‘Aqidah (عَقِيْدَةٌ) merupakan
lafadz yang berasal dari اَلعَقْدُ (عَقَدَ) yang artinya adalah mengikat ujung-ujung
sesuatu, dan ini biasanya digunakan dalam bentuk benda kasar, seperti mengikat
tali, atau mengikat bangunan. Kemudian kata tersebut dipinjam penggunaannya dalam
bentuk non fisik. Contohnya seperti kalimat عَقْدُ البَيْعِ (‘aqdul-bay’i) artinya mengikat
(akad) jual beli, atau seperti kalimat عَقْدُ العَهْدِ (‘aqdul-‘ahdi) yaitu mengikat
(akad) perjanjian dan contoh selain keduanya. Disebutkan dalam sebuah kalimat kalimat
عَاقَدْتُهُ artinya aku
telah mengikatnya. Dan kalimat تَعَاقَدْنَا Artinya kami telah saling mengikatkan. Kalimat عَقَدْتُ يَمِيْنَهُ artinya aku telah mengikat sumpahnya.
Disebutkan dalam sebuah kalimat عَاقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ artinya telah terikat sumpah janjimu. Dan
itu dibaca seperti dalam firman Allah yang berbunyi:
عَقَدَتْ
أَيْمَانُكُمْ.
“Telah bersumpab setia dengan mereka.” (QS. An-Nisa [4]: 33)
Dan Allah juga berfirman:
بِمَا عَقَّدْتُّمُ الأَيْمَانَ.
Bimaa ‘aqqottumul-aymaana, "Disebabkan sumpah-sumpab kamu
sengaja." (QS.
Al-Maidah [5]: 39)
Ada juga yang membacanya dengan bacaan بِمَا عَقَدْتُمُ
الأَيْمَانَ (bimaa ‘aqodtumul-aymaana).
Dari pemaknaan ini maka disebutkan dalam sebuah kalimat فُلَانٌ عَقِيْدَةٌ (fulaanun ‘aqiidatun) artinya si
fulan terikat. Dan juga dikatakan bahwa kalung disebut dengan عِقْدٌ (‘iqdun). Kata اَلعَقْدُ (al-‘Aqdu) adalah bentuk mashdar
yang kemudian dijadikan isim lalu dijamakkan.
Contohnya seperti firman Allah yang berbunyi:
أَوْفُوْا بِالعُقُوْدِ.
"Penuhilah akad-akad itu." (QS. Al-Maidah [5]: 1)
Kata اَلعُقْدَةُ (al-‘Uqdatu)
adalah jenis perakadan, baik itu berupa akad nikah, akad sumpah, atau yang
lainnya.
Allah berfirman:
وَلَا تَعْزِمُوْا
عُقْدَةَ النِّكَاحِ.
"Dan janganlah kamu berazam Berketetapan hati) untuk menikah." (QS. Al-Baqarah [2]: 235)
Kalimat عُقِدَ لِسَانُهُ (‘uqida
lisaanuhu) artinya lisannya telah terikat, maksudnya adalah ucapannya.
Allah berfirman:
وَاحْلُلْ
عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ.
"Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku." (QS. Thaha [20]: 27)
النَّفَاثَاتِ فِيْ
العُقَدِ.
"Wanita-anita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul." (QS. Al-Falaq [113]: 4)
Jamak dari kata tersebut adalah عُقْدَةٌ (‘uqdatun) dan itu berarti sesuatu
yang diikatkan oleh tukang sihir, asal maknanya adalah jimat, oleh karena itu
yang demikian juga bisa disebut dengan عَزِيْمَةٌ (‘aziimatun). Dan tukang sihir yang
mengikatkannya disebut dengan مُعْقِدٌ (mu’qidun).
Disebutkan juga dalam sebuah kalimat نَاقَةٌ عَاقِدَةٌ (naaqotun ‘aaqidatun) artinya unta
yang disuntikan pada bagian ekornya. Kalimat تَيْسٌ أَعْقَدَ (taysun a’qoda) kambing yang
ekornya bengkok, begitu juga dengan kalimat كَلْبٌ أَعْقَدُ (kalbun a’qodu) artinya anjing yang
bengkok ekornya. Kalimat تَعَاقَدَتِ الكِلَابُ (ta’aaqodatil-kilaabu) artinya anjing
itu saling menaiki satu sama lainnya. (ar-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufradat
fii Ghariib al-Qur’aan)
Al-Ustadz Hamdan Abu Nabhan menjelaskan pengertian dan urgensi ‘Aqidah
Islamiyyah dengan panjang lebar. Al-Ustadz menulis, Sesungguhnya agama Islam
terdiri dari ‘Aqidah dan Syari’ah. Adapun makna ‘Aqidah maka maksudnya adalah
urusan-urusan yang harus dibenarkan jiwa dan menjadi tenteram hati kepadanya,
dan keadaannya menjadi keyakinan bagi pemeluknya dengan tidak ada bimbang dan
keraguan padanya. Dan syari’at maksudnya tugas-tugas untuk dikerjakan yang
dibebankan oleh Islam, seperti shalat, zakat, shaum, berbuat baik kepada
ibu-bapak dan lain-lain. (‘Abdul ‘Aziz Alu ‘Abdil Lathif, at-Tauhid, hal.
14)
Urgensi ‘Aqidah Islamiyyah ini
nampak pada beberapa urusan yang banyak, diantaranya sebagai berikut:
1.
Sesungguhnya kebutuhan kita terhadap ‘Aqidah ini
berada di atas semua kebutuhan, dan kepentingan kita terhadapnya di atas
seluruh kepentingan. Demikian itu karena tidak ada kebahagiaan bagi hati, tidak
ada kenikmatan dan kegembiraan baginya kecuali dengan beribadah kepada Rabbnya,
Penciptanya (Allah) Ta’ala.
2.
Sesungguhnya ‘Aqidah Islamiyah merupakan kewajiban
paling besar dan paling ditekankan. Oleh karena itu, urusan ‘Aqidah ini adalah
pertama yang diwajibkan kepada manusia, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ...
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan Muhammad
adalah utusan Allah,…” (Hr. al-Bukhariy, Shahih
al-Bukhariy: Kitab al-Iman, no. 25; Muslim, Shahih Muslim: Kitab
al-Iman, no. 22)
3.
Sesungguhnya ‘Aqidah Islamiyah adalah satu-satunya
‘Aqidah yang dapat mewujudkan keamanan dan kedamaian, kebahagiaan dan
kesenangan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
بَلَى مَنْ
أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak
demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 112)
Sebagaimana ‘Aqidah Islamiyyah
satu-satunya yang dapat mewujudkan kecukupan dan kesejahteraan. Allah Ta’ala
berfirman,
وَلَوْ أَنَّ
أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ
السَّمَاءِ وَالأرْضِ...
“Jikalau
penduduk kota-kota beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, …” (Qs. Al-A’raf [7]: 96)
4.
Sesungguhnya ‘Aqidah Islamiyah merupakan penyebab
didapatkannya kekuasaan di muka bumi dan sebab berdirinya daulah Islam. Allah
Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ
كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الأرْضَ يَرِثُهَا
عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ.
Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur
sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuz, bahwasanya bumi ini
dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh. (Qs. Al-Anbiya
[21]: 105)
‘Aqidah adalah tauqifiyah, artinya,
tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syar’iy, tidak ada medan ijtihad
dan berpendapat di dalamnya. Karena itulah sumber-sumbernya terbatas kepada
apa yang ada di dalam al-Qur’andan as-Sunnah. (al-Fauzan, ‘Aqidat
at-Tauhid, hal. 8)
Dan penyimpangan dari ‘aqidah
shahihah ada beberapa sebab yang harus diketahui, diantara yang terpentingnya:
1.
Kebodohan terhadap ‘aqidah shahihah, karena tidak mau
(enggan) mempelajari dan mengajarkannya, atau karena kurangnya perhatian
terhadapnya.
2.
Ta’ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari bapak dan
nenek moyangnya. Sekalipun hal itu batil, dan mencampakkan apa yang
menyalahinya, sekalipun hal itu benar.
3.
Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah ‘aqidah tanpa
mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki kebenarannya.
4.
Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, serta
mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga meyakini pada diri
mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah, baik berupa
mendatangkan kemanfaatan maupun menolak kemudharatan. Juga menjadikan para wali
itu sebagai perantara antara Allah dan makhluk-Nya dalam mencapai kebutuhannya
dan diijabahnya do’a.
5.
Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di jagat ray
aini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang dalam kitab-Nya
(ayat-ayat Qur’aniyah). Di samping itu, juga terbuai dengan hasil-hasil
teknologi dan kebudayaan.
6.
Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari
pengarahan yang benar (menurut Islam).
7.
Enggannya media pendidikan dan media informasi -pada
keumuman di dunia Islam- melaksanakan tugasnya.
Dan cara menanggulangi
penyimpangan di atas teringkas berikut ini:
a.
Kembali kepada Kitabullah 'Azza wa Jalla dan Sunnah
Rasulullah Saw. untuk mengambil 'aqidah shahihah dari keduanya.
b.
Memberi perhatian pada pengajaran 'aqidah shahihah di
berbagai jenjang pendidikan. Memberi jam pelajaran yang cukup serta mengadakan
evaluasi yang ketat dalam menyajikan materi ini.
c.
Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai
materi pelajaran. Sedangkan kitab-kitab penyeleweng harus dijauhkan.
d.
Menyebar para da'i yang meluruskan 'aqidah umat Islam
dengan mengajarkan 'aqidah salaf yang bersih serta menjawab seluruh 'aqidah
yang menyimpang darinya. (Al-Fauzan, 'Aqidat at-Tauhid, hal. 11-14) Dikutip
dari buku “Sudah Luruskah Aqidah Kita? [Jilid 1]” karya al-Ustadz Hamdan Abu
Nabhan.
Wallaahu A’lam, abu akyas.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan