WAKTU TENTRAM SHALAT MALAM

 


بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN FIQHUS SUNNAH

Bab Waktu Pelaksanaan Shalat Malam, Waktu Yang Paling Utama, 

Jumlah Rakaat Shalat Malam, Mengqadha’ Shalat Malam

WAKTU PELAKSANAAN SHALAT MALAM:

Shalat malam bisa dilakukan di permulaan, pertengahan atau di akhir malam selama shalat ini dilakukan setelah shalat Isya’. Ini semua pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik -pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-mengatakan:

مَا كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ

“Tidaklah kami bangun agar ingin melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari mengerjakan shalat kecuali pasti kami melihatnya. Dan tidaklah kami bangun melihat beliau dalam keadaan tidur kecuali pasti kami melihatnya pula.” Shahih. HR. Bukhari no. 1141, An Nasai no. 1627 (ini lafazh An Nasai), At Tirmidzi no. 769. Lihat Shahih wa Dho’if Sunan An Nasai, Syaikh Al Albani, 4/271, Asy Syamilah.

Keterangan:

Ibnu Hajar menjelaskan:

إِنَّ صَلَاته وَنَوْمه كَانَ يَخْتَلِف بِاللَّيْلِ وَلَا يُرَتِّب وَقْتًا مُعَيَّنًا بَلْ بِحَسَبِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ الْقِيَام

“Sesungguhnya waktu shalat malam dan tidur yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda-beda setiap malamnya. Beliau tidak menetapkan waktu tertentu untuk shalat. Namun beliau mengerjakannya sesuai keadaan yang mudah bagi beliau.” Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 3/23, Darul Ma’rifah Beirut, 1379.

قَالَ الْحَافِظُ: لَمْ يَكُنْ لِتَهَجُّدِهِ صلى الله عليه وسلم وَقْتٌ مُعَيَّنٌ بَلْ بِحَسْبِ مَا يَتَيَسَّرُ لَهُ الْقِيَامُ.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Shalat tahajud yang dilakukan Rasulullah saw. tidak terikat pada waktu tertentu. Tapi sesuai dengan waktu luang yang ada untuk mengerjakannya.

WAKTU YANG PALING UTAMA:

Meskipun diperbolehkan melakukan shalat tahajud baik di permulaan, di pertengahan atau di akhir, tapi waktu yang paling utama adalah mengakhirkan shalat malam sampai sepertiga terakhir dari waktu malam.

Hadits Pertama:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: «يَنْزِلُ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ؟ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ».

Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Tuhan kita -Tabāraka wa Ta'ālā- turun pada setiap malam ke langit terendah pada sepertiga malam terakhir, Dia berfirman, 'Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad, Nasai, Ibnu Majah dan Abu Daud)

Keterangan:

Allah -Tabāraka wa Ta'ālā- turun setiap malam ke langit terendah pada sepertiga malam terakhir, kemudian Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya, siapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampunan kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya.” Yakni bahwa pada waktu sepertiga malam terakhir Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- meminta serta memotivasi hamba-hamba-Nya agar berdoa kepada-Nya, sebab Dia pasti akan mengabulkannya. Dia juga meminta agar mereka meminta kepada-Nya apa saja yang mereka inginkan, sebab Dia pasti akan memberinya. Dia juga meminta agar mereka memohon ampunan kepada-Nya atas dosa-dosa mereka, sebab Dia pasti akan mengampuni hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan yang dimaksud dengan permintaan Allah di sini adalah motivasi dan anjuran yang sifatnya sunah. Turunnya Allah dalam hal ini adalah turun secara hakiki, yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya dan tidak serupa dengan turunnya makhluk. Menakwilkan makna nuzūl (turun) di sini dengan turunnya rahmat-Nya, turunnya malaikat atau yang lainnya adalah takwil yang tidak benar. Namun wajib diimani bahwa sesungguhnya Allah turun ke langit terendah dengan cara turun yang sesuai dengan keagungan-Nya tanpa melakukan taḥrīf (menyelewengkan makna yang sesungguhnya), ta'ṭīl (menafikan makna yang sesungguhnya), takyīf (mengilustrasikan cara dan bentuknya), dan tamṡīl (menyerupakannya dengan makhluk) sebagaimana keyakinan Ahli Sunnah wal Jamaah. 

Hadits Kedua:

Dari Amr bin Abasah, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنَ العَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الآخِرِ، فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ

“Keadaan yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabbnya adalah pada malam yang terakhir. Jika engkau sanggup mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah.” (H.R. Hakim dan Tirmidzi) Hakim mengatakan, hadis ini sesuai dengan syarat Muslim. Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah. 

Hadits Ketiga:

Abu Muslim pernah berkata kepada Abu Dzar, “Qiyamullail mana yang lebih utama?” Ia menjawab, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau bertanya kepadaku, lalu Beliau menjawab:

جَوْفُ اللَّيْلِ الْغَابِرِ، أَوْ نِصْفُ اللَّيْلِ، وَقَلِيلٌ فَاعِلُهُ

“Yaitu separuh malam yang masih tersisa, atau tengah malam, namun sedikit sekali yang melakukannya.” (H.R. Ahmad dengan sanad baik)

Hadits Keempat:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَ أَحَبَّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ داودَ، وَأَحَبَّ الصلاةِ إلى الله صلاةُ داودَ، كان يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وكان يَصُوْمُ يومًا ويُفطِرُ يومًا.

Dari Abdullah bin 'Amru bin 'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhumā-, dia berkata, Rasullullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud dan sebaik-baik salat di sisi Allah adalah salatnya Nabi Daud‎. Beliau biasa tidur separuh malam dan salat di sepertiga ‎malam terakhir dan tidur lagi di seperenamnya. Sedangkan beliau biasa berpuasa ‎sehari dan berbuka di hari berikutnya." (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan Abu Daud)

Keterangan:

Di dalam hadits ini Abdullah bin Amru -raḍiyallāhu 'anhu- ‎menginformasikan dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bahwa puasa dan ‎salat yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah puasa dan salat Nabi-‎Nya Daud -'alaihissalām-, yakni beliau dahulu biasa berpuasa ‎sehari dan berbuka/tidak berpuasa pada hari berikutnya, karena dengan ‎cara tersebut seseorang dapat beribadah dan memberikan tubuh waktu ‎untuk istirahat. Beliau dahulu juga biasa tidur di pertengahan malam ‎pertama agar bangun dalam keadaan semangat dan ringan untuk ‎melaksanakan ibadah. Lalu beliau salat pada sepertiga malam terakhir, ‎kemudian tidur pada seperenam malam terakhir agar beliau menjadi ‎semangat untuk beribadah pada permulaan siang (waktu pagi). Tatacara ‎inilah yang dianjurkan oleh Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. 

JUMLAH RAKAAT SHALAT MALAM:

Shalat malam tidak mempunyai rakaat secara khusus, tidak pula batasan tertentu. Dengan demikian, shalat malam dapat dikerjakan walaupun dengan satu rakaat witir setelah shalat Isya’.

Hadits Pertama:

عَنْ سَمُرة، رَضِي اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وَسَلَّم أَنْ نُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ مَا قَلَّ، أَوْ كَثُرَ وَنَجْعَلَ آخِرَ ذَلِكَ وِتْرًا.

Dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata, Rasulullah saw. memerintahkan kami supaya mengerjakan shalat malam baik dengan rakaat sedikit maupun banyak, dan hendaknya kami menutupnya dengan shalat witir. (H.R. Thabrani dan Bazzar) 

Hadits Kedua:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ يَرْفَعُهُ إلى النّبيِّ صلى الله عليه وسلم قال: (صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي تُعْدَلُ بِعَشْرَةِ آلافِ صلاةٍ، وَصَلَاةٌ في المسجدِ الحرامِ تُعْدَلُ بِمائةِ أَلْفِ صَلَاةٍ. وَالصَّلَاةُ بِأَرْضِ الرِّبَاطِ تُعْدَلُ بِأَلْفَيْ أَلْفِ صَلَاةٍ، وَ أَكْثَرُ مِنْ ذلك كُلِّهِ الركعتانِ يُصَلِّيْهِمَا الْعَبْدُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ). رواه أبو الشيخ وابن حبان في كتابه (الثواب) وسكت عليه المنذري في (الترغيب والترهيب).

Dari Anas ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Shalat (sekali) di masjidku ini, setara dengan sepuluh ribu shalat. Shalat di Masjidil Haram setara dengan seratus ribu shalat. Shalat di medan jihad (markas perang) setara dengan dua juta shalat. (Namun) yang lebih banyak dari semua itu adalah shalat dua raka’at yang dikerjakan seorang hamba pada waktu tengah malam.” H.R. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam bukunya, ats-Tsawab. Dalam bukunya, at-Targhib wa at-Tarhib, Mundziri tidak memberi komentar terkait hadits ini.

Hadits Ketiga:

عَنْ إِيَاسِ بن مُعَاوِيَةَ الْمُزَنِيِّ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لا بُدَّ مِنْ صَلاةٍ بِلَيْلٍ، وَلَوْ حَلْبَ شَاةٍ، وَمَا كَانَ بَعْدَ صَلاةِ الْعِشَاءِ الآخِرَةِ فَهُوَ مِنَ اللَّيْلِ. رواه الطبراني

Dari Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kalian melakukan shalat di waktu malam, meskipun hanya selama orang memeras susu kambing (sebentar). Waktu setelah shalat Isya’ itu merupakan waktu malam.” (HR. Thabrani) Para perawinya dapat dipercaya kecuali Muhammad bin Ishaq.

Keterangan:

Berdasarkan keterangan hadits di atas, awal waktu shalat Tahajud adalah ketika telah tiba waktu malam dan kita sudah shalat Isya’.

Hadits Keempat:

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: ذَكَرْتُ قِيَامَ اللَّيْلِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قال: (نِصْفُهُ، ثُلُثُهُ، رُبُعُهُ، فُوَاقُ حَلْبِ نَاقَةٍ، فُوَاقُ حَلْبِ شَاةٍ).

Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, begitu aku menyebutkan tentang shalat malam, seorang diantara mereka mengatakan, Rasulullah saw. bersabda, separuhnya, sepertiganya, seperempatnya, sekedar lamanya memerah susu unta, sekedar memerah susu domba.

Hadits Kelima:

Dari Ibnu Abbas juga, ia berkata, Rasulullah saw. memerintahkan kami supaya mengerjakan shalat malam dan sangat menganjurkannya sampai beliau bersabda:

عَلَيْكُمْ بِصَلَاةِ اللَّيْلِ وَلَوْ رَكْعَة

“Hendaknya kalian mengerjakan shalat malam walaupun hanya satu rakaat.” (H.R. Thabrani dalam al-Kabir dan al-Ausath)

Yang lebih utama dalam melaksanakan shalat malam adalah melakukannya dengan sebelas rakaat secara konsisten, atau tiga belas rakaat. Di samping itu, seseorang diperbolehkan mengerjakan shalat malam secara bersambung dan boleh secara terpisah.

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ تَنَامُ عَيْنِي وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Dari Abu Salamah bin 'Abdur Rahman bahwa dia bertanya kepada Aisyah radliallahu 'anha; "Bagaimana tata cara shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Ramadlan?" 'Aisyah radliallahu 'anhu menjawab; "Beliau shalat (sunnah qiyamul lail) pada bulan Ramadlan dan bulan-bulan lainnya tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat raka'at, maka jangan kamu tanya tentang kualitas bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat raka'at, maka jangan kamu tanya tentang kualitas bagus dan panjangnya kemudian beliau shalat tiga raka'at. Aku pernah bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah baginda tidur sebelum melaksakan shalat witir? '. Beliau menjawab: "Mataku memang tidur tapi hatiku tidaklah tidur". (H.R. Bukhari dan Muslim)

وَرَوَيَا أَيْضًا عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ رضي الله عنها تقولُ: كَانَتْ صلاةُ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِن اللَّيلِ عَشْرَ رَكَعَاتٍ وَيُوْتِرُ بِسَجْدَةٍ.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qasim bin Muhammad, ia berkata, Aku mendengar Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. mengerjakan shalat malam sepuluh rakaat, dan mengerjakan shalat witir satu rakaat.

MENGQADHA SALAT MALAM:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ مِنَ الليلِ مِن وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ، صَلَّى من النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً 

Dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā-, dia berkata, "Apabila Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak sempat melakukan salat malam karena sakit atau yang lainnya, beliau melakukan salat pada waktu siang sebanyak dua belas rakaat." (H.R. Muslim)

Keterangan:

Apabila Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- meninggalkan salat malam karena sakit atau halangan lainnya, beliau melakukan salat pada waktu siang sebanyak dua belas rakaat, karena beliau salat witir sebelas rakaat. Apabila waktu malam berlalu dan beliau tidak sempat melaksanakan salat witir karena tidur atau hal lainnya, maka beliau mengqaḍa' salat itu. Namun ketika waktu salat witir terlewatkan, maka disyariatkan menjadikannya genap. 

عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه مرفوعًا: مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ الليلِ، أو عَنْ شَيْءٍ مِنه، فَقَرَأَهُ ما بَيْنَ صَلَاةِ الفَجْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ، كُتِبَ لهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ الليلِ.

Dari Umar bin Khaṭṭab -raḍiyallāhu 'anhu- secara marfū', "Siapa yang tertidur dari hizbnya (kebiasaan salatnya) di malam hari atau sebagiannya, lalu ia menggantinya di waktu antara salat Subuh dan salat Zuhur, akan ditulis untuknya seolah-olah ia mengerjakannya di malam hari." (H.R. Muslim)

Keterangan:

Hizb artinya bagian dari sesuatu. Dari sini digunakan istilah hizb-hizb Al-Qur`ān. Bilamana seseorang memiliki kebiasaan salat yang ia lakukan di malam hari, akan tetapi ia tertidur dari melaksanakannya atau sebagiannya, lalu ia menggantinya di waktu antara salat Subuh dan salat Zuhur, maka seolah-olah ia mengerjakannya di malam hari. Akan tetapi bila ia biasa witir di malam hari (kemudian tertidur); maka apabila ia mengkadanya di siang hari ia tidak melaksanakannya dengan bilangan ganjil, tapi ia menggenapkan salat witir ini. Yakni, ia menambahnya satu rakaat. Bila kebiasaannya salat witir 3 rakaat, maka ia mengkadanya dengan 4 rakaat. Bila kebiasaannya salat witir 5 rakaat, maka ia mengkadanya dengan 6 rakaat. Bila kebiasaannya salat witir 7 rakaat, maka ia mengkadanya dengan 8 rakaat, dan demikian seterusnya. Dalilnya adalah hadis Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- apabila ketiduran atau sakit di malam hari, beliau salat di siang hari sebanyak 12 rakaat. Penting diingat bahwa mengkada baru dapat dilaksanakan selepas matahari terbit dan naik setinggi tombak, agar seseorang tidak menunaikan salat di waktu terlarang.  

Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.

Post a Comment

Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan

Lebih baru Lebih lama