بسم الله الرحمن الرحيم
KAJIAN RIYADHUS SHALIHIN
باب الإِنفاق مِمَّا يحبُّ ومن الجيِّد
MENDERMAKAN SEBAGIAN HARTA YANG DICINTAI DAN YANG BAIK
ALLAH SWT BERFIRMAN:
AYAT PERTAMA:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (92)
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengtahuinya. (Q.S. Ali-Imran {3}: 92)
Keterangan:
Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa orang yang meninggal dalam kekufuran, maka sebesar apa pun harta dan infak yang mereka keluarkan, tidak akan bisa dijadikan tebusan agar mereka bebas dari azab Allah. Pada ayat ini dijelaskan tentang harta dan infak yang bermanfaat hendaknya harta yang dicintai, karena kamu tidak akan memperoleh kebajikan yang paling utama dan sempurna sebelum kamu menginfakkan, dengan cara yang baik dan tujuan yang benar, sebagian harta yang kamu cintai, yang paling bagus dari apa yang kamu miliki. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui niat dan tujuan kamu berinfak, apakah karena ingin dipuji atau dilihat orang (riya), ingin dipuji orang yang mendengar (sum'ah), atau semata-mata karena Allah. Jika infak dilaksanakan hanya karena Allah maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan di dunia maupun akhirat.
Seseorang tidak akan mencapai tingkat kebajikan di sisi Allah, sebelum ia dengan ikhlas menafkahkan harta yang dicintainya di jalan Allah. Yang dimaksud dengan harta yang dicintai adalah harta yang kita cintai. Ayat ini erat hubungannya dengan firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik (al-Baqarah/2:267).
Setelah ayat ini diturunkan, para sahabat Nabi berlomba-lomba berbuat kebaikan. Di antaranya, Abu thalhah al-Anshari, seorang hartawan di kalangan Ansar datang kepada Nabi saw memberikan sebidang kebun kurma yang sangat dicintainya untuk dinafkahkan di jalan Allah.
Pemberian itu diterima oleh Nabi dengan baik dan memuji keikhlasannya. Rasulullah menasihatkan agar harta itu dinafkahkan kepada karib kerabatnya, maka thalhah membagi-bagikannya kepada karib kerabatnya. Dengan demikian ia mendapat pahala sedekah dan pahala mempererat hubungan silaturrahmi dengan keluarganya. Setelah itu datang pula Umar bin al-Khaththab menyerahkan sebidang kebunnya yang ada di Khaibar, Nabi saw menyuruh pula agar kebun itu tetap dipelihara, hanya hasil dari kebun itu merupakan wakaf dari Umar.
AYAT KEDUA:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267)
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. Al-Baqarah {2}: 267)
Keterangan:
Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik¸ dan diperoleh dengan cara yang halal, sebab Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik. Dan sedekahkanlah sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi berupa hasil pertanian, tambang, dan lainnya, untukmu. Pilihlah yang baik-baik dari apa yang kamu nafkahkan itu, walaupun tidak harus semuanya baik, tetapi janganlah kamu memilih secara sengaja yang buruk untuk kamu keluarkan guna disedekahkan kepada orang lain, padahal kamu sendiri kalau diberi yang buruk-buruk seperti itu tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata karena rasa enggan terhadapnya. Cobalah berempati. Posisikan dirimu seperti orang yang diberi. Jika kamu tidak mau menerima yang buruk-buruk, mengapa kamu berikan yang seperti itu kepada orang lain. Dan ketahuilah dan yakinlah bahwa Allah Mahakaya, tidak membutuhkan sedekah kamu, baik pemberian untuk-Nya maupun untuk makhluk-makhluk-Nya, sebab Dia bisa memberi secara langsung. Sedekah itu justru untuk kemaslahatan orang yang memberi. Dia juga Maha Terpuji, antara lain karena Dia memberi ganjaran terhadap hamba-hamba-Nya yang bersedekah.
Orang yang benar-benar beriman, niscaya akan menafkahkan sesuatu yang baik, bila dia bermaksud dengan infaknya itu untuk menyucikan diri dan meneguhkan jiwanya. Sesuatu yang diinfakkan, diumpamakan dengan sebutir benih yang menghasilkan tujuh ratus butir, atau yang diumpamakan dengan sebidang kebun yang terletak di dataran tinggi, yang memberikan hasil yang baik, tentulah sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang buruk yang tidak disukai oleh yang menafkahkan, atau yang dia sendiri tidak akan mau menerimanya, andaikata dia diberi barang semacam itu.
Namun demikian, orang yang bersedekah itu pun tidak boleh dipaksa untuk menyedekahkan yang baik saja dari apa yang dimilikinya, seperti yang tersebut di atas. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke Yaman: Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw mengutus Mu'adz ke Yaman”lalu ia menyebutkan hadis”dan padanya: bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat pada harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya lalu diserahkan kepada fakir miskin di antara mereka. (Riwayat Muttafaq 'alaih)
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Allah sangat mencela bila yang disedekahkan itu terdiri dari barang yang buruk-buruk. Ini bukan berarti bahwa barang yang disedekahkan itu harus yang terbaik, melainkan yang wajar, dan orang yang menafkahkan itu sendiri menyukainya andaikata dia yang diberi.
Dalam ayat lain Allah berfirman: Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. (Â'li 'Imran/3:92)
Pada akhir ayat ini Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut "Ketahuilah, bahwasanya Allah Mahakaya dan Maha Terpuji." Ini merupakan suatu peringatan, terutama kepada orang yang suka menafkahkan barang yang buruk-buruk, bahwa Allah tidak memerlukan sedekah semacam itu. Dia tidak akan menerimanya sebagai suatu amal kebaikan. Bila seseorang benar-benar ingin berbuat kebaikan dan mencari keridaan Allah, mengapa dia memberikan barang yang buruk, yang dia sendiri tidak menyukainya? Allah Mahakaya. Maha Terpuji dan pujian yang layak bagi Allah ialah bahwa kita rela menafkahkan sesuatu yang baik dari harta milik kita, yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Adapun haditsnya antara lain:
عن أَنس رضي اللَّه عنه قَالَ: كَانَ أَبُو طَلْحَةَ رضي اللَّه عنه أَكْثَر الأَنْصَارِ بِالمدِينَةِ مَالاً مِنْ نَخْلٍ، وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحاءَ، وَكانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ المسْجِدِ وكانَ رسولُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يدْخُلُهَا وَيشْربُ مِنْ ماءٍ فِيهَا طَيِّبٍ قَالَ أَنَسٌ: فلَمَّا نزَلَتْ هَذِهِ الآيةُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} قام أَبُو طَلْحَةَ إِلى رسولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فقال: يارسولَ اللَّه إِنَّ اللَّه تَعَالَى أَنْزَلَ عَلَيْكَ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} وَإِنَّ أَحَبَّ مَالي إِلَيَّ بَيْرَحَاءَ، وإِنَّهَا صَدقَةٌ للَّهِ تَعَالَى أَرْجُو بِرَّهَا وذُخْرهَا عِنْد اللَّه تَعَالَى، فَضَعْها يَا رَسُول اللَّه حيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ، فقال رَسُول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: "بَخٍ، ذلِكَ مَالٌ رَابحٌ، ذلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، وَقَدْ سمِعْتُ مَا قُلْتَ، وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا في الأَقْرَبِينَ" فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَفْعَلُ يَا رسولَ اللَّه، فَقَسَّمَهَا أَبُو طَلْحَةَ في أَقَارِبِهِ، وَبَني عَمِّهِ. متفقٌ عَلَيهِ.
Dari Anas bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, "Abu Ṭalḥah adalah seorang sahabat Ansar yang terkaya di Madinah karena pohon kurma yang dimilikinya. Sedangkan harta yang paling disukainya adalah kebun Bairuḥā` yang terletak di dekat mesjid. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sering masuk ke kebun itu dan minum air bersih yang ada di dalamnya." Anas berkata, "Ketika turun ayat, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dari harta yang kamu cintai." Lantas Abu Ṭalḥah mendatangi Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dari harta yang kamu cintai." Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha'. Maka kebun itu aku sedekahkan untuk Allah -Ta'ālā-. Aku mengharapkan kebajikan dan pahala dari Allah. Untuk itu, pergunakanlah wahai Rasulullah sesuai petunjuk Allah kepadamu!" Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Aku sarankan agar kamu membagikannya kepada para kerabatmu!" Abu Ṭalḥah berkata, "Wahai Rasulullah, saya akan melaksanakan petunjukmu." Selanjutnya Abu Ṭalḥah membagi-bagi kebun itu kepada kerabat dan anak-anak pamannya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
Abu Ṭalḥah adalah seorang sahabat Ansar yang terkaya di Madinah karena pohon kurma yang dimilikinya. Dia memiliki satu kebun di depan masjid dan di dalamnya ada air yang segar. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- sering masuk ke kebun itu dan minum air darinya. Saat turun firman Allah -Ta'ālā-, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dari harta yang kamu cintai." Abu Ṭalḥah segera datang cepat-cepat kepada Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menurunkan firman-Nya, "Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairuḥā` - ini adalah nama kebunnya-. Sesungguhnya aku menyerahkan kebun itu di hadapanmu sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda dengan penuh kagum, "Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Bagus, itulah harta (yang mendatangkan) untung. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Aku sarankan agar kamu membagikannya kepada para kerabatmu!" Abu Ṭalḥah pun melakukannya dan membagi-bagikan kebun itu kepada para kerabatnya dan anak-anak pamannya.
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:
1. Orang yang memiliki kemuliaan akhlak dan ilmu agar dipersilahkan memasuki perkebunan untuk berteduh, memakan buahnya, dan beristirahat, terlebih pemilik kebun senang dengan kehadirannya.
2. Berinfaklah dengan harta yang dicintai.
3. Keutamaan para sahabat Nabi dalam menerima instruksi dari Nabi saw.
4. Pembagian harta waris dan sedekah agar bisa terlaksana sesuai dengan perintah dan contoh Nabi saw., sebaiknya diserahkan kepada ahlinya.
5. Mendukung dan memotivasi orang yang berbuat kebaikan agar tidak berhenti melakukan kebaikannya. Caranya dengan memujinya, mendoakannya, dan menampakkan kesenangan atas kebaikan yang telah ia terima.
6. Sedekah yang paling mulia adalah kepada keluarga dan para kerabat, kemudian kepada orang yang membutuhkannya.
Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Kader Pemuda Persis Kota Bandung.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan