Dunia ini hanyalah sebuah persinggahan. Ia tidak lebih ibarat sebuah tempat berteduh dan bernaung. Tidak lama kita bernaung di dalamnya. Hanya sebentar. Karena setelah itu, sebuah perjalanan keabadian harus kita jalani. Keabadian yang sungguh-sungguh abadi. Dalam keabadian itu pada akhirnya kita hanya akan dihadapkan pada dua pilihan; kebahagiaan abadi atau kesengsaraan abadi. Pada saat itulah, kita benar-benar meyakini bahwa dunia ini tidak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk. Maka, tidaklah mengherankan mengapa pesan-pesan Allah dan Rasul-Nya selalu saja mengajak kita untuk mengarahkan segenap perhatian pada masa-masa keabadian itu.
Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggambarkan sikap terbaik yang seharusnya kita lakukan saat menjalani kehidupan dunia ini. “Hiduplah di dunia ini seperti orang asing atau penyebrang jalan,” sabda beliau. Bersikap sebagai orang asing di dunia tentu akan selalu menyadarkan kita bahwa dunia bukanlah negeri kita yang sesungguhnya. Kita asing di sini. Dan kelak suatu saat, keterasingan itu akan berakhir. Kita akan pergi menuju kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan akhirat. Hal yang sama juga akan berlaku, ketika kita berlaku sebagai seorang “penyeberang jalan.” Tidak ada seorang penyeberang jalan pun yang berpikir untuk tinggal selamanya di jalan yang ia sebrangi. Ia akan bergegas. Karena ia telah mempunyai tujuan yang pasti. Dunia hanyalah tempat melintas. Tidak lebih dan tidak kurang. Maka, jiwa seorang mukmin selama di dunia adalah jiwa “pelintas jalan,” yang tak pernah sedetik pun berpikir akan mengalami keabadian di sini. Hanya saja, gemerlap dunia dan keasyikan kita menjalaninya, seringkali membuat kita lupa akan menjalankan kedua sikap tersebut. Sepanjang apa pun usia kehidupan duniawi kita, tetap saja ia tidak memiliki keabadian. Berapa tahun kita ingin hidup di bumi ini? 100 tahun? 1000 tahun? Atau berjuta tahun? Toh, semuanya tetap berakhir pada kepunahan, kematian, kehancuran, dan ketidakabadian. Dunia memang bukan tempat keabadian kita. Sumber keabadian hanya ada di sana, di alam akhirat. Kita semua akan beranjak ke sana cepat atau lambat. Dan kelak, keabadian kita hanya akan berakhir pada satu dari dua pilihan; surga atau neraka. Satu hal yang pasti, bahwa pilihan di negeri abadi itu sungguh-sungguh bergantung pada bagaimana kita menyiapkan di sini, di dunia ini. Karena itu, pertanyaan terpenting yang harus selalu dapat kita jawab adalah “sudahkah kita menyiapkan bekal untuk keabadian itu?” jangan sampai penyesalan kita datang tidak pada waktunya. Sebab, itu hanya akan sia-sia belaka. Di akhirat kelak, penyesalan sedahsyat apa pun tidak akan ada gunanya.
MATI
Larangan Menginginkan Mati dan Berdoa Memintanya Sebab Bencana yang Menimpa Harta Maupun Tubuh
Muslim telah meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Bersabda Rasulullah Saw,
« لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ مُتَمَنِّيًا فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ أَحْيِنِى مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِى وَتَوَفَّنِى إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِى ».
“Sekali-kali jangan ada seorang pun dari kamu sekalian yang menginginkan mati sebab bencana yang menimpanya. Kalaupun terpaksa menginginkannya, maka ucapkanlah, ‘Ya Allah, hidupkanlah aku, jika hidup akan lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika mati akan lebih baik bagiku’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hakikat Mati
Menurut para ulama kematian bukan sekedar ketiadaan atau kebinasaan belaka, tetapi sebenarnya mati adalah terputusnya hubungan roh dengan tubuh, terhalangnya hubungan antara keduanya, dan bergantinya keadaan dari suatu alam ke alam lainnya. Mati termasuk musibah terbesar, dan Allah Ta’ala menyebutnya dengan nama musibah. Firman Allah Ta’ala:
فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةُ المَوْتِ.
“Lalu kamu ditimpa musibah kematian.” (QS. Al-Maidah: 106)
Dengan demikian, para ulama kita mengatakan bahwa ada musibah yang lebih besar daripada kematian, yaitu lalai terhadap mati, tidak perduli, dan jarang memikirkannya, serta tidak beramal baik sebagai persiapan untuk menghadapi kedatangannya. Padahal, mati itu sendiri merupakan pelajaran bagi orang yang mau mengerti, sekaligus pemikiran bagi orang yang mau berfikir.
Benarkah Ada Orang yang Ingin Mati?
Adapun mengenai siapakah yang menginginkan mati, maka ada riwayat dari Sahal bin Abdullah At-Tusturi, bahwa dia berkata, “Tidak ada yang menginginkan mati kecuali tiga kelompok; orang yang tidak menyadari tentang hal-hal yang bakal terjadi setelah mati, atau orang yang lari dari takdir-takdir Allah yang telah ditetapkan pada dirinya, atau orang yang rindu dan ingin bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.”
Ada riwayat lain mengatakan bahwa ketika Malaikat Maut datang kepada Nabi Ibrahim, Khalil Ar-Rahman, untuk mencabut nyawanya, beliau berkata, “Hai Malaikat Maut, pernahkah kamu melihat seorang kekasih mencabut nyawa kekasihnya?”.
Atas pertanyaan itu Malaikat Maut bergegas menemui Tuhannya. Dan Tuhan pun berfirman kepadanya, “Katakan kepadanya, pernahkah kamu melihat seorang kekasih yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya?”.
Malaikat Maut itu pun kembali menemui Nabi Ibrahim, dan kali ini beliau berkata, “Cabutlah nyawaku sekarang juga!”.
Kapan Boleh Menginginkan Mati dan Berdoa Memintanya?
Menginginkan mati dan berdoa supaya mati dibolehkan, apabila alasannya adalah khawatir kehilangan agama.
Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman menceritakan perkataan Nabi Yusuf as.,
تَوَفَّنِيْ مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ.
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam, dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf: 101)
Firman Allah pula menceritakan perkataan Maryam as.,
يَالَيْتَنِيْ مِتُّ قَبْلَ هذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا.
“Aduhai, alangkah baiknya, andaikan aku mati sebelum ini, dan (andaikan) aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
Dan diriwayatkan dari Malik, dari Abu Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ فَيَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ مَكَانَهُ.
“Kiamat tidak terjadi sebelum ada seseorang melewati kuburan orang lain, sehingga dia berkata, ‘Alangkah baiknya andaikan aku menempati tempat dia’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tidak ada kontradiksi antara keterangan yang menjelaskan boleh menginginkan mati dengan keterangan di atas.
Wallahu A'lam, Abu Akyas Syaddad Al-Fatih.
Mugia usaha urang kanggo ngéngéngkeun rahmat-Na tinekanan
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan