UMAR BIN AL-KHATHTHAB RA.

 

بسم الله الرحمن الرحيم

"عمر بن الخطاب"

MUQADDIMAH:

Nama Lengkap Umar adalah Umar bin Khattab Ibn Nufail Ibn Abd al-‘Uzza Ibn Riyah Ibn Qurth Ibn Razah Ibn ‘Adiy Ibn Ka’ab Ibn Lu’aiy al-Qurasyiy al-‘Adawiy. Umar dilahirkan tiga belas tahun setelah tahun Gajah (tahun kelahiran Nabi Muhammad). Ini berarti Umar radhiyallahu‘anhu lebih muda tiga belas tahun dari Nabi Muhammad Shalaullah Alaihi Wa sallam.

Sedangkan Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin Mughiroh bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Nasab Umar radhiyallahu‘anhu bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shalaullah Alaihi Wasallam pada Ka’ab Ibn Luay. Umar berasal dari kalangan keluarga terpandang suku ‘Adiy yang termasuk rumpun Quraisy. Umar memiliki kecerdasan yang luar biasa, bahkan dikatakan mampu memprakirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Umar radhiyallahu‘anhu menjadi orang yang dipilih sebagai duta dari kabilahnya pada masa Jahiliyyah. Jika terjadi perselisihan di antara para kabilah, maka Umar lah orang yang diutus untuk melerai dan mendamaikan. Hal ini menandakan bahwa Umar memiliki kecerdasan, keadilan, serta kebijaksanaan.

Meskipun memiliki keturunan dan nasab serta kedudukan yang terhormat di keluarganya, tetapi pada masa jahiliyyah Umar radhiyallahu‘anhu dikenal memiliki sifat yang kejam, bengis, dan suka minum minuman keras. Pada masa jahiliyyah dia menikahi banyak wanita, dan memiliki anak yang banyak. Akan tetapi sebagian besar isterinya tersebut meninggal dunia. Diantara anak-anaknya yang menonjol adalah Abdullah bin Umar dan Ummul Mukminin Hafshah.

Anak-anaknya yang lain adalah Fathimah, ‘Ashim, Abdurrahman al-Akbar, Abdurrahman al-Ausath, dan Abdurrahman al-Ashghar. Setelah menjadi khalifah, Umar juga menikah dengan Ummu Kultsum putri Ali bin Abi Thalib, dan Fatimah az-Zahra saudara Hasan dan Husain, cucu Nabi Muhammad Shalaullah Alaihi Wasallam.

FAEDAH SIRAH NABI: UMAR BIN AL-KHATHTHAB MASUK ISLAM.

Bagaimana dahulunya Umar bin Al-Khaththab masuk Islam?

Dahulunya sebelum masuk Islam, Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu sangat memusuhi dan sering menyakiti kaum muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Laila binti Hatsmah bin Abdullah istri Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, “Demi Allah, ketika kami hendak berangkat untuk berhijrah ke negeri Habasyah. Pada saat itu, Amir bin Rabi’ah pergi untuk suatu keperluan, tiba-tiba Umar yang masih musyrik, datang dan berdiri di hadapanku, padahal sebelumnya kami sering mendapatkan perlakuan kasar darinya, ia suka menyakiti dan mengganggu kami. Akan tetapi pada saat itu, ia berkata, ‘Benarkah kalian akan berangkat, wahai Ummu Abdillah?’ Aku jawab, ‘Ya demi Allah, kami akan berjalan di bumi Allah, sebab kalian selalu menyakiti dan menindas kami, mudah-mudahan kelak Allah akan memberikan jalan keluar terbaik bagi kami.’ Umar berkata, ‘Semoga Allah bersama kalian.’ Sungguh aku melihat sikap lembut Umar yang belum pernah aku lihat selama ini. Kemudian ia pergi dan aku melihat ia merasa sedih atas kepergian kami.

Ketika Amir bin Rabi’ah datang dari menunaikan keperluannya, aku berkata kepadanya, ‘Hai Abu Abdillah, seandainya kamu tadi ada, kamu akan melihat sikap lunak dan kesedihan Umar atas kepergian kita ini.’ Amir berkata, ‘Apakah kamu berharap ia masuk Islam?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata, ‘Sungguh orang yang kamu lihat tadi tidak akan masuk Islam sampai keledai Al-Khaththab masuk Islam.’ Amir merasa bahwa tidak ada harapan atas Umar akan masuk Islam, karena sikap keras dan kasarnya selama ini terhadap Islam.” (Disebutkan oleh Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, 1:365; Ibnu Hajar, Al-Ishabah, 8:180-181; Al-Haitsami berkata dalam Majma’ Az-Zawaid, 6:24, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, dan Ibnu Ishaq telah berterus terang bahwa ia meriwayatkannya dengan mendengar langsung, jadi riwayat ini shahih).

Pada peristiwa ini terlihat sikap lunak Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang tidak biasanya ia lakukan kepada orang Islam selama ini. Itulah yang membuat Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu tidak percaya apa yang diceritakan oleh istrinya, sebab biasanya Umar radhiyallahu ‘anhu bersikap kasar sehingga atas dasar itu, Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu merasa tidak mungkin Umar akan masuk Islam.

Karena kedudukan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang sangat penting di tengah bangsa Quraisy, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah Ta’ala secara khusus yang ditujukan kepada Umar dan Abu Jahal, agar Allah memberi petunjuk kepada salah satu dari mereka yang paling dicintai oleh Allah untuk Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

«اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِى جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ». قَالَ وَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai dari kedua laki-laki ini: Abu Jahal atau Umar bin Al-Khaththab.” Sang perawi mengatakan, ternyata yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar. (HR. Tirmidzi, no. 3681; Ahmad, 2:95. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

«اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ بِأَبِى جَهْلِ بْنِ هِشَامٍ أَوْ بِعُمَرَ». قَالَ فَأَصْبَحَ فَغَدَا عُمَرُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْلَمَ.

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau lewat Umar.” Maka datang pagi, lantas Umar radhiyallahu ‘anhu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian masuk Islam. (HR. Tirmidzi, no. 3683. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sanadnya dhaif).

Dan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ خَاصَّةً

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan Umar bin Al-Khaththab secara khusus.” (HR. Ibnu Majah, no. 105. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sanadnya dhaif).

Allah Ta’alabenar-benar mengabulkan doa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebabkan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu beriman pasca peristiwa hijrah ke Habasyah tahap pertama. Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa Umar masuk Islam tiga hari setelah Hamzah radhiyallahu ‘anhu masuk Islam.

Cukup banyak versi kisah tentang penyebab keislaman Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, tetapi yang menjadi pelajaran penting bagi kita di sini adalah seorang sahabat utama yang berubah watak kerasnya sejak detik-detik pertama ia masuk Islam menjadi sikap keras untuk membela kebenaran dan melawan kebatilan. Hal ini terlihat jelas pada beberapa kisah berikut ini: Ibnu Ishaq meriwayatkan telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Al-Harits yang berasal dari beberapa orang dari keluarga Umar sendiri bahwa Umar bin Al-Khaththab berkata, “Ketika malam aku masuk Islam, aku mengingat-ingat siapa di antara penduduk Makkah yang selama ini paling memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan aku datangi dan beritahukan padanya bahwa aku telah masuk Islam. Orang yang terpikir dalam benakku adalah Abu Jahal. Oleh karena itu, pada pagi harinya, aku menuju rumah Abu Jahal dan aku menggedor pintunya hingga dia pun keluar. Ia katakan, “Selamat datang wahai anak saudariku, apa yang membawamu kemari?”

Aku menjawab, “Aku datang untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan aku membenarkan yang dibawa olehnya.” Abu Jahal pun menutup pintu dengan keras di depanku sambil berkata, “Sialan, sungguh buruk kamu seburuk kabar yang kamu bawa kemari.” (Lihat As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, 1:371).

Ibnu Ishaq mengatakan telah bercerita kepadaku Nafi’ (bekas budak ‘Abdullah bin ‘Umar), dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sendiri yang berkata, “Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu masuk Islam, ia mengatakan, ‘Siapakah di antara orang-orang Quraisy yang paling cepat menyebarkan berita?’ Maka diberitahukan kepadanya Jamil bin Mu’ammar Al-Jumahi. Umar pun pergi menemuinya pada pagi-pagi buta dan aku pun berjalan mengikuti di belakangnya karena ingin mengetahui apa yang akan ia lakukan. Hingga ketika Umar bertemu Jamil, beliau berkata, ‘Hai Jamil, sesungguhnya aku telah masuk Islam, agama Muhammad.’ Demi Allah, Jamil tidak menjawab kata-kata Umar sedikit pun, tetapi ia segera bergegas pergi sambil menyeret selendangnya dan diikuti oleh Umar di belakangnya, sedangkan aku di belakang Umar sehingga ketika Jamil berdiri tepat di depan pintu masjid, ia pun berteriak dengan suara lantang, “Wahai orang-orang Quraisy”, sedangkan mereka berada di dalam ruang-ruang tempat pertemuan mereka di sekitar Ka’bah, ‘Ketahuilah bahwa Umar bin Al-Khaththab telah meninggalkan keyakinan nenek moyangnya.” Lihat As-Sirah An-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, 1:370.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan pula:

لَمَّا أَسْلَمَ عُمَرُ اجْتَمَعَ النَّاسُ عِنْدَ دَارِهِ وَقَالُوا صَبَا عُمَرُ . وَأَنَا غُلاَمٌ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِى

“Ketika Umar masuk Islam, orang-orang pada berkumpul di rumahnya sambil berteriak, Umar telah pindah agama. Ketika itu aku sendiri masih kanak-kanak, ketika itu aku memanjat ke atas atap rumahku.” (HR. Bukhari, no. 3865)

Begitulah sikap Umar kepada orang-orang Quraisy sejak keislamannya. Keislaman Umar telah membawa kemenangan dan menumbuhkan harga diri kaum muslimin, serta membawa kehinaan dan rasa minder bagi musuh-musuh Islam.

Ada banyak riwayat yang terkait hal ini, di antaranya:

Pertama: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

مَا زِلْنَا أَعِزَّةً مُنْذُ أَسْلَمَ عُمَرُ

“Kami terus merasakan harga diri yang tinggi semenjak Umar masuk Islam.” (HR. Bukhari, no. 3863)

Kedua: Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar:

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطُّ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ

“Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, setiap kali setan bertemu kamu sedang melewati suatu jalan, maka ia melewati jalan lain selain jalanmu.” (HR. Bukhari, no. 3294)

Diriwayatkan bahwa setelah Umar menyatakan diri masuk Islam, maka dia keluar bersama-sama sahabat yang lain dari Darul Arqam yang selama ini menjadi rumah persembunyian mereka, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan diapit di antara dirinya dan Hamzah. Semenjak itulah, kaum Quraisy mengetahui bahwa Muhammad telah mendapatkan kekuatan sehingga mereka tidak pernah merasa bersedih seperti kesedihan mereka pada saat itu. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

فَسَمَانِي رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ الفَارُوْق

“Maka sejak hari itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan julukan kepadaku dengan gelar Al-Faruq (pembeda).” (Lihat Al-Ishabah karya Ibnu Hajar, 4:380 dan As-Sirah An-Nabawiyyah karya Adz-Dzahabi, hlm. 107-108. Adz-Dzahabi mengatakan, “Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang dhaif.”).

PELAJARAN DARI MASUK ISLAMNYA UMAR BIN AL-KHATHAB:

Pertama: Dari kisah Laila binti Abi Hatsmah, istri Amir bin Rabi’ah, kita mendapatkan sebuah pelajaran penting bahwa kita tidak boleh putus asa akan keimanan seseorang, sekalipun ia sangat memusuhi Islam atau banyak melakukan kemaksiatan. Contohnya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya sangat menjadi musuh besar bagi kaum muslimin sehingga Amir bin Rabi’ah merasa yakin bahwa Umar tidak akan masuk Islam sampai keledai milik ayahnya, Al-Khaththab, masuk Islam terlebih dahulu. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah menakdirkan hidayah bagi Umar radhiyallahu ‘anhu sehingga ia menjadi salah satu tokoh yang paling besar jasanya bagi Islam.

Kedua: Ada pelajaran berupa pentingnya mendoakan orang non-muslim agar mendapatkan hidayah, khususnya bagi seseorang yang akan mempunyai pengaruh positif bagi kaum muslimin. Betapa pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan berbagai saran dan cara untuk berdakwah, beliau pun tidak lupa berdoa kepada Allah Ta’ala untuk kaumnya secara umum atau untuk tokoh tertentu agar mendapatkan hidayah.

Ada dua contoh di sini yang bisa kita lihat tentang pengaruhnya doa sehingga non-muslim pun bisa masuk Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Thufail bin Amru Ad-Dausi beserta sahabat-sahabatnya datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya orang-orang kabilah Daus menentang dan tidak mau beriman, maka doakan kepada mereka kebinasaan. Maka ada sebagian mereka mengatakan, “Doakan kehancuran saja untuk kabilah Daus.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malah berdoa:

اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَائْتِ بِهِمْ

“Ya Allah, berilah hidayah kepada Daus dan datangkan mereka.” (HR. Bukhari, no. 2937 dan Muslim, no. 2524)

Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan ibunda Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu agar ia masuk Islam. Sebelumnya ibunya adalah wanita musyrik. Suatu saat, Abu Hurairah pernah mendakwahi ibunya dan ketika itu ibunya menjelek-jelekkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Hurairah lantas mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku sudah mengajak ibuku untuk masuk Islam, namun ia belum mau dan bahkan ia menjelek-jelekkan dirimu. Berdoalah kepada Allah untuk memberikan hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berdoa:

اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِى هُرَيْرَةَ

“Ya Allah berikanlah hidayah kepada ibu dari Abu Hurairah.”

Lalu Abu Hurairah gembira dengan doa baik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ibunya. Lantas ia pulang dan ketika sampai di pintu rumah, ibunya sudah mengetahui Abu Hurairah datang karena mendengar langkah kakinya. Ibu Abu Hurairah lantas bertanya, “Apakah engkau Abu Hurairah?” Lantas Abu Hurairah mendengar suara air, ternyata ibunya sedang mandi. Lalu ibunya mengenakan pakaiannya, kemudian bergegas mengenakan kerudungnya. Ibunya kemudian membukakan pintu, kemudian berkata:

يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”

Segera Abu Hurairah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ia menangis gembira lantas berkata, “Lihatlah, Allah telah mengabulkan doamu dan akhirnya ibu dari Abu Hurairah mendapatkan hidayah.” Beliau pun memuji Allah dan menyanjung-Nya lalu beliau berkata, “Itu baik sekali.” Kemudian Abu Hurairah meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah mencintaiku dan ibuku pada hamba-Nya yang beriman dan menjadikan kami berdua menjadi orang yang dicintai oleh orang-orang beriman.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هَذَا – يَعْنِى أَبَا هُرَيْرَةَ وَأُمَّهُ – إِلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمُ الْمُؤْمِنِينَ

“Ya Allah, cintailah hambamu ini—yaitu Abu Hurairah dan ibunya—pada hamba-hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah orang beriman mencintai mereka.” Dari situ tidaklah seorang mukmin pun mendengar nama Abu Hurairah kecuali mereka mencintainya. (HR. Muslim, no. 2491).

Ketiga: Sesungguhnya kewajiban membenci orang kafir bukanlah karena pribadinya, tetapi disebabkan akidah batil yang ia bawa. Pelajaran ini kita peroleh dari anjuran untuk mendoakan orang kafir agar mendapatkan hidayah. Sebab jika kita membenci seseorang karena pribadinya, maka kita tidak menyukai kalau ia mendapatkan kebaikan. Jika kita membencinya karena suatu perkara, maka kita membencinya selama perkara itu ada padanya. Jika ia telah meninggalkan perkara itu, maka kita akan mencintainya dan mendukungnya.

Keempat: Dianjurkan membuat orang kafir itu marah dan membuat mereka bersedih tetapi tidak berlebihan. Karena Umar ketika masuk Islam, lantas ia ingin menampakkan keislamannya sampai ia shalat di dekat Kabah. Perbuatan Umar membuat orang kafir sedih dan cemas yang luar biasa. Allah Ta’ala berfirman:

يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

“Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (QS. Al-Fath: 29)

Kelima: Kelebihan orang lain tetap diakui. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud sebelumnya:

مَا زِلْنَا أَعِزَّةً مُنْذُ أَسْلَمَ عُمَرُ

“Kami terus merasakan harga diri yang tinggi semenjak Umar masuk Islam.” (HR. Bukhari, no. 3863)

Keenam: Faktor awal yang menyebabkan Umar radhiyallahu ‘anhu masuk Islam adalah ketika ia mendengar beberapa ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh Al-Qur’an yang mulia ini terhadap hati manusia. Contoh lainnya adalah pada sekelompok jin yang masuk Islam seperti disebutkan dalam ayat:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖفَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (QS. Al-Ahqaf: 29)

Di antara cerita yang menjelaskan ayat di atas adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju dari Tihamah lalu melaksanakan shalat Shubuh, kemudian ketika para jin mendengar Al-Qur’an. Lantas mereka kembali kepada kaumnya sehingga disebutkan dalam ayat lainnya:

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا

“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan.”(QS. Al-Jin: 1)

Ketujuh: Ketika Umar masuk Islam di Darul Arqam, para sahabat yang mendengar keislamannya lantas bertakbir karena ini adalah berita gembira yang mereka dengar. Itulah sikap yang benar dengan cara bertakbir, tidak dengan bertepuk tangan seperti kebiasaan sebagian kita karena meniru non-muslim.

Disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (12:82-83), “Adapun tepuk tangan bukan karena hajat (kebutuhan), maka telah ditegaskan oleh para ulama akan haramnya dan sebagian ulama menyatakannya makruh (terlarang).

Para ulama menyatakan bahwa perbuatan semacam itu adalah permainan yang sia-sia atau termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) amalan ibadah orang-orang Jahiliyah ketika mereka berada di sekeliling Ka’bah:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً

“Ibadah mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)

Para ulama juga beralasan terlarangnya perbuatan tersebut karena itu termasuk tasyabbuh (meniru-niru kelakuan) wanita. Karena dalam hadits disebutkan bahwa hal semacam itu hanya khusus bagi wanita ketika wanita memperingatkan imam saat shalat. Sedangkan ketika itu, laki-laki mengingatkan imam dengan ucapan tasbih.”

Dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ

“Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari, no. 7190 dan Muslim, no. 421. Lafazhnya adalah lafazh Muslim).

ANTARA UMAR BIN KHATHAB RADHIALLAHU’ANHU DAN HARTA:

Jika Anda ingin tahu siapakah sosok figur yang memiliki ciri khas berikut ini:

1. Orang terbaik kedua di kalangan Umat para Nabi dan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam.

2. Termasuk orang yang mendapatkan pujian di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

3. Termasuk salah satu dari Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum.

4. Termasuk salah satu dari sepuluh orang yang dikabarkan masuk Surga.

5. Termasuk orang yang mendapatkan keistimewaan berupa perintah Allah pada umat Islam untuk mengikutinya

Tahukah Anda siapakah sosok figur yang memiliki ciri khas di atas? Tidak lain dan tidak bukan beliau adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, sosok panutan yang memiliki sekian banyak keistimewaan yang lainnya, selain yang sudah disebutkan di atas.

Ya, memang benar bahwa membicarakan pribadi beliau dan sisi kehidupannya adalah suatu hal yang tidak bisa dituangkan dalam satu buku saja, apalagi hanya dalam artikel yang singkat ini. Namun, Ma laa yudraku kulluh, laa yutraku kulluh (sesuatu yang tidak bisa didapatkan semuanya janganlah ditinggalkan semuanya). Tidak ada rotan akar pun jadi. Semoga yang sedikit ini bisa bermanfa’at besar bagi kita semua. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اقتدوا باللذين من بعدي من أصحابي أبي بكر وعمر

“Ikutilah orang-orang sesudahku dari para sahabatku, yaitu Abu Bakar dan Umar” (Disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’).

Keteladanan Umar dalam Menyikapi Harta:

Banyak mutiara teladan dari figur kita yang satu ini. Pada kesempatan ini penulis mengangkat tema sikap beliau terhadap harta agar dapat menjadi contoh dan teladan. Apapun kedudukan kita, sama saja apakah kita adalah anggota keluarga, masyarakat, atau pejabat dan pihak berwenang yang mengelola harta negara, semuanya membutuhkan sosok teladan dari penduduk Surga yang satu ini. Beliau berpengalaman memimpin negara besar dan bersejarah, bahkan termasuk salah satu dari Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum, yaitu penerus Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam memimpin negara Islam terbesar sepanjang sejarah Islam. Lebih dari itu, beliau adalah orang terbaik kedua di muka bumi ini setelah para Nabi dan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam.

Iman kepada Allah adalah Pondasi Sikap Beliau Terhadap Harta:

Beliau adalah orang yang paling bertakwa kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiiq radhiyallahu ‘anhuma di tengah-tengah umat ini. Karenanya, pantas jika seluruh sikap beliau dibangun di atas pondasi takwa dan iman. Keimanan beliau kepada Allah yang tinggi membuahkan khasyatullah (takut kepada Allah), zuhud (meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfa’at bagi akhirat) dan wara’ (meninggalkan sesuatu yang membahayakan nasib seseorang di Akhirat) yang tinggi pula, dengan pertolongan dari Allah.

Hal ini nampak, sampaipun saat beliau menjabat sebagai amirul mukminin (pemimpin negara kaum muslimin) di negara Islam paling besar. Saat itu beliau menduduki jabatan paling tinggi. Dengan jabatan setinggi itu, sangat memungkinkan bagi beliau untuk melakukan berbagai kemaksiatan terkait dengan harta negara, seperti memperkaya diri dan keluarganya dengan cara yang batil dan mengeruk kas negara sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, beliau mengingatkan diri sendiri untuk takut kepada Allah, berusaha mengawasi diri sendiri, mengaudit (menghisab) setiap amal perbuatan, dan bertakwa kepada Allah.

Wahai Para Pemimpin, Inilah Ketakwaaan Umar bin Khattab:

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengisahkan tentang betapa takutnya Umar kepada azab Allah:

خرجت مع عمر بن الخطاب حتى دخل حائطاً، فسمعته يقول وبيني وبينه الجدار، وهو في جوف الحائط: أعمر أمير المؤمنين بخٍ بخٍ،والله يا بُنَيَّ الخطاب لتتقين الله أو ليعذبنك

“Saya keluar bersama Umar bin Khattab hingga beliau masuk ke dalam suatu tempat yang berdinding. Saat itu saya mendengar beliau mengatakan sesuatu dan saat itu antara saya dan beliau terhalang dinding. Beliau di tengah-tengah tempat yang berdinding tersebut mengatakan pada dirinya sendiri, ‘Apakah Umar layak menjadi Amirul Mukminin? Wah, wah! Demi Allah, wahai putra Al-Khattab, sungguh-sungguhlah bertakwa kepada Allah atau Allah benar-benar akan mengazabmu‘” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththo` dan yang lainnya, Shahih dari jalan Imam Malik).

Di antara perkara yang menunjukkan rasa takutnya Umar kepada Allah, walaupun keberhasilan pemerintahan telah beliau raih, adalah riwayat berikut ini.

ولما حضرت الوفاة عمر رضي الله عنه أثنى عليه الناس في إمارته وخلافته، فقال بالإمارة تغبطوني؟! فوالله لوددت أني أنجو كفافاً لا علي ولا لي

“Menjelang wafatnya Umar radhiyallahu ‘anhu, orang-orang memuji kepemimpinan dan pemerintahan beliau. Seketika itu beliau menimpali, ‘Apakah kalian menginginkan kepemimpinan tersebut? Demi Allah, sungguh aku menginginkan diriku asal selamat saja, tidak rugi dan tidak pula untung’” (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’din dalam Ath-Thabaqat dan yang lainnya, shahih dari jalan Ibnu Sa’din).

Itulah sekelumit sikap Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu terhadap kekuasaan, yang bagi banyak orang, kekuasaan adalah salah satu pintu terbesar untuk bisa mengeruk harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang haram, namun beliau menyikapinya sebagai sebuah ujian hidup yang berat. Padahal beliau adalah orang pakling baik dan bertakwa kedua di muka bumi ini, setelah para Nabi dan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam.

Zuhud Beliau (meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di Akhirat):

Di antara sikap Umar radhiyallahu ‘anhu adalah zuhud terhadap dunia dan perhiasannya serta mengharap pahala di sisi Allah. Banyak contoh yang menunjukkan hal itu, namun satu saja yang akan dinukilkan di sini, yaitu sebuah kisah yang dituturkan langsung oleh beliau radhiyallahu ‘anhu:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعطيني العطاء فأقول أعطه أفقر إليه مني، حتى أعطاني مرة مالاً، فقلت: أعطه من هو أفقر إليه مني، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (خذه فتموله، وتصدق به، فما جاءك من هذا المال، وأنت غير مشرف ولا سائل فخذه، ومالا فلا تتبعه نفسك)

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah memberiku suatu pemberian, lalu akupun mengatakan, ‘Berikanlah itu kepada yang lebih membutuhkan dari aku. Di saat yang lain beliau pun memberiku harta lagi, lalu akupun mengatakan, ‘Berikanlah itu kepada orang yang lebih membutuhkan dari aku.’ Akhirnya beliau pun bersabda, ‘Ambilah harta itu, lalu milikilah sebagai hartamu dan bersedekahlah dengan harta itu. Sesuatu yang datang kepadamu dari harta ini, sedangkan Anda tidak tergiur bersemangat mengharap-harapnya dan tidak pula memintanya, maka ambillah. Adapun jika sebaliknya, maka janganlah nafsumu mencari-carinya (jika harta tersebut tidak datang kepadamu)’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan yang lainya).

Wara’ beliau (meninggalkan sesuatu yang membahayakan nasibnya di Akhirat):

Di antara sikap Umar radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan kesempurnaan agamanya adalah wara’nya beliau dalam meninggalkan sesuatu yang jelas keharamannya maupun yang masih samar atau belum jelas halal dan haramnya (syubhat).

Beliau dahulu memiliki onta yang biasa diperas susunya untuk diminum. Suatu hari, seorang pembantu yang kurang dikenalinya datang pada beliau.

Maka berkatalah Umar radhiyallahu ‘anhu:

ويحك من أين هذا اللبن لك؟

“Celaka engkau! Darimana kau dapatkan susu ini?”.

Lalu pembantunya tersebut menjawab:

يا أمير المؤمنين إن الناقة انفلت عليها ولدها، فشربها، فحلبت لك ناقة من مال الله

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya anak onta Anda lepas dari induknya, kemudian (setelah kembali) anak onta itu pun menyusu kepada induknya. Aku pun memeras susu untukmu dari onta lain yang merupakan harta Allah”.

Berkatalah Umar radhiyallahu ‘anhu:

ويحك، تسقني ناراً

“Celaka engkau! Engkau memberiku minum dari api neraka” (Riwayat hasan, diriwayatkan Ibnu Zanjawiyyah di Al-Amwaal dan Ibnu Syabbah di Taariikh Al-Madiinah).

Kedermawanan beliau:

Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang yang sangat dermawan, banyak berinfak di jalan Allah, dan banyak melapangkan rakyatnya. Beliau berlomba dengan Abu Bakar Ash-Shiddiiq radhiyallahu ‘anhuma dalam bersedekah. Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bersedekah dengan harta termahal yang dimilikinya, yaitu tanah miliknya di daerah Khaibar (Riwayat Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Beliau juga sangat dermawan dalam menjamu tamu. Ketika beliau kedatangan tamu, Utbah bin Farqod, Umar pun berucap, “Sungguh kami akan menyembelih satu ekor onta setiap hari. Adapun onta yang berlemak (gemuk) dan onta terbaik, maka itu untuk kaum muslimin yang mengunjungi kami dari berbagai penjuru” (Diriwayatkan oleh Hanad dan yang lainnya. Riwayat shahih dari jalan Hanad).

Tipe Pejabat pilihan Umar, bukan dilihat dari kekayaannya:

Umar radhiyallahu ‘anhu adalah sosok yang memiliki pandangan yang benar terhadap harta. Harta bukanlah menjadi patokan seseorang itu baik atau tidak, bertakwa atau tidak dan layak menjadi pemimpin atau tidak.

Oleh karena itu, sebagai kepala negara, dalam memilih para pejabat yang menjadi bawahannya beliau tidak menetapkan kekayaan sebagai kriteria dasar bagi kelayakan seseorang sebagai pemimpin kaum muslimin. Walaupun seseorang itu berasal dari kalangan budak, beliau akan memilihnya menjadi pemimpin jika syarat-syarat kepemimpinan terpenuhi.

Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Amirul Mukminin Umar bin Al Khattab radiyallahu ‘anhu di daerah ‘Usfan. Saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’.

Umar bertanya:

من استعملت على أهل الوادي؟

“Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin daerah lembah?”

Nafi’ menjawab:

ابن أبزى

“Ibnu Abza”

Umar bertanya:

ومَنْ ابن أبزى؟

“Siapa Ibnu Abza?”

Nafi’ menjawab:

مولى من موالينا

“Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan”

Umar bertanya kembali:

فاستخلفت عليهم مولى؟

“Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang bekas budak?”

Nafi’ mengatakan:

إنه قارئ لكتاب الله عـز وجل ، وإنه عالـم بالفرائض

“Sesungguhnya dia adalah seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham, dan mengamalkannya) dan pakar ilmu Syari’at Islam”

Umar berkata:

أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قال : إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما، ويضع به آخرين

“Sungguh Nabi kalian shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain karena sebab sikap yang salah terhadap Al-Qur`an” (Shahih Muslim: 817).

Jelaslah dari kisah di atas bahwa pemimpin yang faham agama Islam dan semangat mengamalkannyalah yang dipilih dan disetujui menjadi pejabat pada masa beliau. Di samping itu, tentu beliau memperhatikan kriteria-kriteria lain yang sesuai dengan tugas yang diembannya.

Pembuktian terbalik:

Umar radhiyallahu ‘anhu tidak hanya menerapkan kriteria-kriteria yang baik dalam memilih seorang pejabat, namun beliau juga tidak membiarkan pejabat pilihannya menyeleweng di tengah-tengah bertugas. Beliau menerapkan berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan dalam berbagai hal, di antaranya adalah pengawasan dalam masalah harta.

Salah satu bentuk pengawasan harta pejabat bawahannya yang beliau terapkan adalah apa yang disebut pada zaman ini dengan istilah pembuktian terbalik, pembuktian yang berasal dari diri pejabat itu sendiri untuk menyatakan bahwa dirinya tidak menyelewengkan, mengambil, atau mengorupsi uang negara.

Suatu saat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu datang berkunjung menemui Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu Umar telah mengangkat Abu Hurairah sebagai pejabat di Bahrain. Ia membawa kekayaan sebesar sepuluh ribu keping uang emas (sekitar 42,5 kg emas). Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

استأثرت بهذه الأموال يا عدو الله وعدو كتابه

“Engkau telah melebihkan dirimu dengan harta ini, wahai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya! “.

Berkatalah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

لست بعدو الله ولا عدو كتابه، ولكني عدو من عاداهما

“Aku bukanlah musuh Allah dan bukan musuh Kitab-Nya, akan tetapi aku adalah musuh orang yang memusuhi Allah dan Kitab-Nya”.

Umar pun bertanya:

فمن أين هي لك

“Darimana uang ini engkau dapatkan?”

Abu Hurairah menjawab:

خيل لي تناتجت، وغلة رقيق لي، وأعطية تتابعت علي

“Kudaku berkembang biak, hasil usaha budakku naik, dan bagianku dari harta rampasan perang menumpuk“.

Umar radhiyallahu ‘anhu memberhentikan Abu Hurairah. Setelah itu para petugas Umar menyelidiki asal dari uang tersebut, ternyata mereka dapatkan sesuai dengan pengakuan Abu Hurairah, kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu pun meminta kembali Abu Hurairah untuk menjadi pejabat, namun Abu Hurairah menolaknya (Riwayat Hasan, diriwayatkan oleh Abdur Razzaq di Mushannaf dan Ibnu Sa’din dalam Ath-Thabaqat dan Abu Nu’aim di Hilyah Auliya`).

Nampak dari kisah di atas, Umar radhiyallahu ‘anhu meminta Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk membuktikan darimana asal hartanya tersebut, sesudah itu para petugas Umar mengauditnya.

Amanah Umar radhiyallahu ‘anhu dalam menunaikan hak para pejabat yang menjadi bawahannya berupa harta:

Bukan hanya kewajiban pejabat saja yang beliau awasi, namun beliau juga memperhatikan pemenuhan hak-hak para pejabat bawahannya, beliau berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pejabatnya, agar mereka tidak tergoda menggelapkan uang negara. Berikut ini salah satu buktinya.

Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk salah satu petugas penarik zakat dan termasuk orang yang mendapatkan kepercayaan mengurus harta kaum muslimin.

Pada masa kekhalifahan beliau radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah menunjuk Abdullah bin As-Sa’di untuk mengurus harta shodaqoh, dan ketika Abdullah bin As-Sa’di telah menyelesaikan tugasnya, Umar pun memberi upah kepadanya, namun Abdullah bin As-Sa’di berkata:

إنما عملت وأجري على الله

“Sesungguhnya aku bekerja sedangkan balasanku dari Allah”.

Lalu Umar menjawab:

خذ ما أعطيت، فإني عملت على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فَعَمَّلني فقلت مثل قولك

“Ambillah pemberianku ini, karena dulu aku bekerja di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau pun memberi upah hasil kerjaku, lalu aku pun mengatakan seperti ucapanmu (tadi).

فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا أعطيت شيئاً من غير أن تسأل فكل وتصدق

“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Jika engkau diberi sesuatu tanpa meminta maka makanlah dan bersedekahlah (dengannya)’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).

Perhatian Umar bukan hanya kepada harta pejabat, namun juga kepada rakyat:

Beliau radhiyallahu ‘anhu memperhatikan para pejabat bawahannya, namun beliau juga memperhatikan nasib masyarakat yang beliau pimpin. Sebagai contoh adalah Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki perhatian yang besar terhadap status kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakatnya. Beliau tidak ingin makanan yang haram mengotori hati masyarakatnya, sehingga berdampak munculnya berbagai macam kemaksiatan akibat tidak dihiraukannya konsumsi makanan yang haram tersebut.

Umar radhiyallahu ‘anhu suatu saat pernah menulis kepada para pasukannya yang berada di Azarbaijan surat sebagai berikut:

بلغني أنكم في أرض يخالط طعامها الميتة، ولباسها الميتة، فلا تأكلوا إلا ما كان ذكياً، ولا تلبسوا إلا ما كان ذكياً

“Telah sampai kepadaku bahwa kalian tinggal di daerah yang tercampur makanannya dengan bangkai dan demikian juga pakaiannya, maka janganlah kalian memakan kecuali hewan sembelihan (yang halal) dan janganlah kalian memakai pakaian kecuali dari (kulit) hewan yang disembelih (secara Syar’i)” (Riwayat Shahih,diriwayatkan oleh Ibnu Sa’din di Ath-Thabaqat).

Dari kisah di atas, terdapat pelajaran besar bahwa menjadi tugas bagi pemerintah untuk menjaga masyarakatnya dari seluruh jenis konsumsi yang haram dan menjauhkan sarana-sarana keharaman, baik berupa toko, pasar maupun mall-mall yang menjual makanan dan minuman yang haram.

MENELADANI UMAR BIN KHATHTHAB RADHIYALLAHU ANHU:

Pertanyaan.

Dalam riwayat dijelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada umatnya dengan lemah lembut sementara Umar Radhiyallahu anhu dalam berdakwah sangat tegas dan keras. Bolehkah prinsip Sahabat Umar Radhiyallahu anhu diikuti? Apakah itu tidak bertentangan dengan dakwah Rasul?

Jawaban.

Sikap keras Umar Radhiyallahu anhu itu sudah tepat pada tempatnya. Beliau Radhiyallahu anhu keras dalam al-haq dan juga dengan cara yang haq. Kita harus mengikuti sikap Umar Radhiyallahu anhu dalam berdakwah. Namun kita memahami benar sikap Umar Radhiyallahu anhu, kapankah sikap keras itu dilakukan? Bagaimana kerasnya? Dan kepada siapakah sikap keras itu diarahkan? Umar Radhiyallahu anhu adalah panutan bagi kita semua. Sikap keras beliau itu berlandaskan al-haq dan dengan cara yang haq. Namun, sangat disayangkan, sebagian orang tidak memahami sikap beliau Radhiyallahu anhu. Sejatinya, pribadi Umar Radhiyallahu anhu lemah lembut dan penuh kasih sayang, namun juga keras dan kuat. Bukti beliau Radhiyallahu anhu lemah lembut, Umar pernah sangat memperhatikan seorang wanita tua di pinggir kota Madinah. Umar Radhiyallahu anhu membersihkan rumahnya, memeraskan susu kambingnya, memperbaiki rumah wanita tersebut. Si wanita sering mengatakan, “Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan rahmat-Nya kepadamu, seharusnya yang paling berhak melakukan ini adalah Umar.” Dia tidak tahu kalau yang diajak bicara dan didoakan adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu.

Ini menunjukkan kelembutan dan kasih sayang Umar Radhiyallahu anhu. Saat ini, adakah seorang presiden, pemimpin wilayah atau bahkan direktur di sebuah perkantoran yang menaruh perhatian kepada perempuan tua dan melakukan seperti yang dilakukan oleh beliau Radhiyallahu anhu?! Ini bukti kelemahlembutan dan kasih sayang Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu.

Bukti-bukti yang menunjukkan kelemahlembutan Umar dan kasih sayangnya banyak, begitu bukti-bukti yang menunjukkan sikap keras dalam menegakkan al-haq.

Singkat kata, beliau Radhiyallahu anhu bisa dijadikan teladan dan bahkan beliau Radhiyallahu anhu termasuk teladan terbaik. Namun kita harus cermati dan harus memahami, kapankah Umar bersikap lemah lembut dan kepada siapa? Juga, kapankah beliau Radhiyallahu anhu menunjukkan sikap keras dan kuat? Dan kepada siapa?

KEUTAMAAN UMAR BIN KHATTAB:

Bagaimanakah keutamaan Umar bin Khatthab?

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata:

وَيُقَالُ بِفَضْلِ خَلِيْفَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَهُوَ أَفْضَلُ الخَلْقِ وَأَخْيَرُهُمْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُثَنِّي بَعْدَهُ بِالفَارُوْقِ وَهُوَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ فَهُمَا وَزِيْرَا رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَجِيْعَاهُ فِي قَبْرِهِ وَنُثَلِّثُ بِذِي النُّوْرَيْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ثُمَّ بِذِي الفَضْلِ وَالتُّقَى عَلٍّي بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ

“Dan dikatakan tentang keutamaan Khalifah (pengganti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah manusia terbaik dan terpilih sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita sebutkan di urutan kedua setelahnya adalah Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Keduanya adalah orang dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang bersebelahan kuburnya. Kemudian kita sebutkan yang ketiga adalah Dzun Nuurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, kemudian (setelahnya) adalah pemilik kemuliaan dan ketaqwaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum ‘ajma’iin (semoga Allah meridhai mereka berempat).

Ia adalah Umar bin Al-Khatthab bin Nufail bin Adi bin ‘Abdul Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luai, Abu Hafsh Al-‘Adawi. Ia dijuluki Al-Faruq.

Ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah. Ibunya adalah saudari tua dari Abu Jahal bin Hisyam.

Ia adalah seseorang yang berperawakan tinggi, kepala bagian depannya botak, mampu bekerja dengan kedua tangannya secara seimbang, matanya hitam, dan berkulit kuning. Ada pula yang mengatakan kulitnya putih hingga kemerah-merahan. Giginya putih bersih dan mengkilat. Selalu mewarnai janggutnya dan merapikan rambutnya dengan inai (daun pacar) (Thabaqat Ibnu Saad, 3:324).

Amirul mukminin Umar bin Khatthab adalah seorang yang sangat rendah hati dan sederhana, tetapi ketegasannya dalam permasalahan agama adalah ciri khas yang kental melekat padanya. Ia suka menambal bajunya dengan kulit, dan terkadang membawa ember di pundaknya, tetapi sama sekali tak menghilangkan ketinggian wibawanya. Kendaraannya adalah keledai tak berpelana, hingga membuat heran pastur Jerusalem saat berjumpa dengannya. Umar jarang tertawa dan bercanda, di cincinnya terdapat tulisan “Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu hai Umar (kafaa bil mauti waa’izhon yaa ‘Umar).”

Umar masuk Islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun. Diantara keutamaan Umar bin Khattab:

PERTAMA: Umar adalah Penduduk Surga yang Berjalan di Muka Bumi.

Diriwayatkan dari Said bin Al-Musayyib bahwa Abu Hurairah berkata, ketika kami berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُنِى فِى الْجَنَّةِ، فَإِذَا امْرَأَةٌ تَتَوَضَّأُ إِلَى جَانِبِ قَصْرٍ، فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ فَقَالُوا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، فَذَكَرْتُ غَيْرَتَهُ ، فَوَلَّيْتُ مُدْبِرًا. فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ أَعَلَيْكَ أَغَارُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Sewaktu tidur aku bermimpi seolah-olah aku sedang berada di surga. Kemudian aku melihat seorang wanita sedang berwudhu di sebuah istana (surga), maka aku pun bertanya, ‘Milik siapakah istana ini?’ Wanita-wanita yang ada di sana menjawab, ‘Milik Umar.’ Lalu aku teringat dengan kecemburuan Umar, aku pun menjauh (tidak memasuki) istana itu.” Umar radhiallahu ‘anhu menangis dan berkata, “Mana mungkin aku akan cemburu kepadamu wahai Rasulullah.” (HR. Bukhari, no. 3242 dan Muslim, no. 2395)

Subhanallah! Kala Umar masih hidup di dunia bersama Rasulullah dan para sahabatnya, tetapi istana untuknya telah disiapkan di tanah surga.

KEDUA: Mulianya Islam dengan Perantara Umar.

Dalam sebuah hadisnya Rasulullah pernah mengabarkan betapa luasnya pengaruh Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Beliau bersabda:

أُرِيتُ فِى الْمَنَامِ أَنِّى أَنْزِعُ بِدَلْوِ بَكْرَةٍ عَلَى قَلِيبٍ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَنَزَعَ ذَنُوبًا أَوْ ذَنُوبَيْنِ نَزْعًا ضَعِيفًا، وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ، ثُمَّ جَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَاسْتَحَالَتْ غَرْبًا، فَلَمْ أَرَ عَبْقَرِيًّا يَفْرِى فَرِيَّهُ حَتَّى رَوِىَ النَّاسُ وَضَرَبُوا بِعَطَنٍ

“Aku bermimpi sedang mengulurkan timba ke dalam sebuah sumur yang ditarik dengan penggerek. Datanglah Abu Bakar mengambil air dari sumur tersebut satu atau dua timba dan dia terlihat begitu lemah menarik timba tersebut, -semoga Allah Ta’ala mengampuninya-. Setelah itu datanglah Umar bin al-Khattab mengambil air sebanyak-banyaknya. Aku tidak pernah melihat seorang pemimpin abqari (pemimpin yang begitu kuat) yang begitu gesit, sehingga setiap orang bisa minum sepuasnya dan juga memberikan minuman tersebut untuk onta-onta mereka.” (HR. Bukhari, no. 3682)

Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Kami menjadi kuat setelah Umar memeluk Islam.”

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

« اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِى جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ». قَالَ وَكَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ عُمَرُ

“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang yang lebih Engkau cintai dari kedua laki-laki ini: Abu Jahal atau Umar bin Al-Khaththab.” Sang perawi mengatakan, ternyata yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar. (HR. Tirmidzi, no. 3681; Ahmad, 2:95. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

مَا زِلْنَا أَعِزَّةً مُنْذُ أَسْلَمَ عُمَرُ

“Kami terus merasakan harga diri yang tinggi semenjak Umar masuk Islam.” (HR. Bukhari, no. 3863)

KETIGA: Kesaksian Ali bin Abi Thalib Tentang Umar bin al-Khattab.

Diriwayatkan dari Ibnu Mulaikah, dia pernah mendengar Abdullah bin Abbas berkata, “Umar radhiallahu ‘anhu ditidurkan di atas kasurnya (menjelang wafatnya), dan orang-orang yang berkumpul di sekitarnya mendoakan sebelum dipindahkan –ketika itu aku hadir di tengah orang-orang tersebut-. Aku terkejut tatkala seseorang memegang kedua pundakku dan ternyata ia adalah Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali berkata (memuji dan mendoakan Umar seperti orang-orang lainnya), “Engkau tidak pernah meninggalkan seseorang yang dapat menyamai dirimu dan apa yang telah engkau lakukan. Aku berharap bisa menjadi sepertimu tatkala menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demi Allah, aku sangat yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu bersama dua orang sahabatmu (Rasulullah dan Abu Bakar). Aku sering mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ذَهَبْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، وَدَخَلْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، وَخَرَجْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ

“Aku berangkat bersama Abu Bakar dan Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar, dan aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar.” (HR. Bukhari, no. 3685)

KEEMPAT: Umar adalah Seorang yang Mendapat Ilham.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيمَا مَضَى قَبْلَكُمْ مِنَ الأُمَمِ مُحَدَّثُونَ، وَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِى أُمَّتِى هَذِهِ مِنْهُمْ، فَإِنَّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ

“Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila salah seorang umatku mendapatkannya, maka Umar bin Khatthab-lah orangnya.” (HR. Bukhari, no. 3469)

KELIMA: Wibawa Umar.

Dari Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الشيطان يفرق من عمر بن الخطاب

“Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar.” (HR. Ibnu ‘Asakir dari ‘Aisyah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar dan yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar.” (HR. Tirmidzi dalam al-Manaqib, hadits no. 3791)

Demikianlah di antara keutamaan Umar bin al-Khattab yang secara langsung diucapkan dan dilegitimasi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah meridhai Umar bin al-Khattab.

NASIHAT UMAR BIN KHATTAB UNTUK PARA PENGHAFAL AL-QUR’AN:

“Jaga dan rawatlah Al-Qur’an (menghafal dan mengamalkannya), demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh Al-Qur’an lebih cepat lepas (hilang dari hafalan) daripada lepasnya unta dari ikatannya,” kata Nabi Muhammad dalah satu hadits riwayat Bukhari.

Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat yang begitu ‘perhatian’ dengan Al-Qur’an dan penghafalnya. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab mengusulkan agar menyusun tulisan-tulisan Al-Qur’an yang berserakan–di lempengan batu, pelepah kurma, kulit binatang, dan kepingan tulang–ke dalam satu mushaf.

Usulan Umar bin Khattab itu tidak lepas dari kondisi saat itu, di mana sebanyak 70 sahabat penghafal Al-Qur’an gugur dalam Perang Yamamah, peperangan melawan orang-orang yang murtad sepeninggal wafatnya Nabi Muhammad. Melihat kejadian itu, Umar bin Khattab khawatir dan usul agar Al-Qur’an dibukukan. Semula Abu Bakar As-Shiddiq keberatan dengan usulan Umar tersebut, karena pada zaman Nabi hal itu tidak dilakukan, namun akhirnya dia sepakat.

Abu Bakar menugaskan beberapa orang untuk menyelesaikan tugas pengumpulan tulisan-tulisan Al-Qur’an, di antaranya Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Ubay bin Ka’ab. Zaid bin Tsabit, selaku sekretaris pribadi Nabi Muhammad, ditunjuk menjadi sebagai ketua pelaksana.

Kemudian pada saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, dia mengirimkan surat kepada pemimpin pasukan. Umar meminta laporan tentang ada berapa prajurit yang hafal Al-Qur’an. Sebagai penghormatan, Umar bin Khattab akan memberikan tunjangan kepada prajurit yang hafal Al-Qur’an. Tidak hanya itu, mereka juga akan dikirim ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada umat.

Salah seorang pemimpin pasukan melaporkan bahwa di pihaknya ada 300 orang lebih yang hafal Al-Qur’an. Setelah menerima surat itu, Umar bin Khattab mengirimkan surat yang berisi nasihat untuk para penghafal Al-Qur’an.

Pertama-tama Umar mengingatkan bahwa Al-Qur’an adalah pahala, kehormatan, dan simpanan bagi para penghafalnya. Oleh karenanya para penghafal diminta untuk mengikuti Al-Qur’an, bukan malah sebaliknya Al-Qur’an mengikuti mereka. Karena, mereka yang mengikuti Al-Qur’an, maka Al-Qur’an akan membawanya masuk ke dalam surga. Sementara mereka yang diikuti Al-Qur’an, maka Al-Qur’an sendiri akan melemparkannya ke dalam neraka.

“Jika engkau bisa, jadikanlah Al-Qur’an sebagai temanmu, dan jangan sampai ia menjadi musuhmu. Sebab, barang siapa yang mana Al-Qur’an menjadi temannya niscaya ia masuk surga. Dan barangsiapa dimusuhi Al-Qur’an, niscaya ia masuk neraka,” kata Umar bin Khattab dalam Hayatush Shahabah (Syekh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, 2019).

Umar bin Khattab mengatakan bahwa Al-Qur’an sumber petunjuk dan bunga ilmu. Kata Umar juga, Al-Qur’an adalah Kitab yang paling dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, Allah membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan hati yang tertutup dengan Al-Qur’an.

Dia melanjutkan, siapa saja yang bangun pada malam hari dan kemudian bersiwak, berwudhu, bertakbir, dan membaca Al-Qur’an, maka malaikat akan meletakkan mulutnya dalam mulut orang tersebut dan berkata, “Bacalah. Bacalah. Engkau telah harum dan Al-Qur’an juga harum bagimu.”

Amirul Mukminin juga mengingatkan, membaca Al-Qur’an dalam shalat adalah harta yang terpendam dan kebaikan yang tersembunyi. Oleh karena itu, dia meminta kepada pasukannya–dan umat Islam–untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah hujjah yang memberatkan atau meringankan.

“Karena itu, muliakanlah Al-Qur’an dan jangan rendahkan. Sebab, Allah memuliakan orang yang memuliakan Al-Qur’an dan merendahkan orang yang merendahkan Al-Qur’an,” ujarnya.

“Ketahuilah bahwa barang siapa membaca Al-Qur’an, menghafal, dan mengamalkannya serta mengikuti apa yang dikandungnya, ia memiliki doa yang mustajab di sisi Allah. Jika Dia menghendaki maka Dia doa tersebut di dunia. Jika tidak, doa tersebut menjadi simpanan baginya di akhirat,” lanjut Umar.

PESAN UMAR BIN KHATTAB: BELAJARLAH AGAMA SEBELUM MENJADI PEJABAT.

Mutiara-mutiara nasehat yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab sangatlah banyak, salah satu diantara mutiara nasehat tersebut adalah mengenai pentingnya belajar agama sejak dini.

Umar bin Khattab berkata:

تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوْا

“Tafaqqahu (belajarlah agama) sebelum kalian menjadi pejabat (pemimpin).’

Ini adalah nasehat agung yang disampaikan Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad) dan ia memberi komentar dengan kalimat: ‘Dan setelah menjadi penjabat (pemimpin), karena sesungguhnya para sahabat Nabi Muhammad SAW tetap belajar di usia senja mereka.’

Imam al-Bukhari memberi komentar dengan ungkapan ‘Dan setelah menjadi pemimpin’ karena khawatir ada yang justru memahami dari kata-kata itu bahwa kepemimpinan bisa menghalangi dari belajar agama.

Sesungguhnya yang dimaksudkan Umar bin Khattab RA bahwasanya ia bisa menjadi penghalang, karena pimpinan terkadang dihalangi oleh sikap sombong dan malu/enggan untuk duduk seperti duduknya para penuntut ilmu.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: ‘Apakah anak muda maju (sebagai pemimpin), berarti ia kehilangan ilmu yang sangat banyak.

Abu Ubaid memberikan penjelasan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas seraya berkata: ‘Belajarlah ilmu agama di saat kamu kecil sebelum engkau menjadi pemimpin, maka sikap sombong bisa menghalangimu mengambil (belajar ilmu agama) dari orang yang lebih rendah kedudukannya darimu, maka engkau tetap menjadi bodoh.’

Dr Umar bin Abdullah bin Muhammad al-Muqbil dalam tulisannya berjudul "Dari Khubah Umar Bin Khattab" yang diterjemahkan Muhammad Iqbal A. Gazali menjelaskan Al-Faruq mengisyaratkan dalam nasehatnya ini tentang penyakit yang mulai menular di dalam jiwa sebagian kaum muslimin, sebagaimana yang dijelaskan para imam.

Akan tetapi apa yang dikatakan tentang orang yang tidak belajar, bukan karena terhalang tugas kepemimpinan, jabatan, kedudukan dan pangkat, namun ia dirintangi oleh sikap sombong untuk duduk belajar hanya karena usianya yang sudah tua?

Sesungguhnya dalam belajarnya para sahabat Nabi merupakan suri tauladan yang harus diikuti, seperti yang dikatakan oleh al-Bukhari rahimahullah.

Sesungguhnya di antara yang menyebabkan kehinaan seorang laki-laki adalah kerelaannya dengan kebodohannya tentang persoalan agama yang dibutuhkannya, lalu ia tidak belajar dan tidak bertanya tentang hal itu!

Di antara gambaran yang orang-orang merasa terganggu karena sering diulang adalah: engkau melihat seorang pemuda –terlebih lagi orang yang sudah tua- melantunkan al-Qur'an dengan suara yang indah, kendati demikian ia enggan belajar di halaqah tahfizhul Qur`an, karena khawatir duduk di hadapan guru yang seusia anak-anaknya.

Al-Faruq Radhiyallahu ‘anhu berkata:

 اَلتُّؤَدَةُ فِى كُلِّ شَيْئٍ خَيْرٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنْ أَمْرِ اْلآخِرَةِ

“Perlahan dalam segala perkara adalah baik, kecuali sesuatu dari perkara akhirat.’ Ini adalah pelurusan dari Umar bin Khattab untuk pemahaman yang terkadang bercampur aduk terhadap sebagian orang. Hal itu karena bangsa Arab sepakat mencela sikap terburu-buru secara umum.

Bangsa Arab memberinya gelar ‘Ummun-Nadamat’ (ibu/induk penyesalan). Mereka mempunyai hikmah-hikmah yang tersebar dan syair-syair yang masyhur (terkenal). Namun sesungguhnya pemahaman ini –seperti yang diungkapkan Umar bin Khattab - tidak sepantasnya diberlakukan dalam urusan akhirat.

Bahkan bersegara kepadanya sangat terpuji dan dituntut, karena manusia tidak pernah tahu kapan ajalnya memutuskannya, maka ia harus bersegera dan tidak menunda-nunda.

Apabila telah tiba kesempatan untuk beribadah dan memperbanyak dari pintu-pintu kebaikan, maka tidak baik perlahan lahan di sini, bahkan dicela. Sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam beberapa ayat:

 فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ [البقرة: 148]

Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. [QS al-Baqarah/2:148]

Di antara gambaran yang disebutkan para ulama bahwa ada beberapa perbuatan yang menjadi tercela akibat menunda-nunda dalam menunaikannya adalah: taubat, membayar hutang, memuliakan tamu, mengurus jenazah. Maka ia termasuk perkara perkara yang dianjurkan bersegera dan cepat-cepat dalam melaksanakannya menurut cara yang syar’i.

Termasuk yang dihubungkan dengan hal itu adalah: muhasabah (intropeksi) diri, maka tidak sepantasnya bagi orang yang mengharap Rabb-nya dan negeri akhirat menunda-nunda muhasabah dirinya, namun ia harus bersegera.

PERHATIAN UMAR BIN KHATTAB TERHADAP PEMBELAJARAN AL-QURANUL KARIM:

Sungguh perhatian Umar terhadap pembelajaran Al-Qur’an ini sangatlah besar, dan beliau sendiri antusias agar tidak ada ilmu yang ketinggalan mengenai wahyu dari Allah swt. Oleh karena itu, beliau mengadakan tanawwub (saling bergantian) dengan tetangganya untuk hadir di majlis Rasulullah saw., supaya beliau dapat menguasai ilmu yang bersumber dari Allah swt. ini, walaupun kesibukan jual beli di Pasar atau kesibukan yang lain sangat menyibukkan dirinya. (Dengan kesibukkan dirinya, tidak menjadi alasan untuk ketinggalan dalam menuntut ilmu Ilahi)

عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَبَّاسٍ، عَنۡ عُمَرَ قَالَ: كُنۡتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فِي بَنِي أُمَيَّةَ بۡنِ زَيۡدٍ - وَهِيَ مِنۡ عَوَالِي الۡمَدِينَةِ - وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، يَنۡزِلُ يَوۡمًا، وَأَنۡزِلُ يَوۡمًا، فَإِذَا نَزَلۡتُ جِئۡتُهُ بِخَبَرِ ذٰلِكَ الۡيَوۡمِ مِنَ الۡوَحۡيِ وَغَيۡرِهِ، وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثۡلَ ذٰلِكَ، فَنَزَلَ صَاحِبِي الۡأَنۡصَارِيُّ يَوۡمَ نَوۡبَتِهِ، فَضَرَبَ بَابِي ضَرۡبًا شَدِيدًا فَقَالَ: أَثَمَّ هُوَ؟ فَفَزِعۡتُ فَخَرَجۡتُ إِلَيۡهِ، فَقَالَ: قَدۡ حَدَثَ أَمۡرٌ عَظِيمٌ، قَالَ: فَدَخَلۡتُ عَلَى حَفۡصَةَ، فَإِذَا هِيَ تَبۡكِي، فَقُلۡتُ: طَلَّقَكُنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ؟ قَالَتۡ: لَا أَدۡرِي. ثُمَّ دَخَلۡتُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقُلۡتُ وَأَنَا قَائِمٌ: أَطَلَّقۡتَ نِسَاءَكَ؟ قَالَ: (لَا) فَقُلۡتُ: اللهُ أَكۡبَرُ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari ‘Umar. Beliau mengatakan: Dahulu, aku dan tetanggaku ansar tinggal di pemukiman Bani Umayyah bin Zaid, yaitu tempat yang termasuk ‘Awali Madinah. Kami dahulu saling bergantian turun ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia turun satu hari dan aku pun turun satu hari. Ketika aku turun, aku membawa kabar hari itu berupa wahyu atau selainnya. Dan ketika dia yang turun, dia melakukan semisal itu. Di hari gilirannya, sahabatku ansar itu turun. Lalu dia menggedor pintuku dengan keras seraya bertanya, “Apakah dia ada di sana?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya. Dia berkata, “Ada perkara besar yang telah terjadi.” ‘Umar berkata: Aku masuk menemui Hafshah dan ternyata dia sedang menangis. Aku bertanya, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan kalian?” Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya dalam keadaan masih berdiri, “Apakah engkau menceraikan para istrimu?” Nabi menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Allahu Akbar.”

Keterangan:

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:

1. Anjuran dan perintah untuk berbuat baik dan rukun dengan tetangga. Ditunjukkan dengan perbuatan sahabat 'Umar dengan tetangganya dari kalangan Anshor yang silih berganti mendatangi Rasulullah untuk mencari ilmu. Ini adalah salah satu bentuk berbuat baik dan kerukunan antar tetangga. Sahabat 'Umar yang berasal dari kalangan Muhajirin dan tetangganya yang berasal dari kalangan Anshor saling bahu membahu tidak hanya dalam perkara dunia, namun juga perkara akhirat.

2. Semangatnya para sahabat Rasulullah untuk menuntut ilmu. Ditunjukkan dengan perbuatan sahabat 'Umar dengan tetangganya yang silih berganti mendatangi Rasulullah untuk menuntut ilmu.

3. Diterimanya kabar dari satu orang. Ditunjukkan dengan perbuatan Umar yang menerima kabar dari seorang tetangganya ketika mendatangi Rasulullah begitu pula sebaliknya.

4. Diperbolehkan mengetuk pintu tetangga dengan keras apabila dibutuhkan. Ditunjukkan oleh perbuatan sang tetangga yang menggedor pintu rumah 'Umar dengan keras.

5. Ketika pintu rumahnya digedor dengan keras oleh sang tetangga, 'Umar terkejut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan memanggil tetangga ialah dengan mengetuk pintu saja dan bukan menggedor dengan keras.

6. Orangtua diperbolehkan memberi nasehat dan masukan dalam rumah tangga sang anak. Namun bukan dalam bentuk mencampuri atau mengatur urusan rumah tangganya.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسِيرُ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَسِيرُ مَعَهُ لَيْلًا فَسَأَلَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَنْ شَيْءٍ فَلَمْ يُجِبْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ سَأَلَهُ فَلَمْ يُجِبْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَلَمْ يُجِبْهُ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ثَكِلَتْ أُمُّ عُمَرَ نَزَرْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ كُلَّ ذَلِكَ لَا يُجِيبُكَ قَالَ عُمَرُ فَحَرَّكْتُ بَعِيرِي ثُمَّ تَقَدَّمْتُ أَمَامَ النَّاسِ وَخَشِيتُ أَنْ يُنْزَلَ فِيَّ قُرْآنٌ فَمَا نَشِبْتُ أَنْ سَمِعْتُ صَارِخًا يَصْرُخُ بِي فَقُلْتُ لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ نَزَلَ فِيَّ قُرْآنٌ فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ لَقَدْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ سُورَةٌ لَهِيَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ ثُمَّ قَرَأَ { إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا }

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Zaid bin Aslam dari Bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi dalam salah satu perjalanannya. Dan Umar bin Khattab bersama beliau pada malam hari itu. Umar bertanya kepada beliau tentang suatu hal, namun beliau tidak menjawabnya. Dia bertanya lagi, namun beliau tetap tidak menjawab. Dia bertanya lagi, namun beliau tetap tidak menjawab. ' Umar berkata; "Huss kamu, 'Umar. Kamu telah memaksa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali namun semuanya itu tidak ada yang dijawabnya.' 'Umar berkata; "Saya gerakkan untaku, dan aku maju ke hadapan orang-orang, saya khawatir jika turun padaku Al qur'an. tidak berapa lama, saya mendengar orang yang berteriak ke arahku." ('Umar radliallahu 'anhu) berkata; "Saya berkata; "Saya khawatir jika ada ayat yang turun kepadaku, " 'Umar radliallahu 'anhu berkata; "Maka saya mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Saya mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda: 'Telah turun padaku tadi malam satu surat, yang lebih saya cintai daripada matahari terbit'. Beliau membaca: 'INNAA FATAHNA LAKA FATHAN MUBINAA'." (QS. Alfath).

PEMIKIRAN UMAR BIN KHATTAB YANG SELARAS DENGAN AL-QUR'AN:

Siapa yang tak mengenal sosok Sayyidina Umar bin Khattab? Sosok khalifah kedua pengganti Abu Bakar yang memiliki karakter tegas. Umar bin Khattab memiliki karakter yang kuat dalam memimpin, bahkan sebelum didapuk menjadi seorang pemimpin Umar memiliki sikap yang tegas serta otak yang cerdas yang sering melahirkan ide-ide dan pendapat yang brilian. Selain itu, pemikiran yang dimiliki Umar selaras dengan Al Quran.

Bisa dibilang, Umar merupakan sahabat Rasulullah yang pendapatnya menjadi sebab turunnya beberapa ayat dalam Al Qur’an. Pendapat-pendapat tersebut akhirnya disebut sebagai muwâfaqatu ‘umar, yakni pendapat-pendapat Umar yang disepakati atau diafirmasi oleh Al Qur’an.

As-Suyuthi dalam karyanya yang berjudul Târîkh al-Khulafâ, memuat satu bab khusus yang menjelaskan tentang muwâfaqatu ‘umar ini.

Salah satu tabiin murid Ibnu Abbas, Imam Mujahid menjelaskan bahwa ketika Umar berpendapat, Al Quran turun untuk mendukung pendapat tersebut. Bahkan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Al Qur’an memuat sebagian pendapat Umar. Hal tersebut memperjelas bahwa pendapat-pendapat Umar sering menjadi pijakan kronologis turunnya sebuah ayat Al Qur’an.

“Kisah-kisah Sahabat dan Orang-orang Sahalih” yang ditulis Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, mengutip sebuah hadist riwayat Bukhari, di mana dalam hadist tersebut Umar pernah berkata kepada Anas bin Malik tentang muwâfaqatu ‘umar, “Aku memiliki pemikiran yang aku ingin jika itu dikabulkan oleh Rabb-ku dalam tiga persoalan.” (HR Bukhari)

Pendapat-pendapat Umar yang kemudian menjadi sebab diturunkannya ayat dalam Al Qur’an, antara lain:

PERTAMA: Menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.

Suatu hari Umar memiliki pemikiran untuk menjadikan maqam Nabi Ibrahim sebagai tempat shalat. Saat itulah Umar berkata kepada Rasulullah tentang pemikirannya itu. Hal ini tercantum dalam sebuah hadist: “..Maka aku sampaikan kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, seandainya Maqam Ibrahim kita jadikan jadikan sebagai tempat shalat?” (HR. Bukhari).

Setelah Sayyidina Umar mengatakan pemikirannya, Allah menurunkan sebuah ayat yaitu QS. Al-Baqarah ayat 125, sebagaimana berikut: “…Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat…”

KEDUA: Hijab untuk para istri Nabi.

Setelah pemikiran pertamanya itu, Umar memiliki pemikiran lain, yang selaras dengan Al Qur’an, yaitu tentang hijab untuk menutupi aurat istri pada nabi. Pemikirannya ini muncul karena istri para Nabi selalu berkomunikasi dengan orang lain, baik orang shaleh bahkan orang yang suka bermaksiat.

“Aku lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau perintahkan istri-istri engkau untuk berhijab karena yang berkomunikasi dengan mereka ada orang shaleh dan juga orang fajir (suka bermaksiat)’ maka turunlah ayat hijab…” (HR Bukhari).

Kemudian turunlah sebuah ayat yang memerintahkan istri para Nabi untuk berhijab, sebagaimana pada surat An Nur ayat 31. “…Dan hendaklah mereka menutupkan kerudung ke dadanya..”

KETIGA: Ketika istri Nabi saling merasa cemburu.

Ketika istri-istri Nabi saling cemburu, termasuk putri Umar yang bernama Hafsah. Melihat hal itu, Umar akhirnya memberikan nasihat kepada Hafsah untuk tidak berlaku demikian, karena bisa jadi Nabi menceraikannya dan diberikan ganti oleh Allah dengan istri yang lebih baik darinya.

“..Dan yang ketiga, saat istri-istri beliau cemburu kepada beliau (sehingga banyak yang membangkang) aku katakana kepada mereka, ‘Semoga jika beliau menceraikan kalian, Rabb-nya akan menggantikannya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian.’ Maka turunlah ayat tentang masalah ini.” (HR. Bukhari).

Setelah Umar menasehati putrinya, Allah kemudian menurunkan ayat Al Qur’an dengan kalimat yang sama seperti yang diucapkan Umar kepada putrinya. “Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri yang lebih baik daripada kamu.” (QS. at-Tharim: 5).

KEEMPAT: Tentang tawanan Badar.

Suatu hari Sayyidina Umar mengusulkan agar para tawanan badar dari pihak kafir Quraisy untuk dibunuh. Bukan tanpa alasan ia mengusulkan hal tersebut, karena menurut Umar jika mereka dibiarkan hidup mereka akan membocorkan informasi dan menyiapkan pembalasan kepda pihak muslim. Namun saat itu, Rasulullah lebih memilih pendapat Abu Bakar untuk tidak membunuhnya dan memberikan hukuman lain kepada mereka. Tetapi akhirnya Allah menegur Nabi dan menyetujui pendapat Umar.

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Anfal: 67).

KELIMA: Tentang keharaman khamr.

Sebelum turun ayat Khamr, Umar berkata, “Ya Allah berilah kami kejelasan status tentang khamr secara memuaskan)”.

Kemudian turunlah ayat “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi......” (QS. Al Baqarah: 219). Setelah turun ayat tersebut, Umar masih belum puas dan berdoa kembali dengan doa yang sama.

Kemudian turunlah ayat dari surat al-Maidah yang 90 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Umar pun masih belum puas dan berdoa dengan doa yang sama. Kemudian turunlah Al-Maidah ayat 91 yang artinya, “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 91).

Setelah itu, barulah Umar mengakhiri rasa penasaraanya dan berkata, “Kita akhiri, kita akhiri."

KEENAM: Ketika diturunkan QS. Al Mukminun.

Ketika saat Allah menurunkan firman-Nya pada surat QS. Al Mukminun ayat 12-13 yang artinya, “Sungguh telah Kami (yakni Allah) ciptakan (buat, jadikan) manusia dari sari pati dari tanah.” Kemudian Umar berkata, “Maka Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik)”. Maka diturunkanlah akhir ayat tersebut, yakin ayat ke-14 yang sejalan dengan ucapan Umar itu.

Itulah beberapa pemikiran ataupun pendapat dari Umar bin Khattab yang kemudian menjadi alasan turunnya ayat Al Qur’an oleh Allah.

3 PESAN UMAR BIN KHATTAB DI PIDATO PERTAMA JADI KHALIFAH:

Setelah Abu Bakar Ash Shidiq wafat pada 21 Jumadilakhir tahun ke-13 hijrah atau 22 Agustus 634 Masehi, Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah ke-2. Di hari ketiga pengangkatan, Umar menyampaikan pidato pertamanya.

Dalam pidatonya, tergambar bagaimana takutnya memikul beban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin ketika itu. Dan bukan saat itu saja Umar merasa hal itu disampaikan Umar. Sesaat setelah Abu Bakar dimakamkan, Umar sudah merasakan ketakutan itu.

"Wahai Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul. Sungguh enkau tak tertandingi, bagaimana pula hendak menyusulmu," kata Umar sesaat setelah Abu Bakar Asd Siddiq dimakamkan.

Terpilihnya Umar bin Khattab sebagai khalifah ke-2 berdasarkan keputusan Abu Bakar. Sebelum meninggal Abu Bakar menunjuk Umar sebagai gantinya. Keputusan tersebut bahkan telah tertulis dalam wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan.

Berikut ini isi pidato Umar bin Khattab ketika diangkat menjadi khalifah seperti dikutip dari buku, Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal. Ada tiga poin dalam pidato Umar.

PERTAMA: Keras tapi Lembut.

Saat Umar terpilih menjadi pengganti khalifah setelah Abu Bakar, sebagian besar masyarakat Mekah rupanya khawatir akan dipimpin oleh seseorang yang sudah terkenal dengan sikap kerasnya. Oleh karena itu, pidato pertama Umar bin Khattab disampaikan guna menanggapi keresahan masyarakat Mekah.

"Ketahuilah saudara-saudaraku, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap itu (keras) hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin," kata Umar.

"Tetapi buat orang yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut dari mereka semua," Umar melanjutkan.

Umar pun berdoa agar Allah melunakkan hati dan memberikan kekuatan di saat hatinya sedang lemah.

"Ya Allah, saya ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Ya Allah, saya sangat lemah, maka berilah saya kekuatan! Ya Allah, saya ini kikir, jadikanlah saya orang dermawan!"

KEDUA: Jabatan adalah Ujian dari Allah SWT.

Pidato Umar bin Khattab mengingatkan seorang pemimpin untuk tetap memiliki sikap rendah hati dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia sendiri bahkan menganggap bahwa jabatan ialah ujian.

"Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku (Abu Bakar Ash Shiddiq), sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka."

KETIGA: Saling Mendukung dan Mengingatkan antara Pemimpin Negara dengan masyarakat.

Dalam pidatonya Umar meminta masyarakat Mekah tak ragu untuk menegurnya dalam beberapa hal kalau dia salah. Bahkan Umar meminta rakyat tak ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke tangan musuh.

"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara-saudara sekalian," kata Umar menutup pidatonya.

Setelah berpidato, Umar bin Khattab turun dari mimbar dan memimpin sholat.

JASA-JASA UMAR BIN KHATTAB UNTUK ISLAM DAN UMAT:

Umar bin Khattab banyak memberikan kontribusi untuk umat Islam. Umar bin Khattab adalah sosok yang mulia dan agung. Dalam sebuah riwayat disebutkan:

حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ يَحْيَى بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ مَكْحُولٍ عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Salamah Yahya bin Khalaf berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la dari Muhammad bin Ishaq dari Makhul dari Ghudlaif bin Al Harits dari Abu Dzar ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang senantiasa dia ucapkan."

Sementara, Ali bin Abi Thalib menyebutkan: "Orang yang paling baik dari kalangan umat ini, setelah Nabi SAW, adalah Abu Bakar, selanjutnya Umar."

Umar bin Khattab banyak memberikan sumbangsih dan kontribusi untuk Islam dan umatnya. Di antaranya:

Kesatu, membuat kalender Islam.

Kedua, mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan suci Ramadhan.

Ketiga, memberi isyarat 'lampu hijau' proyek pengumpulan Alquran.

Keempat, memberikan hadiah dan penghargaan untuk para hafidz (penghafal Alquran).

Kelima, menghapus pembayaran jizyah (pajak) bagi ahlu dzimmah (non muslim yang dilindungi dan tidak mampu).

Keenam, memberikan tanda pengenal khusus untuk ahlu dzimmah.

Ketujuh, menetapkan wajib militer.

Kedelapan, menugaskan pihak pengadilan dan penunjuk jalan sebagai pengiring militer.

Kesembilan, membuat surat keputusan secara tertulis.

Kesepuluh, mengadakan pertemuan dan rapat berkala dengan petinggi, pejabat, dan para gubernur.

JULUKAN UMAR BIN KHATTAB:

Umar bin Khattab merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki julukan khusus. Julukan tersebut menunjukkan sifat dan kepribadiannya yang luar biasa. Berikut beberapa julukan yang melekat pada diri Umar bin Khattab:

PERTAMA: Al-Farooq.

Julukan Al-Farooq berarti pembeda antara mana yang benar dan salah, diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khattab. Julukan ini diberikan karena Umar bin Khattab memiliki kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah dengan sangat jelas.

KEDUA: Abu Faiz (Orang yang memiliki kecerdasan).

Umar bin Khattab memiliki julukan Abu Faiz karena kecerdasan beliau dalam mengatur pemerintahan dan strategi perang yang cerdas. Julukan Abu Faiz ini diberikan oleh Rasulullah SAW.

KETIGA: Dijuluki Abu Hafaas (Tegas dalam pendirian).

Umar bin Khattab tidak hanya memiliki postur tubuh yang tinggi besar tetapi juga memiliki gaya kepemimpinan yang tegas dan teguh dalam pendirian. Julukan Abu Hafaas diberikan oleh Rasulullah SAW.

KEEMPAT: Al-Adil.

Julukan ini artinya "yang adil". Umar bin Khattab merupakan pemimpin yang adil dan terkenal dengan keadilannya dalam memimpin umat Islam. Selama masa pemerintahannya, ia memperjuangkan hak-hak rakyat dan menegakkan keadilan di seluruh penjuru wilayah Islam.

KELIMA: Al-Muhaddits.

Julukan ini diberikan karena Umar bin Khattab merupakan seorang yang sangat gemar mempelajari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Ia juga banyak meriwayatkan hadis-hadis yang ia ketahui kepada para sahabat dan masyarakat umum.

KEENAM: Al-Quthb.

Julukan ini artinya "titik pusat" atau "pemimpin tertinggi". Umar bin Khattab merupakan salah satu pemimpin tertinggi umat Islam pada masanya. Julukan Al-Quthb menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin umat Islam dan memperkuat peradaban Islam.

Julukan-julukan di atas menunjukkan betapa besar pengaruh Umar bin Khattab dalam sejarah Islam. Ia merupakan sosok yang sangat dihormati dan dihargai oleh umat Islam karena kepemimpinan dan keadilannya.

Kisah sahabat Nabi Umar bin Khattab cukup inspiratif dengan kepribadian kuat dan penuh keberanian. Dari kisah hidupnya, kita bisa memetik banyak pelajaran tentang kebijaksanaan dalam memimpin, keadilan, keberanian, dan keikhlasan.

5 GAYA KEPEMIMPINAN UMAR BIN KHATTAB:

Kepemimpinan Umar bin Khattab menjadi salah satu gaya kepemimpinan yang patut dijadikan teladan. Menjadi pemimpin memang bukan hal mudah.

Pasalnya dalam Islam seorang pemimpin tidak hanya harus memiliki jiwa pemimpin saja, melainkan juga harus memiliki kekuatan iman dan takwa. Sehingga pemimpin dapat tampil sebagai contoh baik sebagai abdi rakyat dan bukan penindas rakyat.

Seorang pemimpin akan mengahadapi berbagai tekanan dari berbagai kepentingan, tidak terkecuali rasa cinta akan jabatan yang dimiliki.

Bila tidak kuat dan iman, rasa cinta pada jabatan bisa jadi lebih kuat dibanding rasa tanggung jawab akan amanah yang diemban. Dari sini pun kemudian muncul istilah pencitraan oleh mereka yang sangat ingin mendapatkan kursi jabatan.

Seorang pemimpin yang tidak sibuk dengan rekayasa pencitraan demi mendapat jabatan atau dipuji oleh rakyatnya. Akan tetapi, sosok Umar bin Khattab benar-benar hadir memberi solusi nyata pada setiap permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Adapun berikut diberikan 5 gaya kepemimpinan Umar bin Khattab:

PERTAMA: Musyawarah.

Gaya kepemimpinan pertama Umar bin Khattab yang patut ditiru yaitu senang bermusyawarah.

Dalam musyawarah itu pun Umar bin Khattab tidak pernah menempatkan dirinya pada posisi penguasa, melainkan hanya manusia biasa dengan kedudukan sama seperti anggota musyawarah lain.

Bahkan Umar senantiasa menanamkan rasa bahwa anggota musyawarah yang lain merupakan guru yang akan menunjukkan jalan kebaikan melalui pendapat-pendapat yang diutarakan guna memperjelas kebenaran.

Umar pun yakin cara tersebut dapat menyelamatkannya dari pertanggungjawaban hisab di akhirat kelak.

KEDUA: Kekayaan Negara Untuk Melayani Rakyat.

Pada jaman kepemimpinan Umar bin Khattab, kekayaan negara seutuhnya digunakan untuk melayani rakyat. Pada waktu itu sesuai dengan kebutuhan, Umar membangun benteng dan tembok besar guna melindungi umat muslim.

Kota-kota juga dikembangkan untuk mensejahterakan rakyat. Umar sama sekali tidak pernah berpikir mengambil keuntungan untuk kesenangan pribadi atau keluarganya.

Malah bisa dibilang kehidupan Umar cukup zuhud dan tidak terlena dengan kenikmatan dan kemewahan.

KETIGA: Menjunjung Tinggi Kebebasan.

Umar didapati pernah berkata pada dirinya sendiri untuk tidak memperbudak manusia karena pada hakikatnya manusia dilahirkan dalam kondisi bebas merdeka.

Menurut Umar setiap orang memiliki kebebasan. Umar sama sekali tidak takut akan kebebasan bangsanya karena arti kebebasan menurutnya cukup sederhana dan bersifat universal.

Bagi umar kebebasan yaitu kebebasan kebenaran yang berarti ada di atas semua peraturan. Kebenaran yang dimaksud itu sendiri adalah Islam dan bukan kebebasan atas dasar logika liberalis.

KEEMPAT: Siap Mendengar dan Menerima Kritik.

Seorang pemimpin juga harus siap mendengar dan menerima kritik. Hal ini pun termasuk dalam salah satu gaya kepemimpinan Umar bin Khattab.

Pernah suatu saat Umar terlibat dalam percakapan dengan seorang rakyatnya. Rakyat tersebut sangat bersikukuh atas pendapatnya pribadi sampai-sampai orang tersebut berulang kali mengatakan “takutlah engkau kepada Allah” yang ditujukan kepada Umar.

Melihat hal tersebut salah satu sahabat Umar membentak balik rakyat tadi. Melihat tindakan sahabatnya, Umar malah berendah hati dan mengucapkan “Biarkan dia, sungguh tak ada kebaikan di dalam diri kalian bila tidak mengatakannya, dan tak ada kebaikan di dalam diri kita bila tidak mendengarkannya.”

KELIMA: Terjun Langsung Mengatasi Masalah Rakyat.

Umar bin Khattab sangat populer sebagai seorang pemimpin yang tidak sungkan untuk terjun langsung mengatasi masalah rakyatnya.

Di saat orang lain tidur lelap, Umar pun melakukan patroli guna memastikan kondisi rakyatnya.

Umar senantiasa khawatir bilamana ada rakyatnya yang tidak bisa tidur karena kelaparan. Benar saja.

Suatu waktu pernah Umar menemukan seorang ibu yang anak-ankanya menangis akibat kelaparan. Sementara sang ibu tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak. Maka Umar pun menuju Baitul Maal dan membawakan gandum untuk keluarga tersebut.

Seperti itulah gaya kepemimpinan Umar bin Khattab yang semestinya ditiru oleh para pemimpin negeri ini. Bekerja dengan dasar iman dan takwa guna menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Bila kelima gaya kepemiminan Umar tersebut dapat ditanamkan dalam diri pemimpin masa kini, tentu akan bermunculan bangsa yang tangguh, makmur, dan mandiri.

KISAH WAFATNYA KHALIFAH KEDUA, UMAR BIN KHATTAB:

Kisah kali ini menceritakan tentang wafatnya sahabat nabi, Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini dibunuh oleh seorang budak fanatik bernama Abu Lu'lu'ah (Fairuz) ketika Umar akan memimpin shalat subuh. Pembunuhan terhadap Umar bin Khattab dilatarbelakangi oleh dendam pribadi Abu Lu'lu'ah terhadap Umar. Ia merasa sakit hati atas kekalahan Persia, negara adidaya yang berhasil ditaklukkan oleh Umar. Peristiwa pembunuhan Umar bin Khattab itu terjadi pada Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H atau 644 M. Setelah Umar wafat, jabatan khalifah digantikan oleh Utsman bin Affan.

Seiring terbitnya mentari pagi, kabar mengerikan itu tersebar ke seluruh penjuru Madinah. Penduduk Madinah ingin mengetahui lebih jelas mengenai kejadian yang begitu mengejutkan itu. Bahkan, para pemuka dari masing-masing kabilah segera berkumpul di halaman rumah sang khalifah untuk mengetahui kondisi kesehatannya.

Abdullah bin Abbas berkata bahwa ia masih berada di tempat Umar yang masih belum sadarkan diri hingga matahari terbit. Setelah siuman, Umar bertanya dengan kondisi berbaring apakah orang-orang sudah menunaikan shalat Subuh.

Abdullah bin Abbas pun menjawab sudah. Kemudian Umar bin Khattab memerintahkan Abdullah bin Abbas untuk mencari tahu siapa orang yang telah menusuknya. Abdullah bin Abbas pun segera keluar dan menemui para pemuka kabilah. “Saudara saudaraku, Amirul Mukminin ingin mengetahui apakah peristiwa itu merupakan konspirasi kalian?”

Para pemuka kabilah yang mendengar pertanyaan itu menjadi kecut, kemudian serentak berkata, “Semoga Allah melindungi kami, kami tidak tahu. Mana mungkin itu akan terjadi. Jika kami tahu, pasti kami bersedia menebusnya dengan nyawa kami atau anak-anak kami.” Mendengar jawaban tersebut Abdullah bin Abbas kembali bertanya tentang siapa yang menikam Umar. Mereka kemudian menjawab bahwa musuh Allah, Abu Lu’luah, budak Mughirah bin Syu’bah yang melakukannya. Setelah mendapatkan jawaban, Abdullah bin Abbas kembali ke rumah Umar bin Khattab dan memberitahu perihal orang yang telah menikamnya. Umar pun mengucapkan hamdalah sebagai tanda syukur karena ia tidak dibunuh oleh seorang muslim.

"Tidak mungkin orang Arab akan membunuhku,” ucapnya. Umar lalu menangis dan bersumpah dengan nama Allah bahwa ia akan bahagia jika meninggalkan dunia tanpa ada perkara yang memberatkannya.

Abdullah bin Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Tidak ada dua orang muslim yang berselisih berkaitan dengan kekhalifahanmu. Setiap orang bahagia dengan kekhalifahanmu.” Umar bin Khattab berkata lagi, “Aku tahu itu, tetapi kekhalifahan ini membuatku khawatir. Wahai Abdullah, dudukkan aku!" Setelah didudukkan, Umar memegang bahu Abdullah lalu berkata “Wahai Abdullah, maukah kau bersaksi untukku di hari kiamat?”

Abdullah pun menyanggupinya. Umar lalu berbaring di pangkuan Abdullah bin Umar, putranya. Ia berkata kepadanya, “Tempatkan pipiku di lantai.” Abdullah bin Umar mengecup kening ayahnya lalu bertanya alasan kenapa menyuruhnya begitu. Umar pun berkata, “Jika aku ditakdirkan berada di surga, maka bantal surga lebih lembut daripada pahamu. Jika aku ditakdirkan masuk neraka, maka kau tidak menginginkan seorang penghuni neraka berada di atas pahamu."

Umar lalu berpesan kepada Abdullah bin Umar supaya menjual benda-benda miliknya untuk melunasi seluruh hutangnya. Ia tidak ingin meninggalkan dunia dengan membawa kewajiban yang belum diselesaikan.

Kemudian Umar bin Khattab berpesan kepada seluruh anggota keluarganya, “Lembutlah dalam mengkafaniku karena jika Allah menakdirkan ku surga, maka Allah akan memberikanku yang lebih baik daripada ini.

Jika Allah menakdirkan neraka untukku, maka Allah akan mencabut ku dari semua ini.

Lembutlah dalam menggali kuburku karena jika Allah menakdirkan ku surga, maka Allah akan meluaskan kuburku. Jika Allah menakdirkan neraka untukku, maka kubur itu akan menghimpitku."

Setelah itu, Umar memerintahkan Abdullah bin Umar untuk mendatangi Aisyah ra. untuk menanyakan apakah istri nabi itu mengizinkannya untuk dikubur di samping kuburan suaminya.

Abdullah bin Umar menuruti perintah ayahnya. Sesampainya di rumah Aisyah ra., ia mengetuk pintu dan masuk ke rumah istri nabi itu. Ia mendapati Aisyah ra. sedang menangis.

Abdullah kemudian mengatakan maksud kedatangannya.

Aisyah lalu berkata, “Aku sudah memesan tempat itu untuk diriku karena Rasulullah adalah suamiku dan Abu Bakar adalah ayahku, tetapi aku akan memberikannya kepada Umar.” Setelah mendapatkan jawaban, Abdullah pun bergegas menemui ayahnya dan memberitahukan jawaban Aisyah ra.

Umar bin Khattab berkata “Aku tidak punya keinginan apapun melebihi itu. Ketika aku meninggal dan kau membawaku untuk dikuburkan, tanyakan kepada Aisyah lagi, mungkin karena statusku ia merasa keberatan untuk memberikanku tempat itu. Tanyakan dia lagi dan jika dia setuju, maka kuburkan aku di sana. Kalau tidak, maka kuburkan aku di pemakaman umat muslim.”

Beberapa hari setelah kejadian penikaman itu, Umar menghembuskan nafas terakhirnya. Hal itu menyisakan duka mendalam di kalangan umat Islam.

Seandainya kematian Umar tidak melalui proses yang begitu keji dan tragis, mungkin kesedihan tidak akan berlarut-larut di dalam hati keluarganya.

Umar bin Khattab meninggal dunia saat Islam telah mencapai kegemilangan dan tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran Umar sebagai seorang khalifah.

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

1 Komentar

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama