ADAB BERTETANGGA

 

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN RIYADHUS SHALIHIN

باب حق الجار والوصية به

ALLAH SWT BERFIRMAN:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)

Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat. anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S. An-Nisa {4}: 36)

Keterangan:

Ayat-ayat di atas yang berbicara tentang aturan dan tuntunan kehidupan rumah tangga dan harta waris, memerlukan tingkat kesadaran untuk mematuhinya. Ayat ini menekankan kesadaran tersebut dengan menunjukkan perincian tempat tumpuan kesadaran itu dipraktikkan. Dan sembahlah Allah Tuhan yang menciptakan kamu dan pasangan kamu, dan janganlah kamu sekali-kali mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah dengan sungguh-sungguh kepada kedua orang tua, juga kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh walaupun tetangga itu nonmuslim, teman sejawat, ibnu sabil, yakni orang dalam perjalanan bukan maksiat yang kehabisan bekal, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai dan tidak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang sombong dan membanggakan diri di hadapan orang lain.

Mengabdi dan menyembah kepada Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah. Dalam kata lain, ibadah dan mengesakan Allah merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya. Melakukan ibadah kepada Allah tampak dalam amal perbuatan setiap hari, seperti mengerjakan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan telah dicontohkannya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, dinamakan ibadah khusus. Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam rangka patuh dan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang, menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.

Ada bermacam-macam pekerjaan manusia yang menyebabkan dia bisa menjadi musyrik, di antaranya menyembah berhala sebagai perantara agar permohonannya disampaikan kepada Allah. Mereka bersembah sujud di hadapan berhala untuk menyampaikan hajat dan maksud mereka. Perbuatan manusia yang seperti itu banyak disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Allah berfirman: Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah." Katakanlah, "Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?" Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu. (Yunus/10:18).

Ada pula golongan lain yang termasuk musyrik, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, yaitu orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa, putra Maryam. Di samping mereka menyembah Allah, juga mereka mengakui Isa a.s. sebagai Tuhan mereka. Allah berfirman:

Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31).

Orang musyrik semacam ini banyak terdapat pada masa sekarang, yaitu orang yang memohon dan meminta syafaat dengan perantaraan orang-orang yang dianggapnya suci dan keramat, baik orang-orang yang dianggapnya suci itu masih hidup maupun sudah mati. Mereka mendatangi kuburannya, di sanalah mereka menyampaikan hajat dan doa, bahkan mereka sampai bermalam di sana. Mereka berwasilah kepadanya dan dengan berwasilah itu, maksudnya akan berhasil dan doanya akan makbul. Tidak jarang terjadi manusia berdoa meminta kepada batu, pohon kayu, roh nenek moyang, jin, hantu dan sebagainya. Semua ini digolongkan perbuatan syirik.

Kewajiban seseorang kepada Allah ialah menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasulullah saw bersabda: "Dari Mu'az bin Jabal, Rasulullah saw bersabda, "Ya Muaz, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apa pula hak hamba atas Allah?" Saya menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah berkata, "Hak Allah atas hamba-Nya ialah agar hamba-Nya menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Hak hamba atas Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengazab hamba-Nya yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia. Sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, selanjutnya Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu peringatan bahwa jasa ibu bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apa pun. Selain ayat ini ada lagi beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak seperti firman Allah: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Luqman/31:14).

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra'/17:23).

Berbuat baik kepada ibu-bapak mencakup segala-galanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan yang dapat menyenangkan hati mereka keduanya. Berlaku lemah lembut dan sopan santun kepada keduanya termasuk berbuat baik kepadanya. Mengikuti nasihatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga termasuk berbuat baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Allah berfirman: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman/31:15).

Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya, sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh semenjak kecil.

Perintah agar selalu berbuat baik kepada ibu bapak selama hayat masih dikandung badan, karena ibu bapak adalah manusia yang paling berjasa, diperintahkan pula agar berbuat baik kepada karib kerabat. Karib kerabat adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan seseorang sesudah ibu bapak, baik karena ada hubungan darah maupun karena yang lainnya.

Kalau seseorang telah dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dengan sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akidah orang itu akan bertambah kuat dan amal perbuatannya akan bertambah baik. Kemudian bila dia telah menunaikan kewajibannya kepada kedua ibu bapaknya dengan ikhlas dan setia, akan terwujudlah rumah tangga yang aman dan damai dan akan berbahagialah seluruh rumah tangga itu.

Rumah tangga yang aman dan damai akan mempunyai kekuatan untuk berbuat baik kepada karib kerabat dan sanak famili. Maka akan terhimpunlah suatu kekuatan besar dalam masyarakat. Dari masyarakat yang seperti ini akan mudah terwujud sifat tolong-menolong dan bantu-membantu, berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang miskin.

Berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, bukan hanya didorong oleh hubungan darah dan famili, tetapi semata-mata karena dorongan perikemanusiaan yang ditumbuhkan oleh rasa iman kepada Allah. Iman kepada Allah yang menumbuhkan kasih sayang untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin, sebab banyak terdapat perintah Allah di dalam Al-Qur'an yang menyuruh berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin itu. Tangan siapa lagi yang dapat diharapkan oleh mereka itu untuk menolongnya, selain dari orang yang dadanya penuh dengan sifat kasih sayang, yaitu orang yang beriman yang mempunyai rasa perikemanusiaan.

Anak yatim itu tidak mempunyai bapak yang mengurus dan membelanjainya dan orang miskin itu tidak mempunyai daya untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Mungkin karena lemah badannya atau oleh karena tidak cukup pendapatannya dari sehari ke sehari. Agar mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang baik jangan sampai terjerumus ke lembah kehinaan dan nista, setiap manusia yang mempunyai rasa perikemanusiaan dan mempunyai rasa kasih sayang, haruslah bersedia turun tangan membantu dan menolong mereka, sehingga lambat laun derajat hidup mereka dapat ditingkatkan.

Allah juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnussabil dan hamba sahaya. Tetangga dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpa setiap hari, bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar-masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muslim.

Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. karena pada hakikatnya tetangga itulah yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu datang memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.

Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya, belum tentu dapat diharapkan dengan cepat memberikan pertolongan pada waktu diperlukan, seperti halnya tetangga. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai terjadi perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga itu beragama lain. Nabi Muhammad saw pernah melayat anak tetangganya yang beragama Yahudi.

Ibnu Umar pernah menyembelih seekor kambing, lalu dia berkata kepada pembantunya, "Sudahkah engkau berikan hadiah kepada tetangga kita orang Yahudi itu?" Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Malaikat Jibril tidak henti-henti menasihati aku, (agar berbuat baik) kepada tetangga,sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberikan hak waris kepada tetangga." (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar).

Banyak hadis yang menerangkan kewajiban bertetangga secara baik di antaranya: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetanggannya" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia merupakan tetangga yang haknya paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak dan ada tetangga yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Adapun tetangga yang hanya mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak bertetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, ialah tetangga Muslim, baginya ada hak sebagai Muslim dan hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebagai tetangga, hak sebagai Muslim dan hak sebagai famili." (Riwayat Abu Bakar al-Bazzar).

"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah, tidak beriman." Rasulullah ditanya orang, "siapa ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Ialah orang yang kejahatannya tidak membuat aman tetangganya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Rasulullah saw bersabda: "Ya Abu Zar, kalau engkau membuat maraq (sop) banyakkanlah kuahnya, kemudian berilah tetanggamu." (Riwayat Muslim dari Abu dzarr).

Yang dimaksud berbuat baik kepada teman sejawat, ialah teman dalam perjalanan, atau dalam belajar, atau dalam pekerjaan yang dapat diharapkan pertolongannya dan memerlukan pertolongan, sehingga hubungan berkawan dan berteman tetap terpelihara. Setia-kawan adalah lambang ukhuwah Islamiyah, lambang persaudaraan dalam Islam.

Berbuat baik kepada ibnu sabil, ialah menolong orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, atau dalam perantauan yang jauh dari sanak famili dan memerlukan pertolongan, pada saat dia ingin kembali ke negerinya. Termasuk ibnu sabil ialah anak yang diketemukan yang tidak diketahui ibu bapaknya. Orang yang beriman wajib menolong anak tersebut, memeliharanya atau menemukan orang tuanya atau familinya, agar anak itu jangan terlunta-lunta hidupnya yang akibatnya akan menjadi anak yang rusak rohani dan jasmaninya.

Berbuat baik kepada hamba sahaya, ialah dengan jalan memerdekakan budak. Apakah tuannya sendiri yang memerdekakannya atau orang lain dengan membelinya dari tuannya, kemudian dimerdekakannya. Pada zaman sekarang ini tidak terdapat lagi hamba sahaya, sebab perbudakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Agama Islam pun tidak menginginkan adanya perbudakan. Karena itu semua hamba sahaya yang ditemui sebelum Islam datang, berangsur-angsur dimerdekakan dari tuannya, sehingga akhirnya habislah perbudakan itu.

Yang dimaksud dengan orang yang sombong dan membanggakan diri dalam ayat ini, ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperlihatkan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraannya tampak kesombongannya melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia, orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang seperti itu termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya akan menyesal. Sifat takabur itu adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menantang Allah. Biasanya orang yang sombong dan takabur itu kasar budi pekertinya dan busuk hatinya. Dia tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap sesama manusia.

Banyak hadis yang mencela orang-orang yang sombong dan takabur, di antaranya, Rasulullah saw bersabda: "Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun sedikit." Berkata seorang sabahat, "Seseorang itu ingin memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus." Berkata Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah itu indah dan senang kepada keindahan. Sifat takabur itu ialah menolak yang benar dan memandang rendah kepada orang lain." (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud).

Apakah yang akan disombongkan manusia, padahal semua yang ada padanya adalah kepunyaan Allah yang dititipkan kepadanya buat sementara. Lambat laun semuanya akan diambil Allah kembali, berikut nyawa dan tubuhnya yang kasar dan semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nantinya.

Adapun haditsnya antara lain:

HADITS PERTAMA:

وعن ابن عمر وعائشة رضي الله عنهما، قالا: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((مَا زَالَ جِبْريلُ يُوصِيني بِالجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُورِّثُهُ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Umar dan Aisyah ra., berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Malaikat Jibril senantiasa berpesan kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, sampai aku mengira bahwasanya dia akan memberikan hak waris kepada tetangga.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Malaikat Jibril senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk peduli terhadap tetangga, hingga aku menyangka akan turun wahyu yang dibawa Jibril untuk menetapkan hak waris bagi tetangga.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Besarnya hak tetangga dan kewajiban memperhatikannya.

2. Penekanan terhadap hak tetangga dengan wasiat menunjukkan keharusan memuliakannya, mencintainya, dan berbuat baik kepadanya, melindunginya dari keburukan, menjenguknya ketika sakit, memberinya ucapan selamat ketika ia bahagia, dan berbela sungkawa padanya ketika dia mengalami musibah. Itulah pesan-pesan malaikat Jibril tentang hidup bertetangga.

3. Islam sangat memuliakan orang yang hidup bertetangga.

HADITS KEDUA:

وعن أَبي ذر -رضي الله عنه-، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً، فَأكثِرْ مَاءهَا، وَتَعَاهَدْ جيرَانَكَ)). رواه مسلم

Dari Abu Żarr Al-Gifāri -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfu`, “Apabila engkau memasak masakan berkuah, perbanyaklah airnya dan perhatikanlah (bagikanlah pada) ‎tetanggamu!‎”‎ (H.R. Muslim)

وفي رواية لَهُ عن أَبي ذر، قَالَ: إنّ خليلي -صلى الله عليه وسلم- أوْصَاني: ((إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَاً فَأكْثِرْ مَاءها، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ، فَأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمعرُوفٍ)).

Dan juga dalam riwayat Muslim, dari Abu Dzar, dia berkata: “Sesungguhnya kekasihku berpesan kepadaku: ‘Jika engkau memasak masakan berkuah, perbanyaklah kuahnya, kemudian lihatlah anggota keluarga dari tetanggamu, maka berikanlah kepada mereka dengan baik.’”

Keterangan:

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Żarr ini menjelaskan tentang sebuah gambaran akan ‎perhatian Islam terhadap hak tetangga. Islam memerintahkan seseorang jika diberi keluasan ‎rezeki oleh Allah agar memberi sesuatu darinya kepada tetangganya dengan cara yang baik, ‎dimana Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Apabila engkau memasak masakan berkuah, ‎perbanyaklah airnya dan bagikanlah untuk tetanggamu”. Yakni perbanyaklah kuahnya agar kamu ‎dapat membagikannya kepada tetangga-tetanggamu. Al-Maraqah (masakan berkuah) biasanya ‎terbuat dari potongan daging dan lainnya yang biasa dijadikan sebagai lauk. Demikian juga ‎halnya dengan apapun yang engkau miliki selain masakan berkuah, atau minuman seperti susu ‎dan semisalnya, engkau harus memperhatikan tetangga-tetanggamu dengan membaginya; karena ‎mereka memiliki hak atasmu.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Anjuran untuk berbagi dengan tetangga khususnya makanan, di saat sedang memasak dan aromanya terembus oleh tetangganya. Apabila diketahui bahwa tetangganya bukanlah orang yang berkecukupan, Rasulullah ajarkan agar berbagi, bukan sekadar pamer kelebihan.

2. Ajaran Islam dalam membangun kerukunan dengan tetangga, diawali dengan berbagi makanan.

3. Disunnahkan untuk menasehati orang yang dicintai dan sahabat baik dengan nasihat yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat mereka.

4. Disunnahkan untuk saling memberi hadiah diantara tetangga karena hal ini dapat menumbuhkan rasa cinta kasih dan menambah kecintaan.

5. Tidak boleh meremehkan kebaikan apapun macam dan jenisnya karena semuanya adalah baik.

HADITS KETIGA:

وعن أَبي هريرة -رضي الله عنه-: أن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((واللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ!)) قِيلَ: مَنْ يَا رَسُول الله؟ قَالَ: ((الَّذِي لاَ يَأمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ !)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah ra., radhiallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman; demi Allah, tidak beriman...!! Beliau shallallahu alaihi wasallam ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah? Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Yaitu orang yang tetangganya tidak merasa aman karena perbuatannya.” (Muttafaq ’alaih)

وفي رواية لمسلم: ((لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ)).

Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak aman karena gangguannya.”

Keterangan:

Ibnu Baththal menuturkan, “Hadits ini menegaskan betapa besarnya hak bertetangga, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memulainya dengan bersumpah yang diulangi sampai tiga kali, dan juga menafikan keimanan seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Maksud dari tidak beriman di sini adalah iman yang tidak sempurna. Tidak diragukan, bahwa orang yang bermaksiat tidak sempurna imannya.”

Imam An-Nawawi menyebutkan tentang penafian keimanan dalam masalah seperti ini dengan dua jawaban. Pertama, berlaku bagi orang yang menghalalkan perbuatan tersebut. Kedua, maknanya adalah orang yang tidak sempurna imannya.

Makna kata بَوَائِق (bawa`iq) adalah kejahatan.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Ancaman bagi orang yang suka menyakiti dan membuat tetangganya tidak nyaman, baik secara fisik maupun mentalnya.

2. Menyakiti tetangga dapat menjerumuskan seseorang ke jurang kekafiran dan kemaksiatan, ancamannya adalan masuk neraka.

HADITS KEEMPAT:

وعنه، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai wanita-wanita muslim, janganlah seorang tetangga itu menghina tetangganya yang lain, sekalipun pemberiannya itu berupa kaki kambing.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Larangan bagi tetangga meremehkan hadiah tetangganya, meskipun hadiah itu pada umumnya kurang berguna, atau tidak berkenan dan tidak bernilai di hati. Karena itulah tetangga dapat memberikan dan menerima hadiah yang ada meskipun kecil nilainya. Hal ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dengan ini pula kebiasaan memberikan hadiah dapat terus berlangsung antara tetangga karena dengan sesuatu yang murah dan mudah, dapat dilakukan dalam keadaan miskin maupun kaya, dapat membuahkan rasa cinta dan kasih sayang. Dengan ini pula tidak diperbolehkan bagi laki-laki meremehkan hadiah antara mereka. Penyebutan larangan secara khusus pada wanita karena merekalah yang lebih cepat bereaksi dalam cinta dan benci, sehingga mereka lebih berhak mendapatkan perhatian, agar dapat menghindarkan diri dari larangan itu, menghilangkan kebenciaan antara mereka dan mempertahankan rasa cinta antar mereka.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa tidak diperbolehkan meremehkan hadiah untuk mempertahankan rasa cinta antara mereka.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Anjuran saling berbagi dengan tetangga, tidak menghina pemberiannya meskipun tidak seberapa.

HADITS KELIMA:

وعنه: أن رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((لاَ يَمْنَعْ جَارٌ جَارَهُ أنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً في جِدَارِهِ))، ثُمَّ يقُولُ أَبُو هريرة: مَا لِي أرَاكُمْ عَنْهَا مُعْرِضينَ! وَاللهِ لأرْمِيَنَّ بِهَا بَيْنَ أكْتَافِكُمْ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwasanya Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seorang tetangga tidak boleh melarang tetangganya untuk menancapkan kayu di dindingnya." Selanjutnya Abu Hurairah berkata, "Kenapa aku melihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, aku akan menyebarkan perkataan ini di tengah-tengah kalian." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Seorang tetangga memiliki berbagai hak atas tetangganya yang wajib dijaganya. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membangun hubungan dengan tetangga. Beliau menuturkan bahwa Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadanya mengenai tetangga sehingga beliau mengira seolah dia akan mendapatkan warisan dari tetangganya karena begitu besarnya hak tetangga dan kewajiban untuk berbuat baik kepadanya. Dengan demikian, diwajibkan melakukan pergaulan yang baik dengan mereka, berperilaku terpuji, memelihara hak-hak bertetangga, dan saling mencegah kekerasan verbal dan pisik antar tetangga. Di antara bentuk berbuat baik dalam bertetangga adalah menjaga hak-haknya dengan cara masing-masing pihak memberikan berbagai manfaat yang tidak mendatangkan bahaya besar bagi dirinya. Seperti apabila tetangga hendak meletakkan kayu di dinding tetangganya. Jika dia memang membutuhkan hal itu, dan tidak ada mudarat bagi pemilik dinding, maka pemilik dinding wajib mengizinkan tetangganya tersebut untuk mengambil manfaat dari dindingnya. Jika dia tidak mengizinkannya, maka penguasa boleh memaksanya memberi izin. Jika ada bahaya atau tidak ada kebutuhan, maka bahaya itu tidak bisa dihilangkan dengan bahaya serupa. Pada dasarnya seorang muslim itu adalah berhak mencegah, maka ketika itu dia tidak wajib memberi izin. Dengan demikian, ketika Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- mengetahui maksud pembuat syariat yang agung dalam sunnah yang tegas ini, maka di antara mereka ada yang mengingkari keberatan mereka dari melakukannya dan mengancam mereka, serta mengharuskan mereka melaksanakannya. Sesungguhnya tetangga itu memiliki berbagai hak yang telah ditetapkan oleh Allah -Ta'ālā-, yang wajib dipelihara dan dilaksanakan. Para ulama berijmak melarang meletakkan kayu di dinding tetangganya bila membahayakan, kecuali dengan izinnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain."

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Hidup bertetangga sudah mestinya terjalin kerukunan, tidak saling larang demi kepentingan individu dan menyusahkan yang lainnya.

2. Si “A” yang bertetangga dengan “B”, maka si A tidak boleh mencegah tetangganya si B membuat seuatu yang bermanfaat baginya dan tidak memadharatkan si A, baik itu bangunan atau yang lainnya. Tetapi demi kerukunan tidak ada salahnya meminta izin terlebih dahulu.

HADITS KEENAM:

وعنه: أن رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بالله وَاليَومِ الآخرِ، فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَسْكُتْ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan barang siapa beriaman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Diantara kesempurnaan iman itu ialah hidup rukun dengan tetangga, muliakanlah tetangga dengan perkataan dan perbuatan yang baik, jika itu dilakukan niscaya akan dapat balasan dari Allah.

2. Disamping kewajiban memuliakan tetangga adalah memuliakan tamu.

3. Larangan untuk menyampaikan kata-kata yang mengandung kebatilan, seperti gibah, mengadu domba, hasud dan lainnya.

4. Lebih baik diam daripada berbicara yang tidak benar, sebab pembicaraan yang salah akan menyebabkan ketidak harmonisan dalam masyarakat.

5. Buah dari iman akan menjadi tolak ukur seseorang sejauhmana dia mengamalkan imannya dalam hidup bertetangga, menghadapi dan memuliakan tamu, dan berkata yang baik.

HADITS KETUJUH:

وعن أَبي شُرَيْح الخُزَاعيِّ -رضي الله عنه-: أن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَسْكُتْ)). رواه مسلم بهذا اللفظ، وروى البخاري بعضه

Dari Abu Syuraih Al-Khuza’i, bahwa Nabi saw. bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (H.R. Muslim dengan lafaz seperti di atas dan Bukhari meriwayatkan sebagainya)

HADITS KEDELAPAN:

وعن عائشة رضي الله عنها، قَالَت: قُلْتُ: يَا رَسُول الله، إنَّ لِي جارَيْنِ، فإلى أيِّهِمَا أُهْدِي؟ قَالَ: ((إِلَى أقْرَبِهِمَا مِنكِ بَاباً)). رواه البخاري

Dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, dia bertanya, "Wahai Rasulullah, aku memiliki dua tetangga, kepada siapa aku beri hadiah?" Nabi menjawab, "Kepada yang paling dekat pintu rumahnya darimu." (H.R. Bukhari)

Keterangan:

Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- bertanya, "Aku memiliki dua tetangga. Engkau telah memerintahkan kami untuk memuliakan mereka. Aku tidak mampu menghadiahi keduanya sekaligus. Kepada siapakan aku berikan hadiah hingga aku termasuk orang yang telah memuliakan tetangga?" Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjawab, "Yang paling dekat pintu rumahnya dari pintu rumahmu."

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Jika tidak bisa berbuat baik kepada semua tetangga, maka lakukanlah minimal dengan tetangga yang paling dekat pintunya. Sebab merekalah yang lebih dulu tahu, jika kita bahagia atau ditimpa musibah.

HADITS KESEMBILAN:

وعن عبدِ الله بن عمر رضي الله عنهما، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ الله تَعَالَى خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ، وَخَيرُ الجِيرَانِ عِنْدَ الله تَعَالَى خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ)). رواه الترمذي، وَقالَ: ((حديث حسن))

Dari Abdullah bin 'Amru -raḍiyallāhu 'anhumā-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Teman terbaik ‎di sisi Allah -Ta'ālā- adalah mereka yang terbaik bagi temannya. Dan ‎tetangga terbaik di sisi Allah -Ta'ālā- adalah mereka yang terbaik buat ‎tetangganya.”‎

Keterangan:

Teman terbaik di sisi Allah dari segi kedudukan dan pahala adalah mereka ‎yang paling banyak memberi manfaat bagi temannya. Demikian pula tetangga ‎terbaik di sisi Allah adalah mereka yang paling banyak memberi manfaat buat ‎tetangganya.‎

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Ajakan Rasulullah saw. supaya memberikan manfaat kepada teman-teman dan para tetangga. Menahan diri dari perbuatan yang dapat menyakiti mereka.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama