaan ibadah akan terwujud bila dikerjakan dengan cinta serta tunduk kepada Allah.

KEDELAPAN:
 الخلوة به وقت النزول الإلهي
Menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.
Di antara doa yang mustajab (mudah diijabahi atau dikabulkan) adalah doa di sepertiga malam terakhir. Namun kita sering melalaikan hal ini karena waktu malam kita biasa diisi dengan tidur lelap. Cobalah kita bertekad kuat untuk mendapatkan waktu tersebut. Malamnya kita isi dengan shalat tahajjud dan memperbanyak do’a pada Allah atas setiap hajat kita.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِى اللَّيْلِ لَسَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Di malam hari terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah berkaitan dengan dunia dan akhiratnya bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberikan apa yang ia minta. Hal ini berlaku setiap malamnya.” (HR. Muslim no. 757)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ ، مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, aku akan memperkenankan doanya. Siapa yang meminta pada-Ku, pasti akan Kuberi. Dan siapa yang meminta ampun pada-Ku, pasti akan Kuampuni’.” (HR. Bukhari no. 6321 dan Muslim no. 758). Muhammad bin Isma’il Al Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab ‘Doa pada separuh malam’. Imam Nawawi menyebutkan judul dalam Shahih Muslim Bab ‘Dorongan untuk berdoa dan berdzikir di akhir malam dan terijabahnya doa saat itu’.

Ibnu Hajar menjelaskan, “Bab yang dibawakan oleh Al Bukhari menerangkan mengenai keutamaan berdoa pada waktu tersebut hingga terbit fajar Shubuh dibanding waktu lainnya.” (Fathul Bari, 11/129)

Ibnu Baththol berkata, “Waktu tersebut adalah waktu yang mulia dan terdapat dorongan beramal di waktu tersebut. Allah Ta’ala mengkhususkan waktu itu dengan nuzul-Nya (turunnya Allah). Allah pun memberikan keistimewaan pada waktu tersebut dengan diijabahinya doa dan diberi setiap yang diminta.” (Syarh Al Bukhari, 19/118)

Ada suatu pelajaran menarik dari Imam Al Bukhari. Beliau membawakan Bab dengan judul “Doa pada separuh malam”. Padahal hadits yang beliau bawakan setelah itu berkenaan dengan doa ketika sepertiga malam terakhir. Mengapa bisa demikian?
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan bahwa Al Bukhari mengambil judul Bab tersebut dari firman Allah:

قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً
“Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.” (QS. Al Muzzamil: 2-3). Judul bab tersebut diambil oleh Al Bukhari dari ayat Al Qur’an di atas. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa waktu terijabahnya doa adalah pada sepertiga malam terakhir. Ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim benar-benar memperhatikan waktu tersebut dengan ia bersiap-siap sebelum masuk sepertiga malam terakhir yang awal. Hendaklah setiap hamba bersiap diri dengan kembali pada Allah kala itu agar mendapatkan sebab ijabahnya doa. Setiap muslim hendaklah memperhatikan waktunya di malam dan siang hari dengan doa dan ibadah kepada Allah Ta’ala. (Syarh Al Bukhari, 19/119)

KESEMBILAN:
 مجالسة المحبين الصادقين
Duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Manfaat Berteman dengan Orang Shalih:
Pertama: Dia akan mengingatkan kita untuk beramal shalih, juga saat terjatuh dalam kesalahan.

Yang menjadi dalil teman shalih akan selalu mendukung kita dalam kebaikan dan mengingatkan kita dari kesalahan, lihat kisah persaudaraan Salman dan Abu Darda’ berikut.

Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.” Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.

Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya:

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.”

Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari, no. 1968).

Kedua: Dia akan mendoakan kita dalam kebaikan.
Dari Shafwan bin ‘Abdillah bin Shafwan -istrinya adalah Ad Darda’ binti Abid Darda’-, beliau mengatakan,
“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummu Ad-Darda’ (ibu mertua Shafwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abu Ad-Darda’ (bapak mertua Shafwan, pen). Ummu Ad-Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun ini?” Aku (Shafwan) berkata, “Iya.” Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan pada kami karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”
Shafwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’ mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 2733)

Saat kita tasyahud, kita seringkali membaca bacaan berikut:

السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
“Assalaamu ‘alainaa wa ‘ala ‘ibadillahish shalihiin (artinya: salam untuk kami dan juga untuk hamba Allah yang shalih).”

Disebutkan dalam lanjutan hadits:

فَإِنَّكُمْ إِذَا قُلْتُمُوهَا أَصَابَتْ كُلَّ عَبْدٍ لِلَّهِ صَالِحٍ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Jika kalian mengucapkan seperti itu, maka doa tadi akan tertuju pada setiap hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi.” (HR. Bukhari, no. 831 dan Muslim, no. 402).
Shalihin adalah bentuk plural dari shalih. Ibnu Hajar berkata, “Shalih sendiri berarti:

الْقَائِم بِمَا يَجِب عَلَيْهِ مِنْ حُقُوق اللَّه وَحُقُوق عِبَاده وَتَتَفَاوَت دَرَجَاته
“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat.” (Fath Al-Bari, 2: 314).
Ketiga: Teman dekat yang baik akan dibangkitkan bersama kita pada hari kiamat.

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قِيلَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الرَّجُلُ يُحِبُّ الْقَوْمَ وَلَمَّا يَلْحَقْ بِهِمْ قَالَ « الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ »
“Ada yang berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada seseorang yang mencintai suatu kaum, namun ia tak pernah berjumpa dengan mereka.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Setiap orang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai.’” (HR. Bukhari, no. 6170; Muslim, no. 2640)

KESEPULUH:
 مباعدة كل سبب يحول بين القلب وبين الله عز وجل
Menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala.

Perbuatan maksiat pertama yang dilakukan manusia terjadi kepada Nabi Adam a.s. Beliau melanggar larangan Allah untuk tidak mendekati salah satu pohon di surga. Sedangkan Iblis merayunya untuk menyentuh pohon itu dan makan buahnya. Iblis menyebutnya sebagai pohon keabadian (syajaratul khuldi).

Adam pada awalnya berhasil menepis rayuan iblis untuk mendekat ke pohon tersebut. Namun, akhirnya beliau luluh juga karena desakan istrinya Hawa. Adam dan Hawa akhirnya diturunkan ke dunia karena telah melanggar larangan Allah SWT.

Makna Maksiat:
Maksiat secara bahasa lawan dari ta’at atau dalam bahasa lain maksiat disebut juga dengan dosa atau pembangkangan. Jika seorang hamba bermaksiat kepada Tuhannya, artinya dia menentang Allah SWT.

Maksiat terjadi karena manusia tidak sabar ketika menjauhi larangan Allah dan tidak kuatnya iman yang bersemayam di dalam dada. Sehingga syetan mudah mengombang-ambingkan pikiran dan nafsunya.

Maksiat kepada Allah terbagi dalam dua bagian: besar dan kecil. Perbuatan maksiat besar contohnya: syirik, zina, minum khamar, mencuri, dan perbuatan lain yang diancam dengan hukuman di dunia dan akhirat. Serta dapat merusak hati dan jasmani manusia. Sedangkan maksiat kecil adalah perbuatan buruk yang tidak diancam dengan hukuman yang berat di dunia maupun akhirat.

Efek Maksiat Nabi Adam As:
Satu-satunya dosa yang dilakukan nabi Adam a.s. adalah makan buah terlarang. Maksiat ini bukan diukur dari besar dan kecilnya dosa yang dilakukan Nabi Adam, melainkan dilihat dari perpsektif ketaatan yang total, dan kesabaran dalam menjauhi larangan, serta usaha yang kuat dalam mengalahkan Iblis.

Jika dilihat dari perbuatan semata maka, makan buah yang dilarang itu bukanlah dosa besar, namun sebagai seorang nabi dan manusia pertama yang hidup di surga dan dekat dengan Allah, ini merupakan sebuah kemaksiatan karena berani melanggar larangan Allah SWT. sehingga konsekuensinya adalah pengusiran dari surga.

Jika memahami peristiwa ini, kita berpikir, Nabi Adam melakukan satu kesalahan kemudian diusir dari surga. Sedangkan anak keturunannya biasa dan sering melakukan dosa, apakah pantas untuk masuk surga?
Iblis tidak mengenal rasa putus asa dalam menggoda manusia. Setiap waktu dan kesempatan Iblis selalu berbisik di telinga manusia agar mengikutinya dan melanggar larangan Allah SWT.

Dampak Maksiat:
Berhati-hati dengan perbuatan maksiat dan jangan pernah meremehkannya karena dampaknya sangat besar dalam kehidupan pelakunya. Berikut delapan dampak perbuatan maksiat dalam kehidupan.

Pertama, perbuatan maksiat mendatangkan murka Allah SWT. Dalam sebuah hadis qudsi Allah SWT berfirman, “Aku Allah tidak ada Tuhan selain Aku. Jika Aku ditaati, Aku Rido, dan jika Aku rido, maka Aku memberi berkah, dan keberkahan-Ku tidak ada akhirnya. Tapi jika manusia maksiat kepada-Ku, Aku murka. Dan jika Aku murka, aku akan melaknatnya, dan laknat-Ku akan sampai pada tujuh turunan.” (H.R. Ahmad)

Kedua, mendatangkan kemarahan orang mukmin. Imam Hasan Basri berkata, “Hendaknya setiap kalian berhati-hati terhadap laknat orang mukmin dan kalian tidak menyadarinya. Yaitu bagi orang yang berbuat maksiat kepada Allah kemudian Allah meletakkan kemarahan itu di hati orang-orang beriman.”

Ketiga, pelaku maksiat terhalang dari ilmu. Bagi pelajar dan mahasiswa, maksiat sangat berbahaya bagi dirinya yang sedang menuntut ilmu. Karena maksiat dapat menghalanginya dari ilmu yang sedang dipelajarinya. Imam Syafi’i berkata dalam syairnya. “Aku mengadu kepada Imam Waki’ (guruku) jeleknya hafalanku, kemudian beliau memintaku untuk menjauhi maksiat. Dan beliau mengabarkan bahwa ilmu itu adalah cahaya (dari Allah) dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.”

Keempat, pelaku maksiat terhalang dari rizki. Maksiat juga dapat menjauhkan manusia dari rizkinya sendiri. Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya seseorang akan diharamkan dari rizkinya sebab perbuatan dosa yang ia lakukan.” (H.R. Ahmad)

Kelima, pelaku maksiat dijauhi manusia. Manusia yang sering melakukan maksiat sangat membekas pada perilakunya sehari-hari. Dalam ucapannya terlihat keburukannya dan dalam tindakannya juga dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya sehingga membuat mereka menjauh darinya.

Keenam, pelaku maksiat wajahnya gelap. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya perbuatan maksiat itu meninggalkan bekas hitam di wajah, noda hitam di dalam hati, lemah pada fisik, sempit dalam rizki, dan kebencian dalam hati manusia.”

Ketujuh, hilangnya rasa takut kepada Allah dalam diri. Perbuatan maksiat akan menjauhkan manusia dari ketaatan kepada Allah SWT. Ketika seseorang menganggap remeh Tuhannya maka dia dengan mudah melakukan maksiat kepada-Nya. Namun jika manusia takut dan memuliakan Tuhannya niscaya dia akan menjauhi perbuatan maksiat. Allah berfirman, “Siapa yang direndahkan oleh Allah SWT, maka tidak akan ada yang memuliakannya.” (Q.S. Al-Hajj: 18)

Kedelapan, pelaku maksiat lidahnya kelu. Saat ajal menjemput, lidah pelaku maksiat akan terasa berat untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Meskipun syahadat itu pendek dan mudah diucapkan, namun bagi pelaku maksiat terasa berat karena terbelenggu oleh dosa-dosanya.
Maka, jangan pernah menganggap ringan perbuatan maksiat, karena efeknya sangat luar biasa bagi pelakunya. Dampak yang ditimbulkan perbuatan maksiat bukan hanya kerugian di dunia, namun yang lebih berat adalah kecelakaan di akhirat. Semoga kita semua dapat menjaga diri dari perbuatan maksiat dan dimudahkan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.

KESIMPULAN:
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab datangnya cinta Allah SWT kepada seorang hamba ada sepuluh perkara, yakni:
Membaca Al-Qur’an, menggali dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya
Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Terus-menerus berzikir dalam setiap keadaan.
Mengutamakan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, menyaksikan dan mengetahuinya.
Menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala dan segala nikmat-Nya.
Tunduknya hati di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah subhanahu wa ta’ala turun (ke langit dunia).
Duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Menjauhkan segala sebab yang akan menghalangi hati dari Allah subhanahu wa ta’ala.

SAUDARA KU… 

PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama