AKHLAQ TERHADAP ALLAH TA'ALA

 

بسم الله الرحمن الرحيم

JANGAN SAMPINGKAN AKHLAQ TERHADAP ALLAH

MUQADDIMAH:

Akhlaq adalah karakter batin yang baik yang sudah menjadi tabiat seseorang. Demikian definisi akhlaq yang biasa diterangkan oleh para ulama. Banyak sekali dalil yang menyebutkan mengenai keutamaan orang yang berakhlaq mulia. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya di antara mereka.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

“Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlaq yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlaq mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin shalat.” 

Di antara salah satu misi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (H.R. Ahmad no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Keterangan:

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “menyempurnakan akhlak”; dan bukan mengajarkan akhlak dari nol setelah sebelumnya tidak tahu sama sekali. Hal ini karena dulu masyarakat musyrik jahiliyyah telah memiliki sebagian bentuk akhlak yang luhur sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah menepati janji; memuliakan tamu; dan suka memberi makan orang yang membutuhkan. Sehingga akhlak-akhlak yang baik itu dipertahankan, sedangkan akhlak mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, itulah yang menjadi sasaran perbaikan. 

Namun kebanyakan orang memahami bahwa akhlaq yang mulia hanya terkait dengan muamalah terhadap sesama manusia dan tidak termasuk di dalamnya berakhlaq dengan sang Kholiq (yaitu Allah). Pemahaman seperti ini amatlah dangkal. Yang benar, akhlaq mulia di samping berperilaku baik dengan manusia, juga berperilaku baik di hadapan Allah, sang Kholiq. Jadi berakhlaq yang mulia sebenarnya mencakup dua hal yaitu berakhlaq mulia terhadap Allah dan berakhlaq mulia di hadapan sesama makhluk.

MEMPRIORITASKAN AKHLAK KEPADA ALLAH TA’ALA:

Kalau kita berbicara dan menyebutkan tentang akhlak, yang terlintas dalam benak dan bayangan kita adalah bagaimanakah kita bersikap baik kepada sesama manusia, misalnya kepada orang tua, kepada guru, kepada tamu, atau yang lainnya. Jarang atau mungkin tidak pernah terlintas dalam benak kita adanya akhlak yang lebih agung daripada itu semua, yaitu akhlak kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 23)

Keterangan:

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjaga akhlak kepada kedua orang tua. Kedua orang tua kita adalah manusia yang paling berhak untuk mendapatkan sikap dan perlakuan yang baik dari kita.

Namun, sebelum Allah Ta’ala menyebutkan perintah berbuat baik alias berakhlak kepada orang tua, Allah Ta’ala terlebih dahulu menyebutkan hak-Nya, yaitu perintah untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Hal ini mengisyaratkan, akhlak kepada Allah Ta’ala, yaitu tauhid, adalah hak yang lebih agung dan lebih harus diperhatikan sebelum hak kedua orang tua.

Demikian juga dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 36)

Keterangan:

Dalam ayat di atas, sebelum Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk berakhlak kepada sesama manusia, yaitu sembilan golongan yang Allah sebutkan (orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan budak), Allah Ta’ala perintahkan untuk berakhlak terlebih dahulu kepada Allah Ta’ala, yaitu mentauhidkan-Nya dalam ibadah.

Hal ini menunjukkan, tanpa akhlak kepada Allah Ta’ala, semua itu hanyalah sia-sia belaka dan tidak ada nilainya di sisi Allah Ta’ala.

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa akhlak kepada Allah Ta’ala adalah yang menjadi pokok, sedangkan akhlak kepada sesama manusia atau sesama makhluk secara umum itu sekedar mengikuti setelah seseorang memiliki akhlak kepada Allah Ta’ala.

Sehingga meskipun manusia itu memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, misalnya jujur, tidak pernah mengganggu dan menyakiti orang lain, tidak pernah korupsi, amanah jika diberi jabatan, dan lain-lain, jika mereka tidak beriman kepada Allah Ta’ala, akhlak-akhlak yang luhur kepada sesama manusia itu tidak ada nilainya sama sekali.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyebut orang-orang kafir sebagai seburuk-buruk makhluk, tanpa melihat sebagus dan seluhur apa pun akhlak dan perbuatan mereka terhadap sesama manusia. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik, (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 6) 

Bukti lainnya bahwa akhlak kepada sesama makhluk itu tidak ada nilainya selama manusia tidak berakhlak kepada Allah Ta’ala adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi kaum musyrikin, sampai mereka mau berakhlak kepada Allah Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” (H.R. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 138)

Sebagian akhlak mulia kepada sesama manusia yang kaum musyrikin miliki itu tidak ada nilainya, sampai mereka mau beriman kepada Allah Ta’ala dan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam seluruh aktivitas peribadatan mereka.

JANGAN SAMPINGKAN AKHLAK TERHADAP ALLAH SWT.:

Dari penjelasan di atas, selanjutnya kita akan melihat bagaimana bentuk akhlaq mulia terhadap Allah. Dalam hal ini kami dapat menjabarkan menjadi tiga bentuk:

1. Membenarkan setiap berita yang Allah sampaikan.

2. Melaksanakan setiap hukum yang Allah perintahkan.

3. Menerima takdir yang Allah tetapkan. 

PERTAMA: MEMBENARKAN SETIAP BERITA.

Ketika mendengar berita yang Allah sampaikan, begitu pula yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seseorang yang dikatakan berakhlaq baik haruslah menerima berita tersebut. Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا

“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah?” (Q.S. An Nisa’: 87)

Keterangan:

Orang-orang yang beriman dengan sesungguhnya pasti meyakini bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada tuhan selain Dia, tidak ada yang patut disembah kecuali Dia. Oleh sebab itu, janganlah kaum muslim lalai berbakti dan mengabdi kepada-Nya, patuhlah terhadap perintah-perintah-Nya dan tinggalkanlah laranganlarangan-Nya, karena Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari kiamat. Tidak satu pun yang sanggup membangkitkan dan mengumpulkan kalian selain Allah, untuk mempertanggungjawabkan semua amal yang telah kalian lakukan. Hari itu merupakan hari yang tidak diragukan terjadinya. Pada hari itu tidak ada manfaat harta kekayaan dan anak-anak kalian untuk menjadi penolong bagi kalian, dari azab Allah. Yang akan aman dari azab Allah hanyalah orang-orang yang beramal saleh sewaktu berada di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus percaya kepada firman Allah tentang kedatangan hari Kiamat itu. Siapakah yang lebih dapat dipercaya ucapannya dan benar perkataan-nya daripada Allah? Ketahuilah bahwa informasi yang bukan berasal dari Allah tidak dapat dipastikan kebenarannya, karena berita-berita itu mengandung kemungkinan benar atau kemungkinan salah. Sedangkan informasi yang bersumber dari Allah pasti benar.

Dalam ayat lainnya, Allah mengatakan mengenai Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.S. An Najm: 3-4)

Keterangan:

Apa saja yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan perintah Tuhannya, dan tidaklah pula yang diucapkannya itu, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an, merupakan perkataan kosong dan menurut keinginannya saja.

Dalam ayat ini (Ayat Ketiga), Allah swt menerangkan bahwa Muhammad saw itu tidak sesat dan tidak keliru karena beliau seorang yang tidak pernah menuruti hawa nafsunya termasuk dalam perkataannya. Orang yang mungkin keliru atau tersesat ialah orang yang menuruti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah: Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. (shad/38: 26)

Al-Qur’an yang disampaikannya tidak lain adalah wahyu Allah yang diwahyukan kepadanya.

Dalam ayat ini (Ayat Keempat), Allah menguatkan ayat sebelumnya, yakni bahwa Muhammad saw hanyalah mengatakan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan kepada manusia secara sempurna, tidak ditambah-tambah dan tidak pula dikurangi menurut apa yang diwahyukan kepadanya. 'Abdullah bin 'Amr bin 'As menulis setiap apa yang ia dengar dari Rasulullah saw, karena ia mau menghafalkannya. Tapi orang-orang Quraisy melarangnya. Mereka mengatakan mengapa ia menulis setiap perkataan Muhammad saw, sedangkan Muhammad itu adalah manusia biasa yang berkata dalam keadaan marah. Maka berhentilah 'Abdullah bin 'Umar menulis. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw, dan memberitahukan perihalnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw:"Tulislah demi Zat yang menguasai diriku, tidak ada yang keluar dari perkataanku kecuali kebenaran." (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Al-hafidz Abu Bakar al-Bazzar menyebutkan riwayat Abu Hurairah bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: "Sesuatu yang aku kabarkan kepadamu bahwa ia dari Allah swt, maka tidak ada keraguan padanya." (Riwayat Ibnu hibban dan alBazzar)

Imam Ahmad dan al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah aku berkata kecuali yang benar." (Riwayat Ahmad dan alBazzar)

Tugas kita selaku hamba Allah dan pengikut Rasul-Nya adalah menerima setiap berita yang datang dari keduanya. Sebagaimana dikatakan oleh Az Zuhri rahimahullah:

مِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْبَلاَغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ

“Risalah (wahyu) datangnya dari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah menerimanya.” 

Misalnya ketika kita menyikapi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai lalat yang jatuh dalam makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً

“Jika seekor lalat jatuh di tempat minum salah seorang di antara kalian, maka celupkanlah seluruh bagian lalat tersebut. Lalu buanglah lalat tadi. Karena di salah satu sayapnya terdapat penawar dan sayap lainnya adalah racun.” Dalam riwayat lain disebutkan:

فَإِنَّهُ يُقَدِّمُ السُّمَّ وَيُؤَخِّرُ الشِّفَاءَ

“Karena yang pertama kali dicelupkan lalat tersebut adalah racun. Dan di sayap lainnya terdapat penawarnya.” 

Bentuk berakhlaq baik kepada Allah adalah dengan menerima dan membenarkan berita yang dikatakan dalam hadits ini. Sehingga tidak perlu seseorang mempertentangkannya dengan logika atau pendapat orang barat yang sungguh jauh dari keimanan.

Contoh lainnya lagi adalah ketika kita menyikapi hadits yang menceritakan bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia. Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ

“Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata.” 

Jadi, intinya dalam hadits ini menerangkan bahwa matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat. Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil -padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”

Dalam lanjutan hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:

فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا

“Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya.”

Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatan yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minum.” 

Sudah seharusnya kita menerima setiap apa yang Allah dan Rasul-Nya sampaikan tanpa perlu kita pertentangkan dengan logika kita. Inilah bentuk akhlaq mulia terhadap Allah. Semoga kita bisa memperhatikan dengan baik penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berikut, “Akal memang merupakan syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” 

KEDUA: MENJALANKAN SETIAP PERINTAH.

Begitu pula sikap seorang muslim yang benar adalah tidak menentang hukum Allah. Jika seseorang menentang hukum Allah, maka itu berarti ia tidak berakhlaq baik di hadapan Allah. Terserah ia pertentangkan dengan mengingkari atau karena sombong dengan meremehkan kebenaran, atau pula ia menolaknya dengan meremehkan ajaran tersebut. Ini semua termasuk bentuk tidak berakhlaq yang baik terhadap Allah.

Misalnya, Allah perintahkan shalat lima waktu sehari semalam. Sebagian orang memang merasakannya berat, terutama orang munafik. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Shubuh. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada dalam dua shalat tersebut, tentu mereka akan menandatanginya walaupun sambil merangkak.” 

Namun bagi orang yang beriman, shalat tentu tidaklah berat. Allah Ta’ala berfirman:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (45) الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (46)

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Q.S. Al Baqarah: 45-46)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

“Perhiasan dunia yaitu wanita dan harum-haruman dijadikan kesukaan bagiku. Shalat pun dijadikan penyejuk mata bagiku.” Jadi termasuk berakhlaq baik terhadap Allah, seseorang menunaikan shalat dalam keadaan hatinya lapang dan thuma’ninah (tenang).

KETIGA: MENERIMA TAKDIR ALLAH.

Bentuk ini pula termasuk berakhlaq baik terhadap Allah, yaitu seseorang mengetahui bahwa setiap apa yang Allah takdirkan terdapat hikmah besar di balik itu semua. Seseorang pun mesti yakin bahwa setiap apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap apa yang tidak Allah kehendaki tidak mungkin terjadi. Sampai-sampai Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan setiap yang tidak Allah kehendaki tidak mungkin terjadi.” 

Di antara contoh hal ini adalah bersabar dengan takdir Allah. Inilah yang dipuji dalam firman Allah:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (155) الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (156) أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al Baqarah: 155-157)

Keterangan:

Kehidupan manusia memang penuh cobaan. Dan Kami pasti akan menguji kamu untuk mengetahui kualitas keimanan seseorang dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Bersabarlah dalam menghadapi semua itu. Dan sampaikanlah kabar gembira, wahai Nabi Muhammad, kepada orang-orang yang sabar dan tangguh dalam menghadapi cobaan hidup, yakni orang-orang yang apabila ditimpa musibah, apa pun bentuknya, besar maupun kecil, mereka berkata, Inna lilla hi wa inna  ilaihi ra ji'un (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka berkata demikian untuk menunjukkan kepasrahan total kepada Allah, bahwa apa saja yang ada di dunia ini adalah milik Allah; pun menunjukkan keimanan mereka akan adanya hari akhir. Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk sehingga mengetahui kebenaran.

Allah akan menguji kaum Muslimin dengan berbagai ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (bahan makanan). Dengan ujian ini, kaum Muslimin menjadi umat yang kuat mentalnya, kukuh keyakinannya, tabah jiwanya, dan tahan menghadapi ujian dan cobaan. Mereka akan mendapat predikat sabar, dan merekalah orang-orang yang mendapat kabar gembira dari Allah.

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar memberitahukan ciri-ciri orang-orang yang mendapat kabar gembira yaitu orang yang sabar, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

Kabar gembira itu ialah berita bahwa orang yang sabar itu mendapat berkat, ampunan, rahmat dan pujian dari Allah, dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.

Semoga kita dapat memahami bahwa Allah tidaklah hanya berbuat baik terhadap sesama, namun yang lebih utama dan semestinya tidak disampingkan adalah berakhlaq baik terhadap Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.

SAUDARA KU… 

PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama