ADAB PENCARI ILMU

 


بسم الله الرحمن الرحيم

آداب طالب العلم

“ADAB-ADAB BAGI YANG MENUNTUT ILMU”

MUQADIMMAH:

Menjadi umat pilihan yang mendapatkan keuntungan lebih banyak dari umat lain adalah suatu anugrah dari Allah. Umat Islam adalah umat yang paling istimewa, salah satunya adalah dengan disempurnakannya agama Islam sebagai agama samawi yang diridhai oleh Allah. Di sisi lain ada orang-orang Islam yang lebih baik dari orang-orang Islam itu sendiri yaitu orang-orang yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kepada keburukan. Mereka adalah para alim ulama yang memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ke hujjahannya tidak diragukan lagi. Kata-kata yang perlu digaris bawahi adalah ilmu, karena semua orang memiliki ilmu tapi tidak semua orang menjadikan ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Ilmu adalah kunci segala kebaikan dan pengetahuan. Ilmu merupakan sarana untuk menjalankan apa yang Allah perintahkan pada kita. Tak sempurna keimanan dan tak sempurna pula amal kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu Allah disembah, dengannya hak Allah ditunaikan, dan dengan ilmu pula agama-Nya disebarkan.

Hal ini membuat kebutuhan pada ilmu lebih besar dibandingkan kebutuhan pada makanan dan minuman, sebab keberlangsungan agama dan dunia bergantung pada ilmu. Manusia lebih memerlukan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan dua atau tiga kali sehari, sedangkan ilmu diperlukan di setiap waktu.

Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekadar sunnah, yang artinya mendapat pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap Muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya.

Kriteria orang berlimu dibagi menjadi tiga yaitu muqallid, muttabi’, mujtahid. Orang-orang ini merupakan orang-orang yang berilmu tetapi berbeda tingkatannya. Muqallid adalah orang yang ilmunya sedikit, dia adalah yang mengikuti ulama tanpa tahu dalil atau dasar dari suatu hujjah-nya itu. Sebagai orang yang muqallid dia harus belajar dan bila ada kerancuan hukum dia belum boleh berfatwa. Muttabi’ adalah orang yang berlimu dan masih menuntut ilmu. Kelebihan muttabi’ dia mengikuti ulama tetapi dia tahu dalil-dalil yang membuat dia tertuju kepada satu ulama tertentu dengan yakin. Mujtahid adalah orang yang mendalam ilmunya dan jika ada hukum yang masih rancu maka diharuskan seorang mujtahid ini mengeluarkan fatwanya.

Seorang yang berilmu harusnya memiliki adab-adab yang secara dzahir mencerminkan ilmunya. Adab-adab tersebut adalah sebuah pantangan bagi seorang yang berilmu untuk dilanggarnya demi kesempurnaan ilmunya dan demi keridhaan Allah atas ilmu yang dia miliki.

KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

Terdapat banyak dalil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya terkait keutamaan ilmu dan pemilik ilmu. Di antaranya adalah:

Memudahkan seseorang mendapatkan surga.

Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (H.R. Muslim)

Ilmu sebagai amal jariyah.

"إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عَمَلٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ".

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu, sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do'a anak yang sholeh.” (H.R. Muslim no. 1631)

Akan diangkat derajatnya oleh Allah.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...” (Q.S. Al-Mujadilah (58): 11)

Dan Allah berfirman:

{وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

“Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Q.S. Al-Mulk : 10)

Orang berilmu adalah orang yang paling takut dengan Allah.

Seperti dalam surah Fatir 28, Allah menjelaskan seseorang dengan ilmu akan lebih memahami bagaimana kehidupan diciptakan dan mendalami pengetahuan tentang kuasa Allah sebagai sang Maha Pencipta. Orang berilmu akan takut melakukan hal-hal yang mengandung dosa karena ia memiliki pengetahuan akan kekuasaan dan juga kebesaran Allah SWT.

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)

“Dan demikian pula di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Orang berilmu diberi kebaikan di dunia dan akhirat oleh Allah.

"مَن يُرِدِ اللهُ بهِ خيْراً يُفَقهْهُ في الدينِ".

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (H.R. Bukhari no. 71 dan Muslim No. 1037)

ADAB MENUNTUT ILMU DALAM ISLAM

Selain memiliki beberapa keutamaan dalam menuntut ilmu, dalam Islam juga diajarkan bagaimana adab seseorang saat menuntut ilmu agar ilmu yang sedang ia pelajari dapat membawa banyak berkah bagi kehidupan. Seperti kata Imam Malik pada kaum Qurais yaitu sebagai berikut:

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

"Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu"

فالعلم بدون أدب لاينفع, والعلم الذي لاتصاحبه نفس مطهرة زكية قد يكون حجة على صاحبه يوم القيامة, يوم لا ينفع مال ولابنون إلا من أتى الله بقلب سليم

Maka ilmu (ketika) tidak dibarengi dengan adab, maka ilmu yang dimiliki tidak bermanfaat (tidak berkah). Dan ilmu yang tidak disertai/dibarengi dengan jiwa yang bersih, maka akan menjadi musuh bagi pemiliknya pada hari kiamat. Yaitu pada hari dimana harta dan anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain berkata:

بالأدب تفهم العلم

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Ibnul Mubarok berkata:

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

Ibnu Sirin berkata:

كانوا يتعلمون الهديَ كما يتعلمون العلم

“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu ilmu.”

Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok:

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من حديث

“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Kata Syaikh Sholeh Al Ushoimi, “Ini yang terjadi di zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.”

Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata:

ما نقلنا من أدب مالك أكثر مما تعلمنا من علمه

“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” 

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata:

تعلم من أدبه قبل علمه

“Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil ilmunya.”

Lihatlah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya dianugerahi akhlak yang mulia:

اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalinggkannya kecuali Engkau.” (H.R. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)

PENGERTIAN ADAB

Adab secara bahasa artinya menerapakan akhlak mulia. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan:

وَالْأَدَبُ اسْتِعْمَالُ مَا يُحْمَدُ قَوْلًا وَفِعْلًا وَعَبَّرَ بَعْضُهُمْ عَنْهُ بِأَنَّهُ الْأَخْذُ بِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ

“Al-Adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia.” (Fathul Bari, 10/400)

Ilmu berkaitan erat dengan adab: ilmu tidak dapat ditularkan kepada anak didik kecuali anak didik tersebut memiliki adab yang benar terhadap cara menuntut ilmu dan terhadap ilmu pengetahuan. (Al-Attas dalam Husaini, 2013)

URGENSI ADAB PENUNTUT ILMU

Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong mendapatkan ilmu.

Abu Zakariya An Anbari rahimahullah mengatakan:

علم بلا أدب كنار بلا حطب، و أدب بلا علم كروح بلا جسد

“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh.” (Adabul Imla’ wal Istimla’ dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi).

Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan:

بالأدب تفهم العلم

“Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi).

Sehingga belajar adab sangat penting bagi orang yang mau menuntut ilmu syar’i. Oleh karena itulah Imam Malik rahimahullah mengatakan:

تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi)

Adab dalam menuntut ilmu adalah sebab yang menolong berkahnya ilmu

Dengan adab dalam menuntut ilmu, maka ilmu menjadi berkah, yaitu ilmu terus bertambah dan mendatangkan manfaat.

Imam Al Ajurri rahimahullah setelah menjelaskan beberapa adab penuntut ilmu beliau mengatakan:

حتى يتعلم ما يزداد به عند الله فهما في دينه

“(Hendaknya amalkan semua adab ini) hingga Allah menambahkan kepadanya pemahaman tentang agamanya” (Akhlaqul Ulama, dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi).

Adab merupakan ilmu dan amal

Adab dalam menuntut ilmu merupakan bagian dari ilmu, karena bersumber dari dalil-dalil. Dan para ulama juga membuat kitab-kitab dan bab tersendiri tentang adab menuntut ilmu. Adab dalam menuntut ilmu juga sesuatu yang mesti diamalkan tidak hanya diilmui. Sehingga perkara ini mencakup ilmu dan amal.

Oleh karena itu Al Laits bin Sa’ad rahimahullah mengatakan:

أنتم إلى يسير الأدب احوج منكم إلى كثير من العلم

“Kalian lebih membutuhkan adab yang sedikit, dari pada ilmu yang banyak” (Syarafu Ash-habil Hadits, dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi).

Adab terhadap ilmu merupakan adab kepada Allah dan Rasul-Nya

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya” (Q.S. Al Hajj: 30).

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (Q.S. Al Hajj: 32).

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al Ahzab: 58).

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ

“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (H.R. Bukhari no. 6502).

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:

إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).

Adab yang baik merupakan tanda diterimanya amalan

Seorang yang beradab ketika menuntut ilmu, bisa jadi ini merupakan tanda amalan ia menuntut ilmu diterima oleh Allah dan mendapatkan keberkahan. Sebagian salaf mengatakan:

الأدب في العمل علامة قبول العمل

“Adab dalam amalan merupakan tanda diterimanya amalan” (Nudhratun Na’im fi Makarimi Akhlaqir Rasul Al Karim, 2/169).

Dari pesan tersebut, dapat kita ketahui sangat penting untuk mempelajari adab terlebih dahulu sebelum seseorang menuntut ilmu. Berikut ini adab-adab menuntut ilmu yang perlu kita ketahui:

PERTAMA: NIAT YANG IKHLAS

Niat yang baik menentukan keberhasilan seorang muslim dalam menuntut ilmu. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi. Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.

Para ulama selalu mewanti-wanti agar kita selalu ikhlas dalam beramal termasuk dalam belajar. Ilmu semakin mudah diraih jika disertai dengan ikhlas. Ilmu semakin jauh dari kita jika yang diharapkan adalah pujian manusia dan ridho selain Allah.

Sesungguhnya ikhlas dalam beramal adalah syarat diterimanya amal dan cara mudah mencapai tujuan. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah: 5).

Dari ‘Umar bin Al Khottob, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap amalan tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan.” (H.R. Bukhari no. 54 dan Muslim no. 1907).

Abu Bakr  Al Marudzi berkata, “Aku pernah mendengar seseorang bertanya pada Abu ‘Abdillah -yaitu Imam Ahmad bin Hambal- mengenai jujur dan ikhlas. Beliau pun menjawab:

بهذا ارتفع القوم

“Dengan ikhlas semakin mulia (tinggi) suatu kaum).”

Contoh dari ulama masa silam (ulama salaf), mereka selalu khawatir luput dari sifat ikhlas ketika belajar. Mereka sudah berusaha mewujudkan ikhlas tersebut dalam hati mereka. Namun untuk mengklaim, telah ikhlas, itu amatlah sulit. Sehingga dalam rangka wara’ (kehati-hatian), mereka tidak menyebut diri mereka ikhlas.

Hisyam Ad Dastawa-iy rahimahullah berkata:

والله ما أستطيع أن أقول: إني ذهبت يوما أطلب الحديث أريد به وجه الله

“Sungguh aku tidak mampu berkata: aku telah pergi mencari hadits pada satu hari untuk mencari wajah Allah.”

Imam Ahmad ditanya, “Apakah engkau telah menuntut ilmu karena Allah?” Jawab beliau:

لله! عزيز, ولكنه شيء حبب إلي فطلبته

“Karena Allah! Itu perkara besar (agung), namun aku berkeinginan kuat untuk terus meraihnya.”

Oleh karenanya, siapa yang luput dari ikhlas, maka ia telah luput dari ilmu dan kebaikan yang banyak. Sehingga ikhlas inilah yang mesti diperhatikan dalam setiap perkara yang nampak ataupun yang samar, yang tersembunyi atau yang terlihat.

Karena itu, kita harus terus berusaha memperbaiki niat. Sufyan Ats Tsauriy berkata:

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب عليَّ

“Aku tidaklah pernah mengobati sesuatu yang lebih berat daripada memperbaiki niatku. Karena niatku dapat terus berbolak-balik.”

Sulaiman Al Hasyimiy berkata, “Terkadang ketika aku mengucapkan satu hadits saja, aku membutuhkan niat. Setelah aku beralih pada hadits yang lain, berubah lagi niatku. Jadi, memang betul menyampaikan satu hadits saja butuh niat ikhlas karena Allah.”

Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.

KEDUA: MENGAMALKAN ILMU YANG DIMILIKI DAN MENJAUHI MAKSIAT

Amal menurut bahasa artinya perbuatan baik atau buruk; perbuatan baik yang mendatangkan pahala (dalam ajaran Islam); yang dilakukan dengan tujuan yang baik untuk kepentingan umat atau masyarakat. Setiap ilmu yang dimiliki, dipahami, dan diyakini kebenarannya haruslah diamalkan. Manfaat ilmu baru dirasakan dan lebih berkah setelah diamalkan. Orang yang mempunyai banyak ilmu tapi tidak diamalkan, ilmu itu seperti pohon rindang tapi tak berbuah, jadi kurang atau tidak bermanfaat, selain itu mereka juga akan sangat menyesal di akhirat kelak. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang disertai amal. Sedangkan orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, kelak pada hari kiamat ia akan ditanya tentang ilmunya. Dan, telah jelas dalil- dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta perkataan para ulama atas wajibnya beramal dengan ilmu, dan menghindari perkataan yang tidak disertai amal. 

Hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”

Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, mendorong pemeluknya untuk menuntut ilmu, mengamalkan ilmu, dan sangat menghormati para guru. ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang wajib dimiliki, karena tidak akan mungkin seseorang mampu melakukan ibadah yang merupakan tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Ta’ala, tanpa didasari ilmu.

Ilmu adalah cahaya yang dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam hati seorang hamba, sedangkan maksiat akan mematikan cahaya tersebut. Ketika Imam Asy-Syaii‘i duduk berguru di hadapan Imam Malik dengan “membacakan” kitab kepadanya maka, Imam Malik terkagum oleh kecepatan hafalannya, kecerdasannya yang sangat cemerlang, dan pemahamannya yang sempurna.

Beliau kemudian berkata kepadanya, “Sungguh aku melihat bahwa Allah Ta’ala telah memberikan cahaya kepadamu, maka jangan padamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan.”

Sudah tidak asing lagi di telinga kita perkataan Imam Syafi’i yang berbunyi:

شكوت إلى وكيع سوءَ حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي. وأخبرني بأن العلم نور ونور الله لايُهدى لعاصي

“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190)

Saudaraku, hafalan Imam Syafi’i sungguh amat luar biasa. Diumur 7 tahun sudah hafal Al-Quran dan diumur 10 tahun sudah hafal kitab Al-Muwatho’ karangan Imam Malik. Dan diumur 15 tahun sudah menjadi mufti (Thorh At Tatsrib, 1: 95-96)

Namun, suatu hari Imam Syafi’i pernah mengadukan kepada gurunya atas sulitnya mengulang hafalannya. Si guru menegurnya, “Engkau pasti pernah melakukan suatu dosa. Cobalah engkau merenungkan kembali!”. Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya, “Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?”. Beliau pun teringat bahwa pernah suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki kendaraannya, lantas tersingkap pahanya -ada pula yang mengatakan: yang terlihat adalah mata kakinya- Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya.

Hafalan beliau bisa terganggu karena ketidak-sengajaan. Itu pun sudah mempengaruhi hafalan beliau. Bagaimana dengan kita yang keseharian tidak bisa lepas dengan barbagai aurat wanita. Seperti rambut, betis, leher, bahkan bagian lutut keatas.

Di zaman Imam Syafi’i aurat tersebut tersingkap secara tidak sengaja. Namun, hari ini aurat diumbar dan diperlihatkan di mana-mana. Bahkan lebih parahnya, banyak model yang dengan bangga menontonkan aurat mereka.

Sungguh, kita memang benar-benar telah terlena dengan maksiat. Lantas maksiat tersebut menutupi hati kita sehingga kita pun sulit melakukan ketaatan, malas untuk beribadah, juga sulit dalam hafalan Al Qur’an dan hafalan ilmu lainnya.

Maka benarlah firman Allah Ta’ala yang berbunyi:

كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (Q.S. Al Muthoffifin: 14).

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap dan lama kelamaan pun mati.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14: 268).

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.” (Ad Daa’ wad Dawaa’,107.)

Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata:

بقدر ما يصغر الذنب عندك يعظم عند الله وبقدر ما يعظم عندك يصغر عند الله

“Jika engkau menganggap dosa itu kecil, maka itu sudah dianggap besar di sisi Allah. Sebaliknya, jika engkau mengganggap dosa itu begitu besar, maka itu akan menjadi ringan di sisi Allah.”

Imam Ahmad berkata bahwa beliau pernah mendengar Bilal bin Sa’id menuturkan:

لا تنظر إلى صغر الخطيئة ولكن انظر إلى عظم من عصيت

“Janganlah engkau melihat pada kecilnya dosa. Akan tetapi lihatlah pada agungnya siapa yang engkau maksiati (yaitu Allah Ta’ala).” (Muhammad bin Ibrahim al-Bikri, Dalil Al-Falihin litarqi Riyadhus Shalihin, cet IV, jilid 1, hal 239)

Mencegah kemaksiatan bisa diasah dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah dan berusaha sungguh-sungguh untuk selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Manusia dikaruniai oleh Allah akal budi dan hati nurani. Kecenderungan setiap orang atau fitrah seseorang adalah berpihak kepada hati nurani karena hati nurani akan memberikan tanda yang selalu berkiblat pada kebenaran.

Ini adalah fitrah yang dimiliki oleh setiap insan ciptaan Allah. Jadi, sejatinya setiap manusia mempunyai kecenderungan kepada kebenaran yang diwakili oleh hati nurani.

Persoalannya sekarang adalah seberapa kuat komitmen seseorang untuk jujur dan berpihak kepada hati nuraninya, sehingga apa yang dilakukannya selalu yang diridhai oleh Allah SWT? Di sinilah perlunya tuntunan agama dalam kehidupan seseorang.

Salah dan khilaf adalah ciri manusia ciptaan Allah. Hanya Allah yang Mahasempurna. Oleh sebab itu, ampunan dan kasih sayang Allah melebihi salah dan khilaf yang diperbuat manusia.

Kecenderungan untuk selalu berjalan di atas rel yang telah Allah tentukan harus secara terus-menerus dipelihara, dikokohkan, dan diimplementasikan dalam segala jenis aktivitas walau tanpa disadari kesalahan-kesalahan kecil sering terjadi.

Sesaat saja manusia tidak ingat akan Allah, itu sudah kekhilafan, apalagi sampai melakukan perbuatan yang bertentangan dengan fitrah dan hati nuraninya.

KETIGA: TAWADHU (RENDAH HATI)

Ilmu terdiri dari tiga tahapan: (1) jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong: (2) jika dia memasuki tahap kedua, dia akan tawadhu (rendah hati); (3) jika dia memasuki tahapan ketiga, dia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya (Umar bin Khattab). 

Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah Al-Haq (benar); kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

 مشتق من الضعة بكسر أوله وهي الهوان , والمراد بالتواضع إظهار التنزل عن المرتبة لمن يراد تعظيمه , وقيل هو تعظيم من فوقه لفضله . 

Arti kata Tawadhu’ dari segi bahasa sama dengan makna kata al-hawaan yang artinya, malu atau merasa rendah hati. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan kerendahan martabat diri pada orang yang dianggap lebih mulia. Ada juga yang mengartikan Tawadhu’ adalah memuliakan seseorang yang lebih utama darinya.

Ketika membahas akhlaq seorang alim dan muta’alim. Imam Abu Bakar Al-Ajuri mengatakan, “Apabila Allah membuatnya populer di kalangan kaum mukmin sebagai orang yang alim dan orang-orang membutuhkan ilmu yang ia miliki, maka ia harus menanamkan sikap tawadhu terhadap orang yang alim dan orang yang jahil. Adapun sikap tawadhunya terhadap orang yang memiliki ilmu yang setingkat dengannya, maka hal itu akan menumbuhkan rasa cinta di dalam hati mereka kepadanya, sehingga mereka pun akan mencintainya. Bila ia berpisah dengan mereka, maka hati merekapun merasa kehilangan. Adapun tawadhunya terhadap ulama atau guru, maka hal itu merupakan keharusan atas dirinya bila ia ingin memperoleh ilmu. Sedangkan tawadhunya terhadap orang yang dibawahnya, maka hal itu merupakan kemuliaan ilmu baginya di sisi Allah dan di hadapan orang-orang yang berakal. Tawadhu merupakan sifat orang beriman yang paling menonjol secara umum dan para penuntut ilmu secara khusus. Allah Swt telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersikap tawadhu, rendah hati dan berperangai lembut.

Abdullah bin Abbas r.a atau yang dikenal dengan nama Ibnu Abbas r.a berkata, "Setelah Rasulullah saw wafat, aku berkata kepada temanku dari kaum Anshar, 'Sekarang Rasulullah telah wafat, di antara kita masih banyak sahabat yang masih hidup. Marilah kita temui mereka untuk menanyakan tentang ajaran Islam dan kita hafalkan.' Teman Ansharku berkata, 'Bukankah orang-orang selalu datang kepadamu untuk bertanya tentang agama walaupun para sahabat tersebut masih hidup?' Saya menjawab, 'Karena itulah, meskipun jemaah para sahabat yang besar masih ada, orang-orang sudah tidak memiliki perhatian penuh kepada mereka dan tidak mempunyai lagi semangat ke arah itu.' Kemudian saya mulai mencari-cari ilmu agama, saya mendatangi setiap orang yang saya duga telah mendengar sesuatu dari Rasulullah saw. dan menelitinya sampai akhirnya aku berhasil memperoleh sejumlah besar hadis-hadis dari kaum Anshar. Apabila aku mendapati mereka sedang tidur, aku menghamparkan sorbanku di pintu pagar rumah mereka dan aku duduk di atasnya sambil menunggu mereka. Walaupun terkadang mukaku dan badanku penuh dengan debu, aku terus bertahan hingga mereka bangun agar aku dapat bertanya kepadanya. Sebagian besar dari mereka berkata kepadaku, 'Abdullah, kamu adalah sepupu Rasulullah saw. sepatutnyalah kamu memanggilku untuk datang ke tempatmu, tidak sepatutnya kamu bersusah payah untuk menemuiku di sini.' Kemudian aku berkata kepada mereka, 'Aku adalah seorang penuntut ilmu. Oleh karena itu, aku lebih patut untuk datang menemuimu.' Mereka kembali bertanya, 'Sejak kapan kamu menungguku?' Aku memberi tahu mereka bahwa aku telah menunggunya sejak lama. Kemudian mereka berkata kepadaku, 'Sungguh kasihan! Mengapa kamu tidak memberitahuku?' Aku berkata, 'Hatiku tidak menginginkan engkau datang terlebih dahulu sebelum menyelesaikan keperluan-keperluanmu.' Hingga tiba pada suatu waktu ketika orang-orang berduyun-duyun datang kepadaku untuk mencari ilmu. Orang-orang Anshar itu mulai menyadari dan berkata, 'Anak ini ternyata lebih pandai daripada kita.'" Demikianlah keinginan dan kerendahan hati Ibnu Abbas r.a. dalam menuntut ilmu membuatnya mendapat gelar Hibrul Ummah (tinta umat) juga sebagai Bahrul Ilm (lautan ilmu) di zamannya.

Sifat rendah hati yang dimiliki para pencari ilmu lahir karena keinginanan dan kebutuhan akan ilmu tersebut digambarkan dari pengalaman sahabat dan para ulama sebagai berikut:

1. Imam Bukhari r.a. meriwayatkan dari Imam Mujahid r.a. bahwa barang siapa yang malu atau sombong dalam mencari ilmu, ia tidak bisa mendapatkan Ilmu.

2. Ali r.a. berkata, "Siapa pun yang telah mengajarkan ilmu kepadaku walaupun hanya satu huruf, aku adalah hamba sahayanya, apakah aku akan dibebaskannya atau dijualnya."

3. Yahya bin Katsir r.a. berkata, "llmu tidak akan datang dengan cara bersenang-senang."

4. Imam Syafi'i berkata, "Seseorang yang mencari ilmu tanpa keinginan hati dan tanpa perasaan membutuhkannya, ia tidak akan pernah berhasil. Sebaliknya, seseorang yang dengan bersusah payah dan hidup di dalam kesempitan, berusaha untuk mendapatkannya, ia akan berhasil."

5. Imam Abu Yusuf r.a. menambahkan, "Saya mendengar dari orang-orang saleh bahwa seseorang yang tidak menghargai gurunya, ia tidak akan berhasil."

6. Ibnu Jama'ah r.a. berkata, "Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan dan tunduknya adalah kebanggaan."

7. Al-Khatib telah meriwayatkan dalam kitab Jami'-nya bahwa Ibnul Mu'taz berkata, "Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya, sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang paling banyak airnya."

8. Dalam syairnya, Humaidi r.a. menulis:

Berjumpa dengan manusia tidak memberi manfaat apa-apa

Kecuali perkataan yang sia-sia dan kabar angin

Maka kurangilah bertemu dengan manusia,

Kecuali untuk mengambil ilmu atau memperbaiki diri

Tawadhu adalah sikap rendah hati. Orang yang bertawadhu menyadari keterbatasan kemampuan diri, dan ketidakmampuan diri sendiri, sehingga ia tidak angkuh dan tidak menyombong. Tawadhu adalah sikap yang tidak memandang ada kelebihan pada dirinya daripada orang lain.

Secara singkat tawadhu adalah sikap rendah hati, namun tidak serta merta merendahkan diri. Orang yang tawadhu adalah orang yang tidak sombong, namun tetap optimis dan percaya diri dalam hidupnya.

Orang yang bertawadhu tidak akan mencampuri urusan yang tidak ia pahami. Dengan bertawadhu, orang bisa mengetahui batasan dirinya terhadap suatu hal. Tawadhu juga bisa disamakan dengan sikap tahu diri.

Namun, penting diketahui tawadhu bukanlah sikap merendahkan diri untuk dihormati atau hanya untuk mendapatkan pujian.

Tawadhu adalah sikap yang selalu ditekankan dalam Islam. Tawadhu merupakan salah satu sikap yang terpuji di mata Allah SWT. Seseorang yang senantiasa menjaga perilakuknya tetap rendah hati akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.

Sikap rendah hati menjadi bukti keimanan seorang hamba pada Tuhannya. Ini sesuai dengan Q.S. Al-Furqon ayat 63 yang berbunyi: "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Q.S. Al-Furqon ayat 63)

Sikap rendah hati juga tertuang pada Q.S. asy-Syu’araa’: 215 yang berbunyi: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Q.S. asy-Syu’araa’: 215)

Selain dalam Al-Quran, sikap tawadhu juga tertuang pada hadis yang berbunyi: “Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorangpun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak seorangpun berlaku zalim pada yang lain.” (H.R.Muslim)

Orang yang memiliki sifat tawadhu pasti memiliki sikap baik yang bisa dikenali. Karena merupakan kebalikan dari sikap takabur, orang yang bertawadhu pasti akan jauh dari kesombongan.

Ciri-ciri orang yang tawadhu adalah tidak senang mengumbar keunggulan dirinya meskipun ia memilikinya. Orang yang tawadhu bisa menerima kebenaran dari siapapun tanpa melihat derajat atau kelas seseorang.

Orang yang bertawadhu juga tidak akan memilih-milih teman dan bersedia mementingkan kepentingan bersama. Orang yang tawadhu juga akan senang hati menolong ketika dimintai pertolongan.

Manfaat Bertawadhu

Terhindar dari kesombongan

Salah satu manfaat bersikap tawadhu adalah terhindar dari sikap sombong atau takabur. Sombong merupakan akhlak tercela yang sangat dibenci Allah. Dengan memiliki sifat rendah hati, seseorang akan jauh dari sikap dan perasaan sombong.

“Dari Nabi SAW berkata, “Tidak akan masuk surga siapa yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar zarrah”. (H.R. Muslim)

Diangkat derajatnya

Allah akan mengangkat derajat orang yang senantiasa bersikap tawadhu. Sikap tawadhu merupakan sikap yang sangat mudah diterapkan dalam kehidupan. Janji Allah SWT ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:

"Tidaklah seorang bertawadhu yang ditunjukkan semata-mata karena Allah SWT, melainkan Allah Azza wa Jalla akan mengangkat derajatnya." (H.R. Muslim)

Dari Abu Hurairah, berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (H.R. Muslim).

Dicintai sesama

Orang yang bersikap tawadhu akan dihargai dan dicintai oleh orang-orang disekitarnya. Ini karena orang yang bertawadhu tidak pernah merendahkan orang lain dan bisa menghargai sesama. Dengan bersikap tawadhu, seseorang akan lebih dihormati dan dihargai.

Memiliki banyak teman

Salah satu manfaat tawadhu adalah menjaga hubungan sosial dengan sesama. Dengan sikap tawadhu, seseorang akan jauh dari kebencian. Sikap tawadhu bisa membuka lingkar pertemanan yang lebih luas. Orang akan lebih senang berteman dengan orang yang memiliki pikiran positif, tidak sombong, dan selalu rendah hati.

Hati selalu tenang

Seseorang yang memiliki sikap tawadhu akan merasa lebih bahagia. Sikap tawadhu membuat hati selalu tenang dan jauh dari gelisah. Dengan percaya diri dan berpikir positif, kegelisahan akan dengan mudah diatasi. Orang yang selalu rendah hati akan lebih bisa mengontrol emosinya dan tidak berlebihan terhadap suatu hal.

KEEMPAT: MENGHORMATI PARA ULAMA DAN MAJLIS ILMUNYA

Dasar keilmuan itu tidak dapat diperoleh dengan belajar sendiri dari kitab atau buku-buka saja. Namun, harus dengan bimbingan seorang guru ahli atau ulama yang akan membuka pintu-pintu ilmu agar selamat dari kesalahan dan ketergelinciran.

Di antara adab seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama/guru, bersikap tawadhu kepada mereka, memelihara kehormatan mereka dan berhati-hati jangan sampai berbuat buruk terhadap mereka atau bahkan meremehkannya. Sebab, orang yang berilmu memiliki kemuliaan yang agung dan kedudukan yang besar. Allah telah mengangkat kemampuan mereka dan meninggikan kedudukannya.

Peranan guru/ulama sangat penting dalam melaksanakan pendidikan, artinya guru/ulama memiliki tanggung jawab untuk menentukan arah pendidikan tersebut. Itulah sebabnya Islam sangat menghormati dan memuliakan orang-orang berilmu. Setiap penuntut ilmu wajib menghormati ulama dan memuliakan mereka, barlapang dada ketika terjadi ikhtilaf di antara ulama dan selain mereka serta memaklumi orang yang menempuh jalan yang salah dalam i’tiqad mereka.

Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memposisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.

Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.

Sebab awal timbulnya kesyirikan di muka bumi adalah pemujaan berlebihan pada orang atau agamawan yang saleh, sebagaimana terjadi pada kaum Nuh as dan ahli kitab masa lalu. Sikap ini tentu terlarang dalam Islam.

Allah SWT berfirman: “Katakanlah, hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad), mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Q.S Al- Maidah [5]: 77).

Rasulullah menegaskan dalam hadisnya. Rasulullah bersabda kepadaku menjelang waktu melontar jumrah Aqabah sedangkan beliau berada di atas untanya. “Ambilkanlah batu kerikil untukku,” maka aku mengambilkan tujuh batu kerikil yang kecil baginya untuk melempar. Ketika beliau meletakkan batu kerikil itu di tangannya, beliau bersabda, “Benar, lemparlah dengan batu seperti ini.” Kemudian, beliau bersabda, “Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama karena sesungguhnya umat-umat terdahulu binasa kerana sikap berlebih-lebihan dalam beragama.” (H.R Ibnu Majah).

Seseorang dikatakan sebagai ulama disebabkan oleh rasa takutnya pada Allah karena ilmu dan kedalaman hikmahnya. Derajat mereka ditinggikan Allah sebelum dimuliakan manusia. Allah berfirman: “Niscaya Allah meninggikan orang beriman di antaramu dan orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11). Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Q.S Az-Zumar [39]: 9). 

Rasul menegaskan, status dan peran ulama itu adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan ilmu dan ajaran agama kepada semua manusia setelah berakhirnya pengutusan para nabi dan rasul.

“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah ada lah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya dia telah meng ambil bagian yang sangat banyak.”(H.R Tirmizi, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Bersikap objektiflah sebagaimana Rasul memuliakan ulama dan tidak menjelekkan atau merendahkannya. Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit, Rasul bersabda: “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati orang lebih besar diantara kami, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (H.R Ahmad dan Thabrani).

Bahkan, Allah menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan, mengolok-olok, dan merendahkan orang beriman itu salah satu perbuatan dan kebiasaan orang kafir dan munafik. “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka pada hari kiamat. Dan, Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Q.S Al-Baqarah [2]: 212)

Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang kepada mereka.’” Yang dimaksud dengan wali Allah di sini adalah orang alim yang selalu taat dan ikhlas dalam beribadah. Imam Syafii menjelaskan: jika para ulama itu bukanlah wali-wali Allah, maka tidak ada wali Allah di muka bumi ini.

Ikrimah seorang tabi’in mengatakan: “Janganlah kamu menyakiti seorang ulama karena barangsiapa menyakitinya, berarti dia telah menyakiti Rasulullah. Sebab, kedudukan ulama sebagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari kiamat nanti. 

Etika yang baik dalam mendebat ulama adalah mendebat dengan retorika yang diajarkan Allah. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (Q.S. Al- Baqarah [2]: 111). Adapun kriteria ulama yang mendapatkan tempat untuk dihormati adalah ulama yang takut kepada Allah dengan ilmunya dan mereka ikhlas dalam melanjutkan risalah kenabian. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S Fathir [35]: 28). Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S Yasin [36]: 21).

“Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari ilmu-ilmu yang (semestinya) dipelajari hanya karena wajah Allah, namun ia mempelajarinya untuk mendapatkan tujuan keduniaan, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat (kelak)”. (H.R. Ibnu Majah dan Abu Daud) 

Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani. Demikian juga para salafus shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Diantara faidah majelis ilmu ialah: 

1. Mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencontoh jalan hidup para salaf shalih. 

2. Mendapatkan ketenangan. 

3. Mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala 

4. Dipuji Allah di hadapan para malaikat. 

5. Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul. 

6. Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah : 

Ikhlas. 

Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.

Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu. 

Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.

Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”. Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran. 

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. 

Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”. 

Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”. Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan. 

Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya Dari Selainnya.

Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia menjawab,“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”

Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang Tidak Dapat Dihadirinya. 

Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya. 

Mencatat Faidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab. 

Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab. 

Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu. 

Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat”. 

Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”. 

Tidak Boleh Berputus Asa. 

Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk di sana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! 

Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum teh hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”. Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya. 

Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah. 

Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah n mengajarkan kepada kita dengan sabdanya:

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه 

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’]. 

Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ 

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat Bukhari]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya. 

Beradab Dalam Bertanya. 

Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:

 فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ 

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An-Nahl : 43].

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya:

 أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ 

Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174]. 

Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.” 

Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”

Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya: 

1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji. Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:

 فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ 

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43]. Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang mashur. 

2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang dalam firmanNya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْئَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [Al Maidah : 101]. 

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ 

Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad]. 

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. 

Rabi’ bin Khaitsam berkata,“Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadmu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allah berfirman kepada Nabi-Nya: 

قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ 

Katakanlah (hai Muhammad),”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur’an setelah beberapa waktu lagi. [Shad : 86-88].

3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya. Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148 ,“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.

4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: 

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَدَعَهُ 

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud,“Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab, “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [Riwayat Bukhari dan Muslim]. 

5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain. 

Mengambil Akhlak Dan Budi Pekerti Gurunya. 

Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia. 

Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau. 

Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”.

KELIMA: SABAR KETIKA MENUNTUT ILMU 

Sabar menurut bahasa, yaitu tidak lekas meledak emosinya, tidak lekas marah, tahan menghadapi cobaan; tabah; tenang. Ada tiga macam sabar, yaitu pertama, sabar dalam menta’ati Allah, kedua, sabar dalam meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, ketiga, sabar dalam menjalani takdir yang ditimpakan oleh Allah. Sabar adalah salah satu akhlak mulia yang diperintahkan oleh Islam. Di antara bentuknya adalah sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari (meninggalkan) maksiat kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi ujian dunia. Tidak akan ada keberhasilan di dunia dan kemenangan di akhirat kecuali dengan kesabaran.

Menjadi orang berilmu adalah cita-cita mulia. Dan sudah menjadi sunatullah di dunia ini, tak ada satupun cita-cita mulia kecuali harus diraih dengan kesabaran. Oleh karennya, hanya ada satu solusi agar seorang dapat istiqomah menggapai cita-cita mulia, yaitu mensabarkan diri untuk terus berjuang. 

Di dalam Al-Quran, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bersabar pada dua hal:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (Q.S. Ali Imran : 200)

Perintah sabar yang pertama, adalah sabar mewujudkan iman yang pokok. 

Kemudian sabar yang kedua, untuk mewujudkan penyempurna iman. 

Ini menunjukkan pentingnya sabar, dan kita diperintah sabar, sampai bertemu Allah. Karena memperjuangkan agar iman ini semakin dan semakin sempurna; diantara yang paling urgent berjuang melalui ilmu, adalah perjuangan sampai akhir hayat. Ini juga bukti bahwa sabar itu tidak ada batasnya. Karena pahalanya pun tak terbatas.

Setelah kita sadar dan menjalani bahwa belajar itu perlu sabar, fase setelahnya pada ayat yang lain, Allah mengajak kita untuk bersabar dalam menyampaikan ilmu/mengajar:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. (Q.S. Al-Kahfi : 28)

Ini menunjukkan bahwa, kesetiaan bersama ilmu itu meliputi dua fase sabar: 

1. Sabar saat belajar.

2. Sabar saat mengajar.

Saat belajar perlu sabar, karena menghafal ilmu harus sabar, memahami ilmu dan konsisten hadir di kajian, juga butuh sabar.

Saat mengajar juga perlu sabar, karena untuk betah duduk menyampaikan ilmu kepada masyarakat, perlu sabar, memahamkan mereka, perlu sabar, saat menjumpai kekurangan murid, juga harus bersabar.

Termasuk di dalam fase kedua ini adalah, mengamalkan ilmu. Karena diantara cara mengajar adalah, memberikan teladan yang baik.

Kesimpulannya, bersama ilmu, harus siap bersabar.

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi menasehatkan:

وفوق هذين النوعين من صبر العلم, الصبر على الصبر فيهما و الثبات عليهما

“Kesabaran lebih tinggi dari dua fase sabar terhadap ilmu di atas adalah, sabar untuk bisa bersabar serta konsisten dalam sabar pada dua fase tersebut.” (Khulashoh Ta’dhimil Ilmi, hal. 29) 

Para ulama memberikan nasehat kepada kita tentang pentingnya sabar bersama ilmu:

Yahya bin Abi Katsir

Beliau menafsirkan yang dimaksud dalam surat Al-Kahfi ayat 28 di atas adalah: 

هي مجالس الفقه 

majelis-majelis fikih/ilmu.

Beliau juga mengatakan:

لا يستطاع العلم براحة الجسد

Ilmu ini tak akan bisa didapat dengan bersantai-santai.

Dalam menuntut ilmu ada kaedah dan ketentuan yang harus diperhatikan oleh setiap abdi ilmu, terlebih ilmu syariat agama. Bagi para penuntut ilmu tentunya tak asing dengan salah satu syair Imam Syafi’i yang berisi petuah bagi para penuntut ilmu, “Saudaraku, kamu tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam perkara, akan aku beritahukan perinciannya dengan jelas : Kecerdasan, ketamakan dalam ilmu, kesungguhan, harta benda, menghormati guru, dan waktu yang panjang.”

Sepertinya generasi akhir ini banyak yang melalaikan pesan Imam Syafii yang terakhir. Banyak para pencari ilmu yang tidak bersabar selama proses menuntut ilmu, terlebih dalam mendalami ilmu agama. Semangat mereka yang membara mengalahkan kesabaran mereka untuk duduk di majelis ilmu. Mereka lalai atau memang belum tahu bahwa ilmu berbeda dengan maklumat. Ilmu adalah kaidah-kaidah yang tersusun secara sistematis. Ilmu tidaklah sama seperti membaca koran lima menit atau sepuluh menit. Menuntut ilmu harus memperhatikan metode. Mana yang harus dipelajari bagi pemula, mana yang harus dipelajari bagi lanjutan dan semua itu membutuhkan kesabaran yang tinggi.

Banyak kisah para ulama salaf yang menggambarkan kesabarannya dalam menuntut ilmu, diantaranya, Al-Muzani pernah berkata, “Aku telah membaca kitab ar-Risalah milik asy-Syafi’i sejak lima puluh tahun lalu dan setiap kali aku baca aku menemukan faidah yang tidak ditemukan sebelumnya.” Lihatlah, al-Muzani adalah seorang fakih, seorang fakih saja rela mengulang-ngulang membaca suatu kitab, bagaimana dengan kita yang jauh dari kemampuan para ulama salaf, yang malas menelaah suatu ilmu, malas mendengarkan penjelasan guru, yang berat berlama-lama mengkaji suatu diskursus kelimuan.

Sa’addu ad-Din at-Taftazani seringkali menangis karena susah memahami penjelasan gurunya namun ia terus bersabar hingga ia benar-benar memahaminya. Perhatikanlah tingkat kesabaran para ulama. Jika kita menengok generasi akhir ini, mereka banyak yang tidak sabar duduk berlama-lama di majelis ilmu. Pemandangan yang memilukan dimana mereka belum memiliki kapabilitas suatu keilmuan, belum mengikuti jalan para salafush salih dalam menuntut ilmu namun sudah berani menisbatkan gelar alim kepada dirinya dan menyampaikan ilmu yang bukan kapasitasnya.

Ibarat seorang dokter spesialis penyakit ringan mengobati pasien penyakit jantung. Terlebih ini terjadi dalam diskursus ilmu agama. Itulah kenapa mempelajari ilmu agama meniscayakan kesabaran, seorang yang ingin mempelajari tafsir Al-Qur’an harus bersabar mempelajari kaidah bahasa arab nahwu dan sharafnya, balaghinya, manthiq, dan asbab an-nuzulnya. Tanpa itu semua mustahil. Teringat petuah Syaikh Yusri Rusydi, “Ilmu setengah matang lebih berbahaya daripada ketidak tahuan sama sekali.” Bersabarlah dalam menuntut ilmu, nikmatilah prosesnya, nikmatilah bermain-main di tepi pantai maka tanpa kamu sadari, kamu sedang berada dalam samudera yang sangat luas.

قال الإمام ابن القيم رحمه الله : فَإِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ جَعَلَ الصَّبْرَ جَوَادًا لَا يَبْكُوْا, وَ صَارِمًا لَا يَنْبُوْا, وَجُنْدًا لَا يَهْزِمُ, وَحِصْنًا لَا يَهْدِمُ وَلَا يَثْلِمُ, فَهُوَ النَّصْرُ أَخَوَانِ شَقِيْقَانِ فالنَّصْرُ مَعَ الصَّبْرِ. (عدة الصابرين : 8)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menjadikan sabar sebagai kuda tunggangan yang tak kenal lelah, pedang yang tak pernah tumpul, prajurit yang pantang menyerah, benteng kokoh yang tak bisa dihancurkan dan ditembus. Sabar merupakan saudara kandung kemenangan. Di mana ada kesabaran, di situ ada kemenangan.” (Uddatush Shabirin, hlm.8)

Sejatinya ujian dan cobaan bertubi-tubi yang menerpa hidup manusia termasuk dalam menuntut ilmu merupakan salah satu ketentuan yang telah ditetapkan Allah yang mana tak ada penuntut ilmu yang mampu menghalaunya selain dengan kokohnya pondasi kesabaran tuk hadapi badai cobaan demi meraih kemenangan yang ia cita-citakan.

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi seorang penuntut ilmu. Ia harus bersabar menahan rasa lapar, kurang harta, jauh dari keluarga juga tanah airnya. Ia juga bersabar sebagai upaya menimba ilmu dengan menghadiri majelis ilmu, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Sabar dalam ilmu ada dua macam:

Pertama:  Kesabaran dalam mempelajari dan mengambil ilmu. Seseorang ketika menghafalkan ilmu butuh kesabaran. Ketika memahami ilmu butuh kesabaran. Ketika menghadiri majelis ilmu butuh kesabaran. Ketika memperhatikan hak-hak gurunya juga membutuhkan kesabaran. Inilah poin penting dalam memahami hakikat sabar bagi para penuntut ilmu.

Kedua:  Kesabaran dalam menyampaikan dan menyebarkan ilmu kepada orang lain. Seseorang dalam duduknya tuk ajarkan ilmu pun membutuhkan kesabaran. Ketika memahamkan orang lain juga membutuhkan kesabaran dan tuk maafkan kesalahan  muridnya membutuhkan kesabaran. Para muallim yang memiliki ilmu bersabar inilah yang akan berhasil dalam menyalurkan ilmu kepada para muridnya.

 الصَّبْرُ أَكْبَرُ عَوْنٍ عَلَى جَمِيْعِ الأُمُوْرِ، وِالإِحَاطَةُ بِالشَّيْءِ عِلْمًا وَخَبَرًا هُوَ الَّذِي يُعِيْنُ عَلَى الصَّبْرِ

“Kesabaran merupakan faktor pendukung terbesar dalam segala hal, sementara pengetahuan terhadap sesuatu baik secara ilmu maupun pengalaman merupakan faktor pendukung kesabaran.”

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata dalam sya'irnya:

اصبر على مر الجفا معلم ... فإن رسوب العلم في نفراته

ومن لم يذق مر التعلم ساعة ... تجرع ذل الجهل طول حياته

ومن فاته التعليم وقت شبابه ... فكبر عليه أربعا لوفاته

وذات الفتى -والله- بالعلم والتقى ... إذا لم يكونا لا اعتبار لذاته

"Bersabarlah atas pahitnya menghadapi guru yang kaku sikapnya…Sesungguhnya kegagalan dalam menuntut ilmu karena lari darinya.

Barangsiapa yang belum pernah merasakan pahitnya menuntut ilmu walaupun sesaat saja…Maka dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.

Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di waktu mudanya…Maka bertakbirlah sebanyak 4 kali sebagai tanda wafatnya.

Keberadaan seorang pemuda -demi Allah- dilihat dari ilmu dan taqwanya… Apabila tidak ada keduanya maka tidak ada arti keberadaannya." (Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i 33-34)

Bersabar merupakan ciri utama orang beriman. Orang beriman akan bersyukur apabila ia mendapatkan nikmat dan akan bersabar apabila ia mendapat musibah/cobaan. Orang beriman akan bersabar terhadap cobaan dari Allah apabila ia melakukan sesuatu dengan ikhlas, maka akan menambah pahala dan kasih sayang dari Allah.

Sabar dan tabah itu pangkal dari segala hal, tetapi jarang yang bisa melakukan. Maka sebaiknya penuntut ilmu mempunyai hati tabah dan sabar dalam belajar, jangan sampai ditinggalkan sebelum sempurna yang dipelajari, dalam suatu bidang ilmu jangan sampai berpindah ke bidang lain sebelum memahaminya benar-benar.

KEENAM: SALING BERLOMBA DALAM MENUNTUT ILMU

Ketika seorang penuntut ilmu telah mendalam dalam mencari ilmu dan telah terbuka baginya pintu-pintu ilmu, maka dia (tetap) butuh akan tambahan ilmu, berlomba-lomba dalam mencarinya, dan bersemangat dalam memperbanyak ilmu.

Sungguh Allah telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berdo’a meminta tambahan ilmu. Allah berfirman:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu (yaitu ilmu syar’i).” (Q.S. Thaahaa: 114)

Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya agar memperbanyak ilmu dan bersemangat mencari tambahan ilmu walaupun umurnya sudah tua sampai pemiliknya masuk ke jannah (maksudnya: mencari ilmu itu sampai meninggal dunia dan tempatnya seorang mu`min di akhirat adalah di jannah).

Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَنْ يَشْبَعَ الْمُؤْمِنُ مِنْ خَيْرٍ يَسْمَعُهُ حَتَّى يَكُوْنَ مُنْتَهَاهُ الْجَنَّةَ

“Seorang mu`min tidak akan kenyang dari kebaikan yang dia dengar sampai tempat berakhirnya adalah jannah.” (H.R. At Tirmidzi no. 2686, dan beliau berkata: hadits hasan gharib)

Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kegairahan / keinginan dalam ilmu dan cinta padanya termasuk konsekuensi-konsekuensi iman dan termasuk di antara sifat-sifat orang-orang yang beriman. Dan beliau mengabarkan bahwa hal ini (gairah terhadap ilmu dan cinta padanya) akan tetap ada pada seorang mu`min sampai dia masuk jannah. (Miftaahu Daaris Sa’aadah karya Ibnul Qayyim 1/74)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah (dalam Miftaahu Daaris Sa’aadah 1/74) meriwayatkan beberapa atsar yang menerangkan semangat salafush shalih dalam mencari ilmu, di antaranya:

Dari Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, beliau berkata, “Sesungguhnya aku mencari ilmu sampai aku dimasukkan ke dalam kubur.”

Al Hasan ditanya tentang seseorang yang berumur 80 tahun, “Apakah dia masih layak mencari ilmu?” Beliau menjawab, “Jika ia masih layak hidup (maka dia layak mencari ilmu).”

Dikatakan kepada Ibnu Bustham, “Betapa semangatnya engkau dalam mencari hadits.” Maka beliau berkata, “Tidakkah engkau suka kalau aku termasuk ke dalam deretan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Apabila keadaan hikmah itu seperti barang yang hilang dari seorang mu`min, maka wajib baginya untuk mencarinya. Dan hikmah adalah ilmu, maka jika seorang mu`min kehilangan ilmu, dia seperti keadaan orang yang kehilangan harta yang berharga. Maka jika dia menemukannya, hatinya akan mantap dan jiwanya akan bergembira. (Miftaahu Daaris Sa’aadah 1/75)

Di antara wasiat Luqman Al Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan mendekatlah kepada mereka dengan kedua lututmu, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati-hati (manusia) dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati (kering) dengan hujan yang deras.” (Diriwayatkan oleh Al Imam Malik di dalam Al Muwaththa`, bab Maa Jaa`a fii Thalabil ‘Ilmi. Lihat Tanwiirul Hawaalik Syarh Muwaththa` Al Imam Malik 3/161)

Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu didatangi kematian, beliau berkata, “Selamat datang kematian, selamat datang tamu yang datang dengan suatu hajat. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak suka untuk tetap berada di dunia dalam rangka melintasi sungai-sungai dan menanam pepohonan. Akan tetapi aku suka tinggal di dunia untuk merasakan kepayahan di malam yang panjang, merasakan haus di bawah terik matahari pada hari yang sangat panas, dan mendekati ulama dengan kendaraan-kendaraan di dalam majlis dzikir.” (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi karya Ibnu ‘Abdil Barr 1/51) Yakni majlis ilmu.

Berkata Sa’id bin Jubair rahimahullah, “Seseorang tetap dikatakan ‘alim selama dia tetap belajar. Maka apabila dia meninggalkan belajar dan merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, maka dia adalah orang yang paling bodoh.” (Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim karya Ibnu Jamaa’ah halaman 183)

Dan demikianlah, yang akan menguatkan seorang penuntut ilmu yaitu dengan menjadikan semangat yang pertama kalinya adalah mencari ilmu, meminta tambahan ilmu, selalu bersungguh-sungguh dan rajin dalam mencarinya, bersemangat untuk menghadiri majlis-majlis para ulama, dan mentelaah kitab-kitab ilmu serta menguasainya.

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Selayaknya seseorang untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam menyibukkan diri dengan ilmu baik dengan cara membaca, dibacakan ataupun membacakan kepada orang lain, menelaah, memberikan catatan-catatan, membahas, mudzakarah (mempelajari dan muroja’ah / mengulang pelajaran), dan menulisnya. Dan janganlah dia merasa sombong sehingga tidak mau belajar kepada orang yang di bawahnya dari sisi umur, nasab, atau kemasyhuran. Bahkan hendaknya dia bersemangat untuk mendapatkan faidah dari orang yang memilikinya.” (Al Majmuu’ 1/29)

Beliau juga berkata, “Dan termasuk di antara adab-adab seorang penuntut ilmu yang sangat ditekankan adalah hendaklah dia bersemangat dalam belajar, menekuninya di seluruh waktu-waktu yang memungkinkan baginya, dan janganlah merasa cukup dengan ilmu yang sedikit dalam keadaan dia mampu untuk mencari yang banyak, namun jangan memaksakan diri mencari apa-apa yang dia tidak mampu agar tidak menjadikan dia bosan dan menghilangkan ilmu yang telah dia dapatkan. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan manusia dan keadaannya.” (At Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Qur`aan halaman 41)

Demikianlah yang selayaknya dimiliki oleh seorang penuntut ilmu yaitu senantiasa bersemangat dan rajin. Karena dikatakan (di dalam sebuah sya’ir): “Sesuai dengan usaha yang engkau berikan, maka engkau akan mendapatkan apa yang engkau angan-angankan.” (Ta’liimul Muta’allim Thariiq At Ta’allum karya Az Zarnuji halaman 88). Dan hendaklah dia mempunyai semangat dalam mencari ilmu, memperbanyak menelaah ilmu yang bermacam-macam, dan jangan mencukupkan dengan sebagiannya saja. Terlebih khusus jika ilmu itu punya hubungan dengan ilmu syar’i, seperti ilmu bahasa ‘Arab.

أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ سَأُنبيكَ عَن تَفصيلِها بِبَيانِ ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِجتِهادٌ وَبُلغَةٌ وَصُحبَةُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ

“Saudaraku, tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustaz, (6) membutuhkan waktu yang lama."

Kecerdasan

Menurut para ulama, ada dua kecerdasan dalam diri manusia. Pertama adalah kecerdasan yang memang telah dijadikan bekal sejak manusia itu lahir. Kedua adalah kecerdasan yang diperoleh lewat jalan usaha yakni dengan cara mencatat, menyimak, berdiskusi atau mengulang-ulang materi yang di dapat. 

Semangat 

Tidak akan ada yang di dapat dari jiwa yang malas. Begitu juga saat menuntut ilmu. Kita harus menyambutnya dengan antusias. Rasa semangat akan menghadirkan sikap yang optimis dan tidak mudah menyerah. Jalan mencari ilmu adalah jalan yang panjang dan tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan semangat yang tinggi. 

Bersungguh-Sungguh 

Buang jauh-jauh rasa malas saat mencari ilmu. Juga lawan hawa nafsu. Man Jadda Wajada atau siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Untuk memotivasi kita baca biografi atau kisah para ulama terdahulu dalam mencari ilmu. Atau para inovator abad ini yang tidak mudah menyerah dan mencurahkan segalanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 

Bekal 

Bekal di sini berkaitan dengan harta yang akan dikeluarkan oleh para pencari ilmu. Zaman dahulu para ulama rela mengorbankan harta benda dalam mencari ilmu. Ada yang menjual bajunya. Bahkan Imam Malik menjual atap rumahnya yang dari kayu. 

Guru Yang Membimbing 

Meski saat ini informasi bisa kita raih dengan mudah tanpa harus ke luar rumah. Kita tetap wajib mendatangi majelis para ulama. Belajar langsung dari lisannya agar ilmu yang kita dapat memiliki dasar yang kuat. Guru adalah sumber ilmu. Keberadaan guru akan ada yang mengingatkan jika para pencari ilmu keliru dalam menetapkan sesuatu. 

Waktu Yang Panjang 

Dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Bukhari mengisahkan bagaimana Jabir bin Abdullah membutuhkan waktu selama satu bulan hanya untuk mendapatkan 1 hadits yang menggambarkan suasana padang masyar. Ia rela mengarungi ganasnya padang pasir dari Hijaz, wilayah di Arab Saudi hingga ke Syam atau Suriah kita mengenalnya kini. Begitulah. Ada waktu yang panjang dibutuhkan oleh para pencari ilmu. Mencari ilmu tidak akan ada habisnya. Bahkan hingga umur manusia itu berakhir. 

KETUJUH: JUJUR DAN AMANAH DALAM MENUNTUT ILMU

Salah satu adab yang kerap kali dilupakan para pelajar dan penuntut ilmu di zaman ini adalah sikap jujur dan amanah dalam menuntut ilmu. Padahal dusta yang merupakan lawan dari jujur, dan khianat yang tak lain lawan dari amanah, termasuk sifat yang paling buruk dan bejat. Seorang mukmin yang Allah terangi hatinya dengan iman tidak mungkin memendam kedua sifat buruk tersebut. Apalagi seorang penuntut ilmu syariat yang selalu dinaungi sayap-sayap para Malaikat dan pemburu warisan para nabi dan rasul!!

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S Al-Anfal: 26)

Ilmu merupakan salah satu amanah yang benar-benar harus ditunaikan karena kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu sepantasnya bagi penuntu dan pengembannya dapat mengemban dan menunaikannya dengan penuh kejujuran dan amanah serta diiringi rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu ia juga harus selalu waspada terjerumus pada menyandarkan sesuatu atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam secara zhalim dan tidak benar.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri sudah jauh-jauh hari mewanti-wanti dan mengancam siapa saja yang berani berdusta atas namanya. Perkara yang semisal dengan dusta atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah terlau ceroboh membawakan suatu riwayat dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al-Bukhari melaporkan dari ‘Ali bin Abu Thalib –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Kalian jangan berdusta atas namaku. Karena sesungguhnya siapa yang berdusta atas namaku, sebaiknya ia masuk Neraka saja.”

Menurut satu riwayat lain disebutkan, “Hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.”

Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, tuturnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

تناصحوا في العلم ، فإن خيانة أحدكم في علمه أشد خيانة في ماله ، و إن الله سائلكم يوم القيامة

“Hendaknya kalian saling memberi nasehat tentang ilmu. Sesungguhnya khianat salah seorang kalian terhadap ilmunya itu lebih besar daripada pengkhianatannya pada hartanya. Dan sesungguhnya Allah pasti akan memintai kalian pertanggungjawaban pada hari kiamat.” (Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperbincangkan kepribadiannya)

Ada satu kebiasaan tercela di tengah penuntut ilmu dan masyarakat pada umumnya, yaitu tindakan mereka yang terlalu bermudah-mudahan memberikan fatwa hanya karena pernah mentelaah suatu permasalahan syariat. Sudah seperti itu, ia menyangka bahwa dirinya sudah layak mengeluarkan fatwa dan mengkritisi pendapat-pendapat pakar fiqih.

Padahal jika kita melihat bagaimana sikap orang-orang terdahulu yang benar-benar sangat hati-hati memberi fatwa meskipun keilmuan mereka tidak perlu diragukan lagi, tentu kita akan merasa kerdil dan malu terhadap apa yang ada pada kita. Baru pernah menghadiri beberapa daurah dan kajian ilmiah serta mengkhatamkan beberapa gelintir buku saja sudah merasa seakan-akan mebawa lautan ilmu, gampang mengeluarkan fatwa, sembrono menyalahkan orang lain, dan tindakan-tindakan rendahan lainnya.

Disebutkan dalam kitab Adab Al-Mufti wa Al-Mustafti karya Ibnu Ash-Shalah, bahwa pada suatu ketika ada seseorang yang mendatangi Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhum– untuk mempertanyakan sesuatu. Maka Al-Qasim berkata, “Aku bukan pakarnya.” Orang yang tadi datang pun terus merayu, “Sesungguhnya aku didorong untuk bertanya padamu. Aku tidak mengetahuinya selainmu.”  Al-Qasim menjawab, “Anda jangan melihat panjangnya janggutku dan padatnya orang di sekelilingku. Demi Allah, aku bukan pakarnya.” Kemudian beliau berkata pula, “Demi Allah, sekiranya lisanku dipotong itu lebih kusukai daripada aku harus berbicara tanpa ilmu tentangnya.”

Sufyan bin ‘Uyainah dan Sahnun bin Sa’id pernah mengatakan, “Orang yang paling gampang mengeluarkan fatwa adalah orang yang paling minim ilmunya.”

Al-Haitsam bin Jamil berkata, “Aku menyaksikan Malik bin Anas diberi pertanyaan sebanyak 48 masalah. 32 masalah di antaranya beliau katakan, ‘Aku tidak tahu.’”

Berfatwa tanpa ilmu kerap kali menyebabkan lahirnya kesesatan dan kedustaan. Boleh jadi menghalalkan yang seharusnya haram atau mengharamkan yang seharusnya halal.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ* مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih.” (Q.S An-Nahl: 116-117)

Agar dapat menimimalisir berbicara tanpa ilmu atau berdusta atas nama seseorang adalah dengan selalu memusatkan perhatian ketika menghadiri pengajian atau ketika pelajaran tengah berlangsung. Bukan malah datang ke pengajian atau kelas hanya untuk kemudian dijadikan sebagai ajang lomba tidur. Atau hal yang serupa adalah dengan banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran tengah berlangsung. Seperti misalnya banyak main HP, ngobrol dengan sesama hadirin, banyak izin keluar kelas karena alasan yang tidak masuk akal, atau bahkan hanya sekedar setor muka di hadapat sang guru. Tindakan-tindakan semacam ini sangat tidak layak dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai penuntut ilmu.

Kemudian banyak melakukan hal sia-sia ketika pelajaran tengah berlangsung hanya akan mengganggu konsenterasi memahami penjelasan sang guru. Apalagi permasalahan yang sedang dibahas terhitung rumit dan sulit yang tidak hanya memerlukan kesadaran penuh, namun juga konsenterasi dan berfungsinya akal pikiran secara sempurna. Bahkan jika perlu, tidak hanya suara guru yang didengar, namun juga gerak-gerik bibir guru juga diperhatikan agar tidak ada satu huruf pun yang salah terdengar. Karena biasanya satu kalimat saja luput dari penangkapan indera, dapat mempengaruhi pemahaman seseorang. Apalagi mereka yang pemahamannya standart. Yang seharusnya hukumnya A, malah difahami hukumnya B. Dan demikianlah seterusnya.

Maka ketika sudah salah menangkap penjelasan sang guru, bisa jadi ketika keluar dari pengajian dan kelas pelajaran, langsung menyampaikan apa yang ditangkapnya dari sang guru. Hasilnya tidak dapat tidak, ia telah berkata dusta atas nama gurunya. Padahal sang guru berlepas diri dari apa yang ditangkapnya itu.

Apalagi di zaman modern seperti saat ini. Ketika media-media informasi mudah didapat, seperti facebook dan twitter. Berapa banyak Anda jumpai mereka yang baru saja keluar dari pengajian atau daurah, langsung update di akun jejaringan sosial yang dimilikinya. Bahkan penulis pernah menjumpai orang yang sudah terburu-buru update ketika pelajaran tengah berlangsung. Iya kalau apa yang ia tangkap dari sang guru sesuai realita, jika ternyata berbedar bagaimana?!

Dalam hal ini penulis tidak menyalahkan mereka yang menebar ilmu di jejaringan sosial, akan tetapi alangkah baiknya jika apa yang ditulis itu benar-benar sesuai dengan keadaan yang ada. Tidak ada penambahan ataupun pengurangan yang bersifat sia-sia, apalagi diotak-atik seperti kebiasaan ahlul bida’ wal ahwa’ (baca: pelaku bid’ah dan pengekor hawa nafsu) yang kerap mengotak-atik teks-teks Al-Quran dan hadits shahih.

Syaikh ‘Ali Hufaizh, menceritakan ketika beliau tengah mengisi suatu pengajian di sebuah masjid. Karena suaranya yang tinggi, sehingga orang-orang di luar masjid yang berlalu lalang pun dapat mendengarnya. Di kemudian hari salah seorang yang mendengar suatu penjelasan beliau dari luar masjid menyampaikan sesuatu pada orang lain. Satu permasalah penting. Ketika hal tersebut didengar oleh Syaikh, ternyata beliau mengingkarinya. Bukan seperti itu penjelasan yang beliau pernah sampaikan saat itu.

Hal lain yang perlu diperhatikan selain satu hal di atas adalah saat membaca buku. Membaca buku juga sangat diperlukan sikap kehati-hatian. Sebaiknya seorang yang membaca buku selau memusatkan perhatiannya pada apa yang tengah dibacanya. Bukan sekedar membaca tanpa ada keseriusan. Oleh sebab itu, seyogyanya membaca buku bukan saja target cepat selesai dan banyaknya buku yang dikhatamkan, namun juga target memahami buku yang dibacanya hingga benar-benar faham. Jika ada hal-hal yang kiranya sulit difahami sendiri, alangkah baiknya jika ia menanyakannya pada seorang yang ahli di bidangnya. Membaca sedikit dengan disertai pemahaman yang benar itu lebih baik daripada banyak khatam kitab namun salah tangkap.

Sungguh betapa indahnya syair yang mengatakan:

أقول زيدا فيسمعه عمروا *** و يكتبه بكرا و يقرؤه بدرا

Aku katakan Zaid, dia malah mendengarnya ‘Amr

Lalu ia menulisnya Bakr namun dibacanya Badr  

Pengertian Jujur dan Hikmahnya 

Jujur artinya lurus hati, tidak curang, dan disegani. Orang yang berkata atau bersikap atau berbuat yang sebenarnya, sesuai dengan kata hatinya, disebut orang jujur. Kejujuran menjadi hilang apabila seseorang berkata atau berbuat tidak sesuai dengan kata hati, atau sudah berganti dengan kecurangan ataupun kebohongan. Seorang muslim senantiasa harus bersikap jujur dengan masyarakat sekitarnya. 

Islam mengajarkan kejujuran sebagai karakter yang mulia. Seorang muslim yang baik harus dapat menunjukkan pribadi yang jujur. Al-Qur’an mengajarkan agar muslim yang baik tidak mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Firman Allah SWT: 

وَلَا تَلۡبِسُوا الۡحَـقَّ بِالۡبَاطِلِ وَتَكۡتُمُوا الۡحَـقَّ وَاَنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ 

"Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya." (Q.S. Al-Baqarah: 42) 

Hikmah dari perilaku jujur adalah: 

1. Mendapat kepercayaan dari orang lain.

2. Mendapat banyak teman. 

3. Mendapat ketentraman hidup karena tidak memiliki kesalahan terhadap orang lain.

Pengertian Amanah dan Hikmahnya 

Amanah artinya dapat dipercaya. Amanah berarti pesan yang dititipkan dapat disampaikan kepada orang yang berhak. Amanah menurut bahasa (etimologi) ialaah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan atau kejujuran. Kebalikannya ialah khianat. Khianat adalah salah satu gejala munafik. 

Betapa pentingnya sifat dan sikap amanah ini dipertahankan sebagai akhlaqul karimah dalam masyarakat, jika sifat dan sikap itu hilang dari tatanan sosial umat Islam, maka kehancuranlah yang bakal terjadi bagi umat itu. Sebagai muslim, kita dituntut untuk dapat mewujudkan amanah, baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia. Amanah kepada-Nya dapat diwujudkan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan amanah kepada sesama manusia dapat diwujudkan dengan perbuatan baik kepada orang lain.

Hikmah Perilaku Amanah 

Orang yang berbuat baik kepada orang lain sesungguhnya ia telah berbuat baik kepada diri sendiri. Begitu juga sikap amanah memiliki dampak positif bagi diri sendiri, di antaranya: 

1. Kita akan dipercaya orang lain. Ini merupakan modal yang sangat berharga dalam kehidupan sosial. 

2. Orang lain akan memberikan pandangan simpati. 

3. Mendorong kesuksesan dalam kehidupan. 

4. Allah SWT akan memberikan kemudahan dalam menjalankan kehidupan.

Dusta dan khianat adalah sifat yang paling kotor dan buruk. Dan tidak mungkin seorang mukmin yang telah diterangi hatinya oleh Allah Swt dengan cahaya Iman untuk menyandang salah satu dari kedua sifat tersebut.

Ilmu merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus diemban dan ditunaikan dengan penuh kejujuran, rasa takut kepada Allah Swt, dan berhati-hati jangan sampai penuntut ilmu menisbahkan sesuatu yang tidak benar kepada Rasulullah atau menisbahkan perkataan yang tidak pernah beliau katakan.

Hendaknya seorang penuntut ilmu memiliki sifat jujur dan amanah ketika ia menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia meski ilmunya masih kurang. Dan ia harus menjauhi dari pembelaan terhadap permasalahan apa saja yang bertengtangan dengan kebenaran. Jika seorang penuntut ilmu lupa dalam suatu perkara kemudian tampak kebenaran di hadapannya, maka harus segera kembali kepada kebenaran tanpa mencelanya agar tidak menjadi orang yang berkhianat terhadap ilmunya.

Di antara hal yang perlu dikritisi dari sebagian penuntut ilmu adalah peremehan dalam mengeluarkan fatwa hanya karena telah mentelaah sebagian hukum-hukum syar’i. Dan perkara yang perluh di perhatikan agar penuntut ilmu selamat dari sifat khianat dan dusta:

Pertama, penuh perhatian ketika mendapatkan ilmu.

Kedua, kembali kepada kebenaran bila terbukti salah. 

Tiga, menjauhkan diri dari berbuat curang (menyontek) dalam pelaksanaan ujian.

KEDELAPAN: MENYEBARKAN ILMU DAN MENGAJARKANNYA

Diantara akhlak yang wajib dilakukan seorang penuntut ilmu syar’i adalah menyebarkan ilmu diantara manusia, tidak menyembunyikannya dan tidak kikir dengan ilmu. Allah Swt telah memperingatkan bagi orang-orang yang menutupi ilmunya dan mengancamkanya dengan siksaan, sebagaimana dalam firmannya. Q.S:Al-Baqarah:2:159. “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati”.

Hendaklah penuntut ilmu bersemangat dalam menyebarkan ilmu kepada manusia, mengigatkan dengan urusan agama, memperingatkan dari kelalaian dan kemaksiatan serta mengajarkan hukum halal dan haram. Penuntut ilmu harus menyeruh di jalan Allah dengan benar, terutama kepada keluarga, kerabat, dan umumnya kaum muslimin yang berada disekitar dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik, tidak takut dalam dakwahnya terhadap celaan orang yang mencela. Sebagaimana dalam firman Allah Swt, Q.S. Al-Maidah:5:67. “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Selanjutnya bahwa tidak diragukan lagi pelajaran yang paling terpenting yang harus disampaikan oleh penuntut ilmu adalah menitik beratkan pengajarannya kepada al-Qur’an, baik dari segi bacaan, pemahaman, hafalan, pelaksanaan, penerapan terhadap perintah- perintah-Nya, dan berakhlak dengan al-Qur’an. Dengan begitu, akan memperoleh kebanggaan dan kemulian.

Dari Abu Umamah al-Baahili radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ، لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ 

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat, serta semua makhluk di langit dan di bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan (di lautan), benar-benar bershalawat/mendoakan kebaikan bagi orang yang mengajarkan kebaikan (ilmu agama) kepada manusia”.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang mempelajari ilmu agama yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menyebarkannya kepada umat manusia. Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui setelah (tingkatan) kenabian, kedudukan yang lebih utama dari menyebarkan ilmu (agama)”.

Dalam hadist lain yang semakna dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang memahami ilmu (agama dan mengajarkannya kepada manusia) akan selalu dimohonkan (kepada Allah Ta’ala) pengampunan (dosa-dosanya) oleh semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di lautan”.

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

1. Makna shalawat dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya adalah limpahan rahmat, pengampunan, pujian, kemuliaan dan keberkahan dari-Nya. Ada juga yang mengartikannya dengan taufik dari Allah Ta’ala untuk mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), sebagaimana dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

“Dialah yang bershalawat kepadamu (wahai manusia) dan malaikat-Nya (dengan memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman” (Q.S Al-Ahzab:43)

2. Orang yang mengajarkan ilmu agama kepada manusia berarti telah menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala yang merupakan sebab utama terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan alam semesta beserta semua isinya, oleh karena itu semua makhluk di alam semesta berterima kasih kepadanya dan mendoakan kebaikan baginya, sebagai balasan kebaikan yang sesuai dengan perbuatannya.

3. Sebagian dari para ulama ada yang menjelaskan makna hadits ini bahwa Allah Ta’ala akan menetapkan bagi orang yang mengajarkan ilmu agama pengabulan bagi semua permohonan ampun yang disampaikan oleh seluruh makhluk untuknya.

4. Tentu saja yang keutamaan dalam hadits ini khusus bagi orang yang mengajarkan ilmu agama dengan niat ikhlas mengharapkan wajah Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan mencari popularitas atau imbalan duniawi.

5. Para ulama yang menyebarkan ilmu agama adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena merekalah yang menggantikan tugas para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam, yaitu menyebarkan petunjuk Allah Ta’ala dan menyeru manusia ke jalan yang diridhai-Nya, serta bersabar dalam menjalankan semua itu, maka merekalah orang-orang yang paling mulia kedudukannya di sisi Allah Ta’ala setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihis salam.

6. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Menyampaikan/menyebarkan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) panah ke leher musuh (berperang melawan orang kafir di medan jihad), karena menyampaikan panah ke leher musuh banyak orang yang (mampu) melakukannya, sedangkan menyampaikan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia hanya (mampu) dilakukan oleh (para ulama) pewaris para Nabi ‘alaihis salam dan pengemban tugas mereka di umat mereka, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya”.

Anjuran Untuk Menyebarkan Ilmu Dan Menunjukkan Orang Lain Kepada Kebaikan 

(الترغيب في نشر العلم والدلالة على الخير)

Jika seseorang dalam hidupnya berorientasi ke depan, tentu dalam kehidupannya penuh dengan perencanaan yang matang, agar pada saatnya nanti ketika ia sudah tidak dapat lagi bekerja dan pensiun, ia dapat menikmati masa-masa itu.

Disamping itu ia pun dapat menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa harus bekerja keras lagi. Untuk mewujudkan mimpi tersebut tentu tidak dapat dilakukan dalam satu atau dua hari, melainkan jauh-jauh hari sebelum ia pensiun, ia melakukan investasi pada sektor bisnis yang aman, keuntungannya akan didapat dalam jangka panjang, inilah yang dinamakan dengan passive income.

Melalui passive income seseorang akan mendapatkan keuntungan yang terus mengalir meskipun ia tidak bekerja lagi. Jika analogi ini kita tarik dalam kontek kehidupan jangka panjang kita kelak di akhirat, setiap orang di antara kita dipastikan akan mengalami masa pensiun dari kehidupan dunia alias mati. Tentunya kita akan mencari passive income selama di dunia pada sektor yang tepat, agar investasi kita ini akan terus mengalir keuntungannya meskipun kita sudah tidak lagi hidup di dunia.

Lalu apa sektor investasi di dunia yang tepat sebagai passive income untuk kehidupan di akhirat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Rasulullah SAW memberikan informasi sektor-sektor yang tepat yang dapat kita pilih sebagai passive income untuk di akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

 “Sesungguhnya yang sampai kepada seorang mukmin dari amalannya dan kebaikannya setelah meninggal dunia ialah, ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan, anak shaleh yang ia tinggalkan, mushaf AL-Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah yang diperuntukkan untuk ibnu sabil yang ia bangun, sungai yang ia alirkan, sedekah yg ia keluarkan dari hartanya dalam keadaan sehat dan hidup.” (H.R Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan Khuzaimah)

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

خير ما يخلف الرجل من بعده ثلاث ولد صالح يدعو له وصدقة تجري يبلغه أجرها وعلم يعمل به من بعده

“Sebaik-baiknya apa yang ditinggalkan oleh seseorang setelah ia meninggal dunia adalah tiga hal, yang pertama anak shaleh yang mendoakannya, sedekah jariyah yang terus mengalir pahalnya kepadanya, dan ilmu yang diamalkan setelahnya.” (H.R Ibnu Majah)

Di hadits yang lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Jika seorang anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali 3 hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akannya.” (H.R Muslim)

Imam Suyuthi rahimahullah menyebutkan dalam bait syairnya:

إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر

عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِي

وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر

وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر

وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ

“Jika manusia itu meninggal dunia, maka kebaikan dari perbuatan orang lain itu berhenti kecuali sepuluh perkara:

1. Ilmu yang ia sebarkan

2. Doa dari anak (keturunannya)

3. Menanam kurma

4. Sedekah jariyah

5. Mewariskan mushaf (Al-Qur’an)

6. Menjaga di perbatasan

7. Menggali sumur atau mengalirkan sungai

8. Membangun rumah untuk orang asing (musafir)

9. Membangun majelis dzikir

10. Mengajarkan Al-Qur’an Al-Karim

Keterangan:

Banyak orang mempertanyakan ‘apa itu sedekah jariyah? Secara Bahasa, sedekah diambil dari Bahasa arab yang artinya memberikan, sedangkan jariyah artinya mengalir atau terus menerus. Maka sedekah jariyah dapat diartikan sebagai memberikan harta yang kita cintai untuk kepentingan umum yang bisa dimanfaatkan secara terus menerus dengan niat ikhlas semata-mata hanya mengharap ridho Allah SWT. Dengan demikian, jika kita ikhlas hanya karena Allah semata kita bersedekah, maka pahala yang akan kita terima akan terus mengalir seiring bermanfaatnya harta yang kita sedekahkan.

Amal jariyah adalah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya sampai alam kubur, sebab orang yang melakukan amalan tersebut sudah meninggal dunia. Amalan tersebut terus menghasilkan pahala yang terus mengalir kepadanya, tidak pernah terputus.

Ancaman Dari Menyembunyikan Ilmu (الترهيب من كتم العلم)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من سئل عن علم فكتمه ألجم يوم القيامة بلجام من نار

“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu, kemudian ia meyembunyikannya, maka kelak ia akan dibungkam mulutnya dengan api neraka.” (H.R. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Keterangan:

Hadis ini mengandung peringatan keras tentang menyembunyikan ilmu dan bahwasanya orang yang ditanya tentang suatu ilmu yang dibutuhkan oleh penanya dalam urusan agamanya sedangkan yang ditanya harus menjawabnya; lalu dia tidak menerangkan ilmu tersebut dengan tidak memberi jawaban atau dengan melarang pemberian buku, maka Allah -Ta'ālā- menghukumnya pada hari kiamat dengan cara memasukkan tali kendali dari neraka di mulutnya sebagai balasan baginya karena dia mengekang dirinya untuk diam, dan tentunya balasan ini sesuai jenis amal yang dilakukan. Ancaman keras dalam hadis ini ditimpakan kepada orang yang mengetahui bahwa penanya bertanya untuk meminta bimbingan. Adapun jika diketahui bahwa penanya bertanya untuk menguji dan bukan bertujuan untuk meminta bimbingan lalu mengetahuinya dan mengamalkannya; maka orang yang ditanya memiliki dua pilihan antara menjawab dan tidak, sedang dia tidak ditimpakan ancaman yang disebutkan dalam hadis ini. 

KESEMBILAN: ZUHUD DALAM URUSAN DUNIA

Sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin. Lalu apa yang dimaksud dengan zuhud yang sebenarnya?

Salah satu sifat yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu ialah memiliki sifat zuhud. Zuhud menurut bahasa berarti berpaling dari sesuatu karena hinanya sesuatu tersebut dan karena (seseorang) tidak memerlukannya. Dalam bahasa Arab terdapat ungkapan “syaiun zahidun” yang berarti “sesuatu yang rendah dan hina”. Ibnu Taimiyah mengatakan -sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu Al-Qayyim- bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.

Abu Dzar mengatakan:

"‏الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلاَلِ وَلاَ إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لاَ تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدَىِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ"‏ ‏

“Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.” 

Allah Swt, telah menjadikan dunia sebagai ladang beramal untuk bekal akhirat dan memerintahkan untuk memakmurkannya dengan amal shalih. Begitu juga, tidak boleh lalai dari beramal untuk menghadapi negri akhirat dan mencari keselamatan di dalamnya. Allah swt berfirman dalam QS:Al-Fathir:35:5. “Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali- kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali- kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”.

Sebagimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah Saw:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، قَالَ أَتَى النَّبِيَّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ ‏ "‏ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ‏"‏.‏

“Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.”

Dalam hadits di atas terdapat dua nasehat, yaitu untuk zuhud pada dunia, ini akan membuahkan kecintaan Allah, dan zuhud pada apa yang ada di sisi manusia, ini akan mendatangkan kecintaan manusia.

Imam Nawawi berkata dalam menjelaskan bahwa “Janganlah engkau condong kepada dunia dan menjadikannya sebagai tempat menetap. Begitu pula, janganlah engkau berkeinginan untuk tinggal lama didalamnya, jangan terlalu perhatian kepadanya dan jangan bergantung kepadanya, kecuali seperti bergantungnya orang asing di perantauan.”

Begitu pula, hendaklah seorang penuntut ilmu menyiapkan dirinya di dunia ini seperti orang asing di negri perantauan. Yang hanya melihat apa yang bermanfaat baginya untuk bekal negri akhirat. Dan melihat hal-hal yang menyibukkan dan menghalang-halanginya dari akhirat sehingga ia bisa menjauhinya. 

Selanjutnya sangat jelas bahwa zuhud itu tidak berarti meninggalkan dunia, menghindari segala sesuatu yang berada di dalamnya, menjauhkan diri dari manusia. Tetapi makna zuhud adalah mengambil perkara-perkara dunia yang akan membantu dalam mentati Allah dan menjadikan dunia, harta dan perhiasannya ada ditangan, bukan di dalam hati. 

Hendaknya setiap usaha dalam urusan dunia adalah untuk membantu berbuat ketaatan, dan mencari rezeki yang halal. Hendaknya seorang penuntut ilmu berhias dengan zuhud terhadap dunia, tidak berlebihan dalam menikmati kemewahan yang bisa melalaikannya dari menuntut ilmu.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Dunia seperti air yang tersisa di jari ketika jari tersebut dicelup di lautan sedangkan akhirat adalah air yang masih tersisa di lautan.” Bayangkanlah, perbandingan yang amat jauh antara kenikmatan dunia dan akhirat!

Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya harga dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (H.R. Tirmidzi no. 2320. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Jika kita lihat pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri berpendapat:

أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ

“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.”

Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat.…”.

Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”

Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.

Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.

Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok:

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟

“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”

Ibnul Mubarok mengatakan:

يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.

“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”. 

SEPULUH: ANTUSIAS DALAM MEMANFAATKAN WAKTU DAN MENGAMBIL KESEMPATAN DARINYA

Wahai para penuntut ilmu! Waktu yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan lebih mahal daripada emas karena ia adalah kehidupan bagi kita. Seorang penuntut ilmu tidak layak menyia-nyiakan waktu luangnya untuk bercanda, bergurau, bermain-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat karena ia tidak akan pernah bisa mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang lalai terhadap waktunya, semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana orang yang sakit merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْـرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ. 

“Dua nikmat, yang manusia banyak tertipu dengan-nya: nikmat sehat dan waktu luang.” 

Seorang Muslim yang terkumpul dua nikmat ini pada dirinya: kesehatan badan dan waktu luang, maka seharusnyalah menunaikan hak keduanya, yaitu bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala dengan memanfaatkan keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih keridhaan-Nya. Jika ia menyia-nyiakannya maka ia adalah orang yang tertipu alias merugi besar dan bangkrut. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, ia harus meraih keuntungan dengan modalnya itu. Begitu juga seorang Muslim memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakannya pada selain ketaatan kepada Allah Sub-haanahu wa Ta’ala, yang merupakan perdagangan paling menguntungkan.

Seorang penuntut ilmu harus memanfaatkan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak boleh me-nunda-nunda melakukan berbagai kebaikan. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku seraya bersabda: 

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ  لِمَوْتِكَ. 

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir.’” Dan Ibnu ‘Umar pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.”

Dengan kemurahan Allah Ta’ala semoga contoh-contoh berikut dapat membangkitkan semangat kita dalam mencari ilmu dan menyadari bahwa kita telah banyak menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga. 

Muhammad bin ‘Abdul Baqi (wafat th. 535 H) rahimahullaah mengatakan, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk bermain-main dan berbuat yang sia-sia.”

Ketahuilah sesungguhnya waktu itu dibagi menjadi beberapa bagian. Al-Khalil bin Ahmad (wafat th. 160 H) rahimahullaah mengatakan, “Waktu itu ada tiga bagian : waktu yang telah berlalu darimu dan takkan kembali, waktu yang sedang kaualami, dan lihatlah bagaimana ia akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu, bisa jadi engkau tidak akan mendapatkannya.”

Ada riwayat yang sangat mengagumkan, yang menunjukkan kesungguhan mereka dalam mengguna-kan waktu. Yaitu riwayat yang disebutkan Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’laamin Nubalaa’ tentang Dawud bin Abi Hindun (wafat th. 139 H) rahimahullaah. Dawud berkata, “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai tempat itu, kuusahakan diriku untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga tempat selanjutnya… hingga sampai di rumah.”Tujuannya adalah menggunakan waktu dari umurnya.

Waspadalah dari menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang membahayakan atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebab, hari-hari itu bagaikan  kehidupan kita. Apabila satu hari berlalu, hilanglah sebagian dari kehidupan kita. Bersungguh-sungguhlah dalam mengatur waktu dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. 

Diantara bentuk memanfaatkan waktu adalah bersegera menuntut ilmu di masa muda karena masa ini adalah masa yang penuh kekuatan, semangat, dan tekad yang kuat. Imam Ibnu Jama’ah mengatakan, “Ia bersegera -maksudnya penuntut ilmu- memanfaatkan masa mudanya dan seluruh waktu dari umurnya untuk memperoleh ilmu. Ia tidak tergoyahkan dengan tipuan angan-angan kosong dan menunda-nunda karena setiap jam dari umurnya akan berlalu dan itu mesti terjadi serta takkan pernah kembali.”

Diantara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah mengatur waktu dalam menuntut berbagai ilmu, menga-turnya untuk setiap ilmu yang sesuai, dan mengaturnya untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya. Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah mengatakan tentang jenis yang kelima dari adab-adab penuntut ilmu ter-hadap dirinya sendiri, “Hendaklah ia membagi waktu malam dan siangnya, dan memanfaatkan umur yang tersisa padanya karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”

Diantaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam bergaul, keluar ke jalan-jalan, ke pasar atau tempat lainnya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak bermanfaat. Karena perbuatan seperti ini bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, dengan demikian wajib berhati-hati darinya. Bahaya yang paling kecil adalah menyia-nyiakan waktu teman duduknya, dan tidak adanya manfaat yang mereka peroleh dibalik duduk-duduknya itu karena banyaknya canda, berbasa-basi, bergurau, dan ngobrol yang tidak ada manfaatnya.

Diantara bentuk memanfaatkan waktu juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam tidur. Tidurlah sesuai dengan kebutuhan. Imam Ibnu Jama’ah rahima-hullaah mengatakan mengenai adab penuntut ilmu syar’i dengan dirinya sendiri, “Hendaklah menyedikitkan tidur selama tidak mendatangkan kemudharatan pada badan dan otaknya. Janganlah menambah waktu tidurnya melebihi delapan jam, yaitu sepertiga waktunya (dari 24 jam). Jika keadaannya memungkinkan untuk tidur kurang dari waktu tersebut, maka lakukanlah.” 

Diantaranya juga adalah meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum dan jima’ (bersetubuh). Begitu pula meninggalkan perhatian dalam mencari makanan yang berlebihan, karena hal itu menghabiskan waktu, baik dalam memperolehnya maupun mempersiapkan berbagai sebabnya. 

Diantara bentuk memanfaatkan waktu yang lainnya adalah menjauhi banyak gurau dan tawa. Hendaklah mengadakan perkumpulan untuk menghafalkan Al-Qur-an, giat menghadiri kajian ilmiah dan majelis-majelis ilmu, giat mendengarkan kaset dan CD kajian Islam dan mencatat poin-poin penting darinya, menghafalkan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan yang lainnya. 

Kewajiban kalian, wahai penuntut ilmu, adalah memelihara waktumu, jangan kauhabiskan, kecuali untuk hal yang bermanfaat karena ia adalah modalmu, bersungguh-sungguhlah menjaganya sebagaimana kesungguhanmu dalam menuntut ilmu. Wallaahul Muwaffiq. 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan bahwa ada empat hal yang dapat merusak hati, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan dalam makan, berlebihan dalam tidur, dan berlebihan dalam bergaul.

Teladan Para Ulama dalam Menjaga Waktu 

Inilah, sesungguhnya para pendahulu kita yang shalih adalah orang yang paling bersemangat dalam memanfaatkan waktunya. Mereka tidak menyia-nyia-kannya pada apa yang tidak membawa manfaat. Mereka tidak mencurahkannya pada apa yang tidak mendatang-kan keuntungan di belakangnya. Sebaliknya, mereka menghabiskan waktunya untuk berjuang di jalan Allah Ta’ala, mereka pun menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.

Di dalam perjalanan hidup para ulama kita yang mulia terdapat sesuatu yang mendorong kita agar menjaga waktu dan meninggalkan semua yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya. 

Al-Hafizh al-Kabir Abul Qasim bin ‘Asakir (wafat th. 571 H) rahimahullaah pemilik karya tulis yang banyak dan bermanfaat. Beliau tidak pernah menyia-nyiakan sekejap pun dari waktunya, kecuali untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Anak beliau, Bahauddin, berkata, “Ayahku –rahimahullaah- adalah orang yang rajin menghadiri shalat berjama’ah dan membaca Al-Qur-an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya pada bulan Ramadhan setiap hari. Beliau melakukan i’tikaf di menara timur di Masjid Jami’ Dimasyq (Damaskus). Beliau banyak melakukan shalat sunnah dan berdzikir, selalu mengintrospeksi dirinya atas setiap waktunya yang telah berlalu.” 

Abul Muwahib bin Shashri berkata, “Beliau belum pernah sibuk semenjak 40 tahun, yakni semenjak gurunya mengizinkannya untuk meriwayatkan hadits, kecuali dengan mengumpulkan dan mendengarkan hadits hingga pada saat beliau mengasingkan diri.”

Sebagian ulama kita tidak menyia-nyiakan waktunya hingga ketika mereka berada di setiap perjalanannya, bahkan mereka menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang bermanfaat. 

Di antara mereka adalah al-Hafizh al-Kabir Abu Nu’aim al-Ashbahani (wafat th. 430 H) rahimahullaah. Imam adz-Dzahabi rahimahullaah berkata tentang biografi beliau dalam kitabnya, Tadzkiratul Huffaazh, “Telah berkata Ahmad bin Muhammad bin Mardawaih, ‘Pada zamannya banyak para ulama yang mengembara untuk mendatanginya. Tidak ada seorang pun dari setiap ufuk (di seluruh dunia) yang lebih hafal dan lebih dijadikan sandaran daripada dirinya. Para hafizh (penghafal hadits) dunia telah berkumpul di hadapannya. Setiap hari bergiliranlah setiap orang dari mereka membacakan apa yang beliau inginkan hingga mendekati waktu Zhuhur. Apabila beliau beranjak menuju rumahnya, mungkin dibacakanlah kepadanya di jalan sekitar satu juz, dan beliau tidak pernah bosan. Makanan pokok beliau tidak lain adalah mendengarkan hadits dan mengarang buku.”

Dan di antara ulama pada abad ini yang menjaga waktunya, bersungguh-sungguh dalam berjihad menegakkan Sunnah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, menghabiskan waktunya dalam menuntut ilmu adalah Syaikh al-Muhadditsiin Imamul ‘Ulama asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (wafat th. 1420 H) rahimahullaah.

Beliau rahimahullaah menghabiskan sebagian besar waktunya di Perpustakaan azh-Zhahiriyyah untuk menuntut ilmu. Beliau menutup kiosnya dan tetap berada di dalam perpustakaan selama dua belas jam. Beliau tidak pernah lelah dalam muthala’ah, memberi komentar dan meneliti, kecuali pada waktu-waktu shalat, hingga makan siang beliau tidak dimakan, melainkan di dalam perpustakaan. Beliau adalah orang yang pertama kali memasuki perpustakaan dan orang yang terakhir keluar darinya. 

Sungguh, di dalam perjalan hidup mereka, para ulama yang mulia, terdapat teladan yang baik dan pelajaran yang agung bagi kita.

Waktu berlalu lebih cepat dari awan. Bilamana waktu digunakan karena Allah, maka itulah umur dan hidup yang sesungguhnya. Tapi bila bukan karena itu, maka hidupnya dianggap sia-sia, walaupun hidup lama, tak ubahnya sepeti hewan. Bila seseorang menghabiskan waktunya untuk maksiat dan syahwat, maka tidur lebih baik baginya. Sebab matinya orang seperti ini lebih baik dari pada hidupnya.

Orang yang berakal tidak akan membiarkan waktunya hilang begitu saja. Hanya orang-orang yang diberikan taufiq dan ilham lah yang mengetahui betapa pentingnya waktu. Siapa yang membaca kisah hidup orang-orang sukses terdahulu, niscaya dia akan termotivasi untuk bangkit. Lihatlah bagaimana para ulama kita memanfaatkan waktunya.

Muhammad bin Hasan (132-189 H), murid Imam Abu Hanifah, tidak tidur malam kecuali sedikit. Di sampingnya selalu ada buku. Jika bosan dengan satu buku, ia akan membaca buku yang lain. Al-Baqilani, beliau tidak tidur malam hingga selesai menulis 35 lembar. Dan kebiasaan beliau adalah shalat sunat 20 rakaat setiap malam.

Ibnu Abid Dunya meninggalkan karya 1000 karangan, Ibnu Asakir menulis sejarah sebanyak 80 jilid, Ibnu Hazam menulis 400 jilid, Ibnu Abi Hatim menulis buku fiqh, hadis, dan sejarah sebanyak lebih dari 1000 juz. ‘Ishom bin Yusuf al-Balkhi (w. 215 H), seorang ahli fiqh dan hadis, rela membeli sebuah pena dengan harga satu dinar. Ia menyatakan, umur ini begitu pendek, sementara ilmu begitu banyak, maka sudah seharusnya penuntut ilmu tidak menyia-nyiakan waktunya, memanfaatkan waktu malam dan menyendiri, juga talaqqi kepada para masyayikh.

Dalam Siyar A’lam an-Nubala, Imam adz-Dzahabi menyebutkan, bahwa seorang ahli hadis ‘Ubaid bin Ya’isy, guru dari Imam Bukhari dan Muslim, beliau tidak pernah makan malam dengan tangannya, tapi disuapi oleh saudarinya. Sementara beliau sibuk menulis hadis.

Demikian juga Muhammad bin Suhnun al-Qairuwani (202-256 H), disuapi makan malam oleh pelayannya, sementara Ibnu Subnun sendiri sibuk mengarang kitab, dan ajaibnya ia tidak merasa disuapi. Ketika hampir tiba waktu subuh, ia memanggil pelayannya, mana makanan untukku tadi malam? Sang pelayan bilang, demi Allah wahai Tuanku, tadi malam Anda sudah saya suapi, tapi anda tak merasa.

Kisah lainnya adalah, Tsa’lab (200-291 H), seorang ahli sastra dan bahasa Arab, hadis dan qiraat, beliau akan memenuhi panggilan dengan syarat telah menyelesaikan muthalaah kitab. Ia meninggal ditabrak seekor hewan tunggangan saat asyik membaca buku di jalan.

Waktu itu beliau keluar masjid setelah shalat ashar di hari jum’at, di tangannya ada sebuah buku. Saat asyik membaca itulah beliau ditabrak kuda dan jatuh ke jurang. Lalu dibawa ke rumah, dua hari kemudian beliau meninggal dunia.

Cerita hampir serupa, Abu Bakar bin Khayyath (w. 320 H), seorang ahli gramatika Arab, banyak menghabiskan waktunya untuk belajar, bahkan di jalan sekalipun. Hingga meninggal dunia karena jatuh di jurang. Ibnu Syahin (297-385 H), ahli hadis Iraq, mengarang 330 kitab, terdiri dari 1000 juz tafsir, Musnad 1300 juz, sejarah 150 juz, dan tentang zuhud 100 juz. Satu juz zaman dahulu kurang lebih 30 halaman.

Abu Raihan al-Biruni (362-440 H), ahli di bidang matematika, astronomi, kedokteran, sejarah, bahasa dan sastra. Di akhir hayatnya menjelang sakaratul maut, ia mempelajari ilmu faraidh. Beliau rajin belajar, tangannya hampir tidak pernah lepas dari pena, tafakkurnya luar biasa. Beliau menguasai lima bahasa, yaitu Suryani, Sansakerta, Persia, India, dan tentu Bahasa Arab.

Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H), seorang ahli tafsir, hadis dan sejarah, telah menjaga baik waktu dan semangatnya untuk menafsirkan Alquran 30 ribu halaman. Beliau menyibukkan dirinya dengan belajar, mengajar, membaca dan menulis.

Kalau dihitung dari banyaknya karya Ibnu Jarir, 358 ribu halaman, maka beliau rata-rata menulis 40 halaman setiap harinya. Buku sejarahnya dicetak 11 jilid besar, tafsir 30 juz besar. Hingga saat ini, kita masih bisa menikmati karya beliau ini. Maka benarlah yang dikatakan Imam Ibnu Jauzi bahwa buku yang ditulis seorang alim adalah anaknya yang kekal.

Imam Fakhrurrazy (543-606 H), seorang ahli tafsir, teolog, dan ahli ushul fiqh), meninggalkan 200 kitab. Satu kitab bisa berjilid-jilid, seperti kitab tafsirnya 30 jilid. Imam Ibnu Sukainah (519-607 H), seorang ahli fiqh dan hadis, mengisi keseharian beliau dengan membaca Al-Quran, dzikir, tahajud, dan mengajar. Beliau tidak keluar rumahnya kecuali untuk menghadiri shalat jum’at, idul fitri, atau ta’ziyah. Ibnu Taimiyah al-Jadd (590-653 H), saking pedulinya waktu, beliau masuk wc sambil minta dibacakan kitab dari luar, dengan suara nyaring didengar.

Syekh Ibnu Taimiyah (661-728 H), meninggal di usia 57 tahun dengan karya tulis kurang lebih 500 jilid. Bahkan murid beliau, Ibnul Qoyyim, menulis judul karangan Ibnu Taimiyah dalam sebuah risalah sebanyak 22 halaman.Waktunya dimanfaatkan untuk belajar, mengajar dan ibadah.

Saat beliau sakit, dokter menyarankan agar beristirahat agar cepat sembuh. Tapi beliau malah membaca buku. Ibnu Taimiyah berkata, bukankah diri seseorang akan menguat jika dia bahagia? Dokter menjawab, iya. Beliau lalu menyahut, aku bahagia dengan ilmu, maka aku menjadi semangat. Dokter berkomentar, ini di luar kebiasan kami mengobati pasien.

Al-Hafizh al-Mundziri (581-656 H), dengan tangannya menulis banyak kitab, 90 jilid dan 700 juz di luar karangannya. Tetangganya berkata bahwa setiap malam di rumah al-Mundziri terlihat cahaya terang, ia sibuk dengan belajar. Bahkan saat makan pun, di hadapannya ada buku.

Ibnu Malik (600-672 H), seorang ahli gramatika Arab terkenal, penulis Alfiyah. Beliau banyak membaca, tidaklah beliau mencatat suatu hafakannya, melainkan juga mengulangi tulisannya itu. Tidaklah ia dilihat melainkan dalam keadaan shalat, membaca, atau mengarang kitab.

Imam Nawawi (631-649 H), seorang ulama besar, ahli fiqh dan hadis. Beliau tidak meletakkan sisi tubuhnya selama 2 tahun. Setiap hari beliau membaca 12 pelajaran dengan dhobit dan ta’liq, meliputi fiqh, nahwu, mantiq, bahasa dan sastra, ushul fiqh, ushuluddin, dan lainnya.

Imam Nawawi hanya makan sekali untuk sehari semalam, yaitu ketika shalat isya. Meninggal di usia 45 tahun, tapi karyanya banyak. Jika dihitung masa hidupnya dengan karya tulisnya, maka rata-rata beliau menulis empat buku tulis setiap harinya.

Imam Ibnu Nafis (610-687 H), seorang dokter terkemuka di masanya, ahli fiqh, ushul fiqh, bahasa dan sastra, hadis, dan lainnya. Beliau banyak menulis kitab. Yang unik adalah ketika beliau sedang di kamar mandi, tiba-tiba beliau dapat pembahasan atau inspirasi tentang kedokteran, maka beliau keluar dari kamar mandi untuk mencatat inspirasinya, kemudian masuk ke kamar mandi lagi. Ia dijuluki Ibnu Sina kedua. Dialah yang menemuka sistem peredaran darah di tubuh manusia sejak lebih dari 7 abad silam. Ini temuan besar dalam dunia kedokteran.

Yahya bin Mu’in, beliau menulis sejuta hadis. Setiap satu hadis ditulis lima puluh kali. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, bila terdapat hadis yang tidak diketahui Ibnu Mu’in, maka itu tidak termasuk hadis. Ibnu Mu’in menjadi perumus metode besar dalam menerima ilmu dan hadis. Ia berkata: tulislah apa yang kamu dengar, kemudian kumpulkan. Jika hendak meriwayatkan hadis, para periksalah terlebih dahulu.

Al-Jahizh Amru bin Bahr (163-255 H), seorang sastrawan yang juga merupakan Menteri dari Khalifah Mutawakkil, bilamana memegang sebuah buku, maka ia akan membacanya dari awal sampai akhir, buku apa saja.

Sulaim ar-Razy (w. 447 H), seorang tokoh mazhah Syafi’i di masanya. Setiap hari waktunya dihabiskan dengan membaca, menulis, dan menyalin. Ketika tangan menulis, maka lidahnya berzikir. Itu semua beliau lakukan agar tidak ada yang waktu yang terlewat.

Khatib al-Baghdadi (392-463 H),ahli hadis dan sejarawan Baghdad, berjalan sambil membaca kitab. Imam Haramain (419-478 H), guru Imam Ghazali, beliau tidak tidur kecuali tertidur, dan hanya makan ketika punya selera makan. Kenikmatan beliau adalah ketika mudzakarah ilmu.

Ibnu Aqil al-Hanbali (431-513 H), tidak menyia-nyiakan waktunya terbuang. Lisannya senantiasa digunakan untuk mudzakarah ilmu, matanya untuk membaca, otaknya senantiasa berpikir. Bahkan saat di usia 80-an tahun, semangatnya melebihi ketika usianya 20-an tahun. Beliau menulis banyak kitab, baik di bidang tafsir, fiqh, ushul fiqh, ushuluddin, nahwu, bahasa dan sastra, sejarah, dan lainnya.

Satu di antara kitabnya berjudul “al-Funun”, sebanyak 800 jilid. Hafizh adz-Dzahabi berkomentar, tidak ada di dunia ini yang lebih besar karangannya dari apa yang ditulis Ibnu Aqil. Ibnu Aqil lebih memilih memakan kue basah ketimbang makan roti, untuk efisiensi waktu. Bagi beliau waktu adalah modal utama. Itu adalah ghanimah yang luar biasa. Sebaik-baik pemanfaatan waktu dan taqarrub kepada Allah adalah menuntut ilmu, karena akan mengeluarkan dari kegelapan menuju cahaya.

Ibnu Jauzi (508-597 H), menulis kitab lebih dari 500 judul, dengan jumlah 2000 jilid. Ibnu Wardi mengatakan, jika karya Ibnu Jauzi dibagi dengan umurnya, maka rata-rata perhari ia menulis 9 buku tulis.

Ibnu Jauzi menulis dalam bukunya Shaidul Khatir, sepantasnyalah seorang manusia mengetahui betapa mulia dan berharganya waktu, jangan biarkan hilang begitu saja. Maka prioritaskanlah dengan baik setiap ucapan dan perbuatan yang kita lakukan, mulai dari yang paling utama, lebih utama, dan yang utama. Dan hendaknya niat kita selalu dalam kebaikan.

Imam Syaukani (1173-1250 H), dalam sehari mengajar 13 pelajaran di berbagai disiplin ilmu. Meninggalkan karya 114 kitab.

Imam Alusi (1217-1270 H), seorang mufassir dan mufti Baghdad. Mengajar 24 pelajaran dalam sehari. Tapi ketika sibuk berfatwa, maka beliau mengajar 13 pelajaran. Siangnya digunakan untuk mengajar dan berfatwa, malamnya untuk menulis. Bahkan menulis hingga sakit terakhirnya.

Abdul Hay al-Laknawy (w. 1304 H), meninggal di usia 39 tahun. Karya tulisnya mencapai 110 judul. Di Indonesia sendiri ada Syekh Yasin al-Fadani (w. 1409 H), yang bergelar Musnid Dunya, karya tulisnya juga ratusan. Demikian juga Syekh Nawawi al-Bantani dan KH Bisri Musthafa yang karyanya ratusan.

Produktifitas para ulama berkarya menunjukkan betapa mereka memanfaatkan waktu dengan baik. Memanfaatkan waktu akan membuat umur terasa lebih panjang dan memberikan bekas. Allah berkahi waktu yang singkat dengan karunianya yang banyak kepada siapa yang ia kehendaki.

Umur yang sebenarnya adalah masa muda. Karena di waktu muda inilah kita bekerja produktif, fisik dan semangat juga mendukung. Semakin kita menua, semakin besar tanggung jawab yang diemban, semakin banyak relasi, namun waktu menjadi semakin sempit, kemampuan berkurang, fisik pun melemah, kesehatan berkurang, semangat juga tak lagi menggebu, sementara kewajiban dan kesibukan terus bertambah. Maka bersegeralah memanfaatkan waktu dengan baik.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Ketika kita lahir kita diazankan, dan disholatkan manakala kita meninggal dunia. Ini bukti bahwa hidup kita begitu singkat.

Andai kita sia-siakan waktu 1000 tahun, lalu kita bertaubat, hingga akhir hayat kita digunakan untuk hal yang bermanfaat, maka kita termasuk orang yang beruntung. Keuntungan itu karena mengoptimalkan masa akhir dari hidup kita. Yang terbaik adalah memaksimalkan pada hal positif sejak di usia muda. Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu begitu menyesali hari yang terlewati begitu saja tanpa ada amal yang meningkat di dalamnya.

Bayangkan, sebentar saja kita luangkan waktu kita untuk mengucap tasbih “Subhanallahil-azhim wa bi hamdih“, maka Allah akan tanamkan satu pohon kurma di surga.

Bukan bermaksud mengisi waktu seperti dia atas 100 persen secara monotan. Tapi ketika ada waktu kosong diselingi dengan aktifitas bermanfaat lainnya seperti olahraga.

Karenanya, bagi seorang pelajar, ia harus betul-betul memanfaatkan waktunya dengan menuntut ilmu. Karena malas hanya akan membawa penyesalan. Bukankah pahala menuntut ilmu sangat besar, sama halnya berjuang di jalan Allah, pahala seperti haji, lebih baik dari sholat sunnah, didoakan malaikat hingga ikan yang ada di laut, dan dimudahkan jalan menuju surga.

Dan berilmu saja tidaklah cukup, haruslah juga diimbangi dengan amal agar memperoleh keutamaan yang sempurna. Di antara sebab menurunnya para penuntut ilmu sekarang ini adalah karena tujuannya bukan lagi ilmu semata, tapi menginginkan kemewahan, kekayaan, harta, dan tujuan dunia lainnya.

Umar bin Khattab menasihati, hati-hatilah dari perut kenyang. Karena akan membuat malas melakukan shalat dan berdampak buruk pada kesehatan badan. Makan secukupnya saja karena akan membuat fisik kuat, jauh dari mubazir, lebih sehat untuk badan, dan kuat beribadah.

Di antara cara agar bisa memanfaatkan waktu dengan baik adalah menyendiri sebisa mungkin, berinteraksi sekadarnya saja, sedikit makan. Karena banyak makan akan cepat mengantuk dan tidur panjang, sehingga waktu malam berlalu begitu saja.

KESEBELAS: SERING MENGULANG-NGULANGI PELAJARAN KARENA TAKUT LUPA

Hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki bahwa lupa adalah tabiat manusia serta menjadikan kemampuan intelektual dan daya ingat mereka berbeda-beda. Hal ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya: sifat lupa akan memacu seorang penuntut ilmu untuk mendiskusikan ilmu dan mengulangi pelajarannya dari waktu ke waktu. Dengan begitu, ia akan mendapatkan pahala dan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, menambah pemahamannya, dan membandingkan antara yang ia pahami dengan apa yang ia hafal. Sehingga hal tersebut akan melekat kuat di dalam benaknya.

Dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saling mengunjungilah dan diskusikanlah hadits. Janganlah kalian membiarkan ilmu itu hilang.”

Disebutkan di dalam kitab Tahdhib at-Tahdhib (1/58 ) bahwa Ahmad bin al-Farrat jika menghafal hadist, beliau mengulanginya setiap hadits sampai 500 kali pengulangan. 

Disebutkan di dalam Tartib al-Madarik karya al-Qadhi Iyadh (1/427) bahwa Abu Bakar al-Abhari al-Maliki berkata : “Saya membaca Mukhtashar  bin Abdul al-Hakam 500 kali, dan al-Asadiyah dan al-Muwatha’ sebanyak 75 kali, al-Mabsuth 35 kali, dan Mukhtashar Ibnu Abdi al-Barr 70 kali.

Di dalam Siyar A’lam an-Nubala’ karya adz-Dzhabi (4/342) bahwa Abbas ad-Duri berkata : Saya mendengar Yahya bin Ma’in berkata : “Kalau kami tidak menulis atau membaca hadist sampai 50 kali, maka kami tidak tahu hadits tersebut.

Pada buku yang sama (18/458) disebutkan bahwa Abu Ishaq asy-Syairazi berkata : “Saya mengulangi setiap qiyas 1000 kali, jika sudah selesai, maka aku mengambil qiyas lain dan begitu seterusnya. Dan saya mengulangi setiap pelajaran 1000 kali.”

Abu Bakar Ghalib bin Abdurrahman bin Athiyah (518 H) mengulangi Shahih al-Bukhari 700 kali.

Bakr bin Muhammad bin Abu al-Fadhl al-Anshari ketika permulaan menuntut ilmu kadang untuk memahami satu masalah, beliau mengulanginya sampai 400 kali. 

Ibnu Hisyam seorang ulama Ilmu Nahwu, beliau membaca bukua al-Alfiyah ibnu Malik sampai 1000 kali.

Manfaat Pengulangan  

Adapun manfaat pengulangan adalah seperti yang tersebut di dalam Tahdzib al-Asma’ wa al-lughat (1/59) karya Imam an-Nawawi bahwa al-Muzani (murid Imam Asy-Syafi’i) berkata :

قَرأتُ ( الرِّسَالةَ ) خمسَ مِائة مَرَّةٍ، مَا مِنْ مَرَّةٍ إلا واسْتَفدتُ مِنْهَا فَائِدَةً جَديدَةً.

“Saya membaca kitab “Ar-Risalah” (karya Imam asy-Syafi’i) 500 kali. Dan setiap kali saya selesai membacanya pasti saya mendapatkan suatu pelajaran baru darinya.”

Berkata Ibnu al-Atsir : “Saya menulis hadist-hadist nabi dalam sebuah buku dengan jumlah 3000 hadits. Dan saya terus menerus menela’ah buku tersebut lebih dari 10 tahun. Saya biasanya bisa menyelesaikannya setiap pekan sekali, dan saya ulangi hadits-hadits tersebut sampai 500 kali, maka semuanya bisa saya hafal dan tidak tertinggal sedikitpun.”   

Barang siapa yang  meninggalkan untuk terus mengulangi dan mengira bahwa dia tidak akan lupa, maka dia telah berbuat salah, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu al-Jauzi.

Al-Hasan bin Abu Bakar an-Naisaburi menceritakan kepada kami bahwa seorang ahli fiqh pernah mengulangi suatu pelajaran di rumahnya berkali-kali. Maka suatu ketika ada seorang ibu yang berada di rumahnya berkata kepadanya : “Demi Allah saya sudah hafal pelajaran tersebut. Maka beliau berkata : Kalau begitu sebutkan hafalan tersebut, maka ibu tersebut menyebutkan hafalannya. “Dan setelah beberapa saat lamanya beliau berkata kepada ibu tersebut : “ Coba ulangi hafalan anda tentang pelajaran kemarin. Ibu tersebut menjawab : “saya sudah tidak hafal lagi. Maka beliau berkata : “Saya sengaja mengulanginya terus menerus agara tidak lupa seperti anda telah lupa.”

Banyak orang mengira bahwa mengulang dan menghafal pelajaran akan membuat otak tidak berkembang dan tumpul, karena tidak dilatih untuk berpikir. Pernyataan tersebut tidaklah benar, karena sejarah membuktikan bahwa hafalan dan pengulangan ternyata mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa. Hal ini telah diakui para ahli, sebut saja Negara Jepang yang terkenal dengan kemajuan teknologinya. Orang-orang besar mereka di dalam mendidik anak buahnya ternyata menggunakan teori pengulangan dan hafalan. Teori pengulangan tersebut dikenal dengan teori Repetitive Magic Power yang berarti kekuatan ajaib dalam pengulangan. Di Jepang pola ini diterapkan, di mana para instruktur mewajibkan para siswa eksekutifnya untuk mengucapkan kalimat “saya juara“ seratus kali dalam sehari selama masa latihan. Dan ini dimaksudkan untuk menjaga energi agar tidak hilang. (ESQ, hal.187)

Rahasia keberhasilan PT. Matsushita Kotobuki Elektronik Indonesia, cabang dari PT Matsushita di Jepang yang di pimpin oleh pendirinya Konosuke Matsushita yang telah menginfakkan dari uang saku pribadinya sebanyak 291 Juta USD dan 99 Juta USD dari kas perusahaanya untuk kemanusiaan. Perusahan ini mempunyai karyawan yang berjumlah 6000 orang. Ketika apel pagi, mereka semua diwajibkan untuk selalu membaca dan mengulang-ulang tujuh prinsip, yaitu:

1. Untuk selalu berbakti kepada Negara melalui industri.

2. Untuk selalu berlaku jujur, terpercaya dan adil.

3. Untuk selalu bekerjasama dengan keselarasan

4. Untuk selalu ramah tamah dan kesatria

5. Untuk selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

6. Untuk selalu bersyukur dan berterimakasih. (ESQ 2, hal:257)

Stephen R. Covey penah mengatakan tentang fungsi kebiasan dan mengulang-ulang suatu perbuatan : “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib.

William James, seorang ahli psikologi Amerika mengatakan bahwa apa saja yang anda lakukan 45 kali berturut-turut, maka akan menjadi kebiasaan. Menurut Doug Hooper Angka 45 tersebut sangatlah logis. Begitu juga para guru dari Timur telah menjelaskan kebiasaan dengan cara sebagai berikut : Kesinambungan suatu pemikiran atau tindakan dalam suatu jangka waktu akan menyebabkan terbentuknya sebuah alur, atau saluran di dalam otak. Orang mengatakan bahwa otak itu mirip tanah liat, tempat suatu alur mudah terbentuk. Begitu hal itu terjadi, pemikiran seseorang secara alami akan terus mengalir melalui arah tersebut, sebab hal itu merupakan garis dengan perlawanan yang paling kecil. Tindakannya dilakukan mengikuti bawah sadar atau otomatis. Setelah anda keluar dari “alur” atau “saluran” lama, maka pikiran anda secara alami akan mengalir melalui saluran yang baru, sementara saluran yang lama berangsung-angsur hilang. (Doug Hooper, You Are What You Think (Anda Adalah Apa Yang Anda Pikirkan), terj. Anton Adiwiyoto (Jakarta: Mitra Utama, 2000 M), Cet Ke- 3, hal.103-104)

Pentingnya kebiasaan mengulang suatu pelajaran, akan terlihat jelas, ketika anda belajar menyetir mobil atau mengendarai sepeda motor untuk pertama kalinya. Barangkali anda sudah tahu tentang teorinya, hanya karena anda tidak pernah mengulangnya kembali, atau tidak membiasakan diri untuk memakainya, maka anda akan terasa canggung dan asing, ketika mencobanya kembali.

Salah satu cara menghafal adalah seperti cara mengahafal surat al-Fatihah. Kenapa hampir setiap penuntut ilmu hafal surat al-Fatihah dan tidak salah ? Jawabannya  adalah :

Pertama: Karena dibaca dan diulangi setiap hari secara terus menerus. Oleh karenanya untuk bisa menghafal suatu ilmu hendaknya dibaca dan diulangi setiap hari secara terus menerus.

Kedua:  Membacanya dengan suara keras, ini lebih mudah untuk menempel dalam benak dan otak kita. 

Ketiga: Diperdengarkan kepada seorang guru. Diantara manfaatnya adalah menjaga dari kesalahan dalam menghafal.                     

Keempat: Memperbanyak pengulangan.

Berikut ini adalah perkataan beberapa ulama tentang hafalan dan pengulangannya :

1. Imam az-Zuhri dan al-Hasan al-Bashri berkata : “Ilmu itu menjadi hilang karena lupa dan tidak pernah diulang-ulang.”

2. Abdurrahman Ibnu Abi Laila berkata : “Sesungguhnya cara menghidupkan hadist adalah dengan selalu mengulangi-ulanginya kembali.”

3. Al-Ashma’i pernah ditanya tentang hafalannya yang kuat, padahal teman-temannya sudah lupa, beliau menjawab : “Ya, karena saya sering mengulangi-ulanginya, sedang mereka tidak mau mengulang-ulanginya kembali.” (Muhammad bin Said bin Ruslan, Afaat al-Ilmi, (Manufiyah : Maktabah Al Balagh, 2004 M) Cet. Ke-3, hal. 119-120 )

Dalam pepatah Arab disebutkan :

 السَّبقُ حَرفٌ وَالتِكرَارُ أَلفٌ

“Membaca cepat sama dengan membaca satu huruf, sedang mengulang-ulang sama dengan membaca seribu huruf.”

Dalam pepatah Arab lainnya disebutkan :

حفظ حرفين خير من سماع وِقْرَيْن ، وفهم حرفين خير من حفظ سطرين

“Menghafal dua huruf lebih baik dari mendengar dua gendongan buku, memahami dua huruf lebih baik dari menghafal dua baris.” (Syekh Abdul Aziz bin Qasim, ad-Dalil Ila al- Mutun al- Ilmiyah )

Berapa banyak orang yang pernah menghafal al-Qur’an dan mendapatkan Ijazah sebagai sorang hafidh atau hafidhah, karena tidak diulang-ulang kembali, ditambah dengan kesibukannya pada urusan lain, akhirnya Al-Qur’an kembali menjadi asing baginya, seakan-akan dia belum pernah menghafalnya sama sekali.

Diantara fungsi hafalan adalah sebagai berikut :

Pertama: Pengetahuan yang dihafal, akan tetap berada dalam otak kita.

Kedua:  Mampu mengeluarkan hafalannya setiap saat dengan mudah.

Ketiga: Bisa memanfaatkan waktu untuk belajar ilmu lain, selain yang sudah dihafal. Hal ini sangat terlihat jelas, ketika seorang penuntut ilmu sedang menghadapi ujian. Ketika dia sudah hafal al-Qur’an umpamanya, maka waktu yang tersisa bisa untuk belajar atau menghafal pelajaran yang lain. Berapa banyak dari pelajar ketika ujian waktunya habis untuk mempersiapkan hafalan al-Qur’an atau bait-bait syi’ir, seandainya dia sudah hafal sebelumnya, tentunya akan banyak membantu dalam memahami pelajaran lain.

Keempat: Manfaat hafalan juga akan terlihat dengan jelas, ketika bukunya hilang, atau lampunya tiba-tiba mati pada malam hari, atau tiba-tiba ia buta.

Kelima: Bisa memanfaatkan waktu dengan mengulangi hafalannya dimanapun ia berada, ketika sedang menyetir mobil, naik kendaran, sedang di atas pesawat, atau sedang menunggu orang di tengah jalan, bahkan ketika sedang berdiri dalam antrian yang panjang.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menganjurkan siapa saja yang sudah menghafal al-Qur’an agar selalu mengulangi-ulangi terus :

تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ ، فَوَ الَّذِيْ نَفْسِ مُحَمَّدِ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تفلتا مِنَ الْإِبْلِ فِيْ عَقْلِهَا

“Teruslah mengulangi ulang hafalan al-Qur’an, demi Dzat Yang jiwaku di tangan-Nya, hafalan al-Qur’an itu lebih mudah lepas daripada unta yang diikat. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits lain disebutkan :

إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ الْإِبْلِ الْمُعَلَّقَةِ إَنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ

“Sesungguhnya perumpamaan orang yang hafal al-Qur’an bagaikan orang yang mempunyai unta yang terikat. Jika dia selalu menjaganya, niscaya tidak akan lari, sebaliknya jika dibiarkan, maka unta itu akan hilang.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

KEDUA BELAS: MENJAGA WIBAWA DAN RASA MALU

Wibawa dan rasa malu merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu untuk membedakan antara dirinya dengan selainnya. Jangan sampai ia terlena dengan orang lain dan tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara sepele yang dapat menjatuhkan kedudukan dan kewibawaannya. Hendaklah ia berhias dengan adab dan keindahan ilmu serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Khatib Al-Baghdadi rahimahullah berkata: “Hendaklah orang yang mencari hadits menjauhi sikap main-main, bergabung dengan majlis omong kosong, gelak tertawa, dan canda secara berlebihan. Sebab, yang diperbolehkan adalah canda ringan dan jarang-jarang dilakukan serta tidak keluar dari batasan etika dan ilmu. Adapun seseorang yang terus-menerus bercanda, berkata kotor, bertindak bodoh yang membuat sesak dada dan menimbulkan kejahatan, maka hal itu adalah tercela. Banyak canda dan tertawa akan menjauhkan wibawa seseorang dan menghilangkan harga dirinya.”

Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu.

Sifat malu merupakan ciri khas akhlak orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini apabila melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya akan menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki malu merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa meskipun banyak orang mengetahuinya.

Islam menempatkan malu sebagai bagian dari iman. Orang beriman pasti memiliki sifat malu. Orang yang tidak memiliki malu berarti tidak ada iman dalam dirinya meskipun lidahnya menyatakan beriman. Rasulullah SAW bersabda: ''Iman itu lebih dari 70 atau 60 cabang, cabang iman tertinggi adalah mengucapkan 'La ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah membuang gangguan (duri) dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (H.R Bukhari-Muslim)

Sifat malu perlu ditampilkan seseorang dalam semua aktivitas kehidupan. Melaluinya, seseorang dapat menahan diri dari perbuatan tercela, hina, dan keji. Melalui sifat malu, seseorang akan berusaha mencari harta yang halal dan akan menyesal kalau ketinggalan melakukan kebaikan.

Apabila seseorang hilang malunya, secara bertahap perilakunya akan buruk, kemudian menurun kepada yang lebih buruk, dan terus meluncur ke bawah dari yang hina kepada lebih hina sampai ke derajat paling rendah. Rasulullah SAW bersabda: ''Sesungguhnya Allah apabila hendak membinasakan seseorang, Dia mencabut rasa malu dari orang itu. Apabila rasa malunya sudah dicabut, kamu tidak menjumpainya kecuali dibenci. Apabila tidak menjumpainya kecuali dibenci, dicabutlah darinya sifat amanah. Apabila sifat amanah sudah dicabut darinya maka tidak akan didapati dirinya kecuali sebagai pengkhianat dan dikhianati. Kalau sudah jadi pengkhianat dan dikhianati, dicabutlah darinya rahmat. Kalau rahmat sudah dicabut darinya, tidak akan kamu dapati kecuali terkutuk yang mengutuk. Apabila terkutuk yang mengutuk sudah dicabut darinya, maka akhirnya dicabutlah ikatan keislamannya.'' (H.R Ibn Majah)

Sudah seharusnya sebagai insan yang beriman dan bertakwa harus selalu menjaga marwah dirinya dan menjaga dari perasaan malu jika melakukan perbuatan yang tidak pantas, meskipun tidak dilihat oleh orang lain, karena sedikit banyak akan membawa pengaruh dari kwalitas keimanan seseorang.

Ada tiga macam sifat malu yang perlu melekat pada seseorang:

Sifat pertama, rasa malu kepada diri sendiri ketika sedikit melakukan amal saleh dihadapan Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Rasa malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal soleh serta pengabdian seseorang kepada Allah SWT dan umat manusia.

Sifat kedua, rasa malu kepada sesama manusia. Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran dan tuntunan agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran rasa malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari dosa.

Sifat ketiga, malu kepada Allah. Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan maha melihat apa yang diperbuat hambanya.

Mengingat sifat malu merupakan hal yang sangat penting sebagai benteng pertahanan untuk memelihara akhlak seseorang dan sumber utama dari kebaikan, maka sifat inilah yang perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik oleh setiap individu muslim baik didalam kantor, lingkungan masyarakat, keluarga dan dimanapun berada, karena sifat malu dapat memilihara serta menjaga dan menunjukkan keimanan seseorang.

KETIGA BELAS: BERTEMAN SERTA BERSAHABAT DENGAN ORANG-ORANG YANG SOLEH

Berkawan dengan orang saleh memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Jika kita ingin berbuat maksiat, ada lingkungan yang mengingatkan dan menjaga kita. Sehingga, kita pun mengurungkan niat perbuatan buruk tersebut. Beberapa ulama bahkan mewajibkan hukumnya berteman dengan orang saleh.

Ada berjuta keuntungan berkawan dan bersaudara dengan orang saleh. Menyapanya dengan senyum saja sudah dihitung ibadah oleh Allah SWT. Berkawan dengan orang saleh juga akan menderaskan rezeki makhluk. “Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan terus diingat namanya setelah mati, sambunglah tali silaturahim.” (H.R Bukhari).

Islam juga hadir dengan segala kemungkinan persaudaraan. Dalam berkawan, layaknya hubungan suami istri, kadang dilanda ujian persahabatan, tak jarang diberi nikmat ukhuwah yang menguat. Saat ujian persaudaraan hadir, Islam pun memberikan kaidah yang mulia.

“Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam: masing-masing memalingkan muka dari yang lain saat keduanya bertemu dan orang terbaik dari keduanya adalah yang memulai ucapan salam.” (H.R Bukhari dan Muslim).

Seberat apa pun ujian ukhuwah, Islam memberikan waktu tiga malam untuk masing-masing diri introspeksi. Persaudaraan begitu sangat dihargai dalam agama ini. Janganlah berlarut-larut dalam bermusuhan. Bukankah kebersamaan lebih menyenangkan?

Nabi Muhammad SAW sering menganjurkan para sahabatnya untuk senantiasa bergaul dengan orang-orang saleh, tidak dengan orang-orang buruk. Karena, bagaimanapun juga perilaku buruk itu menular, sebagaimana juga perilaku baik.

Dalam Shahih al-Bukhari, Rasulullah SAW mengumpamakan siapa yang bersahabat dengan orang yang saleh layaknya ia bersahabat dengan penjual minyak wangi. Dan siapa yang bersahabat dengan yang berperangai buruk, layaknya ia berteman dengan pandai besi.

Dari perumpamaan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW ini, tentu saja berteman dengan penjual minyak wangi lebih menguntungkan, meskipun tidak membeli minyak wangi, kita akan terkena harum wanginya. Dan, sebaliknya, jika berteman dengan pandai besi, kita akan terkena buruknya, minimal kita akan terkena percikan panasnya api dari besi.

Dari uraian di atas, dipahami bahwa lingkungan hidup sangat berpengaruh pada karakter dan perilaku seseorang. Jika kita sering berkunjung ke tempat maksiat seperti diskotek dan berteman dengan pecandu narkoba, maka suatu saat kita akan terjerumus ke lembah kemaksiatan itu. Tidak sedikit orang yang pernah merasakan hal tersebut, awalnya coba-coba dan seterusnya menjadi bandar narkoba.

Begitu juga jika kita berteman dan hidup dalam lingkungan yang baik, berkunjung ke masjid, mengikuti majelis taklim, maka akhlak kita pun kurang lebih akan seperti mereka yang senantiasa menjaga diri dari kemaksiatan dan candu akan kebaikan.

SIFAT YANG WAJIB DIJAUHI PENUNTUT ILMU

Seorang penuntut ilmu harus senantiasa mengintropeksi diri dan berusaha untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan dari dalam diri. Dan salah satu sifat yang harus dijauhi bagi para penuntut ilmu, di antaranya adalah:

Hasad (Dengki/Iri) 

Artinya membenci datangnya nikmat Allah kepada orang lain. Jadi, hasad bukan sekedar mengharapkan hilangnya nikmat Allah dari orang lain. Bahkan semata-mata ketidaksenangan seseorang terhadap nikmat yang Allah berikan kepada selainnya. Maka ini adalah hasad, baik ia mengharapkan hilangnya nikmat itu atau tetap ada, akan tetapi ia membenci (tidak menyukai) hal itu. 

Pengertian ini, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan, “Hasad adalah kebencian seseorang terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain.” 

Salah satu bahaya yang menimpa seorang penuntut ilmu, yang dapat menghilangkan keberkahan ilmu. Apabila hal ini menimpa seorang penuntut ilmu, maka akan rusak akhiratnya. Semakin dalam ia tenggelam, semakin besar pula bahaya yang akan menimpanya. Dengki akan mengurangi pahala seseorang dalam mencari ilmu, memperlemah hafalannya, dan mengurangi konsentrasinya dalam menghadiri dan memahami ilmu.


Seorang muslim dan muslimah tidak boleh dengki karena dengki adalah sifat yang tercela karena dapat merusak amal. Seseorang yang ada di dalam hatinya sifat dengki, Allah Swt peringatkan sebagaimana dalam firmannya QS:An-Nisa’:32. “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Selanjutnya bahwa, sifat hasad ini memiliki beberapa sebab, namun ada obatnya. Ketauhilah bahwa jika hal ini tumbuh dalam diri seseorang, maka janganlah meremehkan dan melalaikannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Karenanya dikatakan: tidak ada jiwa yang bebas dari hasad. Namun orang tercela menampakkanya, sedangkan orang yang mulia menyembunyikannya”.

Kibr (Sombong) 

Seorang penuntut ilmu harus tunduk kepada kebenaran, harus taslim (menerima), tidak boleh sekali-kali menolak kebenaran dengan ra’yunya, hawa nafsunya, atau lainnya. Apabila disampaikan ayat al- Qur’an dan Assunnah, ia berkewajiban untuk menerima kebenarannya. Dan orang yang sombong tidak akan masuk surga. Nabi Saw bersabda: “Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda. Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. 

An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran.”

Termasuk sifat sombong adalah ketika seorang penuntut ilmu membantah orang yang mengajarinya, merasa lebih tinggi, dan beradab yang jelek terhadapnya. Juga termasuk sombong menganggap rendah orang yang memberikan faedah dari kalangan orang-orang yang lebih rendah. Hal inilah yang banyak menimpa para penuntut ilmu. 

Selanjutnya bahwa ilmu tidak akan mungkin menetap bersama kesombongan dan keangkuhan, dan terkadang ilmu itu tercabut karena kesombongan.

Buruk Sangka 

Di antara hal yang wajib dihindari oleh penuntut ilmu adalah berburuk sangka kepada orang lain. Seperti ia mengatakan “dia tidak bersedekah, kecuali karena riya”. Orang-orang munafik, dahulu apabila orang mukmin memberikan shadaqah dengan jumlah yang banyak mereka mengatakan, “Dia riya’”. Jika sadaqahnya sedikit mereka mengatakan, “Sesungguhkan Allah tidak butuh kepada shadaqah yang seperti itu”. 

Maka dari itu hendaklah seorang penuntut ilmu berhati-hati dengan sikap su’udzan yang wajib justru berbaik sangka tentang orang- orang yang secara zhahirnya adalah adil. Karena sebagian manusia terkadang berburuk sangka terhadap seseorang karena dugaan palsu yang tidak ada hakikatnya. Sebagaimana dalam firman Allah Swt, QS:Al- Hujuraat:12. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW pernah berpesan kepada umat Islam untuk menjauhi prasangka buruk, karena prasangka buruk termasuk sedusta-dusta perkataan.

“Dari Abu Hurairah ia berkata telah bersabda Rasululloh.” Jauhkanlah dirikamu daripada sangka (jahat) karena sangka (jahat) itu sedusta-dusta omongan,(hati)”. (H.R. Muttafaq Alaih). 

Tentu saja yang dimaksud sebagian prasangka yang bernilai dosa itu adalah prasangka buruk. Seorang penuntut ilmu wajib meninggalkan prasangka buruk dan tumbuhkan prasangka baik.

Menjauhi Sifat Futur (Malas) 

Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, eggan, lamban, dan tidak semangat, padahal sebelumnya rajin, bersungguh- sungguh, dan penuh semangat.

Futur adalah suatu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah, para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas kebaikan. Seperti malas dalam menuntut ilmu, malas dalam aktivitas dakwah, malas dalam beribadah kepada Allah Swt, dan yang lainnya.

Selanjutnya bahwa, seorang penuntut ilmu harus kuat, rajin, bersungguh-sungguh dalam belajar, membaca, menghafal, serta tidak boleh malas dan lemah. Bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu dan selalu meminta pertolongan kepada Allah Swt.

KESIMPULAN:

Menuntut ilmu adalah amalan mulia yang akan mempermudah penuntutnya jalan menuju surga. Sehingga seorang murid, dituntut untuk memperhatikan adab-adabnya saat belajar di kelas maupun dimana saja. Hal ini karena amalan yang mulia harus dilakukan dengan cara yang mulia pula. Bahkan ulama salaf dahulu sangat memperhatikan adab dalam belajar, sampai-sampai mereka mementingkan adab terlebih dahulu sebelum belajar ilmu.

Seorang penuntut ilmu wajib mengetahui dan mempelajari adab-adab menuntut ilmu yang harus dikuasai. la harus mengikuti jejak para Salafush Shalih dalam mencari ilmu dan beradab dengan ilmu yang telah diraih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan tentang Islam, termasuk di dalamnya masalah adab. Seorang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak mulia.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya “Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu”  mengatakan, adab dan akhlak yang baik adalah bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan kebaikan. Adab-adab seorang thalabul ilmi (penuntut ilmu) harus mengamalkan ilmunya dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain. selain itu, Rasulullah SAW pun mengajarkan harus mempunyai niat ikhlas karena Allah dalam menuntut ilmu, ikhlas  dalam mengamalkan ilmu, ikhlas dalam mengajarkan dan mendakwahkan ilmu. agar ilmu yang dikaji dan dipelajari menjadi ilmu yang bermanfaat, karena menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala, termasuk dosa besar, penyebab tercegah dari aroma surga danAallah menyediakan adzab yang pedih, bahkan orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap wajah Allah termasuk orang yang pertama kali di panaskan api neraka.

Imam Ibnu Jama’ah menjelaskan bagaimana seorang muslim dapat ikhlas dalam menuntut ilmu yaitu meluruskan niat dan tujuan menuntut ilmu tidak semata-mata memperoleh keuntungan duniawi, seperti kepemimpinan, jabatan, kehormatan, harta atau berbangga dihadapan teman-temannya bahkan hanya ingin diagungkan manusia. Dengan begitu pentingnya membersihkan hati dari akhlak yang buruk dan memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan menjauhkan diri dari dosa dan maksiat dengan bertaqwa kepada Allah.

Saat ini bisa kita lihat banyak seorang penuntut ilmu yang bisa dikatakan kurang dalam berakhlak (beradab) tetapi sangat mencintai dunia. Seperti, banyak membantah perkataan gurunya, melawan gurunya, tidak sopan dalam berkata, tidak mempunyai tatakrama, dan sombong dengan ilmu yang ia miliki. Ingatlah sebanyak apapun ilmu kita, setinggi apapun pangkat kita, sehebat apapun kita, jika kita tidak memiliki akhlak (adab) yang baik terhadap orang lain maka akan sia-sialah apapun itu yang kita miliki. Termasuk ilmu, mau sebanyak apapun, setinggi apapun, akan sia sia. Maka dari itu sangat penting mempunyai akhlak (adab) yang baik. 

Dalam islam, kedudukan akhlak memiliki posisi yang sangat penting. Oleh karena itu bagi setiap muslim khususnya bagi penuntut ilmu haruslah memiliki akhlak (adab) yang baik kepada guru, dosen ataupun sesama penuntut ilmu.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama