NAFKAH KEPADA KELUARGA


ALLAH SWT BERFIRMAN:

AYAT PERTAMA:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233) 

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah {2}: 233)

Keterangan:

Usai menjelaskan masalah keluarga, berikutnya Allah membicarakan masalah anak yang lahir dari hubungan suami istri. Di sisi lain, dibicarakan pula ihwal wanita yang dicerai dalam kondisi menyusui anaknya. Dan ibu-ibu yang melahirkan anak, baik yang dicerai suaminya maupun tidak, hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh sebagai wujud kasih sayang dan tanggung jawab ibu kepada anaknya. Air susu ibu (ASI) adalah makanan utama dan terbaik bagi bayi yang tidak bisa digantikan oleh makanan lain. Hal itu dilakukan bagi yang ingin menyusui secara sempurna yaitu dua tahun, seperti dijelaskan dalam Surah Luqman/31: 41. Apabila kurang dari dua tahun, dianjurkan setidaknya jumlah masa menyusui jika digabung dengan masa kehamilan tidak kurang dari tiga puluh bulan sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Ahqaf/43:15. Bila masa kehamilan mencapai sembilan bulan maka masa menyusui adalah dua puluh satu bulan. Apabila masa menyusui dua tahun, berarti masa kehamilan paling pendek adalah enam bulan. Dan kewajiban ayah dari bayi yang dilahirkan adalah menanggung nafkah dan pakaian mereka berdua, yaitu anak dan ibu walaupun sang ibu telah dicerai, dengan cara yang patut sesuai kebutuhan ibu dan anak dan mempertimbangkan kemampuan ayah. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Demikianlah prinsip ajaran Islam. Karena itu, janganlah seorang ayah mengurangi hak anak dan ibu menyusui dalam pemberian nafkah dan pakaian, dan jangan pula seorang ayah menderita karena ibu menuntut sesuatu melebihi kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anaknya yang sedang disusui. Jaminan tersebut harus tetap diperolehnya walaupun ayahnya telah meninggal dunia. Apabila ayah telah meninggal dunia maka ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula, yaitu memenuhi kebutuhan ibu dan anak. Apabila keduanya, yaitu ibu dan ayah, ingin menyapih anaknya sebelum usia dua tahun dengan persetujuan bersama, bukan akibat paksaan dari siapa pun, dan melalui permusyawaratan antara keduanya dalam mengambil keputusan yang terbaik, maka tidak ada dosa atas keduanya untuk mengurangi masa penyusuan dua tahun itu.


Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain karena ibu tidak bersedia atau berhalangan menyusui, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran kepada wanita lain berupa upah atau hadiah dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dalam segala urusan dan taatilah ketentuan-ketentuan hukum Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan dan membalas setiap amal baik maupun buruk yang kamu kerjakan.

Perceraian antara suami dan istri hendaknya tidak berdampak pada anak yang masih bayi. Ibu tetap dianjurkan merawatnya dan memberinya ASI. Demikian pula ayah wajib memberi nafkah kepada anak dan ibu selama menyusui. Agama sangat memperhatikan kelangsungan hidup anak agar tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Setiap ibu (meskipun ia janda) berkewajiban menyusui anaknya sampai anak itu mencapai usia dua tahun. Tidak mengapa kalau masa susuan itu kurang dari masa tersebut apabila kedua ibu-bapak memandang ada maslahatnya. Demikian pula setiap bapak berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan para ibu baik sandang maupun pangan sesuai dengan kebutuhannya. Ibu laksana wadah bagi anak sedang bapak sebagai pemilik wadah itu. Maka sudah sewajarnya bapak berkewajiban memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggung jawabnya dan memelihara serta merawat miliknya.

Allah mewajibkan kepada ibu menyusui bayinya, karena air susu ibu mempunyai pengaruh yang besar kepada anaknya. Dari hasil penelitian para ahli medis menunjukkan bahwa air susu ibu terdiri dari saripati yang benar-benar murni. Air susu ibu juga merupakan makanan yang paling baik untuk bayi, dan tidak disangsikan lagi oleh para ahli gizi. Di samping ibu dengan fitrah kejadiannya memiliki rasa kasih sayang yang mendalam sehingga penyusuan langsung dari ibu, berhubungan erat dengan perkembangan jiwa dan mental anak. Dengan demikian kurang tepat tindakan sementara para ibu yang tidak mau menyusui anaknya hanya karena kepentingan pribadinya, umpamanya, untuk memelihara kecantikan. Padahal ini bertentangan dengan fitrahnya sendiri dan secara tidak langsung ia kehilangan kesempatan untuk membina dasar hubungan keibuan dengan anaknya sendiri dalam bidang emosi.

Demikianlah pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap bayinya yang diatur oleh Allah swt. Sementara itu diberi pula keringanan terhadap kewajiban, umpama kesehatan ibu terganggu atau seorang dokter mengatakan tidak baik bila disusukan oleh ibu karena suatu hal, maka tidak mengapa kalau anak mendapat susuan atau makanan dari orang lain.

Demikian juga apabila bapak tidak mempunyai kesanggupan melaksanakan kewajibannya karena miskin maka ia boleh melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesanggupannya. Keringanan itu membuktikan bahwa anak tidak boleh dijadikan sebab adanya kemudaratan, baik terhadap bapak maupun terhadap ibu. Dengan pengertian, kewajiban tersebut tidak mesti berlaku secara mutlak sehingga mengakibatkan kemudaratan bagi keduanya. Salah satu pihak tidak boleh memudaratkan pihak lain dengan menjadikan anak sebagai kambing hitamnya. Umpamanya karena ibu mengetahui bahwa bapak berkewajiban memberi nafkah maka ia melakukan pemerasan dengan tidak menyusui atau merawat si bayi tanpa sejumlah biaya tertentu. Atau bapak sangat kikir dalam memberikan nafkah sehingga ibu menderita karenanya.

Selanjutnya andaikata salah seorang dari ibu atau bapak tidak memiliki kesanggupan untuk melaksanakan kewajiban atau meninggal dunia, maka kewajiban-kewajiban itu berpindah kepada ahli warisnya. Lamanya masa penyusuan dua tahun, namun demikian apabila berdasarkan musyawarah antara bapak dan ibu untuk kemaslahatan anak, mereka sepakat untuk menghentikannya sebelum sampai masa dua tahun atau meneruskannya lewat dari dua tahun maka hal ini boleh saja dilakukan.

Demikian juga jika mereka mengambil perempuan lain untuk menyusukan anaknya, maka hal ini tidak mengapa dengan syarat, kepada perempuan yang menyusukan itu diberikan imbalan jasa yang sesuai, sehingga terjamin kemaslahatan baik bagi anak maupun perempuan yang menyusui itu.

Ulama fikih berbeda pendapat tentang siapa yang berhak untuk menyusukan dan memelihara anak tersebut, jika terjadi perceraian antara suami-istri. Apakah pemeliharaan menjadi kewajiban ibu atau kewajiban bapak? Imam Malik berpendapat bahwa ibulah yang berkewajiban menyusukan anak tersebut, walaupun ia tidak memiliki air susu; kalau ia masih memiliki harta maka anak itu disusukan pada orang lain dengan mempergunakan harta ibunya. Imam Syafi'i dalam hal ini berpendapat bahwa kewajiban tersebut adalah kewajiban bapak.


AYAT KEDUA:

 لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا (7) 

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan. (Q.S. Ath-Thalaq {65}: 7)

Keterangan:

Hendaklah orang yang mempunyai keluasan, yaitu suami yang berkecukupan, memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dan memberikan imbalan kepadanya karena telah menyusui anaknya, dari kemampuannya yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan adapun orang yang terbatas rezekinya, yakni suami yang tidak sanggup, hendaklah memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dari harta yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, rezeki dan kemampuan; Allah akan memberikan kemudahan kepada seseorang setelah ia menunjukkan kegigihan dalam menghadapi kesulitan.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kewajiban ayah memberikan upah kepada perempuan yang menyusukan anaknya menurut kemampuannya. Jika kemampuan ayah itu hanya dapat memberi makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana firman-Nya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 286)

Dalam ayat lain juga dijelaskan: Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 233)

Tidak ada yang kekal di dunia. Pada suatu waktu, Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kesenangan sesudah penderitaan. Allah berfirman: Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (asy-Syarh/94: 6)

AYAT KETIGA:

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (39) 

Katakanlah, "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya). Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (Q.S. Saba {34}: 39)

Keterangan:

Dalam ayat ini Allah kembali mempertegas bahwa banyak dan sedikitnya rezeki seseorang tidak menentukan kedudukannya di sisi Allah, kecuali bila dibarengi dengan iman dan amal saleh. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, “Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Dan rezeki apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya di dunia dan akhirat dengan penggantian yang lebih baik, dan Dialah pemberi rezeki yang terbaik.

Dalam ayat ini ditegaskan sekali lagi bahwa Allah-lah yang melapangkan rezeki atau membatasinya. Berbeda dengan ayat 36, dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang dilapangkan rezekinya atau dibatasi-Nya adalah rezeki hamba-hamba-Nya. Berarti bahwa seorang hamba Allah akan menerima ketentuan rezekinya apakah dilapangkan atau dibatasi oleh Allah. Dengan demikian ayat ini membantah sekali lagi bahwa kelapangan rezeki itu adalah tanda Allah sayang dan keterbatasannya menandakan Allah benci. Seorang hamba Allah akan sabar bila rezekinya terbatas. Seorang hamba Allah, bila rezekinya lebih akan memperhatikan orang lain yang kekurangan. Ia tidak akan termasuk pendusta agama atau hari kemudian, sebagaimana dinyatakan ayat berikut: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (al-Ma'un/107: 1-3)

Membantu orang lain, berdasarkan ayat ini, justru akan mengekalkan kekayaan itu, bukan menghabiskannya. Membantu orang lain tidak akan membuat kita miskin, bahkan sebaliknya karena bantuan itu berarti memberdayakan orang banyak. Keberdayaan orang banyak akan membuahkan kemakmuran, sebaliknya eksploitasi masyarakat akan membuat masyarakat itu melarat. Rasulullah menginformasikan bahwa orang yang membantu orang lain didoakan oleh malaikat pertambahan rezekinya, dan orang yang kikir didoakan oleh malaikat kehilangan harta bendanya: Pada setiap pagi ada dua malaikat yang turun kepada hamba Allah, yang satu berdoa, "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak." Dan yang satu lagi berdoa pula, "Ya Allah, musnahkanlah harta orang yang tidak mau berinfak." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Adapun haditsnya antara lain:

HADITS PERTAMA:

وعن أَبي هريرة -رضي الله عنه-، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: دِينَارٌ أنْفَقْتَهُ في سَبيلِ اللهِ، وَدِينار أنْفَقْتَهُ في رَقَبَةٍ، وَدِينارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ، أعْظَمُهَا أجْراً الَّذِي أنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ. رواه مسلم

Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu nafkahkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau berikan kepada orang-orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu." (H.R. Muslim)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menjelaskan bahwa aspek-aspek infak dan kebaikan itu banyak, diantaranya adalah infak untuk jihad di jalan Allah, infak untuk memerdekakan budak sahaya, infak kepada orang-orang miskin dan infak kepada istri dan keluarga. Hanya saja, infak yang paling utama adalah yang diberikan kepada istri. Infak kepada istri dan anak-anak adalah wajib. Dengan demikian, infak yang wajib memiliki pahala lebih besar dari infak sunah.

2. Memberi nafkah kepada keluarga itu lebih penting daripada memberi sedekah kepada orang lain, sebab menafkahi keluarga adalah kewajiban, sedangkan bersedekah itu sunat, kecuali zakat.

HADITS KEDUA:

وعن أَبي عبد الله، ويُقالُ لَهُ: أَبو عبد الرحمان ثَوبَان بن بُجْدُد مَوْلَى رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: أفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفقُهُ الرَّجُلُ: دِينَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ، وَدينَارٌ يُنْفقُهُ عَلَى دَابَّتِهِ في سَبيلِ الله، وَدِينارٌ يُنْفقُهُ عَلَى أصْحَابهِ في سَبيلِ اللهِ.  رواه مسلم

Dari Abu Abdullah (Abu Abdurrahman) Tsauban bin Bujdud, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: "Sebaik-baik dinar yang diinfakkan seseorang adalah dinar yang diinfakkan untuk keluarganya, dinar yang diinfakkan untuk kendaraan yang digunakan di jalan Allah, dan dinar yang diinfakkan kepada teman-temannya yang turut berjuang di jalan Allah." (H.R. Muslim)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Sebaik-baik harta yang diinfakkan seseorang di jalan kebaikan adalah harta yang diinfakkan untuk keluarganya. Keluarga maksudnya adalah orang-orang yang ditanggungnya, dalam arti dia yang membiayai kehidupan mereka, seperti anak laki-laki, anak perempuan, istri, pembantu, dan lainnya. Kemudian harta yang diinfakkan untuk kendaraan yang dipakainya demi ketaatan kepada Allah -'Azza wa Jalla- dalam jihad dan sebagainya; dan harta yang diinfakkan kepada sahabat-sahabatnya dalam ketaatan kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Pendapat lain, yang dimaksud dengan "di jalan Allah" adalah jihad saja. 

2. Hadits ini mengajarkan agar kaum Muslimin dapat mengatur keuangan keluarga, memprioritaskan berdasarkan kebutuhan yang pokok dahulu, sebelum kebutuhan lainnya.

HADITS KETIGA:

وعن أمِّ سَلمَة رَضي الله عنها، قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُول الله، هَلْ لِي أجرٌ فِي بَنِي أَبي سَلَمَة أنْ أُنْفِقَ عَلَيْهِمْ، وَلَسْتُ بِتَارِكتهمْ هكَذَا وَهكَذَا إنَّمَا هُمْ بَنِيّ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، لَكِ أجْرُ مَا أنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Ummu Salamah -raḍiyallāhu 'anhā-, ia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah aku akan mendapat pahala apabila aku memberi nafkah kepada putra-putra Abu Salamah, sedangkan aku tidak akan membiarkan mereka berkeliaran mencari makan kesana-kemari. Mereka adalah anak-anakku?" Beliau menjawab, "Ya, kamu mendapatkan pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Ummu Salamah -raḍiyallāhu 'anhā- bertanya kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Apakah aku akan mendapatkan pahala akhirat apabila aku memberi nafkah kepada anak-anakku dari Abu Salamah dan memberi kecukupan kepada mereka, dan aku tidak akan membiarkan mereka gelabakan mencari makan? Ataukah aku tidak memperoleh pahala, sebab aku melakukan itu karena kasihan, mereka itu adalah anak-anakku?" Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- memberitahunya bahwa dia akan mendapat pahala dari pemberian nafkahnya kepada mereka.

2. Seorang ibu akan mendapatkan pahala karena memberi nafkah kepada anak-anaknya, supaya mereka terbebas dari kesulitan. Itulah bentuk kasih sayang ibu terhadap anak-anaknya.

HADITS KEEMPAT:

وعن سعد بن أَبي وقاص -رضي الله عنه- في حديثه الطويل الَّذِي قدمناه في أول الكتاب في باب النِّيَةِ: أنَّ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ لَهُ: وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ في فيِّ امرأتِك. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. dalam hadits yang panjang yang kami tulis pada bab niat, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan dengan maksud mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala sampai apa saja yang kamu sediakan untuk isterimu.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan:

Seorang suami memberi nafkah kepada istrinya jika dilakukan dengan ikhlas pasti akan mendapat balasannya, walaupun dia mendapat kenikmatan dari istrinya itu. Oleh karena itu orang yang melakukan suatu perbuatan dengan niat baik pasti akan naik derajatnya. 

HADITS KELIMA:

وعن أَبي مسعود البدري -رضي الله عنه-، عن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: إِذَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِيَ لَهُ صَدَقَةٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Mas’ud Al-Badriy ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: "Apabila seorang lelaki mengeluarkan nafkah untuk keluarganya dengan mengharap rida Allah, maka nafkah itu menjadi sedekah baginya." (H.R. Muttafaq Alaih)


Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Apabila seorang lelaki menafkahkan hartanya untuk keluarga yang wajib dinafakahinya seperti istri, anak, dan selain mereka, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah -Ta'ālā-, dan mengharapkan pahala nafkah tersebut, maka dia diberi balasan seperti pahala sedekah kepada orang-orang fakir dan berbagai perbuatan baik lainnya. 

2. Niat menjadi pembeda suatu amalan, meskipun amalnya sama. Begitu pula dengan menafkahi keluarga. Jika diniatkan mengharap balasan dari Allah, maka pahalanya seperti orang yang bersedekah.

HADITS KEENAM:

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما، قَالَ : قَالَ رَسُول الله -صلى الله عليه وسلم-: كَفَى بِالمَرْءِ إثْمَاً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ. حديث صحيح رواه أَبُو داود وغيره .

ورواه مسلم في صحيحه بمعناه، قَالَ: كَفَى بِالمَرْءِ إثْمَاً أنْ يحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Seseorang cukup dianggap berdosa apabila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi belanja.” (H.R. Abu Dawud dan lain-lain, hadits shahih). Dalam riwayat Imam Muslim: Cukuplah seseorang itu menanggung dosa, jika ia menahan (tidak memberi makan) kepada orang yang menjadi miliknya (tanggungannya).”

Keterangan:

Ancaman kepada orang yang enggan menafkahi keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya, seperti kerabat, pekerja, bahkan hamba sahaya sekalipun.

HADITS KETUJUH:

وعن أَبي هريرة -رضي الله عنه-: أن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ إلاَّ مَلَكانِ يَنْزلاَنِ، فَيقُولُ أحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أعْطِ مُنْفقاً خَلَفاً، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أعْطِ مُمْسِكاً تلَفاً. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw. bersabda:  "Tidaklah para hamba memasuki waktu pagi hari, melainkan ada dua malaikat turun (ke bumi). Maka salah satu dari mereka berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti (yang baik) kepada orang yang bersedekah’. Sedang malaikat yang satunya lagi mengatakan, ‘Ya Allah, timpakanlah kehancuran pada orang yang menahan hartanya (kikir)." (H.R. Muttafaq Alaih)

Keterangan: 

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Tidak akan berlalu satu hari pada manusia melainkan turun dua malaikat. Satu dari dua malaikat itu berkata, "Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya dalam kebaikan, seperti untuk berbagai ketaatan, untuk keluarga dan para tamu di dunia dan akhirat." Malaikat yang lain berkata, "Ya Allah, binasakanlah orang kikir yang tidak melaksanakan kewajiban untuk mengeluarkan harta, yaitu (binasa pada) diri dan hartanya.

2. Mendoakan orang dermawan supaya hartanya bertambah dan Allah ganti dengan yang lebih baik karena telah bersedekah.

3. Orang bakhil boleh didoakan agar mendapat balasan dengan kebinasaan karena tidak menunaikan kewajiban Allah swt.

HADITS KEDELAPAN:

وعنه، عن النَّبيّ -صلى الله عليه وسلم-، قَالَ: اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنىً، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Tangan yang di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta) dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah sedekah yang diberikan oleh orang yang mempunyai kelebihan. Siapa saja yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaga kehormatannya, dan siapa saja yang merasa dirinya cukup, maka Allah akan mencukupkannya. (H.R. Bukhari)

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Empat macam tangan dalam karakternya, yaitu tangan yang berinfak, tangan yang tidak mengambil hak orang lain, tangan yang menerima harta dari orang lain tanpa meminta, dan tangan yang meminta.

2. Memohonlah kepada Allah dalam menghadapi perkara apapun, niscaya Allah akan menolong.

3. Karakter muslim yang saleh adalah muslim yang bisa menjaga harga dirinya dengan tidak menjadi peminta-minta.

4. Nafkah yang terbaik adalah diserahkan kepada keluarga, karena itulah Rasulullah saw. bersabda, “Mulailah sedekah kepada orang yang menjadi tanggunganmu.”

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Kader Pemuda Persis Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama