بسم الله الرحمن الرحيم
MUQADDIMAH:
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan.
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan.
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan.
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan.
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan.
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “akhlaq” dalam bentuk jamak, sedang bentuk
mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti,perangai,tingkah laku, atau tabiat. Secara terminology
yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim
terhadap rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani
sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan akhlak
terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab
dari beliaulah kita dapat mendapatkan warisn yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.Orang yang berpegang
teguh pada keduanya dipastikan tidak akan tersesat selamanya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang menerangkan bahwa, kita sebagai umat muslim diperintahkan untuk menghidupkan sunah-
sunah yang telah beliau wariskan
Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab “Akhlaq” dalam bentuk jamak, sedangkan bentuk mufradnya adalah khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Secara terminologi yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jadi pengertian akhlak seorang muslim terhadap Rasul adalah tingkah laku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk meneladani sifat-sifat Rasul dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari agar selalu mengamalkan aklak terpuji dalam kehidupannya. Kita sebagai orang muslim diharuskan berakhlak kepada Rasulullah sebab dari beliaulah kita dapat memperoleh warisan yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Orang yang berpegang teguh pada keduanya dipastikan tidak akan pernah tersesat selamanya.
AKHLAK TERHADAP RASULULLAH SAW.:
Selain wajib berakhlak mulia kepada Allah SWT, umat Islam juga wajib berakhlak mulia kepada Rasulullah SAW, karena beliau adalah kekasih Allah yang diutus untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar mereka menjalani hidup dan kehidupan sesuai petunjuk-Nya sehingga meraih kebahagiaan hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (السعادة في الدارين).
Beliau-lah yang mengenalkan kita kepada Allah SWT. Beliau-lah yang mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kita, baik hukum-hukum tentang ibadah, mu’amalah, munakahah maupun jinayah. Beliau-lah yang mendidik kita agar berakhlak mulia, baik kepada Allah, diri sendiri maupun kepada orang lain, bahkan flora, fauna serta alam di sekeliling kita.
Disamping akhlak kepada Allah Swt, sebagai muslim kita juga harus berakhlak kepada Rasulullah Saw, meskipun beliau sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya, namun keimanan kita kepadanya membuat kita harus berakhlak baik kepadanya, sebagaimana keimanan kita kepada Allah Swt membuat kita harus berakhlak baik kepada-Nya. Meskipun demikian, akhlak baik kepada Rasul pada masa sekarang tidak bisa kita wujudkan dalam bentuk lahiriyah atau jasmaniyah secara langsung sebagaimana para sahabat telah melakukannya.
Diantara bentuk nyata akhlak mulia kepada Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
PERTAMA: RIDHA DALAM BERIMAN KEPADA RASUL.
Iman kepada Rasul Saw merupakan salah satu bagian dari rukun iman. Keimanan akan terasa menjadi nikmat dan lezat manakala kita memiliki rasa ridha dalam keimanan sehingga membuktikan konsekuensi iman merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan. Karenanya membuktikan keimanan dengan amal yang shaleh merupakan bukan suatu beban yang memberatkan, begitulah memang bila sudah ridha. Ridha dalam beriman kepada Rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan sebagaimana hadits Nabi Saw:
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وِبِالإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا
“Aku rela Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, dan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul,” (H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Al-Hakim)
وعَن أَبي سعيدٍ الخُدْرِيِّ رضي الله عنأنَّ رسُولَ اللَّه ﷺ قَال: مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبَّا، وبالإسْلامِ دينًا، وَبمُحَمَّدٍ رَسُولًا، وَجَبت لَهُ الجَنَّةُ فَعَجب لهَا أَبُو سَعيدٍ، فَقَال أعِدْها عَلَيَّ يَا رَسولَ اللَّهِ فَأَعادَهَا عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: وَأُخْرى يَرْفَعُ اللَّه بِها العَبْدَ مئَةَ درَجةٍ في الجَنَّةِ، مَا بيْن كُلِّ دَرَجَتَين كَما بَين السَّماءِ والأرْضِ قَالَ: وَمَا هِي يَا رسول اللَّه؟ قَالَ: الجِهادُ في سبِيل اللَّه، الجِهادُ في سَبيلِ اللَّهِ. رواهُ مُسلمٌ
Dari Abu Sa'īd Al-Khudri -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Siapa yang rida kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul, maka ditetapkan baginya surga." Abu Sa'id heran dengan hal ini lalu berkata, "Ulangilah untukku, wahai Rasulullah?" Beliau pun mengulanginya lalu bersabda, "Ada amalan yang lain, Allah mengangkat hamba dengannya seratus derajat di surga. Jarak antara dua derajat seperti jarak antara langit dan bumi." Abu Sa'īd bertanya, "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Jihad di jalan Allah. Jihad di jalan Allah." Hadis sahih - Diriwayatkan oleh Muslim
Keterangan:
Makna hadis: Orang yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sebagai Rasul, maka ditetapkan baginya surga. Dalam satu riwayat Ahmad disebutkan, "Wahai Abu Sa'īd, siapa saja mengucapkan tiga hal ini, niscaya dia masuk surga." Aku bertanya, "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Siapa yang rida kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul." Saat Abu Sa'īd Al-Khudri -raḍiyallāhu 'anhu- mendengar perkataan tersebut dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, ia merasa heran dan meminta kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- untuk mengulanginya sekali lagi. Beliau pun mengulanginya lalu bersabda kepadanya, "Dan ada amalan yang lain" yaitu berbagai amal kebajikan dan ketaatan. "Allah mengangkat hamba dengan perkataan itu seratus derajat di surga. Jarak antara dua derajat seperti antara langit dan bumi." Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengabarkan kepadanya bahwa selain itu ada amalan yang membuat Allah mengangkat pelakunya seratus derajat di surga. Awalnya beliau tidak memberitahukan hal itu, agar Abu Sa'īd -raḍiyallāhu 'anhu- menjadi penasaran lalu menanyakannya. Jika dia mengetahuinya setelah disembunyikan, tentu itu akan lebih mengena (membekas) pada dirinya. Ia bertanya, "Apakah amalan itu, wahai Rasulullah?" Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Jihad di jalan Allah. Jihad di jalan Allah." Seorang mujahid meskipun termasuk ahli surga, hanya saja kedudukannya lebih tinggi dari orang lain yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sebagai Rasul, namun tidak berjuang di jalan Allah -Ta'ālā-. Ini adalah karunia Allah -Ta'ālā- dan kedermawanan-Nya kepada orang-orang yang berjihad di jalan-Nya. Saat mereka mendermakan jiwa-jiwa mereka di jalan Allah -Ta'ālā-, maka Allah memuliakan mereka dan menempatkannya dalam surga di tempat yang paling utama dan derajat yang tinggi. Balasan itu pasti sesuai dengan jenis amal.
KEDUA: MENCINTAI DAN MEMULIAKAN RASUL.
Keharusan yang harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada Rasul adalah mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt. Penegasan bahwa urutan kecintaan kepada Rasul setelah kecintaan kepada Allah disebutkan dalam firman Allah swt.:
قُلْ إِنْ كانَ آباؤُكُمْ وَأَبْناؤُكُمْ وَإِخْوانُكُمْ وَأَزْواجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوالٌ اقْتَرَفْتُمُوها وَتِجارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسادَها وَمَساكِنُ تَرْضَوْنَها أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفاسِقِينَ (24)
Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (Q.S. At-Taubah {9}: 24)
Keterangan:
Ayat ini turun berkenaan dengan keengganan sebagian kaum muslim untuk berhijrah ke Madinah karena diberatkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Padahal, hijrah merupakan wujud nyata kecintaan kaum mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya. Katakanlah, wahai Rasul, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu yang selalu mendampingimu, keluargamu yang selalu melindungimu, harta kekayaan yang kamu usahakan dengan susah payah, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai yang dibangun dengan biaya yang cukup besar, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggu-lah sampai Allah memberikan keputusan-Nya, dengan menurunkan hukuman-Nya yang tidak mungkin kamu elakkan. Padahal, hal itu merupakan sikap orang-orang fasik, karena keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
Ayat ini memberikan peringatan bahwa jika orang beriman lebih mencintai bapaknya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, istri-istrinya, kaum keluarganya, harta kekayaan, perniagaan dan rumah-rumahnya, daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya serta berjihad menegakkan syariat-Nya, maka Allah akan mendatangkan siksa kepada mereka cepat atau lambat. Mereka yang bersikap demikian itu adalah orang-orang fasik yang tidak akan mendapat hidayah dari Allah swt.
Berikut ini beberapa alasan mengapa orang mencintai anak, suami, istri, ibu, bapak, keluarga, dan sebagainya:
1. Bahwa cinta anak terhadap ibu bapak adalah naluri yang ada pada tiap-tiap diri manusia. Anak sebagai keturunan dari ibu bapaknya mewarisi sebagian sifat-sifat dan tabiat-tabiat ibu bapaknya.
2. Bahwa cinta ibu bapak kepada anaknya adalah naluri juga, bahkan lebih mendalam lagi, karena anak merupakan jantung hati yang diharapkan melanjutkan keturunan dan meneruskan sejarah hidupnya. Dalam hal ini ibu bapak rela menanggung segala macam pengorbanan untuk kebahagiaan masa depan anaknya.
3. Bahwa cinta kepada saudara dan karib kerabat adalah cinta yang lumrah dalam rangka pelaksanaan hidup dan kehidupan tolong-menolong, bantu-membantu dan bela-membela dalam kehidupan rumah tangga, dan kehidupan bermasyarakat. Cinta yang demikian akan menumbuhkan perasaan hormat-menghormati dan sayang-menyayangi.
4. Bahwa cinta suami istri adalah cinta yang terpadu antara dua jenis makhluk yang membina keturunan dan membangun rumah tangga untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu keutuhan hubungan suami istri yang harmonis menjadi pokok bagi kerukunan dan kebahagiaan hidup dan kehidupan yang diidam-idamkan.
5. Bahwa cinta terhadap harta dengan segala jenis bentuknya baik harta usaha, warisan, perdagangan maupun rumah tempat tinggal dan lain-lain adalah cinta yang sudah menjadi kodrat manusia. Semua yang dicintai merupakan kebutuhan yang tidak terpisahkan bagi hidup dan kehidupan manusia yang diusahakannya dengan menempuh segala jalan yang dihalalkan Allah.
6. Cinta perdagangan, merupakan naluri manusia, karena ia merupakan sumber pengembangan harta benda.
7. Cinta tempat tinggal, karena rumah merupakan tempat tinggal dan tempat istirahat sehari-hari.
Adapun cinta kepada Allah wajib didahulukan daripada segala macam cinta tersebut di atas karena Dialah yang memberi hidup dan kehidupan, dengan segala macam karunia-Nya kepada manusia dan Dialah yang bersifat sempurna dan Mahasuci dari segala kekurangan. Begitu juga cinta kepada Rasulullah saw, haruslah lebih diutamakan karena Rasulullah saw diutus Allah swt untuk membawa petunjuk dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
Firman Allah: Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali-'Imran/3: 31)
Dan sabda Rasulullah saw: Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai Aku lebih daripada mencintai orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya. (Riwayat al-Bukhari, Muslim dari Anas)
KETIGA: MENGIKUTI DAN MENTAATI RASUL.
Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan sesuatu yang bersifat mutlak bagi orang-orang yang beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian penting dari akhlak kepada Rasul, bahkan Allah Swt akan menempatkan orang yang mentaati Allah dan Rasul ke dalam derajat yang tinggi dan mulia, hal ini terdapat dalam firman Allah swt.:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (69)
Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.S. An-Nisa {4}: 69)
Keterangan:
Dan barang siapa menaati Allah dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan juga menaati Rasul dengan cara memuliakan dan memperkenankan perintahnya, maka mereka yang sehari-hari beramal dengan ikhlas seperti itu, akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah di dalam surga, yaitu para nabi, para pencinta kebenaran, yakni para sahabat Nabi, orang-orang yang mati syahid di medan perang dan orang-orang beramal saleh. Mereka itulah orang yang telah mencapai kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan juga merekalah sebenarnya teman yang sebaik-baiknya di kehidupan dunia.
Ayat ini mengajak dan mendorong setiap orang agar taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Allah berjanji akan membalas ketaatan dengan pahala yang sangat besar, yaitu bukan saja sekedar masuk surga, tetapi akan ditempatkan bersama-sama dengan orang-orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang yang saleh.
Berdasarkan ayat ini para ahli tafsir secara garis besarnya membagi orang-orang yang memperoleh anugerah Allah yang paling besar di dalam surga kepada empat macam yaitu:
1. Para rasul dan nabi, yaitu mereka yang menerima wahyu dari Allah.
2. Para shiddiqin, yaitu orang-orang yang teguh keimanannya kepada kebenaran nabi dan rasul.
3. Para syuhada mempunyai kriteria sebagai berikut:
a) Orang beriman yang berjuang di jalan Allah dan mati syahid dalam peperangan melawan orang kafir.
b) Orang yang menghabiskan usianya berjuang di jalan Allah dengan harta dan dengan segala macam jalan yang dapat dilaksanakannya.
c) Orang beriman yang mati ditimpa musibah mendadak atau teraniaya, seperti mati bersalin, tenggelam, terbunuh dengan aniaya. Bagian (a) disebut syahid dunia dan akhirat yang lebih tinggi pahalanya dari bagian (b) dan (c) yang keduanya hanya dinamakan syahid akhirat. Ada satu bagian lagi yang disebut namanya syahid dunia, yaitu orang-orang yang mati berperang melawan kafir, hanya untuk mencari keuntungan duniawi, seperti untuk mendapatkan harta rampasan, untuk mencari nama dan sebagainya. Syahid yang serupa ini tidak dimasukkan pembagian syahid di atas, karena syahid dunia tersebut tidak termaksud sama sekali dalam kedua ayat ini.
4. Orang-orang saleh, yaitu orang-orang yang selalu berbuat amal baik yang bermanfaat untuk umum, termasuk dirinya dan keluarganya baik untuk kebahagiaan hidup duniawi maupun untuk kebahagiaan hidup ukhrawi yang sesuai dengan ajaran Allah.
Orang yang benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang tersebut dalam ayat ini akan masuk surga dan ditempatkan bersama-sama dengan semua golongan yang empat itu.
Disamping itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw, Allah Swt akan mencintai kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari Allah manakala kita melakukan kesalahan, Allah berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31)
Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S. Ali-Imran {3}: 31)
Keterangan:
Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada mereka yang merasa mencintai Allah," Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya yang disyariatkan melalui aku, juga ditambah dengan melaksanakan sunah-sunahku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang terhadap siapa pun yang mengikuti perintah Rasul-Nya dan meninggalkan larangannya.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi untuk mengatakan kepada orang Yahudi, jika mereka benar menaati Allah maka hendaklah mereka mengakui kerasulan Nabi Muhammad, yaitu dengan melaksanakan segala yang terkandung dalam wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Jika mereka telah berbuat demikian niscaya Allah meridai mereka dan memaafkan segala kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan serta mengampuni dosa-dosa mereka. Mengikuti Rasul dengan sungguh-sungguh baik dalam itikad maupun amal saleh akan menghilangkan dampak maksiat dan kekejian jiwa mereka serta menghapuskan kezaliman yang mereka lakukan sebelumnya.
Ayat ini memberikan keterangan yang kuat untuk mematahkan pengakuan orang-orang yang mengaku mencintai Allah pada setiap saat, sedang amal perbuatannya berlawanan dengan ucapan-ucapan itu. Bagaimana mungkin dapat berkumpul pada diri seseorang cinta kepada Allah dan pada saat yang sama membelakangi perintah-Nya. Siapa yang mencintai Allah, tapi tidak mengikuti jalan dan petunjuk Rasulullah, maka pengakuan cinta itu adalah palsu dan dusta. Rasulullah bersabda: "Siapa melakukan perbuatan tidak berdasarkan perintah kami maka perbuatan itu ditolak". (Riwayat al-Bukhari).
Barang siapa mencintai Allah dengan penuh ketaatan, serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengikuti perintah Nabi-Nya, serta membersihkan dirinya dengan amal saleh, maka Allah mengampuni dosa-dosanya.
Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati, Allah Swt berfirman:
وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحِيماً (64)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa {4}: 64)
Keterangan:
Ayat ini menjelaskan kewajiban taat kepada Allah dan Rasul sembari mencela perilaku orang-orang munafik yang mencari hakim terhadap Tagut. Dan juga Kami tidak mengutus seorang rasul dari semua rasul yang telah diutus, melainkan dengan membawa bukti-bukti untuk ditaati dengan izin dan perintah Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya dengan cara berhakim kepada Tagut, lalu mereka datang kepadamu, Muhammad, lalu selanjutnya mereka memohon ampunan kepada Allah dengan sepenuh hati, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka atas kesalahan yang telah mereka perbuat, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat atas kesalahan mereka, dan juga Maha Penyayang kepada orang-orang yang bertaubat.
Bagian pertama dari ayat ini menerangkan bahwa setiap rasul yang diutus Allah ke dunia ini semenjak dari dahulu sampai kepada Nabi Muhammad saw wajib ditaati dengan izin (perintah) Allah, karena tugas risalah mereka adalah sama, yaitu untuk menunjukkan umat manusia ke jalan yang benar dan kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.
Dalam ayat ini dikaitkan taat itu dengan izin Allah, maksudnya bahwa tidak ada satu makhluk pun yang boleh ditaati melainkan dengan izin Allah atau sesuai dengan perintah-Nya, seperti menaati rasul, ulil amri, ibu bapak dan sebagainya, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi thalib yang berbunyi: "Tidak boleh menaati manusia yang menyuruh melanggar perintah Allah" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi thalib).
"Sesungguhnya yang ditaati itu hanya perintah berbuat makruf, (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa'i).
Bagian kedua sampai akhir ayat ini menerangkan: Andaikata orang yang menganiaya dirinya sendiri yaitu orang yang bertahkim kepada thagut seperti tersebut pada ayat 60, datang kepada Nabi Muhammad ketika itu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun turut memohon agar mereka diampuni, niscaya Allah akan mengampuni mereka, karena Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
Di dalam ayat ini disebutkan orang-orang yang bertahkim kepada thagut itu adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri, karena mereka melakukan kesalahan besar dan membangkang tidak mau sadar. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang bertobat agar tobatnya diterima oleh Tuhan, antara lain:
a) Tobat itu dilakukan seketika itu juga, artinya segera setelah membuat kesalahan.
b) Hendaklah tobat itu merupakan tobat nasuha, artinya benar-benar menyesal atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat dan tidak akan mengulangi lagi.
c) Bila ada hak orang lain yang dilanggar, hak orang itu haruslah diselesaikan lebih dahulu dengan meminta maaf dan mengembalikan/mengganti kerugian.
Sebab turunnya ayat ini berhubungan dengan peristiwa berikut sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan perawi-perawi lain. Mereka menceritakan bahwa Zubair bin 'Awwam mengadukan seorang laki-laki dari kaum Ansar kepada Rasulullah saw dalam suatu persengketaan tentang pembagian air untuk kebun kurma. Rasulullah memberi putusan seraya berkata kepada Zubair, "Airilah kebunmu itu lebih dahulu kemudian alirkanlah air itu kepada kebun tetanggamu". Maka laki-laki itu berkata, "Apakah karena dia anak bibimu hai Rasulullah?" Maka berubahlah muka Rasulullah karena mendengar tuduhan tentang itu. Rasulullah berkata lagi (untuk menguatkan putusannya) "Airilah hai Zubair, kebunmu itu sehingga air itu meratainya, kemudian alirkanlah kepada kebun tetanggamu". Maka turunlah ayat ini.
Manakala manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan mentaatinya, maka ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah Swt. Dengan demikian, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi mata uang yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَما أَرْسَلْناكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً (80)
Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka. (Q.S. An-Nisa {4}: 80)
Keterangan:
Barang siapa menaati Rasul dan mengikuti ajaran-ajarannya, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah karena Allah yang telah mengutusnya. Dan barangsiapa berpaling dari ketaatan itu, maka ketahuilah bahwa Kami tidak mengutusmu, wahai Nabi Muhammad, untuk menjadi pemelihara mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dan menjamin mereka untuk tidak berbuat kesalahan.
Perintah dan larangan Rasul yang tidak menyangkut urusan keagamaan umpamanya yang berhubungan dengan keduniaan seperti urusan pertanian dan pertahanan, maka Rasul sendiri bersedia menerima pendapat dari sahabatnya yang lebih mengetahui masalahnya.
Menurut sejarah, dalam menjaga kesopanan terhadap Rasul para sahabat bertanya lebih dahulu apakah hal itu datangnya dari Allah atau pendapat Rasul sendiri. Jika ditegaskan oleh Rasul bahwa ini adalah dari Allah maka mereka menaati tanpa ragu-ragu dan jika dikatakan bahwa ini pendapat Muhammad maka para sahabat mengemukakan pula pendapat mereka. Peristiwa ini pernah terjadi ketika sahabat menghadapi perintah Rasul dalam memilih suatu tempat yang dekat ke mata air untuk kepentingan strategi pertahanan ketika perang Badar.
Ketika menerangkan sebab turunnya ayat ini Muqatil meriwayatkan bahwa ketika Nabi bersabda: "Barang siapa mencintai aku sesungguhnya ia mencintai Allah. Dan barang siapa yang menaati aku sesungguhnya ia menaati Allah. Orang munafik berkata, "Tidakkah kamu mendengar kata laki-laki ini (Muhammad)? Sesungguhnya ia telah mendekati syirik. Sesungguhnya ia melarang kita menyembah selain Allah dan ia menghendaki kita menjadikannya tuhan sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan Isa tuhan. Maka Allah menurunkan ayat ini." (Riwayat Muqatil)
Menaati Rasul tidak dapat dikatakan perbuatan syirik, karena Rasul penyampai perintah Allah. Dengan demikian menaati Rasul adalah menaati Allah, bukan mempersekutukannya dengan Allah.
Di dalam Tafsir al-Maragi dijelaskan bahwa syirik itu terdiri dari dua macam. Pertama, syirik uluhiyah, yaitu mempercayai adanya sesuatu selain Allah yang mempunyai kekuatan gaib dan dapat memberi manfaat dan memberi mudarat. Kedua, syirik rububiyah, mempercayai bahwa ada sesuatu selain Allah yang mempunyai hak menetapkan hukum haram dan halal, sebagaimana orang Nasrani memandang hak tersebut ada pada pendeta-pendeta mereka.
Orang mukmin sejati berpendirian: Tunduk hanya kepada Allah sebagai Pencipta dan tiada makhluk yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat memberi manfaat dan mudarat, dan tidak ada di antara makhluk yang berhak menetapkan hukum haram dan halal, karena semua makhluk tunduk kepada kehendak-Nya.
Allah menghendaki agar Rasul-Nya (Muhammad) tidak mengambil tindakan kekerasan atau paksaan terhadap orang yang tidak menaatinya, karena ia diutus hanya sekedar menyampaikan berita gembira dan peringatan keras. Keimanan manusia pada kerasulannya tidak digantungkan kepada paksaan, tetapi kepada kesadaran setelah menggunakan pikiran.
KEEMPAT: MENGUCAPKAN SHAWALAT DAN SALAM KEPADA RASUL.
Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti do’a, istighfar dan rahmah. Shalawat memiliki makna dasar berdoa. Adapun Allah bershalawat kepada Nabi, maksudnya adalah memberikan rahmat dan ridha-Nya. Demikian Imam Al-Qurtubi menjelaskan di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân.
Sedangkan shalawatnya para malaikat kepada Nabi, berarti doa dan permohonan ampun (istighfar) mereka bagi Nabi. Adapun shalawat kita sebagai umat beliau merupakan pengagungan kita terhadap kedudukan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Itu semua bukan berarti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membutuhkan doanya para malaikat dan umat untuk kebaikan diri beliau. Bila Rasulullah butuh terhadap doanya malaikat dan umatnya yang berupa shalawat, maka kiranya shalawat Allah kepada Nabi sudah lebih dari cukup.
Perbedaan makna shalawat yang dilakukan oleh Allah dan para malaikat serta orang-orang beriman semuanya dimaksudkan untuk satu hal, yakni memperlihatkan pengagungan kepada Nabi dan menghormati kedudukan Nabi yang luhur sebagaimana mestinya.
Hal ini sama dengan ketika Allah memerintahkan kita untuk selalu mengingat-Nya, bukan berarti Allah butuh diingat oleh hamba-Nya. Namun karena menunjukkan kebesaran dan kedudukan-Nya.
Dalam hal ini Imam Fakhrudin Ar-Razi di dalam kitab tafsir Mafâtîhul Ghaib menjelaskan “Bershalawat kepada Nabi bukanlah karena kebutuhan Nabi kepadanya. Bila Nabi membutuhkan shalawat, tak ada kebutuhan terhadap shalawatnya malaikat yang bersamaan dengan shalawatnya Allah kepada Nabi. Shalawat itu hanya untuk menampakkan pengagungan terhadap Nabi, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengingat Dzat-Nya sementara Allah tidak memiliki kebutuhan untuk diingat. Hal itu semata-mata karena untuk menampakkan sikap pengagungan terhadap Nabi dari kita dan untuk Allah memberikan pahala bagi kita atas pengagungan tersebut.”
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56)
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (Q.S. Al-Ahzab {33}: 56)
Keterangan:
Allah menurunkan ketentuan tentang etika bagi umat Islam ketika berinteraksi dengan istri-istri untuk menjaga kehormatan dan keagungan pribadi Rasulullah. Di antara bukti keagungan beliau ialah bahwa sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Salawat dari Allah berarti memberi rahmat, dan dari malaikat berarti memohonkan ampunan. Karena itu, wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi, seperti dengan berkata "Allàhumma salli ‘alà Muhammad (semoga Allah melimpahkan kebaikan dan ke-berkahan kepada Nabi Muhammad)", dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya, dengan mengucapkan perkataan seperti "Assalàmu ‘alaika ayyuhan-nabiy (semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai Nabi)."
Sesungguhnya Allah memberi rahmat kepada Nabi Muhammad, dan para malaikat memohonkan ampunan untuknya. Oleh karena itu, Allah menganjurkan kepada seluruh umat Islam supaya bersalawat pula untuk Nabi saw dan mengucapkan salam dengan penuh penghormatan kepadanya.
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri bahwa ia bertanya, "Wahai Rasulullah, adapun pemberian salam kepadamu kami telah mengetahuinya, bagaimana kami harus membaca salawat?" Nabi menjawab, ucapkanlah: Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama shallaita 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim innaka hamid majid. Allahumma barik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad kama barakta 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim innaka hamid majid. (Riwayat al-Bukhari, Ahmad, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan lainnya)
Diriwayatkan juga oleh 'Abdullah bin Abu thalhah dari ayahnya: Bahwa Rasulullah datang pada suatu hari dan terlihat tanda-tanda kegembiraan di wajahnya. Lalu kami bertanya, "Kami telah melihat tanda-tanda kegembiraan di wajahmu." Nabi menjawab, "Memang, Jibril telah datang kepadaku dan berkata, 'Wahai Muhammad sesungguhnya Tuhanmu telah menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, 'Tidakkah kamu merasa puas bahwa tidak ada seorang pun dari umatmu yang membaca salawat untukmu melainkan Aku membalasnya dengan sepuluh kali lipat. Dan tidak seorang pun yang menyampaikan salam kepadamu dari umatmu melainkan Aku membalas dengan salam sepuluh kali lipat."
Bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan bagi kita sendiri. Manakala seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak mengucapkan shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai orang yang paling utama kepadanya pada hari kiamat. Adapun orang yang tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang kikir atau bakhil.
KELIMA: MENGHIDUPKAN SUNNAH RASUL.
Kepada umatnya, Rasulullah Saw tidak mewariskan harta yang banyak, tapi yang beliau wariskan adalah Al-Qur’an dan sunnah, karena itu kaum muslimin yang berakhlak baik kepadanya akan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits) agar tidak sesat. Selain itu, Rasul Saw juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah dengan segala bahayanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ ، وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat”. (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
Keterangan:
Dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang penyakit dan obatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan tentang penyakit perpecahan yang merupakan sunnah kauniyah. Kemudian menyebutkan bagaimana cara pengobatannya (yang merupakan sunnah syar’iyah).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak”. Perselisihan yang banyak ini merupakan penyakit. Dan kini hal itu betul-betul terbukti.
Bagaimanakah obatnya? Obatnya, ialah kelanjutan hadits tersebut, yaitu “Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun -orang-orang yang mendapat petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”.
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian”, beliau menggunakan dhamir “haa” pada “’alaihaa” (menunjukkan satu), bukan “humaa atau ’alaihimaa” (menunjukkan dua). Sebab Sunnah para Khulafa’ur Rasyidun sebenarnya adalah Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. Jadi hanya satu sunnah saja.
Dengan kata lain, perpecahan merupakan sunnah kauniyah disebabkan oleh tidak berpegang kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Begitu juga segala kemaksiatan lain, terjadi sesuai dengan kehendak kauniyah (ketetapan taqdir) Allah. Bukan kehendak syar’iyah (ketetapan syari’at) Allah.
Perpecahan serta fitnah pasti terjadi sebagai sunnah kauniyah. Sedangkan obatnya adalah mengikuti sunnah syar’iyyah. Yaitu berpegang teguh pada sunnah Nabi dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun.
Dengan demikian, menghidupkan sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting sehingga begitu ditekankan oleh Rasulullah Saw.
KEENAM: MENGHORMATI PEWARIS RASUL.
Berakhlak baik kepada Rasul Saw juga berarti harus menghormati para pewarisnya, yakni para ulama yang konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni yang takut kepada Allah Swt dengan sebab ilmu yang dimilikinya. Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan kepribadian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati. Adapun orang yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk menghormatinya.
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالأنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28)
Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. (Q.S. Fatir {25}: 28)
Keterangan:
Dan demikian pula di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, seperti ular, dan hewan-hewan ternak, seperti ayam, kambing, dan lainnya, ada yang bermacam-macam warna dan jenis-nya sebagaimana buah-buahan dan gunung-gunung itu. Dan di antara hamba-hamba Allah, yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama, yakni orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun. Dia akan menghukum orang kafir dan tidak memerlukan bantuan apa pun dari hamba-Nya, namun Dia juga mengampuni dosa-dosa mereka yang tulus bertobat.
Pada ayat ini, Allah menambah penjelasan lagi tentang hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya. Allah menciptakan binatang melata dan binatang ternak, yang bermacam-macam warnanya sekalipun berasal dari jenis yang satu. Bahkan ada binatang yang satu, tetapi memiliki warna yang bermacam-macam. Mahasuci Allah pencipta alam semesta dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan ini firman Allah: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. (ar-Rum/30: 22)
Demikianlah Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya seperti tersebut di atas untuk dapat diketahui secara mendalam. Hanya ulama yang benar-benar menyadari dan mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah, sehingga mereka benar-benar tunduk kepada kekuasaan-Nya dan takut kepada siksa-Nya.
Ibnu 'Abbas berkata, "Yang dinamakan ulama ialah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah itu Mahakuasa atas segala sesuatu." Di dalam riwayat lain, Ibnu 'Abbas berkata, "Ulama itu ialah orang yang tidak mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu apa pun, yang menghalalkan yang telah dihalalkan Allah dan mengharamkan yang telah diharamkan-Nya, menjaga perintah-perintah-Nya, dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan-Nya yang akan menghisab dan membalas semua amalan manusia."
Ayat ini ditutup dengan suatu penegasan bahwa Allah Mahaperkasa menindak orang-orang yang kafir kepada-Nya. Dia tidak mengazab orang-orang yang beriman dan taat kepada-Nya, tetapi Maha Pengampun kepada mereka. Dia kuasa mengazab orang-orang yang selalu berbuat maksiat dan bergelimang dosa, sebagaimana Dia kuasa memberi pahala kepada orang-orang yang taat kepada-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka, maka sepatutnya manusia itu takut kepada-Nya.
KETUJUH: MELANJUTKAN MISI RASUL.
Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Tugas yang mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena Rasul telah wafat dan Allah tidak akan mengutus lagi seorang Rasul. Meskipun demikian, menyampaikan nilai-nilai harus dengan kehati-hatian agar kita tidak menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari Rasulullah Saw. Keharusan kita melanjutkan misi Rasul ini ditegaskan oleh Rasul Saw:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.
Dari Abdullah ibn Amr: Bahwa Nabi saw bersabda: Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka. Hadis sahih - Diriwayatkan oleh Bukhari
Keterangan:
Makna hadis ini adalah: Sampaikanlah kepada manusia ilmu yang diwariskan dariku; yaitu Al-Qur`ān atau Sunnah, walaupun apa yang kalian sampaikan itu sedikit, seperti satu ayat dari Al-Qur`ān, dengan syarat ia mengetahui dan memahami apa yang disampaikannya. Perintah untuk menyampaikan tersebut hukumnya wajib jika hal itu hanya dia yang bisa melakukannya. Jika ada orang lain yang sanggup, seperti karena di suatu negeri telah banyak para dai agama Allah yang mengajar manusia dan menjelaskan kepada mereka tentang urusan-urusan agama mereka, maka menyampaikan hal tersebut tidak menjadi wajib baginya, tapi menjadi sunah. Tidak apa-apa dan kalian tak berdosa bila menceritakan riwayat-riwayat dari Bani Israil mengenai berbagai peristiwa nyata yang menimpa mereka, seperti turunnya api dari langit untuk memakan kurban, atau kisah bunuh diri mereka sebagai syarat bertobat dari penyembahan anak sapi atau rincian berbagai kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`ān yang mengandung pelajaran dan nasihat. Siapa yang melakukan dusta atas namaku, hendaknya ia menyiapkan tempat tinggal untuk dirinya di neraka. Hal ini terjadi karena dusta atas nama Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak seperti berdusta atas nama manusia pada umumnya. Berdusta atas nama beliau adalah kedustaan atas nama Allah -'Azza wa Jalla-. Selanjutnya itu adalah dusta terhadap syariat; sebab, wahyu yang diberitakan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- adalah syariat. Dengan demikian, siksaannya lebih dahsyat.
Demikian beberapa hal yang harus kita tunjukkan agar kita termasuk orang yang memiliki akhlak yang baik kepada Nabi Muhammad Saw.
SAUDARA KU…
PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).
Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan