BERBAKTI KEPADA ORANGTUA

 

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN RIYADHUS SHALIHIN

باب بر الوالدين وصلة الأرحام

BERBUAT BAIK KEPADA KEDUA ORANG TUA 

DAN BERSILATURAHMI

ALLAH SWT BERFIRMAN:

AYAT PERTAMA:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)

Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat. anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S. An-Nisa {4}: 36)

Keterangan:

Ayat-ayat di atas yang berbicara tentang aturan dan tuntunan kehidupan rumah tangga dan harta waris, memerlukan tingkat kesadaran untuk mematuhinya. Ayat ini menekankan kesadaran tersebut dengan menunjukkan perincian tempat tumpuan kesadaran itu dipraktikkan. Dan sembahlah Allah Tuhan yang menciptakan kamu dan pasangan kamu, dan janganlah kamu sekali-kali mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah dengan sungguh-sungguh kepada kedua orang tua, juga kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh walaupun tetangga itu nonmuslim, teman sejawat, ibnu sabil, yakni orang dalam perjalanan bukan maksiat yang kehabisan bekal, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai dan tidak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang sombong dan membanggakan diri di hadapan orang lain.

Mengabdi dan menyembah kepada Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah kewajiban seseorang kepada Allah. Dalam kata lain, ibadah dan mengesakan Allah merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya. Melakukan ibadah kepada Allah tampak dalam amal perbuatan setiap hari, seperti mengerjakan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan telah dicontohkannya, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, dinamakan ibadah khusus. Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam rangka patuh dan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang, menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.

Ada bermacam-macam pekerjaan manusia yang menyebabkan dia bisa menjadi musyrik, di antaranya menyembah berhala sebagai perantara agar permohonannya disampaikan kepada Allah. Mereka bersembah sujud di hadapan berhala untuk menyampaikan hajat dan maksud mereka. Perbuatan manusia yang seperti itu banyak disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Allah berfirman: Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah." Katakanlah, "Apakah kamu akan memberitahu kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula) yang di bumi?" Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan itu. (Yunus/10:18).

Ada pula golongan lain yang termasuk musyrik, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, yaitu orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa, putra Maryam. Di samping mereka menyembah Allah, juga mereka mengakui Isa a.s. sebagai Tuhan mereka. Allah berfirman: Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9:31).

Orang musyrik semacam ini banyak terdapat pada masa sekarang, yaitu orang yang memohon dan meminta syafaat dengan perantaraan orang-orang yang dianggapnya suci dan keramat, baik orang-orang yang dianggapnya suci itu masih hidup maupun sudah mati. Mereka mendatangi kuburannya, di sanalah mereka menyampaikan hajat dan doa, bahkan mereka sampai bermalam di sana. Mereka berwasilah kepadanya dan dengan berwasilah itu, maksudnya akan berhasil dan doanya akan makbul. Tidak jarang terjadi manusia berdoa meminta kepada batu, pohon kayu, roh nenek moyang, jin, hantu dan sebagainya. Semua ini digolongkan perbuatan syirik.

Kewajiban seseorang kepada Allah ialah menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasulullah saw bersabda: "Dari Mu'az bin Jabal, Rasulullah saw bersabda, "Ya Muaz, tahukah engkau apakah hak Allah atas hamba-Nya, dan apa pula hak hamba atas Allah?" Saya menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah berkata, "Hak Allah atas hamba-Nya ialah agar hamba-Nya menyembah-Nya dan jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Hak hamba atas Allah ialah bahwa Allah tidak akan mengazab hamba-Nya yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Dalam ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia. Sesudah Allah memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain, selanjutnya Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu peringatan bahwa jasa ibu bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apa pun. Selain ayat ini ada lagi beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu-bapak seperti firman Allah: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Luqman/31:14).

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra'/17:23).

Berbuat baik kepada ibu-bapak mencakup segala-galanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan yang dapat menyenangkan hati mereka keduanya. Berlaku lemah lembut dan sopan santun kepada keduanya termasuk berbuat baik kepadanya. Mengikuti nasihatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga termasuk berbuat baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Allah berfirman: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman/31:15).

Termasuk pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya, sebab keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh semenjak kecil.

Perintah agar selalu berbuat baik kepada ibu bapak selama hayat masih dikandung badan, karena ibu bapak adalah manusia yang paling berjasa, diperintahkan pula agar berbuat baik kepada karib kerabat. Karib kerabat adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan seseorang sesudah ibu bapak, baik karena ada hubungan darah maupun karena yang lainnya.

Kalau seseorang telah dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dengan sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akidah orang itu akan bertambah kuat dan amal perbuatannya akan bertambah baik. Kemudian bila dia telah menunaikan kewajibannya kepada kedua ibu bapaknya dengan ikhlas dan setia, akan terwujudlah rumah tangga yang aman dan damai dan akan berbahagialah seluruh rumah tangga itu.

Rumah tangga yang aman dan damai akan mempunyai kekuatan untuk berbuat baik kepada karib kerabat dan sanak famili. Maka akan terhimpunlah suatu kekuatan besar dalam masyarakat. Dari masyarakat yang seperti ini akan mudah terwujud sifat tolong-menolong dan bantu-membantu, berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang miskin.

Berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin, bukan hanya didorong oleh hubungan darah dan famili, tetapi semata-mata karena dorongan perikemanusiaan yang ditumbuhkan oleh rasa iman kepada Allah. Iman kepada Allah yang menumbuhkan kasih sayang untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin, sebab banyak terdapat perintah Allah di dalam Al-Qur'an yang menyuruh berbuat baik kepada anak yatim dan orang miskin itu. Tangan siapa lagi yang dapat diharapkan oleh mereka itu untuk menolongnya, selain dari orang yang dadanya penuh dengan sifat kasih sayang, yaitu orang yang beriman yang mempunyai rasa perikemanusiaan.

Anak yatim itu tidak mempunyai bapak yang mengurus dan membelanjainya dan orang miskin itu tidak mempunyai daya untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Mungkin karena lemah badannya atau oleh karena tidak cukup pendapatannya dari sehari ke sehari. Agar mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang baik jangan sampai terjerumus ke lembah kehinaan dan nista, setiap manusia yang mempunyai rasa perikemanusiaan dan mempunyai rasa kasih sayang, haruslah bersedia turun tangan membantu dan menolong mereka, sehingga lambat laun derajat hidup mereka dapat ditingkatkan.

Allah juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, kepada teman sejawat, ibnussabil dan hamba sahaya. Tetangga dekat dan yang jauh ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpa setiap hari, bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar-masuk rumahnya. Tetapi ada pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muslim.

Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. karena pada hakikatnya tetangga itulah yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu datang memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.

Saudara dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya, belum tentu dapat diharapkan dengan cepat memberikan pertolongan pada waktu diperlukan, seperti halnya tetangga. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga, jangan sampai terjadi perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga itu beragama lain. Nabi Muhammad saw pernah melayat anak tetangganya yang beragama Yahudi.

Ibnu Umar pernah menyembelih seekor kambing, lalu dia berkata kepada pembantunya, "Sudahkah engkau berikan hadiah kepada tetangga kita orang Yahudi itu?" Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Malaikat Jibril tidak henti-henti menasihati aku, (agar berbuat baik) kepada tetangga,sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberikan hak waris kepada tetangga." (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar).

Banyak hadis yang menerangkan kewajiban bertetangga secara baik di antaranya: "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetanggannya" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Dari Jabir bin Abdullah dia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia merupakan tetangga yang haknya paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak dan ada tetangga yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Adapun tetangga yang hanya mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak bertetangga. Adapun tetangga yang mempunyai dua hak, ialah tetangga Muslim, baginya ada hak sebagai Muslim dan hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim yang ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebagai tetangga, hak sebagai Muslim dan hak sebagai famili." (Riwayat Abu Bakar al-Bazzar).

"Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah, tidak beriman." Rasulullah ditanya orang, "siapa ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Ialah orang yang kejahatannya tidak membuat aman tetangganya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Rasulullah saw bersabda: "Ya Abu Zar, kalau engkau membuat maraq (sop) banyakkanlah kuahnya, kemudian berilah tetanggamu." (Riwayat Muslim dari Abu dzarr).

Yang dimaksud berbuat baik kepada teman sejawat, ialah teman dalam perjalanan, atau dalam belajar, atau dalam pekerjaan yang dapat diharapkan pertolongannya dan memerlukan pertolongan, sehingga hubungan berkawan dan berteman tetap terpelihara. Setia-kawan adalah lambang ukhuwah Islamiyah, lambang persaudaraan dalam Islam.

Berbuat baik kepada ibnu sabil, ialah menolong orang yang sedang dalam perjalanan bukan untuk tujuan maksiat, atau dalam perantauan yang jauh dari sanak famili dan memerlukan pertolongan, pada saat dia ingin kembali ke negerinya. Termasuk ibnu sabil ialah anak yang diketemukan yang tidak diketahui ibu bapaknya. Orang yang beriman wajib menolong anak tersebut, memeliharanya atau menemukan orang tuanya atau familinya, agar anak itu jangan terlunta-lunta hidupnya yang akibatnya akan menjadi anak yang rusak rohani dan jasmaninya.

Berbuat baik kepada hamba sahaya, ialah dengan jalan memerdekakan budak. Apakah tuannya sendiri yang memerdekakannya atau orang lain dengan membelinya dari tuannya, kemudian dimerdekakannya. Pada zaman sekarang ini tidak terdapat lagi hamba sahaya, sebab perbudakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Agama Islam pun tidak menginginkan adanya perbudakan. Karena itu semua hamba sahaya yang ditemui sebelum Islam datang, berangsur-angsur dimerdekakan dari tuannya, sehingga akhirnya habislah perbudakan itu.

Yang dimaksud dengan orang yang sombong dan membanggakan diri dalam ayat ini, ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperlihatkan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraannya tampak kesombongannya melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia, orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang seperti itu termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya akan menyesal. Sifat takabur itu adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menantang Allah. Biasanya orang yang sombong dan takabur itu kasar budi pekertinya dan busuk hatinya. Dia tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap sesama manusia.

Banyak hadis yang mencela orang-orang yang sombong dan takabur, di antaranya, Rasulullah saw bersabda: "Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun sedikit." Berkata seorang sabahat, "Seseorang itu ingin memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus." Berkata Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah itu indah dan senang kepada keindahan. Sifat takabur itu ialah menolak yang benar dan memandang rendah kepada orang lain." (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud).

Apakah yang akan disombongkan manusia, padahal semua yang ada padanya adalah kepunyaan Allah yang dititipkan kepadanya buat sementara. Lambat laun semuanya akan diambil Allah kembali, berikut nyawa dan tubuhnya yang kasar dan semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nantinya.

AYAT KEDUA:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1) 

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah. kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminla satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian. (Q.S. An-Nisa {4}: 1)

Keterangan:

Setelah pada surah sebelumnya Allah menjelaskan bahwa kitab suci merupakan petunjuk jalan menuju kebahagiaan dan bahwa inti seluruh kegiatan adalah tauhid, pada surah ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mensyukuri karunia dan tidak mengkufuri nikmat-Nya. Dialah Allah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu yaitu Adam, dan Allah menciptakan pasangannya yaitu Hawa dari diri-nya yakni dari jenis yang sama dengan Adam; dan dari keduanya, pasangan Adam dan Hawa, Allah memperkembangbiakkan menjadi beberapa keturunan dari jenis laki-laki dan perempuan yang banyak kemudian mereka berpasang-pasangan sehingga berkembang menjadi beberapa suku bangsa yang berlainan warna kulit dan bahasa (Lihat: Surah arRum/30: 22). Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta pertolongan antar sesama, dengan saling membantu, dan juga peliharalah hubungan kekeluargaan dengan tidak memutuskan tali silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu karena setiap tindakan dan perilaku kamu tidak ada yang samar sedikit pun dalam pandangan Allah.

Menjalin persatuan dan menjaga ikatan kekeluargaan adalah dasar ketakwaan yang dapat mengantarkan manusia ke tingkat kesempurnaan.

Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia agar bertakwa kepada Allah, yang memelihara manusia dan melimpahkan nikmat karunia-Nya. Dialah Yang menciptakan manusia dari seorang diri yaitu Adam. Dengan demikian, menurut jumhur mufasir, Adam adalah manusia pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari diri yang satu itu Allah menciptakan pula pasangannya yang biasa disebut dengan nama Hawa. Dari Adam dan Hawa berkembang biaklah manusia. Dalam Al-Qur'an penciptaan Adam disebut dari tanah liat (al-Anam/6:2; as-Sajdah/32:7; Shad/38:71 dan dalam beberapa ayat lagi). Dalam an-Nisa/4:1 disebutkan "... dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya; ..." Kata-kata dalam Surah an-Nisa ayat pertama ini sering menimbulkan salah pengertian di kalangan awam, terutama di kalangan perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Adam, yang sering dipertanyakan oleh kalangan feminis. Ayat itu hanya menyebut ... wa khalaqa minha zaujaha, yang diterjemahkan dengan menciptakan pasangannya dari dirinya; lalu ada yang mengatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari rusuk Adam, dan pernyataan yang terdapat dalam beberapa hadis ini ada yang mengira dari Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an nama Hawa pun tidak ada, yang ada hanya nama Adam. Nama Hawa (Eve) ada dalam Bibel ("Manusia itu memberi nama Hawa kepada isterinya, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup." (Kejadian iii. 20), (Hawwa dari kata bahasa Ibrani heva, dibaca: hawwah, yang berarti hidup). Pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki itu terdapat dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ii. 21 dan 22: "Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu."

Kemudian sekali lagi Allah memerintahkan kepada manusia untuk bertakwa kepada-Nya dan seringkali mempergunakan nama-Nya dalam berdoa untuk memperoleh kebutuhannya. Menurut kebiasaan orang Arab Jahiliah bila menanyakan sesuatu atau meminta sesuatu kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah. Allah juga memerintahkan agar manusia selalu memelihara silaturrahmi antara keluarga dengan membuat kebaikan dan kebajikan yang merupakan salah satu sarana pengikat silaturrahmi.

Ilmu Hayati Manusia (Human Biology) memberikan informasi kepada kita, bahwa manusia dengan kelamin laki-laki mempunyai sex-chromosome (kromosom kelamin) XY, sedang manusia dengan kelamin wanita mempunyai sex-chromosome XX. Ayat di atas menjelaskan bahwa "manusia diciptakan dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya". Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa 'diri yang satu itu tentu berjenis kelamin laki-laki, sebab kalimat berikutnya menyatakan, 'daripadanya diciptakan istrinya. Dari sudut pandang Human Biology hal itu sangatlah tepat, sebab sex-chromosome XY (laki-laki) dapat menurunkan kromosom XY atau XX; sedang kromosom XX (wanita) tidak mungkin akan membentuk XY, karena dari mana didapat kromosom Y? Jadi jelas bahwa laki-laki pada hakikatnya adalah penentu jenis kelamin dari keturunannya. Diri yang satu itu tidak lain adalah Adam.

AYAT KETIGA:

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ (21) 

Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkannya, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Q.S. Ar-Ra’ad {13}: 21)

Keterangan:

Dan orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan, seperti kekerabatan, dan mereka takut kepada Tuhannya dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan takut kepada hisab yang buruk dan berat pada hari Kemudian.

Allah swt menyifati ulul albab dari kalangan orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah suatu kebenaran yang berlaku, sebagai berikut:

a) Sifat pertama: bahwa orang-orang tersebut senantiasa memenuhi janji Allah, dan tidak mau mengingkari perjanjian itu. Yang dimaksud dengan "janji Allah" di sini ialah janji-janji yang telah mereka ikrarkan atas diri mereka, baik mengenai hubungan mereka dengan Allah, maupun hubungan mereka dengan orang lain. Fitrah mereka yang suci, dan hati mereka yang murni mengakui adanya perjanjian itu dan wahyu Allah pun mengharuskan adanya perjanjian tersebut. Mereka tidak mau mengingkari atau pun memungkiri perjanjian yang telah mereka kukuhkan, karena mereka sangat menjauhi sifat-sifat kemunafikan. Betapa pentingnya sifat memenuhi janji ini, oleh Qatadah telah disebutkan bahwa dalam Al-Quran, Allah swt telah menyebutnya sebanyak lebih dua puluh kali.

b) Sifat kedua: mereka memelihara semua perintah Allah dan tidak melanggarnya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak hamba-Nya, termasuk memelihara silaturrahim. Hubungan antara sesama manusia ialah menjalin hubungan tolong-menolong, menjalin cinta dan kasih-sayang, sebagaimana disebutkan dalam hadis: Dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa senang dilapangkan rezekinya dan selalu disebut-sebut kebaikannya, maka hendaklah pelihara hubungan silaturrahim." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Dan hadis Nabi saw: Dari Ibnu Abbas ia berkata, "Bersabda Rasulullah saw, "Sesungguh-nya kebajikan dan menghubungkan silaturrahim itu, kedua-duanya benar-benar meringankan hisab yang buruk di hari kiamat." Kemudian Rasulullah saw membaca ayat ini." (Riwayat al-Khatib dan Ibnu Asakir)

c) Sifat ketiga: mereka benar-benar takut kepada Allah swt. Sifat takut kepada Allah adalah perasaan takut yang dilandasi dengan rasa hormat yang mendorong orang untuk taat kepada-Nya. Sifat ini dimiliki oleh para ulama, dan ciri dari orang-orang "muqarrabin". Dalam hubungan ini Allah swt telah berfirman: Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. (Fathir/35: 28)

d) Sifat keempat: mereka senantiasa takut kepada hisab yang sifatnya merugikan mereka pada hari kiamat, yaitu hasil yang buruk dari amalan mereka di hari kiamat, karena banyaknya kejahatan yang dilakukannya selagi hidup di dunia ini. Oleh sebab itu, mereka senantiasa mawas diri, sebelum dihisab amalannya di akhirat kelak. Mereka selalu membandingkan antara amal-amal mereka yang baik dengan yang buruk, selalu berusaha agar amal yang baik lebih banyak dari perbuatan yang buruk, agar neraca kebajikan mereka di akhirat kelak lebih berat daripada neraca keburukan. Dalam hal ini, Allah telah berfirman: Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. (al-Qariah/101: 6 - 9)

e) Sifat kelima: mereka senantiasa sabar dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan, demi mengharapkan rida Allah. Sabar dalam hal ini berarti menahan diri terhadap segala hal yang tidak disenanginya, baik dengan cara melakukan ketaatan dan menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan agama maupun dengan jalan menjauhi hal-hal yang dilarang agama. Bisa juga berarti bersikap rela menerima segala ketentuan Allah yang telah berlaku berupa musibah dan lain sebagainya. Kesabaran yang diminta dari setiap orang yang berakal dan beriman ialah kesabaran yang dilakukan semata-mata karena mengharapkan keridaan Allah dan ganjaran-Nya, bukan kesabaran yang dibuat-buat karena ingin dipuji dan disebut-sebut. Itulah kesabaran yang sejati, yang menjadi sifat bagi orang-orang yang berakal dan beriman.

f) Sifat keenam: mereka senantiasa mendirikan salat. Arti "mendirikan salat" ialah menunaikan dengan cara yang sebaik-baiknya, dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya, disertai rasa khusyuk dan tawaduk menghadapkan wajah dan hati kepada Allah semata, tidak dibarengi dengan ria, serta memelihara waktu yang telah ditetapkan untuknya. Hal ini hanya dapat dilakukan bila pada saat-saat melakukan salat, kita merasa sedang berdiri sendiri di hadapan Allah swt, Pencipta dan Penguasa semesta alam. Dengan demikian, maka tak ada sesuatu pun yang dipikirkan pada saat itu, kecuali semata-mata bermunajah kepada Allah.

g) Sifat ketujuh: mereka senantiasa menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah dilimpahkan Allah kepada mereka, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan, baik infak wajib seperti terhadap istri, anak, dan karib kerabat maupun infak sunah seperti terhadap fakir miskin. Kenyataan dapat memberikan pengertian kepada kita tentang rahasia yang tersimpan di dalamnya. Al-Quran berulang kali menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah diperolehnya kepada yang memerlukan pertolongan, dan untuk menyokong kepentingan umum. Jika mereka mau melakukannya, niscaya kemiskinan dan kemelaratan dapat dilenyapkan dari kehidupan masyarakat.

h) Sifat kedelapan: mereka senantiasa menolak kejahatan dengan kebajikan, karena kebajikan itu dapat menolak kejahatan. Kenyataan menunjukkan bahwa apabila seseorang dapat bergaul dengan orang lain dengan akrab dan kasih sayang serta menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan, ia tidak akan dimusuhi atau dibenci oleh masyarakatnya. Apabila ia mendapat musibah, maka orang yang pernah mendapat pertolongannya akan segera pula mengulurkan pertolongan kepadanya. Sebaliknya orang yang suka menyakiti orang lain, atau enggan memberikan bantuan dan pertolongan adalah orang yang egois dan tidak menggunakan akalnya. Sikap dan perbuatannya itu hanyalah mempersempit ruang lingkup kehidupannya sendiri, serta menimbulkan kebencian dan kedengkian orang lain terhadap dirinya. Berbuat kebaikan untuk menghindari kejahatan, atau sedapat mungkin membalas perbuatan jahat orang lain dengan berbuat kebajikan atau dengan diam adalah tanda orang yang mau menggunakan akalnya dan bijaksana. Firman Allah: "... dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "salam." (al-Furqan/25: 63)

Dari sini dapat dipahami, betapa tingginya nilai ajaran agama Islam dalam membina hubungan baik antara sesama manusia guna menciptakan kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Pada akhir ayat ini, Allah swt menegaskan bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut pasti akan memperoleh tempat kediaman terakhir yang baik, yaitu surga Jannatun Naim di akhirat kelak di samping kebahagiaan, ketenangan, dan kesejahteraan di dunia ini.

AYAT KEEMPAT:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (8) 

Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mem¬persekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Kulah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. Al-Ankabut {29}: 8)  

Keterangan:

Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan keniscayaan ujian dan cobaan bagi orang-orang yang beriman, berikut ini disebutkan salah satu contoh tersebut, yaitu di saat kedua orang tua yang dicintai memaksa untuk berbuat syirik dan maksiat lainnya. Berbakti kepada orang tua adalah sebuah kewajiban, tetapi ada batas yang tidak boleh dilanggar. Dan Kami wajibkan kepada manusia agar berbakti dengan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya kepada kedua orang tuanya dan menaati keduanya. Dan jika keduanya bersungguh-sungguh memaksamu untuk mempersekutukan Aku dan atau melakukan kemaksiatan dalam bentuk apa pun, dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, atau tidak dapat diterima oleh akal sehat, maka janganlah engkau patuhi keduanya, karena ketaatan kepada manusia tidak boleh dalam bentuk maksiat atau durhaka kepada Tuhan. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu pada hari Kiamat, dan akan Aku beritakan secara rinci kepadamu apa yang telah kamu kerjakan selama di dunia untuk mendapatkan balasan.

Allah memerintahkan manusia berbuat baik kepada orang tua (ibu bapak). Jalan berbuat baik itu ialah dengan memberi nafkah (belanja), memelihara, dan menghormati keduanya dengan penuh kasih sayang, kecuali apabila keduanya mengajak kepada perbuatan syirik. Jadi, batas berbuat baik itu ialah sepanjang hal-hal yang diperintahkan tidak menyangkut kepada perbuatan yang mengandung unsur syirik. Dalam ayat lain disebutkan pula: Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra'/17: 23)

Keterangan yang hampir sama maksudnya diperoleh pula dalam ayat: Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, "Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim." (al-Ahqaf/46: 15)

Untuk memperoleh pengertian yang menyeluruh dari arti yang didapat pada ayat di atas, bisa diperhatikan keterangan Allah dalam ayat di bawah ini: Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman/31: 14-15)

Mengenai larangan taat kepada makhluk dalam berbuat maksiat disebutkan dalam hadis sahih, yakni: Tidak boleh taat kepada makhluk (manusia) dalam mendurhakai Tuhan (Khaliq). (Riwayat Ahmad dari Ali bin Abi thalib)

Maksud perkataan "sesuatu yang tidak engkau ketahui" dalam ayat tersebut ialah tidak adanya pengetahuan tentang soal-soal ketuhanan atau ilahiyah. Dengan kata lain tidak dibenarkan taat mengikuti seseorang, sepanjang tidak diketahui tentang soal yang diikuti itu. Oleh sebab itu, tidak boleh mencontoh sesuatu yang sudah jelas kekeliruannya. Selanjutnya dikatakan semua manusia akan kembali kepada Allah pada hari Kiamat, baik yang kafir maupun yang mukmin, baik yang berbuat baik kepada orang tuanya maupun yang durhaka. Semua amal yang dikerjakan di dunia, akan dibalas oleh Allah, yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan, dan yang berbuat jahat dibalas dengan kejahatan pula.

AYAT KELIMA: 

وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّي ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Q.S. Al-Isra {17}: 23-24)

Keterangan:

Setelah menjelaskan penggolongan manusia menjadi dua golongan; ada yang menghendaki kehidupan dunia saja dan ada yang menghendaki kehidupan akhirat di samping kehidupan dunia, kelompok ayat ini selanjutnya menjelaskan tatakrama pergaulan antar manusia dalam kehidupannya. Ayat ini menyatakan, "Dan Tuhanmu telah menetapkan dan memerintahkan agar kamu wahai sekalian manusia jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dan mereka berada dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kamu menyakiti keduanya, misalnya dengan mengatakan kepada keduanya perkataan "ah", yakni perkataan yang mengandung makna kemarahan atau kejemuan, dan janganlah engkau membentak keduanya jika mereka merepotkan kamu atau berbuat sesuatu yang kamu tidak menyukainya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, yakni perkataan yang baik, yang mengandung penghormatan dan kasih sayang."

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada seluruh manusia, agar mereka memperhatikan beberapa faktor yang terkait dengan keimanan. Faktor-faktor itu ialah:

Pertama, agar manusia tidak menyembah tuhan selain Allah. Termasuk pada pengertian menyembah tuhan selain Allah ialah mempercayai adanya kekuatan lain yang dapat mempengaruhi jiwa dan raga selain yang datang dari Allah. Semua benda yang ada, yang kelihatan ataupun yang tidak, adalah makhluk Allah. Oleh sebab itu, yang berhak mendapat penghormatan tertinggi hanyalah Zat yang menciptakan alam dan semua isinya. Dialah yang memberikan kehidupan dan kenikmatan kepada seluruh makhluk-Nya. Maka apabila ada manusia yang memuja benda ataupun kekuatan gaib selain Allah, berarti ia telah sesat, karena semua benda-benda itu adalah makhluk-Nya, yang tak berkuasa memberikan manfaat dan tak berdaya untuk menolak kemudaratan, sehingga tak berhak disembah.

Kedua, agar manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapak mereka. Penyebutan perintah ini sesudah perintah beribadah hanya kepada Allah mempunyai maksud agar manusia memahami betapa pentingnya berbuat baik terhadap ibu bapak. Juga bermaksud agar mereka mensyukuri kebaikan kedua ibu bapak, betapa beratnya penderitaan yang telah mereka rasakan, baik pada saat melahirkan maupun ketika kesulitan dalam mencari nafkah, mengasuh, dan mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang. Maka pantaslah apabila berbuat baik kepada kedua ibu bapak dijadikan sebagai kewajiban yang paling penting di antara kewajiban-kewajiban yang lain, dan diletakkan Allah dalam urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada-Nya. Allah berfirman: Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua. (an-Nisa'/4: 36)

Sebaliknya, anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya dinyatakan sebagai orang yang berbuat maksiat, yang dosanya diletakkan pada urutan kedua, sesudah dosa orang yang mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain.

Allah swt berfirman: Katakanlah (Muhammad), "Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan berbuat baik kepada ibu bapak. (al-An'am/6: 151)

Allah swt memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tua karena beberapa alasan berikut:

1. Kasih sayang dan usaha kedua ibu bapak telah dicurahkan kepada anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak yang saleh, dan terhindar dari jalan yang sesat. Maka sepantasnyalah apabila kasih sayang yang tiada taranya itu, dan usaha yang tak mengenal susah payah itu mendapat balasan dari anak-anak mereka dengan memperlakukan mereka dengan baik dan mensyukuri jasa baik mereka.

2. Anak-anak adalah belahan jiwa dari kedua ibu bapak.

3. Sejak masih bayi hingga dewasa, pertumbuhan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Maka seharusnyalah anak-anak menghormati dan berbuat baik kepada orang tuanya.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa nikmat yang paling banyak diterima oleh manusia ialah nikmat Allah, sesudah itu nikmat yang diterima dari kedua ibu bapak. Mereka juga penyebab kedua adanya anak, sedangkan Allah adalah penyebab pertama (hakiki). Itulah sebabnya maka Allah swt meletakkan kewajiban berbuat baik kepada ibu bapak pada urutan kedua sesudah kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah.

Sesudah itu Allah swt menetapkan bahwa apabila salah seorang di antara kedua ibu bapak atau kedua-duanya telah berumur lanjut, sehingga mengalami kelemahan jasmani, dan tak mungkin lagi berusaha mencari nafkah, mereka harus hidup bersama dengan anak-anaknya, agar mendapatkan nafkah dan perlindungan. Menjadi kewajiban bagi anak-anaknya untuk memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, serta menghormati mereka sebagai rasa syukur terhadap nikmat yang pernah diterima dari keduanya.

Dalam ayat ini terdapat beberapa ketentuan dan sopan santun yang harus diperhatikan anak terhadap kedua ibu bapaknya, antara lain:

1. Seorang anak tidak boleh mengucapkan kata kotor dan kasar meskipun hanya berupa kata "ah" kepada kedua ibu bapaknya, karena sikap atau perbuatan mereka yang kurang disenangi. Keadaan seperti itu seharusnya disikapi dengan sabar, sebagaimana perlakuan kedua ibu bapaknya ketika merawat dan mendidiknya di waktu masih kecil.

2. Seorang anak tidak boleh menghardik atau membentak kedua ibu bapaknya, sebab bentakan itu akan melukai perasaan keduanya. Menghardik kedua ibu bapak ialah mengeluarkan kata-kata kasar pada saat si anak menolak atau menyalahkan pendapat mereka, sebab tidak sesuai dengan pendapatnya. Larangan menghardik dalam ayat ini adalah sebagai penguat dari larangan mengatakan "ah" yang biasanya diucapkan oleh seorang anak terhadap kedua ibu bapaknya pada saat ia tidak menyetujui pendapat mereka.

3. Hendaklah anak mengucapkan kata-kata yang mulia kepada kedua ibu bapak. Kata-kata yang mulia ialah kata-kata yang baik dan diucapkan dengan penuh hormat, yang menggambarkan adab sopan santun dan penghargaan penuh terhadap orang lain. Oleh karena itu, jika seorang anak berbeda pendapat dengan kedua ibu bapaknya, hendaklah ia tetap menunjukkan sikap yang sopan dan penuh rasa hormat.

(24) Kemudian Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin agar bersikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada kedua orang tua. Yang dimaksud dengan sikap rendah hati dalam ayat ini ialah menaati apa yang mereka perintahkan selama perintah itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Taat anak kepada kedua orang tua merupakan tanda kasih sayang dan hormatnya kepada mereka, terutama pada saat keduanya sangat memerlukan pertolongan anaknya.

Ditegaskan bahwa sikap rendah hati itu haruslah dilakukan dengan penuh kasih sayang, tidak dibuat-buat untuk sekadar menutupi celaan atau menghindari rasa malu pada orang lain. Sikap rendah hati itu hendaknya betul-betul dilakukan karena kesadaran yang timbul dari hati nurani.

Di akhir ayat, Allah swt memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mendoakan kedua ibu bapak mereka, agar diberi limpahan kasih sayang Allah sebagai imbalan dari kasih sayang keduanya dalam mendidik mereka ketika masih kanak-kanak.

Ada beberapa hadis Nabi saw yang memerintahkan agar kaum Muslimin berbakti kepada kedua ibu bapaknya: Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Nabi saw meminta izin kepadanya, agar diperbolehkan ikut berperang bersamanya, lalu Nabi bersabda, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Orang laki-laki itu menjawab, "Ya." Nabi bersabda, "Maka berjihadlah kamu dengan berbakti kepada kedua orang tuamu." (Riwayat Muslim dan al-Bukhari dalam bab al-adab)

Seorang anak belumlah dianggap membalas jasa kedua ibu bapaknya, kecuali apabila ia menemukan mereka dalam keadaan menjadi budak, kemudian ia menebus mereka dan memerdekakannya. (Riwayat Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah)

Saya bertanya kepada Rasulullah saw, "Amal yang manakah yang paling dicintai Allah dan Rasul-Nya?" Rasulullah menjawab, "Melakukan salat pada waktunya." Saya bertanya, "Kemudian amal yang mana lagi?" Rasulullah menjawab, "Berbuat baik kepada kedua ibu bapak." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud)

Di dalam ayat yang ditafsirkan di atas tidak diterangkan siapakah yang harus didahulukan mendapat bakti antara kedua ibu bapak. Akan tetapi, dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa berbakti kepada ibu didahulukan daripada kepada bapak, seperti diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari dan Muslim: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw ditanya, "Siapakah yang paling berhak mendapat perlakuan yang paling baik dariku?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya, "Siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Bapakmu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Berbakti kepada kedua orang tua, tidak cukup dilakukan pada saat mereka masih hidup, akan tetapi terus berlanjut meskipun keduanya sudah meninggal dunia. Adapun tata caranya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah: Bahwa Rasulullah saw ditanya, "Masih adakah kebaktian kepada kedua orang tuaku, setelah mereka meninggal dunia?" Rasulullah saw menjawab, "Ya, masih ada empat perkara, mendoakan ibu bapak itu kepada Allah, memintakan ampun bagi mereka, menunaikan janji mereka, dan meng-hormati teman-teman mereka serta menghubungkan tali persaudaraan dengan orang-orang yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kamu kecuali dari pihak mereka. Maka inilah kebaktian yang masih tinggal yang harus kamu tunaikan, sebagai kebaktian kepada mereka setelah mereka meninggal dunia." (Riwayat Ibnu Majah dari Abu Usaid)

AYAT KEENAM:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) 

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman {31}: 14)

Keterangan:

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya, terutama ibu. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah seiring makin besarnya kandungan dan saat melahirkan, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Jika demikian, bersyukurlah kepada-Ku atas nikmat yang telah Aku karuniakan kepadamu dan bersyukurlah juga kepada kedua orang tuamu karena melalui keduanya kamu bisa hadir di muka bumi ini. Hanya kepada Aku tempat kembalimu dan hanya Aku yang akan membalasmu dengan cara terbaik.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada manusia agar berbakti kepada kedua orang tuanya dengan berusaha melaksanakan perintah-perintahnya dan mewujudkan keinginannya. Pada ayat-ayat lain, Allah juga memerintahkan yang demikian, firman-Nya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. (al-Isra'/17: 23)

Hal-hal yang menyebabkan seorang anak diperintahkan berbuat baik kepada ibu adalah:

1. Ibu mengandung seorang anak sampai ia dilahirkan. Selama masa mengandung itu, ibu menahan dengan sabar penderitaan yang cukup berat, mulai pada bulan-bulan pertama, kemudian kandungan itu semakin lama semakin berat, dan ibu semakin lemah, sampai ia melahirkan. Kekuatannya baru pulih setelah habis masa nifas.

2. Ibu menyusui anaknya sampai usia dua tahun. Banyak penderitaan dan kesukaran yang dialami ibu dalam masa menyusukan anaknya. Hanya Allah yang mengetahui segala penderitaan itu.

Dalam ayat ini yang disebutkan hanya alasan mengapa seorang anak harus taat dan berbuat baik kepada ibunya, tidak disebutkan apa sebabnya seorang anak harus taat dan berbuat baik kepada bapaknya. Hal ini menunjukkan bahwa kesukaran dan penderitaan ibu dalam mengandung, memelihara, dan mendidik anaknya jauh lebih berat bila dibandingkan dengan penderitaan yang dialami bapak dalam memelihara anaknya. Penderitaan itu tidak hanya berupa pengorbanan sebagian dari waktu hidupnya untuk memelihara anaknya, tetapi juga penderitaan jasmani dan rohani. Seorang ibu juga menyediakan zat-zat penting dalam tubuhnya untuk makanan anaknya selama anaknya masih berupa janin di dalam kandungan.

Sesudah lahir ke dunia, sang anak itu lalu disusukannya dalam masa dua tahun (yang utama). Air susu ibu (ASI) juga terdiri dari zat-zat penting dalam darah ibu, yang disuguhkan dengan kasih sayang untuk dihisap oleh anaknya. Dalam ASI ini terdapat segala macam zat yang diperlukan untuk pertumbuhan jasmani dan rohani anak, dan untuk mencegah segala macam penyakit. Zat-zat ini tidak terdapat pada susu sapi. Oleh sebab itu, susu sapi dan yang sejenisnya tidak akan sama mutunya dengan ASI. Segala macam susu bubuk atau susu kaleng tidak ada yang sama mutunya dengan ASI.

Seorang ibu sangat dihimbau untuk menyusui anaknya dengan ASI. Janganlah ia menggantinya dengan susu bubuk, kecuali dalam situasi yang sangat memaksa. Mendapatkan ASI dari ibunya adalah hak anak, dan menyusukan anak adalah suatu kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada ibunya.

Dalam ayat ini, Allah hanya menyebutkan sebab-sebab manusia harus taat dan berbuat baik kepada ibunya. Nabi saw sendiri memerintahkan agar seorang anak lebih mendahulukan berbuat baik kepada ibunya daripada kepada bapaknya, sebagaimana diterangkan dalam hadis: Dari Bahz bin hakim, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, "Aku bertanya ya Rasulullah, kepada siapakah aku wajib berbakti?" Rasulullah menjawab, "Kepada ibumu." Aku bertanya, "Kemudian kepada siapa?" Rasulullah menjawab, "Kepada ibumu." Aku bertanya, "Kemudian kepada siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Kepada ibumu." Aku bertanya, "Kemudian kepada siapa lagi?" Rasulullah menjawab, "Kepada bapakmu. Kemudian kepada kerabat yang lebih dekat, kemudian kerabat yang lebih dekat." (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Adapun tentang lamanya menyusukan anak, Al-Qur'an memerintahkan agar seorang ibu menyusukan anaknya paling lama dua tahun, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat ini, dengan firman-Nya, "dan menyapihnya dalam masa dua tahun." Dalam ayat lain, Allah menentukan masa untuk menyusukan anak itu selama dua tahun. Allah berfirman: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah/2: 233)

Firman-Nya lagi: Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. (al-Ahqaf/46: 15)

Pengertian ayat di atas adalah waktu yang dibutuhkan seorang ibu mengandung anaknya minimal enam bulan, dan masa menyusui dua puluh empat bulan atau dua tahun. Jika keduanya dijumlahkan akan ketemu bilangan 30 bulan.

Al-Qur'an mengajarkan bahwa seorang ibu hendaknya menyusui anaknya dalam masa dua tahun. Pada ayat 233 surah al-Baqarah diterangkan bahwa masa menyusui dua tahun itu adalah bagi seorang ibu yang hendak menyusukan anaknya dengan sempurna. Maksudnya, bila ada sesuatu halangan, atau masa dua tahun itu dirasakan amat berat, maka boleh dikurangi.

Masa menyusui dua tahun mengandung hikmah lainnya, yaitu untuk menjarangkan kelahiran. Dengan menjalankan pengaturan yang alami ini, seorang ibu hanya akan melahirkan paling cepat sekali dalam masa tiga tahun, atau kurang sedikit. Sebab dalam masa menyusui, seorang perempuan pada umumnya sukar untuk hamil kembali.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa maksud dari "berbuat baik" dalam ayat ini adalah agar manusia selalu bersyukur setiap menerima nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan bersyukur pula kepada ibu bapak karena keduanya yang membesarkan, memelihara, dan mendidik serta bertanggung jawab atas diri mereka, sejak dalam kandungan sampai mereka dewasa dan sanggup berdiri sendiri. Masa membesarkan anak merupakan masa sulit karena ibu bapak menanggung segala macam kesusahan dan penderitaan, baik dalam menjaga maupun dalam usaha mencarikan nafkah anaknya.

Ibu-bapak dalam ayat ini disebut secara umum, tidak dibedakan antara ibu bapak yang muslim dengan yang kafir. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa anak wajib berbuat baik kepada ibu bapaknya, apakah ibu bapaknya itu muslim atau kafir.

Di samping apa yang disebutkan di atas, masih ada beberapa hal yang mengharuskan anak menghormati dan berbuat baik kepada ibu bapak, antara lain:

1. Ibu dan bapak telah mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Cinta dan kasih sayang itu terwujud dalam berbagai bentuk, di antaranya ialah membesarkan, mendidik, menjaga, dan memenuhi keinginan-keinginan anaknya. Usaha-usaha yang tidak mengikat itu dilakukan tanpa mengharapkan balasan apa pun dari anak-anaknya, kecuali agar mereka di kemudian hari menjadi anak yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.

2. Anak adalah buah hati dan jantung dari ibu bapaknya, seperti yang disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Rasulullah bersabda, "Fatimah adalah buah hatiku."

3. Sejak dalam kandungan, lalu dilahirkan ke dunia hingga dewasa, kebutuhan makan, minum, pakaian, dan keperluan lain anak-anak ditanggung oleh ibu bapaknya.

Dengan perkataan lain dapat diungkapkan bahwa nikmat yang paling besar yang diterima oleh seorang manusia adalah nikmat dari Allah, kemudian nikmat yang diterima dari ibu bapaknya. Itulah sebabnya, Allah meletakkan kewajiban berbuat baik kepada kedua ibu bapak, sesudah kewajiban beribadah kepada-Nya.

Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan bahwa manusia akan kembali kepada-Nya, bukan kepada orang lain. Pada saat itu, Dia akan memberikan pembalasan yang adil kepada hamba-hamba-Nya. Perbuatan baik akan dibalas pahala yang berlipat ganda berupa surga, sedangkan perbuatan jahat akan dibalas dengan azab neraka.

Adapun haditsnya antara lain:

HADITS PERTAMA:

وعن أَبي عبد الرحمان عبد الله بن مسعود -رضي الله عنه-، قَالَ: سألتُ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم-: أيُّ العَمَلِ أحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: ((الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا))، قُلْتُ: ثُمَّ أي؟ قَالَ: ((بِرُّ الوَالِدَيْنِ))، قُلْتُ: ثُمَّ أيٌّ؟ قَالَ: ((الجِهَادُ في سبيلِ الله)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abdullah bin Mas'ud -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, "Aku bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Amal apakah yang paling disukai Allah?" Beliau menjawab, "Salat pada waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau bersabda, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa?" Beliau bersabda, "Jihad di jalan Allah." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Ibnu Mas'ud -raḍiyallāhu 'anhu- bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengenai berbagai macam ketaatan kepada Allah, manakah yang paling disukai Allah -Ta'ālā-? Semakin amal itu disukai Allah maka semakin banyak pahalanya. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda -menjelaskan-,"Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah -Ta'ālā- adalah salat fardu pada waktunya sesuai dengan yang ditetapkan oleh pembuat syariat (Allah). Sebab itu berarti bersegera memenuhi seruan Allah -Ta'ālā-, melaksanakan perintah-Nya, dan memberikan perhatian terhadap kewajiban yang agung ini. Di antara kecintaan Ibnu Mas'ud -raḍiyallāhu 'anhu- kepada kebaikan, ia tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi dia menanyakan tingkatan kedua dari ketaatan yang disukai Allah. Beliau bersabda, "Berbakti kepada kedua orang tua." Yang pertama mutlak hak Allah dan kedua mutlak hak kedua orang tua. Hak kedua orang tua datang setelah hak Allah. Bahkan di antara bentuk pengagungan Allah adalah Dia menggandengkan hak dan kebajikan keduanya dengan mengesakan-Nya dalam berbagai tempat dalam Alquran Al-Karim karena keduanya memiliki hak yang wajib sebagai imbalan atas pengorbanan keduanya yang menjadi sebab keberadaanmu, pendidikanmu, pemberian makanmu, kasih dan sayang keduanya padamu. Selanjutnya dia meminta tambahan kepada orang yang tidak kikir (Muhammad) mengenai tingkatan selanjutnya dari rangkaian amal-amal yang utama ini. Beliau bersabda, "Jihad di jalan Allah." Sebab, jihad merupakan puncak dan pilar Islam. Islam tegak di atasnya, dan dengannya kalimatullah meninggi, dan agama-Nya tersebar. Dan dengan meninggalkan jihad -kita berlindung kepada Allah dari ini- merupakan kehancuran Islam, kemunduran pemeluknya, kehilangan kehormatannya, terampasnya kerajaannya dan lenyapnya kekuasaan dan negaranya. Jihad merupakan kewajiban yang kuat atas setiap Muslim. Sesungguhnya orang yang tidak pernah berperang dan tidak pernah terlintas dalam dirinya untuk berjihad, maka ia mati dalam sifat kemunafikan. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Tanda-tanda orang yang taat kepada Allah adalah orang yang shalat tepat waktu. Itu adalah kewajiban kepada Allah, sedangkan kewajiban kepada manusia yang paling utama adalah kepada orang tua, dan bentuk pengorbanan yang paling mulia adalah jihad di jalan Allah.

HADITS KEDUA: 

وعن أَبي هريرة -رضي الله عنه-، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِداً إلاَّ أنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكاً، فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ)). رواه مسلم

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seorang anak tidak akan bisa membalas (jasa) bapaknya kecuali jika ia menemukannya dalam sebagai budak lalu membelinya dan memerdekakannya." (H.R. Muslim)

Keterangan: 

Seorang anak tidak akan bisa menunaikan hak bapaknya yang menjadi kewajiban dirinya dan tidak akan bisa membalas kebaikannya kecuali jika ia menemukan bapaknya dalam keadaan menjadi budak lalu memerdekakannya.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Jasa orang tua kepada anaknya tidak dapat diukur dengan materi.

2. Memerdekakan orang tua oleh anaknya bukanlah dengan membelinya. Tetapi dengan cinta, berbakti dan pengorbanan dalam upaya membebaskan orang tuanya dari perbudakan.

HADITS KETIGA: 

وعنه أيضاً -رضي الله عنه-: أن رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Seseorang yang berupaya menyempurnakan imannya dalam bentuk perbuatan, maka Rasulullah saw. ajarkan diantaranya memuliakan tetangga, menyambungkan hubungan kekeluargaan, dan berkata yang baik.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Iman terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. 

2. Islam menyerukan kepada sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dikalangan individu masyarakat muslim.

3. Termasuk kesempurnaan iman adalah perkataan yang baik dan diam dari selainnya.

4. Berlebih-lebihan dalam pembicaraan dapat menyebabkan kehancuran, sedangkan menjaga pembicaraan merupakan jalan keselamatan. 

5. Islam sangat menjaga agar seorang muslim berbicara apa yang bermanfaat dan mencegah perkataan yang diharamkan dalam setiap kondisi. 

6. Tidak memperbanyak pembicaraan yang diperbolehkan, karena hal tersebut dapat menyeret kepada perbuatan yang diharamkan atau yang makruh. 

7. Termasuk kesempurnaan iman adalah menghormati tetangga dan memperhatikan serta tidak menyakitinya. 

8. Wajib berbicara saat dibutuhkan, khususnya jika bertujuan menerangkan yang haq dan beramar ma’ruf nahi munkar. 

9. Memuliakan tamu termasuk di antara kemuliaan akhlak dan pertanda komitmennya terhadap syariat Islam. 

10. Anjuran untuk mempergauli orang lain dengan baik.

HADITS KEEMPAT: 

وعنه، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((إنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ الخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مُقَامُ العَائِذِ بِكَ مِنَ القَطِيعةِ، قَالَ: نَعَمْ، أمَا تَرْضَيْنَ أنْ أصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ لَكِ، ثُمَّ قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((اقْرَؤُوا إنْ شِئْتمْ: {فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ} [محمد : 22 - 23]. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Setelah Allah menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berkata; 'Inikah tempat bagi yang berlindung dari terputusnya silaturahim (Menyambung silaturahim).' Allah menjawab: 'Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu? ' Rahim menjawab; 'Tentu, wahai Rabb' Allah berfirman: 'ltulah yang kamu miliki.' Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Jika kamu mau, maka bacalah ayat berikut ini: Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah, lalu dibuat tuli dan dibutakan penglihatannya. (Q.S Muhammad: 22-23). (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Sabda Nabi: "Allah menciptakan makhluk, ketika Allah telah merampungkannya", yakni, setelah Allah selesai menciptakan makhluk. Ini menunjukkan bahwa penciptaan itu terjadi pada waktu yang ditentukan, meskipun kekuasaan Allah tidak ada batasnya, dan tidak ada sesuatu pun yang membuatnya lalai dari sesuatu yang lain. Hanya saja hikmah-Nya mengharuskan perbuatan-Nya itu ada waktu tertentu. Ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Jika Dia hendak melakukan sesuatu, Dia pun melakukannya. Maka sabda Nabi, "ketika Allah telah merampungkannya", tidak berarti bahwa Allah telah selesai dari menciptakan segala sesuatu, tetapi makhluk-makhluk Allah -Ta'ālā- masih terus ada bersambung, hanya saja itu sudah diketahui oleh ilmu-Nya, takdir-Nya, dan penulisan-Nya. Kemudian makhluk-makhluk tersebut ada karena kehendak-Nya, sehingga tidak mungkin hal itu ada melainkan telah diketahui oleh ilmu-Nya, takdir-Nya, dan dituliskan-Nya, lalu Dia berkehendak maka hal itu ada. Sabda Nabi, "Maka berdirilah rahim lalu memegang pinggang Ar-Raḥmān (Allah Yang Maha Pengasih), dan Allah berfirman kepadanya, "Menyingkirlah!" Perbuatan yang disandarkan kepada rahim yaitu berdiri dan berkata, secara zahir hadis menunjukkan bahwa perbuatan benar adanya secara lahirnya, meskipun rahim itu adalah makna yang ada pada manusia. Hanya saja kekuasaan Allah tidak bisa diukur oleh nalar manusia. Secara global hadis ini termasuk hadis-hadis sifat di mana para ulama telah menetapkan agar hadis itu dipahami apa adanya, dan mereka menyanggah orang yang menafikan keharusannya. Makna lahir dari hadis ini tidak berarti bahwa Allah memiliki sarung dan selendang sejenis pakaian yang dikenakan oleh manusia yang dibuat dari kulit, rami/lenan, kapas dan sebagainya. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." Sabdanya, "Rahim berkata, "Ini adalah tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari pemutus kekerabatan." Ini tempat paling agung, dan orang yang berlindung kepada Allah adalah orang yang memohon perlindungan kepada pelindung paling agung. Ini merupakan dalil pengagungan bersilaturahmi, dan besarnya (dosa) pemutus kekerabatan. "Al-Qaṭī'ah, artinya tidak menyambung." Al-Washlu" artinya berbuat baik kepada kerabat, memperlihatkan cinta kepadanya, dekat dengannya, membantunya, mencegah hal yang menyakitinya, dan berusaha keras untuk mendatangkan apa yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Sabdanya, Allah berfirman, "Tidakkah engkau rida Aku menyambung orang yang menyambungmu, dan memutus orang yang memutusmu?" Rahim menjawab, "Tentu saja, wahai Rabbku." Allah berfirman, "Itu untukmu." Orang yang menyambung kekerabatannya, niscaya Allah menyambungnya. Orang yang disambung kekerabatannya oleh Allah, berarti dia sampai kepada segala kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, dan pasti akhirnya adalah berdekatan dengan Rabbnya di surga Firdaus. Sebab, hubungan tidak berakhir kecuali sampai ke sana sehingga dia dapat melihat wajah Rabbnya Yang Mulia. Orang yang memutus kekerabatannya, niscaya Allah memutusnya. Orang yang diputus kekerabatannya oleh Allah maka dialah orang yang terputus. Dia bersama musuh Allah, yaitu setan yang terusir dan terkutuk.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Allah melarang kepada hamba-Nya untuk memutuskan hubungan kekeluargaan.

2. Cara untuk memelihara hubungan kekeluargaan adalah dengan saling berkunjung, membantu, dan memperhatikan keperluannya.

3. Pemahaman memelihara silaturahmi ada yang mengatakan hubungan silaturahmi dengan kerabat karena ada hubungan mahram, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa menjalin tali silaturahmi itu semua kerabat.

HADITS KELIMA: 

وعنه -رضي الله عنه-، قَالَ: جاء رجل إِلَى رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، فَقَالَ: يَا رَسُول الله، مَنْ أحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: ((أُمُّكَ)) قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ((أُمُّكَ))، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ((أُمُّكَ))، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ((أبُوكَ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

وفي رواية: يَا رَسُول الله، مَنْ أَحَقُّ بحُسْنِ الصُّحْبَةِ؟ قَالَ: ((أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبَاكَ، ثُمَّ أدْنَاكَ أدْنَاكَ)).

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Seorang lelaki datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu berkata,"Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku pergauli dengan baik?" Beliau bersabda, "Ibumu." Orang itu bertanya lagi, "Lalu siapa?" Beliau menjawab, "Ibumu." Orang itu bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Nabi bersabda, "Ibumu." Orang itu bertanya lagi, "Lalu siapa?" Beliau bersabda, "Bapakmu." Muttafaq 'alaih. Dalam riwayat lain disebutkan, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak aku pergauli dengan baik?" Beliau menjawab, "Ibumu, lalu ibumu, lalu ibumu, lalu bapakmu. Lalu orang yang terdekat denganmu, dan yang terdekat denganmu." 

Keterangan:

Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah saw. telah menegaskan kepada umatnya bahwa orang yang paling berhak kita perlakukan dengan baik dan muliakan adalah ibu. Bahkan beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitabnya Fathul Bari mengutip pendapat Ibnu Battal tentang alasan Nabi saw. mengulang kata ibu tiga kali di dalam sabdanya tersebut. Menurut Ibnu Battal, hal ini disebabkan karena sosok ibulah yang menanggung tiga kesulitan. Yakni ketika mengandung, melahirkan, dan menyusui

Tiga hal inilah yang harus ditanggung sendirian oleh seorang ibu. Sementara bapak hanya ikut serta mendidik anak bersama – sama dengan ibu. Ibulah yang harus merasakan beratnya mengandung. Selama sembilan bulan ia pergi kemana-mana dengan membawa perut yang besar. Ditambah lagi dengan kaki yang membengkak.

Kemudian dialah yang harus menanggung beratnya proses melahirkan. Bahkan, ia harus bertaruh dengan nyawanya sendiri. Belum lagi di zaman modern ini, banyak wanita yang harus menjalani melahirkan anaknya dengan jalan operasi. Ia rela perutnya tersentuh sayatan pisau untuk dibedah, dan dijahit Kembali.

Setelah itu, dialah yang harus menanggung untuk menyusui anaknya selama dua tahun lamanya. Ia rela terbangun di malam hari karena anaknya menangis minta minum. Dan ia harus menjaga makanan dan minumannya agar kualitas asi untuk bayinya baik.

Demikianlah alasan Nabi mengulang kata ibu tiga kali menurut Ibnu Battal yang dikutip oleh imam Ibnu Hajar sebagaimana tersebut di atas. Oleh karena itu, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa sosok ibu lebih harus diutamakan daripada bapak dengan tanpa mengurangi hormat kepadanya. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Melalui hadits ini ditegaskan bahwa orang yang seharusnya paling diperhatikan adalah ibunya. Muliakanlah mereka, kemudian yang lainnya.

2. Memuliakan ibu dengan cara memberi nafkah, jika anaknya laki-laki. Cara lainnya adalah dengan membahagiakan hatinya dengan kesalehan.

HADITS KEENAM: 

وعنه، عن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((رغِم أنفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ مَنْ أدْرَكَ أبَويهِ عِنْدَ الكِبَرِ، أَحَدهُما أَوْ كِليهمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ)). رواه مسلم

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwasanya Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Celakalah, kemudian celakalah, kemudian celakalah, (yaitu) orang yang mendapati kedua orangtuanya di usia lanjut, salah satunya atau keduanya, namun hal itu tidak dapat memasukkannya ke surga.” (H.R. Muslim)

Keterangan:

Hak kedua orangtua sangat agung. Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- menggandengkannya dengan hak-Nya yang menjadi tujuan utama penciptaan jin dan manusia, “Dan sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua.” Maka Allah memerintahkan untuk menyembah-Nya serta berwasiat kepada para anak dan memerintahkan mereka agar berbakti dan berbuat baik kepada kedua orangtua mereka, dalam perkataan dan perbuatan. Hal itu, karena mereka telah mengurusinya dan mendidiknya serta begadang demi ketenangannya. Tentu saja, balasan kebaikan itu tidak lain adalah kebaikan. Makna hadis ini adalah: bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mendoakan kebinasaan sebanyak 3 kali untuk orang yang mendapati kedua orangtuanya atau salah satunya, namun hal itu tidak masuk surga karena tidak berbakti, berbuat baik dan menaati kedua orangtuanya secara makruf. Maka ketaatan, berbakti dan berbuat baik kepada kedua orangtua adalah salah satu jalan yang melindungi (kita) dari neraka, sedang durhaka kepada keduanya merupakan sebab masuk neraka, jika (pelakunya) tidak mendapatkan rahmat Allah -Ta'ālā-.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Kewajiban anak terhadap orang tua adalah berbakti kepada mereka. Yang paling utama adalah tidak menyakiti hati mereka, perhatian, dan perlakuan terhadap keduanya sangat dibutuhkan.

2. Alangkah ruginya orang yang tidak sempat berbakti kepada orang tua karena sifat durhakanya kepada mereka.

HADITS KETUJUH: 

وعنه -رضي الله عنه-: أن رجلاً قَالَ: يَا رَسُول الله، إنّ لِي قَرابةً أصِلُهُمْ وَيَقْطَعُوني، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ، وَأحْلَمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ، فَقَالَ: ((لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذلِكَ)). رواه مسلم

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai beberapa orang kerabat. Saya menyambung hubungan tali kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka memutuskannya dariku. Aku berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk kepadaku. Aku senantiasa berbuat ramah kepada mereka, tetapi mereka tidak tahu diri. Beliau bersabda, "Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, maka seakan-akan engkau menyuapkan abu panas ke mulut mereka. Allah senantiasa menolongmu terhadap mereka, jika kamu tetap berbuat demikian." (H.R. Muslim)

Keterangan:

Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai beberapa orang kerabat. Saya menyambung hubungan tali kekeluargaan dengan mereka, tetapi mereka memutuskannya dariku. Aku berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat buruk kepadaku. Aku senantiasa berbuat ramah kepada mereka, tetapi mereka tidak tahu diri." Artinya, apa yang harus aku perbuat?" Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Seandainya apa yang kau katakan itu benar, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas ke mulut mereka. Allah senantiasa menolongmu terhadap mereka, jika kamu tetap berbuat demikian." Maksudnya Penolong. Allah menolongmu terhadap mereka meskipun di masa mendatang. Al-Mallu adalah abu panas. Tusiffuhum artinya menyuapkan abu panas ke dalam mulut mereka. Ini merupakan ungkapan perumpamaan bahwa orang ini mendapatkan pertolongan menghadapi mereka. Orang yang menyambung silaturahmi bukanlah orang yang membalas dengan sepadan kepada orang yang menyambungnya, tetapi orang yang bersilaturahmi sebenarnya adalah orang yang jika hubungan kekerabatannya diputus, ia menyambungnya. Inilah orang yang benar-benar bersilaturrahmi. Hendaknya manusia sabar dan mengharap pahala dengan adanya tindakan menyakitkan dari kerabat, tetangga, para sahabatnya dan sebagainya. Allah akan senantiasa menolongnya menghadapi mereka. Dialah orang yang beruntung, sedangkan mereka adalah orang-orang yang merugi.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Dianjurkan seorang muslim itu senantiasa berbuat baik kepada siapapun, sekalipun kepada orang yang pernah berbuat jahat kepada dirinya. Harapannya dengan perlakuan yang baik akan menyadarkan orang yang jahat itu akan kekeliruannya.

HADITS KEDELAPAN: 

وعن أنسٍ -رضي الله عنه-: أن رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((من أحَبَّ أنْ يُبْسَطَ لَهُ في رِزْقِهِ، ويُنْسأَ لَهُ في أثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Hadis ini mengandung motivasi untuk menyambung tali persaudaraan (silaturahim) sekaligus menjelaskan beberapa efek positifnya di samping mendapatkan rida Allah -Ta’ālā- yaitu bahwa ia merupakan faktor untuk mendapatkan pahala yang disegerakan berupa tercapainya apa yang ia dambakan, dan juga menjelaskan bahwa silaturahim dapat melapangkan rezeki dan memanjangkan umur. Makna lahir hadis ini menurut sebagian kalangan kontradiktif dengan firman Allah, “Allah tidak akan mengundur kematian seseorang jika memang ajalnya telah tiba.” Akan tetapi bisa dijawab bahwa ajal seseorang memang telah ditentukan berdasarkan sebab-sebabnya. Jika kita memperkirakan bahwa seseorang dibatasi usianya enam puluh tahun jika dia mau silaturahmi dan hanya empat puluh tahun jika memutus tali persaudaraan; maka bila ia benar-benar menyambung tali silaturahmi, niscaya Allah akan menambahkan umurnya dari umur (40 tahun) yang ditentukan baginya bila ia tidak mau silaturahmi, (sehingga menjadi 60).  

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Keutamaan orang yang suka bersilaturahmi adalah mendapatkan keberkahan dalam umurnya dan diluaskan rezekinya.

2. Makna dipanjangkan umurnya atau ditunda ajalnya dalam arti sebenarnya, juga diberi berkah dalam umurnya. Sedangkan diluaskan rezekinya adalah ditambah kadar rezekinya atau bertambah berkah rezekinya.

HADITS KESEMBILAN: 

وعنه، قَالَ: كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أكْثَرَ الأنْصَارِ بالمَدينَةِ مَالاً مِنْ نَخل، وَكَانَ أحَبُّ أمْوَاله إِلَيْهِ بَيْرَحاء، وَكَانَتْ مسْتَقْبَلَةَ المَسْجِدِ، وَكَانَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- يَدْخُلُهَا، وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّب، فَلَمَّا نَزَلَتْ هذِهِ الآيةُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران : 92] قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رسولِ الله -صلى الله عليه وسلم-، فَقَالَ: يَا رَسُول الله، إنَّ الله تبارك وتَعَالَى، يقول: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} وَإنَّ أَحَبَّ مَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَاءُ، وَإنَّهَا صَدَقَةٌ للهِ تَعَالَى، أرْجُو بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ الله تَعَالَى، فَضَعْهَا يَا رَسُول الله، حَيْثُ أرَاكَ الله. فَقَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((بَخ! ذلِكَ مَالٌ رَابحٌ، ذلِكَ مَالٌ رَابحٌ! وقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ، وَإنِّي أرَى أنْ تَجْعَلَهَا في الأقْرَبينَ))، فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أفْعَلُ يَا رَسُول الله، فَقَسَّمَهَا أَبُو طَلْحَةَ في أقَارِبِهِ وبَنِي عَمِّهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Anas bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, "Abu Ṭalḥah adalah seorang sahabat Ansar yang terkaya di Madinah karena pohon kurma yang dimilikinya. Sedangkan harta yang paling disukainya adalah kebun Bairuḥā` yang terletak di dekat mesjid. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sering masuk ke kebun itu dan minum air bersih yang ada di dalamnya." Anas berkata, "Ketika turun ayat, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dari harta yang kamu cintai." Lantas Abu Ṭalḥah mendatangi Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dari harta yang kamu cintai." Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha'. Maka kebun itu aku sedekahkan untuk Allah -Ta'ālā-. Aku mengharapkan kebajikan dan pahala dari Allah. Untuk itu, pergunakanlah wahai Rasulullah sesuai petunjuk Allah kepadamu!" Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Aku sarankan agar kamu membagikannya kepada para kerabatmu!" Abu Ṭalḥah berkata, "Wahai Rasulullah, saya akan melaksanakan petunjukmu." Selanjutnya Abu Ṭalḥah membagi-bagi kebun itu kepada kerabat dan anak-anak pamannya. (H.R. Muttafaq Alaih)  

Keterangan:

Abu Ṭalḥah adalah seorang sahabat Ansar yang terkaya di Madinah karena pohon kurma yang dimilikinya. Dia memiliki satu kebun di depan masjid dan di dalamnya ada air yang segar. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sering masuk ke kebun itu dan minum air darinya. Saat turun firman Allah -Ta'ālā-, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dari harta yang kamu cintai." Abu Ṭalḥah segera datang cepat-cepat kepada Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menurunkan firman-Nya, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuḥā` - ini adalah nama kebunnya-. Sesungguhnya aku menyerahkan kebun itu di hadapanmu sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda dengan penuh kagum, "Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Aku sarankan agar kamu membagikannya kepada para kerabatmu!" Abu Ṭalḥah pun melakukannya dan membagi-bagikan kebun itu kepada para kerabatnya dan anak-anak pamannya. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Orang yang memiliki kemuliaan akhlak dan ilmu agar dipersilahkan memasuki perkebunan untuk berteduh, memakan buahnya, dan beristirahat, terlebih pemilik kebun senang dengan kehadirannya.

2. Berinfaklah dengan harta yang dicintai.

3. Keutamaan para sahabat Nabi dalam menerima instruksi dari Nabi saw.

4. Pembagian harta waris dan sedekah agar bisa terlaksana sesuai dengan perintah dan contoh Nabi saw., sebaiknya diserahkan kepada ahlinya.

5. Mendukung dan memotivasi orang yang berbuat kebaikan agar tidak berhenti melakukan kebaikannya. Caranya dengan memujinya, mendoakannya, dan menampakkan kesenangan atas kebaikan yang telah ia terima.

6. Sedekah yang paling mulia adalah kepada keluarga dan para kerabat, kemudian kepada orang yang membutuhkannya.

HADITS KESEPULUH: 

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما، قَالَ: أقبلَ رَجُلٌ إِلَى نَبيِّ الله -صلى الله عليه وسلم-، فَقَالَ: أُبَايِعُكَ عَلَى الهِجْرَةِ وَالجِهَادِ أَبْتَغي الأجْرَ مِنَ الله تَعَالَى. قَالَ: ((فَهَلْ لَكَ مِنْ وَالِدَيْكَ أحَدٌ حَيٌّ ؟)) قَالَ: نَعَمْ، بَلْ كِلاهُمَا. قَالَ: ((فَتَبْتَغي الأجْرَ مِنَ الله تَعَالَى؟)) قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ((فارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ، فَأحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، وهذا لَفْظُ مسلِم.

وفي رواية لَهُمَا: جَاءَ رَجُلٌ فَاسْتَأذَنَهُ في الجِهَادِ، فقَالَ: ((أحَيٌّ وَالِداكَ؟)) قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ((فَفيهِمَا فَجَاهِدْ))

Dari Abdullah bin 'Amru -raḍiyallāhu 'anhuma- secara marfū', seseorang mendatangi Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu berkata, "Aku berbaiat kepadamu untuk hijrah dan jihad demi mencari pahala dari Allah Ta'ālā." Beliau bertanya, "Apakah ada di antara kedua orang tuamu ada yang masih hidup?" Dia menjawab, "Ya, bahkan keduanya". Beliau bersabda, "Apakah engkau ingin pahala dari Allah -Ta'ālā-?" Dia berkata, "Ya". Beliau bersabda: "Pulanglah kepada kedua orang tuamu dan dampingi mereka dengan baik!". Dalam riwayat lain milik keduanya (Bukhari dan Muslim): Seseorang datang dan meminta izin kepada beliau (Nabi) untuk berjihad. Maka Nabi bersabda, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Dia berkata: "Ya" Beliau bersabda, "Berjihadlah untuk (berbakti pada) keduanya!" 

Keterangan:

Seseorang datang kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan mengabarkan kepadanya tentang keinginan dan kecintaannya untuk jihad dan hijrah di jalan Allah Ta'ālā. Namun orang ini meninggalkan kedua orang tuanya. Disebutkan dalam riwayat Abu Daud, "Kedua (orang tuanya) menangis" karena takut anaknya akan binasa. Maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bertanya kepadanya, "Apakah ada di antara kedua orang tuamu ada yang masih hidup?" Dia berkata, "Ya, bahkan kedua-duanya." Beliau bertanya, "Apakah engkau mencari pahala dari Allah -Ta'ālā-?" Dia menjawab, "Ya". Beliau bersabda, "Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan pergaulilah keduanya dengan baik!" Dalam riwayat Abu Daud (beliau bersabda), "Kembalilah kepada keduanya, buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuatnya menangis." Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menunjukkan kepadanya amalan yang lebih utama dan wajib baginya, yaitu kembali kepada kedua orang tuanya dan mempergaulinya dengan baik. Karena hal itu termasuk berjihad dengan jiwa untuk melayaninya, meraih ridanya dan taat kepadanya, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim, "Berjihadlah pada keduanya!" Dalam hadis yang lain terdapat lafal yang jelas bahwa berbakti pada kedua orang tua dan ketaatan serta kebaikan pada keduanya adalah lebih utama dari jihad di jalan Allah seperti tercantum dalam riwayat Ibnu Umar -raḍiyallāhu 'anhumā-, ia berkata, Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- guna menanyakan tentang amalan terbaik, Beliau menjawab, "Salat". Dia bertanya lagi, "Lalu apa?" Beliau jawab, "Jihad". Dia berkata, "Aku masih punya orang tua." Beliau bersabda, "Baktimu kepada kedua orang tuamu adalah lebih baik!" HR. Ibnu Hibban. Hadis ini menunjukkan bahwa bakti pada kedua orang tua lebih utama dari jihad, kecuali jika jihadnya fardu 'ain maka ini lebih didahulukan dari berbakti kepada keduanya karena menjadi wajib bagi individu. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Hijrah itu hukumnya wajib jika situasi mengharuskan hijrah, tetapi jika harus meninggalkan orang tua yang sudah lemah, maka dahulukanlah mereka. Tetapi jika kedua orang tuanya berbeda keyakinan dan membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tinggalkanlah sebagaimana yang pernah dilakukan para sahabat.

2. Wajibnya berbakti kepada orang tua sifatnya individual (fardu ain), sedangkan wajibnya hijrah bersifat kolektif (fardu kifayah).

HADITS KESEBELAS: 

وعنه، عن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافِىء، وَلكِنَّ الوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا)). رواه البخاري

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra., Nabi saw. bersabda: "Orang yang menyambung silaturahmi bukanlah orang yang membalas jasa kebaikan, tetapi orang yang menyambung silaturahmi adalah orang yang kekerabatannya diputus, lalu ia menyambungnya."  (H.R. Bukhari)

Keterangan:

Maksud sabda Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: "Orang yang menyambung silaturahmi bukanlah orang yang membalas jasa kebaikan" adalah bahwa manusia yang sempurna dalam silaturahmi dan berbuat baik kepada tetangga bukanlah orang yang membalas kebaikan dengan kebaikan, tetapi orang yang menyambung silaturahmi secara sempurna adalah orang yang apabila diputuskan hubungan silaturahminya, ia menyambungnya, meskipun mereka berbuat buruk kepadanya, bahkan ia membalas tindakan buruk tersebut dengan berbuat baik kepada mereka. Inilah orang yang benar-benar melakukan silaturahmi. Hendaknya manusia bersabar dan mengharap pahala dari Allah atas tindakan menyakitkan yang ia dapatkan dari kerabatnya, tetangganya, para sahabatnya, dan selain mereka; sebab Allah akan terus-menerus menolongnya dalam menghadapi mereka, dan dirinyalah orang beruntung, sedangkan mereka adalah orang-orang yang merugi. Silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, membantu kebutuhan, menghilangkan bahaya, berwajah cerah, dan mendoakan mereka. Arti komprehensifnya yaitu memberikan kebaikan semampunya kepada mereka dan mencegah keburukan terhadap mereka sesuai kemampuan. Islam banyak menegaskan tentang silaturahmi, hanya saja orang yang meninggalkannya demi tindakan preventif atau hukuman tidak termasuk memutuskan silaturahmi. Contohnya, orang yang memandang bahwa dengan meninggalkan silaturahmi, kerabatnya tersebut diharapkan dapat kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan pelanggaran-pelanggaran agama. Juga dengan alasan kekhawatiran terhadap diri dan keluarga; yaitu ketika ia melakukan silaturahmi dengan kerabatnya yang melakukan pelanggaran-pelanggaran syariat, ia khawatir kemungkaran itu akan berpindah kepadanya atau kepada orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Tetaplah konsisten bersilaturahmi dengan siapa saja, sekalipun dengan orang yang memutuskan silaturahmi.

HADITS KEDUA BELAS: 

وعن عائشة، قَالَتْ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالعَرْشِ تَقُولُ: مَنْ وَصَلَنِي، وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي، قَطَعَهُ اللهُ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Aisyah ra., Nabi saw. bersabda: “Rahim itu menggantung di Arsy, seraya berkata, “Siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya, dan siapa yang memutusku, maka Allah akan memutusnya.” (H.R. Muttafaq Alaih)  

Keterangan:

Dengan melihat pentingnya silaturahim di atas, maka pertanyaannya adalah: Sudahkah kita berlemah lembut terhadap kerabat kita? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan saudara kita? Sudahkah kita mengunjungi keluarga besar kita? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekadar meringankan yang mereka butuhkan? Semoga para muslimah termasuk yang menjaga tali silaturahim. Silaturahim menjadi faktor kuat yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai sebab lapangnya rezeki orang yang menyambungnya, serta menjadikannya sebab keberkahan dan panjangnya umur untuk bisa melakukan amalan-amalan yang saleh, dan mengambil bekal dari kehidupan yang sementara ini menuju negeri yang kekal dan abadi.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Menyambungkan silaturahmi adalah perbuatan mulia dan Allah mengancam orang yang memutuskan silaturahmi.

HADITS KETIGA BELAS: 

وعن أم المؤمنين ميمونة بنتِ الحارث رضي الله عنها: أنَّهَا أعْتَقَتْ وَليدَةً وَلَمْ تَستَأذِنِ النَّبيَّ -صلى الله عليه وسلم-، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُهَا الَّذِي يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ، قَالَتْ: أشَعَرْتَ يَا رَسُول الله، أنِّي أعتَقْتُ وَليدَتِي؟ قَالَ: ((أَوَ فَعَلْتِ؟)) قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: ((أما إنَّكِ لَوْ أعْطَيْتِهَا أخْوَالَكِ كَانَ أعْظَمَ لأجْرِكِ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Ummul Mu'minin, Maimūnah binti Al-Ḥāriṣ -raḍiyallāhu 'anhā- bahwasanya ia memerdekakan seorang hamba sahayanya (perempuan) tanpa meminta izin lebih dahulu kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Ketika tiba giliran malam beliau menginap bersamanya, Maimunah berkata, "Apakah engkau sudah tahu, wahai Rasulullah bahwa aku telah memerdekakan hamba sahayaku?" Beliau bertanya, "Apakah itu sudah engkau kerjakan?" Maimunah menjawab, "Ya." Beliau bersabda, "Alangkah baiknya andai hamba sahaya itu engkau berikan saja kepada paman dari ibumu, karena yang demikian itu lebih besar pahalanya bagimu." (H.R. Muttafaq Alaih)  

Keterangan:

Makna hadis: Sesungguhnya Ummul Mukminin Maimūnah -raḍiyallāhu 'anhā- telah memerdekakan hamba sahayanya, karena ia mengetahui keutamaan memerdekakan budak sahaya di jalan Allah. Hal itu terjadi tanpa ia beritahukan kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- atau tanpa meminta izin terlebih dahulu dalam memerdekakannya. Saat tiba gilirannya, ia pun memberitahu Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengenai apa yang telah dilakukannya. Beliau bertanya, "Apakah itu sudah engkau kerjakan?" Maimunah menjawab, "Ya." Beliau tidak mengingkari apa yang telah dilakukan Maimunah tanpa lebih dahulu meminta pendapatnya. Hanya saja beliau bersabda kepadanya, "Alangkah baiknya kalau hamba sahaya itu engkau berikan saja kepada paman dari ibumu, karena yang demikian itu lebih besar pahalanya untukmu." Maknanya bahwa apa yang engkau lakukan itu baik. Hanya saja seandainya engkau menghadiahkan budak sahaya itu kepada pamanmu dari pihak ibumu dari Bani Hilal, pasti itu lebih utama dan lebih banyak pahalanya karena di dalamnya mengandung sedekah kepada kerabat dan menyambung silaturrahmi dengannya.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

Seorang istri dibolehkan bersedekah tanpa minta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Maka di saat istri akan menolong keluarganya yang terdesak kebutuhan, sementara suami sulit dihubungi, boleh dilakukan.

HADITS KEEMPAT BELAS: 

وعن أسماءَ بنتِ أَبي بكر الصديق رضي الله عنهما، قَالَتْ: قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشركةٌ في عَهْدِ رسولِ الله -صلى الله عليه وسلم-، فاسْتَفْتَيْتُ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، قُلْتُ: قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أفَأصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: ((نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Asma' binti Abi Bakr radliallahu 'anhuma berkata; Ibuku menemuiku saat itu dia masih musyrik pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku meminta pendapat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Aku katakan; "Ibuku sangat ingin (aku berbuat baik padanya), apakah aku harus menjalin hubungan dengan ibuku?" Beliau menjawab: "Ya, sambunglah silaturrahim dengan ibumu". (H.R. Muttafaq Alaih)  

Keterangan:

Menyambung silaturahmi kepada keluarga adalah perbuatan mulia, sekalipun dalam keluarga itu ada yang berperilaku syirik.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Penjelasan tentang hukum bersilaturahmi kepada keluarga dan orang tua yang non muslim.

2. Begitu mahal dan berharganya hidayah Allah subhanahu wa tala. Begitu banyak para sahabat radhiyallahu anhum di zaman tersebut yang telah mendapat hidayah untuk masuk Islam namun tidak sedikit di antara keluarga mereka yang tidak mendapat hidayah bahkan di antara mereka ada yang yang menjadi musuh dan penentang dakwah Islam.

3. Disyariatkannya bertanya kepada seorang alim dalam permasalahan Dinul-Islam, termasuk dalam persoalan keluarga apalagi yang berkaitan dengan akidah.

4. Penjelasan tentang kaidah dan batasan akidah “al–Wala wa al–Bara” (loyalitas kepada kaum muslimin dan berlepas diri dari selainnya).

5. Bolehnya bersilaturahmi kepada keluarga dan orang tua yang non muslim selama mereka tidak memusuhi dan memerangi umat Islam.

6. Penjelasan tentang sebab turunnya firman Allah subhanahu wa tala dalam Q. al-Mumtahanah ayat 8.

7. Keutamaan Asma bintu Abi Bakar radhiyallahu anhuma, di mana disebabkan persoalan yang beliau tanyakan sehingga Allah azza wajalla menurutkan ayat untuk menjelaskan hukumnya.

8. Kaum kafir ada yang harbi (memerangi umat Islam dan boleh diperangi) dan ada juga yang tidak, masing-masing memiliki hukum dan penyikapan yang berbeda.

9. Keadilan dalam bersikap yang diajarkan oleh Dinul–Islam yang mulia ini kepada umatnya.

10. Kebanyakan ulama menyebut bahwa nama dari ibu Asma ini adalah Qatilah binti Abdul Uzza dan dia adalah ibu kandung dari Asma namun sebagian juga mengatakan dia adalah ibu persesusuannya.

HADITS KELIMA BELAS:

وعن زينب الثقفيةِ امرأةِ عبدِ الله بن مسعود رضي الله عَنْهُ وعنها، قَالَتْ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ))، قَالَتْ: فَرَجَعْتُ إِلَى عبد الله بنِ مسعود، فقلتُ لَهُ: إنَّكَ رَجُلٌ خَفِيفُ ذَاتِ اليَدِ، وَإنَّ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- قَدْ أمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ فَأْتِهِ، فَاسألهُ، فإنْ كَانَ ذلِكَ يْجُزِىءُ عَنِّي وَإلاَّ صَرَفْتُهَا إِلَى غَيْرِكُمْ. فَقَالَ عبدُ اللهِ: بَلِ ائْتِيهِ أنتِ، فانْطَلَقتُ، فَإذا امْرأةٌ مِنَ الأنْصارِ بِبَابِ رسولِ الله -صلى الله عليه وسلم- حَاجَتي حَاجَتُها، وَكَانَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- قَدْ أُلْقِيَتْ عَلَيهِ المَهَابَةُ، فَخَرجَ عَلَيْنَا بِلاَلٌ، فَقُلْنَا لَهُ: ائْتِ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، فَأخْبرْهُ أنَّ امْرَأتَيْنِ بالبَابِ تَسألانِكَ: أُتُجْزِىءُ الصَّدَقَةُ عَنْهُمَا عَلَى أزْواجِهمَا وَعَلَى أيْتَامٍ في حُجُورِهِما؟، وَلاَ تُخْبِرْهُ مَنْ نَحْنُ، فَدَخلَ بِلاَلٌ عَلَى رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، فسأله، فَقَالَ لَهُ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((مَنْ هُمَا؟)) قَالَ: امْرَأةٌ مِنَ الأنْصَارِ وَزَيْنَبُ. فَقَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((أيُّ الزَّيَانِبِ هِيَ؟))، قَالَ: امْرَأةُ عبدِ الله، فَقَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((لَهُمَا أجْرَانِ: أجْرُ القَرَابَةِ وَأجْرُ الصَّدَقَةِ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari [Zainab] isteri dari Abdullah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan perhiasanmu." Zainab berkata; Mendengar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tersebut, lalu aku pulang menemui Abdullah -suamiku- seraya berkata kepadanya, "Anda adalah seorang laki-laki yang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada kami kaum wanita agar bersedekah. Cobalah datangi beliau dan tanyakan bolehkah jika aku bersedekah kepada keluarga? Jika tidak akan aku kualihkan kepada yang lain." Abdullah menjawab, "Sebaiknya kamu sajalah yang mendatangi beliau." Maka pergilah aku. Lalu di pintu rumah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kudapati wanita Anshar yang bermaksud sama denganku. Sebagaimana biasa, orang-orang yang ingin bertemu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu diliputi rasa gentar. Kebetulan Bilal keluar mendapatkan kami. Kata kami kepada Bilal, "Tolonglah kamu sampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa dua wanita sedang berdiri di pintu hendak bertanya, 'Apakah dianggap cukup, jikalau kami berdua bersedekah kepada suami kami masing-masing dan kepada anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaan kami? Dan sekali-kali jangan engkau beritahukan siapa kami.'" Maka masuklah Bilal menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi beliau balik bertanya: "Siapa kedua wanita itu?" Bilal menjawab, "Seorang wanita Anshar bersama-sama dengan Zainab." Beliau bertanya, "Zainab yang mana?" Bial menjawab, "Zainab isterinya Abdullah." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Masing-masing mereka mendapat dua pahala. Yaitu pahala (menyambung) karib kerabat dan pahala karena sedekah." (H.R. Muttafaq Alaih)  

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Seorang istri boleh memberikan zakat (dalam hadits ini zakat perhiasan) kepada suaminya, anak-anaknya, sebab istri tidak ada kewajiban menafkahi keluarga.

2. Dengan seizin suaminya, perempuan boleh keluar rumah untuk bertanya yang berkaitan dengan persoalan agama.

3. Menuntut ilmu itu kewajiban, baik untuk laki-laki ataupun perempuan.

4. Jika ada persoalan dalam permasalahan agama, sebaiknya bertanya kepada ahlinya, supaya tidak salah dalam mengambil keputusan.

HADITS KEENAM BELAS:

وعن أَبي سفيان صخر بنِ حرب -رضي الله عنه- في حديثِهِ الطويل في قِصَّةِ هِرَقْلَ: أنَّ هرقْلَ قَالَ لأبي سُفْيَانَ: فَمَاذَا يَأمُرُكُمْ بِهِ؟ يَعْنِي النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: قُلْتُ: يقول: ((اعْبُدُوا اللهَ وَحْدَهُ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيئاً، واتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ، وَيَأمُرُنَا بِالصَّلاةِ، وَالصّدْقِ، والعَفَافِ، والصِّلَةِ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Sufyān Ṣakhr bin Ḥarb -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, "Heraklius bertanya, 'Apa yang diperintahkan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kepada kalian?' Abu Sufyān menjawab, "Aku katakan, beliau bersabda, 'Sembahlah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan oleh bapak-bapak kalian,' dan beliau memerintahkan kami untuk salat dan jujur, memelihara kehormatan diri dan silaturahmi." (H.R. Muttafaq Alaih)  

Keterangan:

Ini merupakan hadis populer mengenai Abu Sufyān Ṣakhr bin Ḥarb -raḍiyallāhu 'anhu- bersama Heraklius. Saat itu Abu Sufyān masih musyrik. Ia masuk Islam belakangan waktu antara perjanjian Hudaibiyah dengan penaklukan Makkah. Abu Sufyān bersama sekelompok Quraisy mendatangi Heraklius di Syam. Heraklius adalah raja kristen saat itu. Ia sudah membaca Taurat, Injil dan mengetahui kitab-kitab terdahulu. Ia merupakan raja yang cerdas. Ketika dia mendengar tentang Abu Sufyān dan para sahabatnya datang dari Hijaz, ia pun memanggil mereka dan bertanya kepada mereka mengenai keadaan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, garis keturunannya, para sahabatnya, penghormatan mereka kepada beliau dan mengenai kesetiaan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Setiap kali ia menyebutkan sesuatu, orang-orang Quraisy memberitahunya. Dengan demikian Heraklius tahu bahwa dialah Nabi yang telah diberitakan oleh kitab-kitab yang terdahulu. Hanya saja -kita berlindung kepada Allah- dia takut kehilangan kerajaannya dan tidak tunduk (masuk Islam) sesuai hikmah yang dikehendaki oleh Allah -'Azza wa Jalla-. Di antara yang ditanyakannya kepada Abu Sufyān, ialah pertanyaannya mengenai apa yang diperintahkan oleh Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kepada mereka. Abu Sufyān memberitahunya bahwa beliau memerintahkan mereka untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Tidak menyembah selain Allah baik itu raja, rasul, pohon, batu, matahari, bulan ataupun selain itu. Dengan demikian, ibadah hanya untuk Allah semata. Inilah seruan para rasul. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- datang dengan membawa apa yang telah dibawa para Nabi sebelumnya berupa ibadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya. Beliau bersabda, "Tinggalkanlah apa yang disembah oleh bapak-bapak kalian." Ini merupakan pembicaraan dengan terang-terangan. Segala yang dilakukan oleh bapak-bapak mereka berupa ibadah kepada berhala-berhala, maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memerintahkan mereka untuk meninggalkannya. Adapun akhlak baik yang dipegang oleh bapak-bapak mereka, maka beliau tidak menyuruh mereka untuk meninggalkannya. Perkataannya, "Beliau menyuruh kami salat." Salat adalah hubungan antara seorang hamba dengan Rabbnya. Ia merupakan pilar paling kokoh setelah dua kalimat syahadat, yang membedakan antara orang Mukmin dari orang kafir. Salat juga merupakan batas antara kita dengan orang-orang musyrik dan kafir. Hal ini sebagaimana sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Pembeda antara kita dengan mereka adalah salat. Siapa yang meninggalkan salat maka ia kafir." Perkataannya, "Beliau menyuruh kita jujur," Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menyuruh umatnya untuk jujur. Hal ini sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang benar (jujur)." Jujur adalah akhlak yang mulia. Jujur (benar) terbagi dua bagian: jujur (benar) kepada Allah dan jujur (benar) kepada hamba-hamba Allah. Keduanya termasuk akhlak yang mulia. Perkataannya, "Memelihara kehormatan diri," yaitu kesucian diri. Kesucian diri ada dua macam: kesucian diri dari syahwat kemaluan, dan kesucian diri dari syahwat perut. Adapun kesucian diri yang pertama, yaitu hendaknya manusia menjauhi apa yang telah diharamkan Allah berupa zina, media-medianya dan sarana-sarananya. Sedangkan kesucian kedua, yaitu memelihara kesucian diri dari syahwat perut. Yakni, dari apa yang ada di tangan manusia, memelihara diri dari meminta-minta kepada mereka, di mana ia tidak boleh meminta apapun kepada manusia. Sebab, mengemis adalah kehinaan, tangan pengemis itu di bawah dan rendah. Sedangkan orang yang memberi, tangannya di atas. Dengan demikian, engkau tidak boleh meminta kepada seseorang kecuali sesuatu yang diharuskan. Adapun yang kelima adalah perkataannya, "Silaturahmi." Yaitu hendaknya seseorang menyambungkan silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah kepadapara kerabat dekat dan paling dekat. Yang paling tinggi adalah kedua orang tua. Sebab, bersilaturahmi kepada kedua orang tua adalah kebajikan dan kekerabatan. Sedangkan bersilaturahmi dengan para kerabat sesuai dengan kedekatannya. Silaturahmi kepada saudara lebih kuat daripada bersilaturahmi kepada paman, dan bersilaturahmi kepada paman lebih kuat daripada kepada paman bapak. Silaturahmi dapat dilakukan dengan segala media yang sudah biasa dilakukan oleh manusia. 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Di dalam hadits ini terkandung cara dakwah Rasulullah saw. dalam menyampaikan risalahnya.

2. Beribadah kepada Allah dan tidak membandingkan-Nya kepada apapun, inilah konsep ibadah Islam yang membebaskan diri dari belenggu taklid, inferioritas (rasa rendah diri), atau menisbatkan kepada suatu benda atau makhluk. Menuhankan Allah tanpa divisualisasikan kepada benda dan hanya kepada Dia-lah seluruh alam semesta tunduk.

3. Cara beribadah yang paling utama adalah shalat, sebagai cara penghubung antara makhluk dengan Tuhannya, menjadi pembatas antara muslim dan kafir. Sedangkan sedekah adalah untuk menjaga martabat dan silaturahmi adalah termasuk akhlak mulia dalam rangka bukti istiqamah dan saling bantu dalam masyarakat.

4. Kewajiban menggunakan akal dalam masalah agama dan tidak terjebak kepada taklid buta.

HADITS KETUJUH BELAS:

وعن أَبي ذرّ -رضي الله عنه-، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: ((إنَّكُمْ سَتَفْتَحُونَ أرْضاً يُذْكَرُ فِيهَا القِيرَاطُ)). وفي رواية: ((سَتَفْتَحونَ مِصْرَ وَهِيَ أرْضٌ يُسَمَّى فِيهَا القِيراطُ، فَاسْتَوْصُوا بأهْلِهَا خَيْراً؛ فَإنَّ لَهُمْ ذِمَّةً وَرَحِماً)). وفي رواية: ((فإذا افتتحتموها، فأحسنوا إلى أهلها؛ فإن لهم ذمة ورحماً))، أَوْ قَالَ: ((ذِمَّةً وصِهْراً)). رواه مسلم

Abu Dzar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Kalian akan menaklukan suatu negeri yang di dalamnya disebut qirath (mata uangnya).” Dalam sebuah Riwayat lagi disebutkan: “Kalian akan membebaskan Mesir, yaitu negeri yang di dalamnya disebut qirath, maka berbuat baiklah kepada penduduknya, sebab sesungguhnya mereka itu mempunyai hak kehormatan serta kekeluargaan.” Dalam Riwayat lain disebutkan: “Jika engkau telah menaklukkannya, maka berbuat baiklah kepada penduduknya, sebab sesungguhnya mereka itu mempunyai hak kehormatan dan kekeluargaan.” Atau dalam riwayat lain disebutkan: “Mereka mempunyai hak kehormatan dan periparan (dari kata ipar).” (H.R. Muslim)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Di dalam hadits ini terkandung mukjizat Nabi saw., beliau bisa menginformasikan tentang penaklukan negeri Mesir, sebelum terjadinya penaklukan tersebut.

2. Berbuat baik kepada penduduk negeri yang ditaklukkan karena ada hubungan kekerabatan antara mereka dan sesama muslim.

HADITS KEDELAPAN BELAS:

وعن أَبي هريرة -رضي الله عنه-، قَالَ: لما نزلت هذِهِ الآية: {وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ} [الشعراء: 214] دَعَا رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- قُرَيْشاً، فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ، وَقالَ: ((يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ، يا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤيٍّ، أنقِذُوا أنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي مُرَّةَ بن كَعْبٍ، أنْقِذُوا أنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي عَبْدِ مَنَاف، أنْقِذُوا أنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي هاشم، أنقذوا أنفسكم من النار، يَا بني عبد المطلب، انقذوا أنفسكم من النار، يَا فَاطِمَةُ، أنْقِذي نَفْسَكِ مِنَ النَّارِ. فَإنِّي لا أمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيئاً، غَيْرَ أنَّ لَكُمْ رَحِماً سَأبُلُّهَا بِبِلالِهَا)). رواه مسلم

Dari Abu Hurairah berkata, "Tatkala turun ayat: '(dan peringatkan keluargamu yang paling dekat) ' (Qs. Asy Syu'araa': 214), Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyeru kepada orang-orang Quraisy kemudian mereka berkumpul, lalu beliau berbicara kepada orang umum dan khusus. Beliau bersabda: "Wahai Bani Abdul Muththalib, selamatkan diri kalian dari Neraka. Wahai Fatimah, selamatkan dirimu dari Neraka, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikitpun dari Allah, hanya saja kalian memiliki kekerabatan yang akan aku sambung." (H.R. Muslim)

keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Kekerabatan dan keturunan tidak akan membawa manfaat sedikitpun, sebab balasan kebaikan di akhirat adalah karena keimanannya.

2. Kewajiban dalam menyambung tali silaturahmi dan menjadi pihak pertama yang melakukan islah, memberikan nasihat dan mengajak kepada kebaikan.

3. Hadits ini menjadi bantahan atas anggapan yang menyatakan bahwa dengan bersilaturahmi, memiliki kerabat dekat, berkunjung kepada orang-orang shaleh, akan mendatangkan syafaat dari Allah, tanpa menjadikan akhlaknya menjadi baik. Sebab hanya amal shaleh yang membuat seseorang selamat dari neraka.

HADITS KESEMBILAN BELAS:

وعن أَبي عبد الله عمرو بن العاص رضي الله عنهما، قَالَ: سمعت رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم- جِهَاراً غَيْرَ سِرٍّ، يَقُولُ: ((إنَّ آل بَني فُلاَن لَيْسُوا بِأولِيَائِي، إِنَّمَا وَلِيِّيَ اللهُ وَصَالِحُ المُؤْمِنينَ، وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ أبُلُّهَا بِبلاَلِهَا)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، واللفظ للبخاري.

Dari Abu Abdullah Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan:  Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas dan lantang bersabda: “Sesungguhnya keluarga bani Fulan bukanlah awliya’ saya. Sesungguhnya waliyullah adalah orang-orang mukmin yang shalih. Tetapi bagi mereka ada hubungan kerabat. Maka aku akan silaturrahim dengan sebaik-baiknya.” (H.R. Muttafaq ‘alaih)

Keterangan: 

Sabda beliau “Sesungguhnya keluarga bani Fulan bukanlah awliya’ saya.”, awliya’ berasal dari kata walaya yang berarti loyalitas. Maksudnya adalah bahwa mereka itu non muslim, maka haram loyalitas kepada mereka. Loyalitas bisa berupa menjadikannya teman akrab, teman sejati, atau pemimpin.

Sabda beliau “Tetapi bagi mereka ada hubungan kerabat. Maka aku akan silaturrahim dengan sebaik-baiknya.”, maksudnya adalah mereka non muslim, tetapi silaturrahim kepada mereka harus dijaga sebaik-baiknya. Jadi, silaturrahim tidak menjadi putus karena beda agama.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Saling tolong menolong dan bersilaturahmi adalah perbuatan baik, akan lebih utama jika dengan keyakinandan keimanannya sama.

2. Memperat hubungan kekerabatan walaupun dengan dengan kerabat yang berbeda keyakinan.

HADITS KEDUA PULUH:

وعن أَبي أيوب خالد بن زيد الأنصاري -رضي الله عنه-: أنَّ رجلاً قَالَ: يَا رَسُول الله، أخْبِرْني بِعَمَلٍ يُدْخِلُني الجَنَّةَ، وَيُبَاعِدُني مِنَ النَّارِ. فَقَالَ النَّبيُّ -صلى الله عليه وسلم-: ((تَعْبُدُ الله، وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيئاً، وَتُقِيمُ الصَّلاةَ، وتُؤتِي الزَّكَاةَ، وتَصِلُ الرَّحمَ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Ayyub Khalid bin Zaid Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu: bahwa seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang amal yang akan memasukkanku kedalam surga dan menjauhkanku dari api neraka?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau menyembah Allah, jangan melakukan kesyirikan (menyekutukan Allah dengan apapun), tegakkan shalat, tunaikan zakat, dan jalinlah silaturrahim. (H.R. Muttafaq ‘Alaih)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Jawaban Rasulullah atas pertanyaan seseorang tentang amal yang bisa menjadikan seseorang masuk surga dan selamat dari api neraka.

2. Iman adalah sebagai asas, kemudian shalat sebagai bukti kedekatan hamba dengan Tuhannya, zakat sebagai bukti kewajiban hamba dengan sesama, dan silaturahmi adalah cara membangun kehidupan sosial.

HADITS KEDUA PULUH SATU:

وعن سلمان بن عامر -رضي الله عنه-، عن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((إِذَا أفْطَرَ أحَدُكُمْ، فَلْيُفْطرْ عَلَى تَمْرٍ؛ فَإنَّهُ بَرَكةٌ، فَإنْ لَمْ يَجِدْ تَمْراً، فالمَاءُ؛ فَإنَّهُ طَهُورٌ))، وَقالَ: ((الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ)). رواه الترمذي، وَقالَ: ((حديث حسن)).

Dari Salman bin ‘Amir, dari Rasulullah Saw: “Apabila salah seorang kamu berbuka, maka berbukalah dengan kurma, karena sesunggunya itu berkah. Jika ia tidak mendapatkan kurma, maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu suci. Sedekah kepada orang miskin itu sedekah, sedangkan sedekah kepada kerabat itu bernilai dua; sedekah dan menjalin tali silaturahim”. (H.R. At-Tirmidzi) [Hadits Hasan]

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Kebiasaan Rasulullah saat berbuka yaitu dengan kurma atau minum air.

2. Manusia dibolehkan melakukan pilihan dalam melakukan kebaikan jika dianggap dapat meraih pahala yang besar.

3. Bersedekah kepada keluarga itu menjadi lebih utama karena selain mendapat pahala dari sedekah itu sendiri, juga dapat pahala menyambungkan silaturahmi.

HADITS KEDUA PULUH DUA:

وعن ابن عمر رضي الله عنهما، قَالَ: كَانَتْ تَحْتِي امْرَأةٌ، وَكُنْتُ أحِبُّهَا، وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُهَا، فَقَالَ لي: طَلِّقْهَا، فَأبَيْتُ، فَأتَى عُمَرُ -رضي الله عنه- النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، فَذَكَرَ ذلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-: ((طَلِّقْهَا)). رواه أَبُو داود والترمذي، وَقالَ: ((حديث حسن صحيح)).

Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Aku mempunyai istri yang sangat aku cintai, namun ayahku tidak senang padanya, sehingga ia berkata: “Talaklah istrimu.” Tetapi aku enggan untuk menceraikannya. Maka Umar ra. mendatangi Nabi saw. dan menceritakan kepada beliau, kemudian beliau bersabda: “Ceraikanlah istrimu!” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah: 

Seorang anak berkewajiban taat kepada ayahnya, jika keinginan ayahnya itu berkaitan dengan urusan agama. Kasus Ibnu Umar yang mencintai istrinya, terpaksa harus menceraikannya sebab tidak disukai oleh ayahnya yaitu Umar ibn Al-Khaththab. Alasan ketidaksukaannya adalah tentang agamanya. Abdullah Ibnu Umar pun mengadukannya kepada Rasulullah saw., ternyata Rasulullah sependapat dengan pendirian ayahnya. Rasulullah menganggap keputusan Umar ibn al-Khaththab adalah benar.

HADITS KEDUA PULUH TIGA:

وعن أَبي الدرداءِ -رضي الله عنه-: أن رجلاً أتاه، قَالَ: إنّ لي امرأةً وإنّ أُمِّي تَأمُرُنِي بِطَلاقِهَا؟ فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، يقول: ((الوَالِدُ أوْسَطُ أبْوَابِ الجَنَّةِ، فَإنْ شِئْتَ، فَأضِعْ ذلِكَ البَابَ، أَو احْفَظْهُ)). رواه الترمذي، وَقالَ: ((حديث حسن صحيح)).

Dari Abu Darda ra, seseorang mendatanginya dan berkata: “Aku mempunyai seorang istri, tetapi ibuku memintaku untuk menceraikannya.’ Abu Darda ra berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Orang tua adalah pintu surga paling tengah diantara pintu-pintu surga. Maka jika engkau suka, buanglah pintu itu, tetapi tetapi ini adalah dosa besar, atau jagalah pintu tadi -dengan mengikuti perintah dan berbakti dan ini besar pahalanya-.” (H.R. At-Tirmidzi)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah: 

1. Kasus yang terjadi pada hadits ini sama dengan hadits sebelumnya.

2. Makna buanglah pintu itu adalah jangan kamu ikuti perintahnya, dan ini termasuk dosa besar, sedangkan kewajiban menjaga pintu adalah mengikuti perintahnya.

3. Memelihara ikatan keluarga terdekat lebih diutamakan daripada ikatan keluarga lainnya, dan yang terdekat adalah anak kepada kedua orang tuanya.

4. Mengutamakan keinginan orang tua dibanding yang lainnya selama keinginan itu tidak bertentangan dengan agama dan tidak menzalimi orang lain.

HADITS KEDUA PULUH EMPAT:

وعن البراءِ بن عازب رضي اللهُ عنهما، عن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: ((الخَالةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ)). رواه الترمذي، وَقالَ: ((حديث حسن صحيح)).

Dari shahabat al-Bara bin ‘Azib r.a dari Nabi saw bersabda: “Bibi sama dengan ibu” (H.R. Tirmizi, ia berkata: Hadits Shahih)

Keterangan:

Islam adalah agama muamalah; artinya perhatian Islam kepada moralitas dan etika pergaulan dalam Islam dibuktikan dengan teks-teks Islam baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits nabi saw; sebagaimana dibuktikan oleh keteladanan Rasululah saw dan juga para shahabat beliau serta orang-orang yang setia mengikuti jejak langkahnya.

Hadits diatas menegaskan kembali, bahwa berbuat baik kepada ibu bapak merupakan salah satu prinsip muamalah dalam Islam yang mesti dipraktekkah oleh setiap muslim, karena ternyata bagi mereka yang membuktikan perbuatan baik itu dalam kehidupannya, memperoleh balasannya tidak hanya di dunia berupa penghargaan orang kepada dirinya, tetapi balasan Allah kepada mereka mencakup kesejahteraan di akhirat.

Berbakti seseorang utamanya bapak ibu yang banyak berjasa bagi hidup dan kehidupannya; berbakti juga mesti dipersembahkan kepada kerabat dan saudara-saudaranya, seperti bibi, paman, kakek, nenek dst.

Dalam riwayat hadits yang lain Rasulullah saw memberikan arahan cara berbuat kepada orang tua setelah mereka meninggal dunia, yaitu berbakti kepada paman-paman dan bibi disamping berbuat baik kepada kawan dan sahabat ayah dan ibu.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah: 

Kedudukan bibi itu sama dengan ibu dalam hal kewajiban mendidik dan memberikan kasih sayang kepada anak dari ibunya, tetapi bagi anak pun ada kewajiban untuk taat dan berbakti kepada mereka.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama