بسم
الله الرحمن الرحيم
“11 GOLONGAN MANUSIA YANG DIBENCI ALLAH DALAM AL-QUR’AN” Oleh: Faqih Aulia (14.3887) |
MUQADDIMAH:
Sudah menjadi sunnatullah bahwa segala
sesuatu dalam kehidupan ini selalu berpasangan. Ada hal yang baik dan ada pula
hal buruk yang terjadi. Ada orang-orang yang hidupnya selalu diliputi dengan
keberkahan dan kasih sayang Allah, namun di sisi lain ada orang-orang yang
selalu hidup dalam kemurkaan dan dibenci Allah.
Dalam Al-Quran selain disebutkan tentang
ciri dan sifat orang-orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
disebutkan pula ciri dan sifat manusia yang dibenci oleh Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Tulisan ini akan menjelaskan 11 golongan
manusia yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana
termaktub dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
PERTAMA: AL-KAFIRUN (ORANG ORANG KAFIR).
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala dalam surat Ali Imran ayat 32, Al- Baqarah ayat 276, dan Ar-Rum
ayat 45:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ
وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
Katakanlah, "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kalian berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Q.S. Ali-Imran
{3}: 32)
Keterangan:
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad saw,
menyampaikan ayat 31 di atas, Abdullah bin Ubay berkata, "Muhammad telah
menyamakan taat kepadanya dengan taat kepada Allah, dan dia menyuruh kita
mencintainya seperti orang-orang Nasrani mencintai Isa." Maka Allah
menurunkan ayat 32 ini.
Maksud ayat ini ialah, "Katakanlah kepada
mereka wahai Muhammad. Taatilah Allah dengan mengikuti segala
perintah-perintah-Nya dan jauhilah segala larangan-Nya. Taatilah Rasulullah
dengan mengikuti sunahnya, dan jadikanlah petunjuk-petunjuknya sebagai (pedoman)
dalam hidup. Ayat ini memberi pengertian pula bahwa Allah swt mewajibkan kepada
kita mengikuti Nabi Muhammad saw, karena dia adalah Rasul Allah.
Jika orang-orang kafir itu berpaling tidak mau
menerima seruan rasul karena pengakuan mereka bahwa mereka itu anak-anak Allah
dan kekasih-Nya, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir,
yakni orang-orang yang telah dibelokkan oleh hawa nafsunya dari ayat-ayat
Allah. Karena itu Allah tidak meridai mereka bahkan menjauhkan mereka dari
kenikmatan surga-Nya dan akan memurkai mereka pada hari kiamat.
يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (Q.S. Al-Baqarah {2}:
276)
Keterangan:
Allah memusnahkan harta yang diperoleh dari
hasil praktik riba sedikit demi sedikit sampai akhirnya habis, atau
menghilangkan keberkahannya sehingga tidak bermanfaat dan menyuburkan sedekah
yakni dengan mengembangkan dan menambahkan harta yang disedekahkan, serta
memberikan keberkahan harta, ketenangan jiwa dan ketenteraman hidup bagi
pemberi dan penerima. Allah tidak menyukai dan tidak mencurahkan rahmat-Nya
kepada setiap orang yang tetap dalam kekafiran karena mempersamakan riba dengan
jual beli dengan disertai penolakan terhadap ketetapan Allah, dan tidak
mensyukuri kelebihan nikmat yang mereka dapatkan, bahkan menggunakannya untuk
menindas dan mengeksploitasi kelemahan orang lain, dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang bergelimang dosa karena praktik riba tidak hanya merugikan
satu orang saja, tetapi dapat meruntuhkan perekonomian yang dapat merugikan
seluruh warga masyarakat.
Riba itu tidak ada manfaatnya sedikit pun baik
di dunia maupun di akhirat nanti. Yang ada manfaatnya adalah sedekah.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Artinya memusnahkan harta yang diperoleh dari riba dan harta yang bercampur
dengan riba atau meniadakan berkahnya. "Menyuburkan sedekah" ialah
mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya sesuai dengan
ketantuan-ketentuan agama atau melipatgandakan berkah harta itu. Allah
berfirman: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka
itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (ar-Rum/30:39).
Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
perkataan "Allah memusnahkan riba" ialah Allah memusnahkan keberkahan
harta riba, karena akibat melakukan riba timbul permusuhan antara orang-orang
pemakan riba, dan kebencian masyarakat terhadap mereka terutama orang yang
pernah membayar utang kepadanya dengan riba yang berlipat ganda, dan juga
menyebabkan bertambah jauhnya jarak hubungan antara yang punya dan yang tidak
punya. Kebencian dan permusuhan ini bila mencapai puncaknya akan menimbulkan
peperangan dan kekacauan dalam masyarakat.
Allah tidak menyukai orang-orang yang
mengingkari nikmat-Nya berupa harta yang telah dianugerahkan kepada mereka.
Mereka tidak menggunakan harta itu menurut ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan Allah, serta tidak memberikannya kepada orang yang berhak menerimanya.
Demikian pula Allah tidak menyukai orang-orang yang menggunakan dan
membelanjakan hartanya semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, serta
mencari harta dengan menindas atau memperkosa hak orang lain.
لِيَجْزِيَ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْكَافِرِينَ (45)
Agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal
saleh dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
ingkar. (Q.S. Ar-Rum {30}: 45)
Keterangan:
Allah
memasukkan mereka ke surga agar Allah memberi balasan pahala kepada orang-orang
yang beriman dan diwujudkan dengan mengerjakan kebajikan dari sebab
karunia-Nya, bukan semata-mata keimanan dan amal salehnya. Sungguh, kenikmatan
surga bagi orang mukmin sebagai wujud rahmat-Nya dan azab neraka bagi
orang-orang kafir sebagai benuk keadilan-Nya, karena sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang kafir.
Mereka
yang akan menerima imbalan baik dari Allah itu adalah orang-orang yang iman dan
berbuat baik. Hal ini berarti bahwa iman ditunjukkan oleh perbuatan baik, dan
imbalannya adalah surga. Namun demikian, imbalan itu sendiri bukanlah balasan
mutlak dan pantas bagi perbuatan baik manusia. Perbuatan baik manusia tidak
cukup dan belum pantas untuk diimbali surga yang penuh nikmat yang tiada
taranya itu. Oleh karena itu, surga yang diterima manusia yang berbuat baik itu
adalah karunia Allah, bukan imbalan perbuatannya. Dengan demikian, perolehan
surga itu adalah karena Allah cinta kepada orang yang iman, dan tidak cinta
kepada orang-orang kafir.
Ungkapan
dalam ayat ini memang sangat ringkas, tetapi komprehensif. Ringkas karena
ungkapan sebaliknya dari yang disampaikan tidak dinyatakan. Ayat ini hanya
mengungkapkan bahwa, "Allah membalasi orang yang iman dan berbuat
baik" dan, "Ia tidak cinta orang yang kafir". Dari dua ungkapan
itu terkandung dua ungkapan lain yang berarti sebaliknya, yaitu, "Ia
menghukum orang yang kafir dan berbuat jahat" dan " Ia cinta orang
yang beriman dan berbuat baik." Ungkapan sebaliknya itu tidak perlu
dinyatakan karena dapat dipahami dari ungkapan pertama. Dengan demikian, ayat
ini menyatakan bahwa Allah membalas orang yang beriman dan berbuat baik dengan
surga serta mencintai mereka, dan Allah memberi ganjaran berupa neraka bagi orang
yang ingkar dan berbuat jahat serta membenci mereka.
KEDUA:
AL-MU’TADUN (ORANG-ORANG YANG MELAMPAUI BATAS).
Sebagaimana
firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 190 dan al-a’raf ayat 55, dan
Al-Maidah ayat 87:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ (190)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah {2}: 190)
Keterangan:
Dan
perangilah di jalan Allah, untuk membela diri dan kehormatan agamamu,
orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas dengan tidak
membunuh wanita, anak-anak, orang lanjut usia, tuna netra, lumpuh, dan
orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan perang. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas dengan melanggar etika perang
tersebut.
Ayat
ini adalah ayat Madaniyah yang termasuk ayat-ayat pertama yang memerintahkan
kaum Muslimin untuk memerangi orang-orang musyrik, apabila kaum Muslimin
mendapat serangan yang mendadak, meskipun serangan itu terjadi pada bulan-bulan
haram, yaitu pada bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, seperti
dijelaskan pada ayat yang lalu.
Pada
zaman jahiliah, bulan-bulan tersebut dianggap bulan larangan berperang.
Larangan itu oleh Islam diakui, tetapi karena orang-orang musyrik melanggarnya
terlebih dahulu, maka Allah swt mengizinkan kaum Muslimin membalas serangan
mereka.
Sebelum
hijrah, tidak ada ayat yang membolehkan kaum Muslimin melakukan peperangan. Di
kalangan mufasir pun tidak ada perselisihan pendapat, bahwa peperangan itu
dilarang dalam agama Islam pada masa itu.
Ayat
ini sampai dengan ayat 194, diturunkan pada waktu diadakan perdamaian
Hudaibiah, yaitu perjanjian damai antara kaum musyrikin Mekah dan umat Islam
dari Medinah. Perjanjian itu diadakan di salah satu tempat di jalan antara
Jeddah dengan Mekah. Dahulu yang dinamakan Hudaibiah, ialah sumur/mata air yang
terdapat di tempat itu. Peristiwa itu terjadi pada bulan Zulkaidah tahun keenam
Hijri. Rasulullah saw dengan para sahabatnya meninggalkan Medinah menuju Mekah
untuk mengerjakan umrah. Setelah rombongan itu sampai di Hudaibiah, mereka
dihalangi oleh orang-orang musyrik dan tidak boleh masuk ke Mekah, sehingga
rombongan Rasulullah saw terpaksa berada di Hudaibiah sampai satu bulan
lamanya. Akhirnya diadakan perjanjian damai yang isinya antara lain sebagai
berikut:
a) Rombongan
Rasulullah saw harus pulang kembali ke Medinah pada tahun itu.
b) Pada tahun
berikutnya, yaitu tahun ketujuh Hijri, Rasulullah saw dan para sahabatnya
diperkenankan memasuki kota Mekah, untuk mengerjakan umrah.
c) Di antara kaum
musyrikin dan Muslimin tidak akan ada peperangan selama sepuluh tahun.
Pada
tahun berikutnya, Rasulullah berangkat kembali ke Mekah dengan rombongannya
untuk mengerjakan umrah, yang lazim disebut umrah qadha, karena pada tahun
sebelumnya mereka tidak berhasil melakukannya. Pada waktu itu kaum Muslimin
khawatir kalau-kalau kaum musyrikin melanggar janji perdamaian tersebut, sedang
kaum Muslimin tidak senang berperang di tanah Haram (Mekah) apalagi di bulan
Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, yang biasa disebut "bulan-bulan
haram". Karena keadaan dan peristiwa yang demikian itulah maka ayat-ayat
tersebut diturunkan.
Dalam
ayat 190 ini Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memerangi kaum musyrik yang
memerangi mereka. Peperangan itu hendaklah bertujuan fi sabilillah (untuk
meninggikan kalimah Allah dan menegakkan agama-Nya).
Perang
yang disebut " fi sabilillah" adalah sebagaimana yang diterangkan
dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim: "Dari Abu Musa
al-Asy'ary, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang
berperang karena keberaniannya dan yang berperang karena sakit hati, atau yang
berperang karena ingin mendapat pujian saja, manakah di antara mereka itu yang
berperang di jalan Allah? Rasulullah menjawab, "Orang yang berperang untuk
meninggikan kalimah Allah maka berperangnya itu fi sabilillah." (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim)
Dalam perang suci ini orang mukmin dilarang melanggar berbagai ketentuan,
seperti membunuh anak-anak, orang lemah yang tidak berdaya, orang yang telah
sangat tua, wanita-wanita yang tidak ikut berperang, orang yang telah menyerah
kalah dan para pendeta, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.
ادْعُوا رَبَّكُمْ
تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (55)
Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-A’raf {7}: 55)
Keterangan:
Berdoalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan dan memeliharamu, dengan rendah hati dan suara yang lembut, yakni
tidak terlalu keras, namun tidak pula terlalu pelan, tetapi di antara keduanya.
Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas dalam berdoa dan
segala hal.
Ayat ini mengandung etika dalam
berdoa kepada Allah. Berdoa adalah munajat antara hamba dengan Tuhannya untuk
menyampaikan suatu permintaan agar Allah berkenan mengabulkannya. Maka berdoa
kepada Allah hendaklah dengan penuh kerendahan hati, dengan betul-betul khusyuk
dan berserah diri. Kemudian berdoa itu disampaikan dengan suara lunak dan
lembut yang keluar dari hati sanubari yang bersih. Berdoa dengan suara yang
keras, menghilangkan kekhusyukan dan mungkin menjurus kepada ria dan
pengaruh-pengaruh lainnya dan dapat mengakibatkan doa itu tidak dikabulkan
Allah. Doa tidak harus dengan suara yang keras, sebab Allah Maha Mendengar dan
Maha Mengetahui.
Diriwayatkan oleh Abu Musa
al-Asy'ari, ia berkata, "Ketika kami bersama-sama Rasulullah saw dalam
perjalanan, terdengarlah orang-orang membaca takbir dengan suara yang keras.
Maka Rasulullah bersabda: "Sayangilah dirimu jangan bersuara keras, karena
kamu tidak menyeru kepada yang pekak dan yang jauh. Sesungguhnya kamu menyeru
Allah Yang Maha Mendengar lagi Dekat dan Dia selalu beserta kamu".
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari)
Bersuara keras dalam berdoa, bisa
mengganggu orang, lebih-lebih orang yang sedang beribadah, baik dalam masjid
atau di tempat-tempat ibadah yang lain, kecuali yang dibolehkan dengan suara
keras, seperti talbiyah dalam musim haji dan membaca takbir pada hari raya Idul
Fitri dan Idul Adha. Allah memuji Nabi Zakaria a.s. yang berdoa dengan suara
lembut: (Yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.
(Maryam/19: 3)
Kemudian ayat ini ditutup dengan
peringatan, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampau
batas." Maksudnya, dilarang melampaui batas dalam segala hal, termasuk
berdoa. Tiap-tiap sesuatu sudah ditentukan batasnya yang harus diperhatikan,
jangan sampai dilampaui.
Bersuara keras dan berlebih-lebihan
dalam berdoa termasuk melampaui batas, Allah tidak menyukainya. Termasuk juga
melampaui batas dalam berdoa, meminta sesuatu yang mustahil adanya menurut
syara' ataupun akal, seperti seseorang meminta agar dia menjadi kaya, tetapi
tidak mau berusaha atau seseorang menginginkan agar dosanya diampuni, tetapi
dia masih terus bergelimang berbuat dosa dan lain-lainnya. Berdoa seperti itu,
namanya ingin mengubah sunatullah yang mustahil terjadinya. Firman Allah: Maka
kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi ketentuan Allah, dan tidak (pula) akan
menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu. (Fathir/35: 43)
Berdoa dihadapkan kepada selain
Allah atau dengan memakai perantara (washilah) orang yang sudah mati adalah
melampaui batas yang sangat tercela. Berdoa itu hanya dihadapkan kepada Allah,
tidak boleh menyimpang kepada yang lain. Allah berfirman: Katakanlah
(Muhammad), "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah,
mereka tidak kuasa untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak (pula) mampu
mengubahnya." Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari
jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah).
Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu
itu sesuatu yang (harus) ditakuti." (al-Isra'/17: 56-57)
Hadis Nabi saw: Diriwayatkan dari
Abu Hurairah dia berkata, "Telah bersabda Rasulullah saw, "Mintalah
kepada Allah washilah untukku. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, apakah washilah
itu? Rasulullah menjawab: "Dekat dengan Allah azza Wa Jalla, kemudian
Rasulullah membaca ayat; (mereka sendiri) mencari jalan kepada Tuhan mereka,
siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah." (Riwayat
at-Tirmidzi dari Ibnu Mardawaih)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (87)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-Maidah {5}: 87)
Keterangan:
Wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya! Janganlah kamu
mengharamkan apa yang baik bagi kesehatan kamu, yang telah dihalalkan Allah di
dalam Al-Qur'an kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas dalam segala hal
yang telah ditetapkan Allah di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas, baik dalam agama maupun kehidupan
sosial.
Ayat
ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang sahabat yang keliru dalam
memahami dan melaksanakan ajaran agama Islam. Mereka mengira, bahwa untuk
mendekatkan diri kepada Allah harus melepaskan diri dari segala macam
kenikmatan duniawi, karena mereka berpendapat, bahwa kenikmatan itu hanya akan
melalaikan mereka beribadah kepada Allah. Padahal Allah telah menciptakan dan
menyediakan di muka bumi ini hal-hal yang baik, yang dihalalkan-Nya untuk
mereka. Di samping itu, Dia telah menjelaskan pula apa-apa yang diharamkan-Nya.
Walaupun Allah telah menyediakan dan menghalalkan hal-hal yang baik bagi
hamba-Nya, namun harus tetap diperlakukan dengan cara yang wajar dan tidak
berlebihan. Maka firman Allah dalam ayat ini melarang hamba-Nya dari sikap dan
perbuatan yang melampaui batas.
Perbuatan
yang melampaui batas dalam soal makanan, misalnya, dapat diartikan dengan dua
macam pengertian. Pertama, seseorang tetap memakan makanan yang baik, yang
halal, tetapi ia berlebihan makan makanan itu, atau terlalu banyak. Padahal
makan yang terlalu kenyang merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin
merusak pikiran. Dana dan pikirannya hanya tertuju kepada makanan dan minuman,
sehingga kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai, terutama ibadahnya.
Pengertian yang kedua, bahwa seseorang telah melampaui batas dalam macam dan
jenis makanan yang dimakannya, minuman yang diminumnya; tidak lagi terbatas
pada makanan yang baik dan halal, bahkan telah melampauinya kepada yang merusak
dan berbahaya, yang telah diharamkan oleh agama. Kedua hal itu tidak dibenarkan
oleh ajaran agama Islam.
Pada
akhir ayat tersebut Allah memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka
kepada orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita
lakukan haruslah selalu dalam batas-batas yang ditetapkan oleh agama, seperti
batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal,
pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenai banyak sedikitnya serta manfaat
dan mudaratnya.
Suatu
hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam,
bahwa apa yang dihalalkan oleh agama, adalah karena ia bermanfaat dan tidak
berbahaya; sebaliknya, apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan
tidak bermanfaat, atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Oleh
sebab itu, tidak boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui apa yang baik dan
bermanfaat bagi hamba-Nya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dia Maha Pengasih
terhadap mereka.
KETIGA:
AL-MUFSIDUN (ORANG-ORANG YANG BERBUAT KERUSAKAN).
Sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 64
dan Al-Qashash ayat 77:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ
يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ
يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا
بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَا
أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (64)
Orang-orang Yahudi berkata, "Tangan (kekuasaan) Allah terbelenggu, "sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan (kekuasaan) Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (Q.S. Al-Maidah {5}: 64)
Keterangan:
Ayat-ayat yang lalu menjelaskan
perilaku dan sikap buruk dari orang-orang Yahudi, selanjutnya ayat-ayat berikut
menerangkan tentang perbuatan mereka yang lebih buruk lagi. Sikap yang sangat
tidak baik ini diawali ketika mereka berkata, "Tangan Allah
terbelenggu," yang maksudnya adalah kikir atau tidak mau melimpahkan
rahmat-Nya. Padahal sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu sehingga mereka
dikenal sebagai orang yang bakhil dan karenanya merekalah yang akan dilaknat
yang disebabkan oleh apa yang telah mereka katakan itu. Padahal dengan
memperhatikan apa saja yang terjadi di sekitarnya, mereka sesungguhnya
mengetahui bahwa kedua tangan Allah selalu terbuka untuk semua makhluk-Nya; Dia
memberi rezeki kepada siapa saja sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al-Qur'an yang
diturunkan kepadamu, hai Muhammad, dari Tuhanmu itu pasti juga akan menambah
kedurhakaan yang telah mendarah daging dan kekafiran yang sudah menjadi
kebiasaan bagi kebanyakan mereka. Sebagai akibat dari kedua sikap buruk itu,
Kami timbulkan permusuhan yang terus menerus dan kebencian yang mendalam di
antara mereka sampai hari Kiamat. Setiap saat mereka menyalakan api peperangan
pada siapa saja, Allah pasti akan memadamkannya. Selain melakukan penyimpangan
dan keingkaran, mereka juga selalu berusaha untuk menimbulkan kerusakan di muka
bumi. Dan sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
Menurut riwayat Ibnu Ishak dan
at-thabrani dari Ibnu Abbas dia berkata, "Seorang Yahudi yang bernama Nabbasy
bin Qais berkata kepada Nabi Muhammad saw, 'Tuhan engkau kikir, tidak suka
memberi." Maka ayat ini meskipun yang mengatakan kepada Nabi itu hanya
seorang dari kalangan Yahudi namun dapat dianggap menggambarkan pendirian
secara kesuluruhan dari kaumnya. Ayat ini menceritakan bahwa orang Yahudi itu
berkata, "Tangan Allah terbelenggu," tetapi yang sebenarnya
terbelenggu adalah tangan mereka sendiri, dengan demikian mereka akan dilaknat
Allah.
Perkataan orang Yahudi bahwa
"tangan Allah terbelenggu" adalah tidak masuk akal, sebab mereka
mengakui bahwa Allah adalah nama bagi zat yang pasti ada dan Mahakuasa, Dia
pencipta alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa tangan Allah tidak terbelenggu
dari kekuasaan-Nya tidak terbatas karena jika demikian maka tentulah Dia tidak
dapat memelihara dan mengatur alam ini. Maka apakah yang mendorong mereka
mengucapkan kata-kata demikian? Sebagian mufasir mengemukakan bahwa dorongan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mungkin mereka mendengar ayat: Barang siapa meminjami Allah dengan
pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan
banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu
dikembalikan. (al-Baqarah/2:245). Setelah mendengar ayat ini mereka mengatakan
bahwa tangan Allah itu terbelenggu dengan arti kikir, karena Allah tidak mampu
dan miskin sehingga memerlukan pinjaman.
2. Mereka mengucapkan ucapan tersebut dengan mengejek kaum Muslimin
ketika mereka melihat sahabat Nabi yang sedang berada dalam kesempitan dan
kesulitan keuangan.
3. Pada awalnya masyarakat Yahudi adalah orang-orang kaya. Ketika Nabi
Muhammad diutus menjadi Rasul mereka menentang-Nya, oleh karenanya mereka
banyak mengeluarkan harta benda untuk pembiayaan menggagalkan dakwah sehingga
orang-orang kaya dari kalangan mereka banyak yang menjadi miskin. Karena Allah
tidak melapangkan rezeki lagi bagi mereka yang telah miskin itu, mereka
mengeluarkan ucapan "tangan Allah terbelenggu" dengan maksud, Allah
itu kikir karena tidak menolong mereka.
Pernyataan dalam ayat ini menyatakan
bahwa "Tangan orang Yahudi itulah yang terbelenggu dan mereka mendapat
laknat disebabkan apa yang telah mereka katakan adalah suatu pernyatan terhadap
kekikiran mereka, yakni merekalah yang kikir, terbelenggu tangannya, tidak mau
memberi bantuan. Ternyata memang mereka adalah umat yang terkikir, mereka baru
mau memberikan bantuan jika mereka melihat ada harapan akan mendapat keuntungan
yang besar. Dan mereka pada hari kemudian pasti menerima kutukan Allah sebagai
balasan atas perbuatan mereka.
Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah Maha Pemurah dan Dia memberi sebagaimana yang Dia kehendaki. Perkataan "tangan" dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, yaitu: (1) salah satu dari anggota tubuh manusia, (2) kekuatan, (3) kepunyaan (milik), dan (4) nikmat karunia.
Pengertian yang keempat inilah yang
dimaksud dengan perkataan "tangan" yang disandarkan kepada Allah pada
ayat ini. Demikianlah para ulama khalaf mengartikan tangan dalam ayat ini.
Dengan demikian hendaklah diartikan perkataan "kedua tangan Allah
terbuka" dengan makna nikmat karunia Allah terbentang luas, nikmat karunia
itu diberikan kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. Adapun golongan yang
tidak menerima nikmat karunia Allah janganlah menganggap bahwa Allah itu kikir
atau fakir.
Adanya perbedaan tingkatan manusia
di dalam menerima rezeki dari Allah, adalah termasuk sunnatullah. Allah
berfirman: "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang
menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa
yang mereka kumpulkan." (az-Zukhruf/43:32).
Para mufasir dalam menafsirkan ayat
ini ada dua pendapat, yaitu:
Pertama, terkenal dengan ahli tawil
yaitu yang menakwil pengertian kalimat-kalimat menurut pengertian majazi
(kiasan), umpamanya ayat: "Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran
dan kemuliaan tetap kekal." (ar-Rahman/55:27).
Golongan ini menakwil kata "wajah", umpamanya pada kalimat "aku
tidak melihat wajah fulan" maksudnya adalah diri atau zat fulan. Jadi
kalimat itu sama dengan kalimat "aku tidak melihat fulan (tanpa
menyebutkan kata "wajah").
Kedua, golongan ahli tafwid yaitu menyerahkan maksud kalimat atau perkataan
seperti demikian itu kepada Allah. Mereka mengartikan tangan dengan arti
hakikinya. Jadi ini mengartikan perkataan "wajah" pada ayat Surah
ar-Rahman tersebut menurut arti hakiki yaitu "muka." Tentang bagaimanakah
keadaan muka Tuhan itu mereka menyerahkan juga kepada Tuhan, dan dalam hal ini
mereka berpegang pada ayat: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia"
(asy-Syura/42:11).
Jadi golongan ini menetapkan Tuhan
itu bermuka, tetapi tidak seperti muka manusia.
Ayat ini mengutarakan kepada
Muhammad bahwa apa yang diturunkan kepadanya benar-benar akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara kaum Yahudi dan menerangkan
bahwa ayat yang diturunkan itu mengandung pengetahuan yang tidak diketahui oleh
Yahudi yang semasa dengan Nabi Muhammad saw. Karena jika tidak demikian halnya
tentulah Muhammad tidak mengetahui semua itu, sebab dia adalah ummi tidak
pandai tulis baca. Tetapi karena kedengkian dan kefanatikan, orang-orang Yahudi
itu semakin jauh dari beriman kepada Nabi Muhammad meskipun kenabian Muhammad
telah ditulis di dalam kitab suci.
Ayat ini juga menerangkan bahwa
Allah akan menimbulkan permusuhan di antara sesama Ahli Kitab. Permusuhan itu
tidak akan berakhir sampai hari Kiamat. Watak kaum Yahudi memang suka
menyalakan api peperangan, fitnah dan keonaran. Watak seperti itu telah
tercatat dalam sejarah dan membuktikan bahwa mereka selalu berusaha
memperdayakan Nabi Muhammad dan orang-orang beriman baik secara langsung maupun
dengan cara membujuk orang musyrik atau orang Nasrani untuk memerangi Nabi
Muhammad dan orang-orang yang beriman.
Watak seperti itu membawa mereka
senang berbuat dan melihat kerusakan di bumi. Tetapi setiap kali mereka
menyalakan api peperangan, fitnah dan keonaran, serta mencoba membuat
kerusakan, Allah tetap memadamkannya, karena Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan, oleh karenanya usaha-usaha mereka untuk membuat
kerusakan dan bencana di atas bumi ini selalu mengalami kegagalan.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ
اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ
كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ
اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77)
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qasas {28}: 77)
Keterangan:
Nasihat
di atas tidak berarti seseorang hanya boleh beribadah murni (mahdah) dan
melarang memperhatikan dunia. Berusahalah sekuat tenaga dan pikiran untuk
memperoleh harta, dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu di dunia, berupa kekayaan dan karunia lainnya,
dengan menginfakkan dan menggunakannya di jalan Allah. Akan tetapi pada saat
yang sama janganlah kamu lupakan bagianmu dari kenikmatan di dunia dengan tanpa
berlebihan. Dan berbuatbaiklah kepada semua orang dengan bersedekah sebagaimana
atau disebabkan karena Allah telah berbuat baik kepadamu dengan mengaruniakan
nikmat-Nya, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dalam bentuk apa pun di bagian
mana pun di bumi ini, dengan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh
Allah. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan dan akan
memberikan balasan atas kejahatan tersebut.
Pada
ayat ini, Allah menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk yang ditujukan
kepada Karun oleh kaumnya. Orang yang mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan
memperoleh kesejahteraan di dunia dan akhirat.
1.
Orang yang dianugerahi oleh Allah kekayaan yang
berlimpah ruah, perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk, serta nikmat yang
banyak, hendaklah ia memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada
perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala
sebanyak-banyaknya di dunia dan akhirat. Sabda Nabi saw: Manfaatkan yang lima
sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum
sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu dan
hidupmu sebelum matimu. (Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu 'Abbas)
2.
Setiap orang dipersilakan untuk tidak
meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan, minuman,
pakaian, serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak bertentangan
dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah. Baik Allah, diri sendiri,
maupun keluarga, mempunyai hak atas seseorang yang harus dilaksanakannya. Sabda
Nabi Muhammad: Kerjakanlah seperti kerjanya orang yang mengira akan hidup
selamanya. Dan waspadalah seperti akan mati besok. (Riwayat al-Baihaqi dari
Ibnu 'Umar)
3.
Setiap orang harus berbuat baik sebagaimana
Allah berbuat baik kepadanya, misalnya membantu orang-orang yang memerlukan,
menyambung tali silaturrahim, dan lain sebagainya.
4.
Setiap orang dilarang berbuat kerusakan di atas
bumi, dan berbuat jahat kepada sesama makhluk, karena Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.
KEEMPAT: ADZ-DZALIMUN (ORANG-ORANG
YANG DZALIM).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran
ayat 57 dan 140 serta Asy-syura ayat 40:
وَأَمَّا الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
الظَّالِمِينَ (57)
Adapun orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amalan yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada
mereka dengan sempurna pahala amalan mereka; dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang zalim. (Q.S. Ali-Imran {3}: 57)
Keterangan:
Adapun
orang yang beriman kepada Allah dengan mengikuti ajaran utusan-Nya, termasuk
Nabi Isa, dan diwujudkan dengan melakukan kebajikan, maka Dia akan memberikan
pahala kepada mereka dengan sempurna di akhirat berupa surga. Allah tidak
menyukai orang zalim yaitu mereka yang melanggar batas-batas kebenaran yang
telah Allah tetapkan, antara lain menganggap Nabi Isa sebagai Tuhan atau anak
Tuhan.
Allah,
menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan orang-orang yang melakukan amal
saleh, adalah orang yang membenarkan Nabi Muhammad serta mengakui kenabiannya,
mengakui Kitab yang dibawanya (Al-Qur'an), mengamalkan segala perintah Allah,
serta meninggalkan semua larangan-Nya. Allah akan menyempurnakan pahala mereka,
tanpa ada kekurangan sedikit pun.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa orang yang mempunyai sifat sebaliknya, berarti mereka telah
menganiaya diri sendiri, mereka tidak dicintai Allah dan akan mendapat siksaan
yang sangat pedih.
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ
سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (40)
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.
Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Q.S.
Asy-Syura {42}: 40)
Keterangan:
Dan
balasan dari suatu kejahatan apa pun adalah kejahatan yang setimpal dan
seimbang dengan kejahatan itu demi mencapai keadilan, tetapi barang siapa
memaafkan pelaku dan perbuatan zalim yang di lakukannya dan berbuat baik kepada
orang yang berbuat jahat itu, maka pahalanya akan di perolehnya dengan jaminan
dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai, yaitu tidak melimpahkan rahmat-Nya,
kepada orang-orang zalim.
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan bahwa perbuatan membela diri yang dilakukan
seseorang yang dianiaya orang lain hendaklah ditujukan kepada pelaku
penganiayaan dan seimbang dengan berat ringannya penganiayaan tersebut.
Tindakan balasan atau pembelaan diri yang berlebihan tidak dibenarkan agama,
hal ini sesuai dengan firman Allah: Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah
dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. (al-Baqarah/2: 194)
Di
ayat lain Allah berfirman: Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan
(balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.
(an-Nahl/16: 126)
Dalam
situasi saat ini orang-orang yang teraniaya oleh orang lain, mungkin tidak bisa
langsung membela diri atau menuntut haknya kepada orang-orang yang
menganiayanya karena berbagai keterbatasannya, maka ia bisa meminta pertolongan
pihak-pihak berwajib yang bisa melakukan tindakan untuk membela haknya, seperti
polisi, pengadilan dan sebagainya. Perlu diingatkan bahwa hak seseorang harus
dipertahankan, jangan hanya berdiam diri ketika orang lain merampas haknya.
Banyak hadis yang menerangkan tentang hak-hak seperti: Siapa yang terbunuh
karena mempertahankan hartanya, maka ia adalah seorang yang syahid. Siapa yang
terbunuh karena mempertahankan (keselamatan)nyawa, keluarga, dan agamanya, maka
ia adalah seorang yang syahid. (Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidhi)
Sekalipun
demikian, ayat ini juga menganjurkan untuk tidak membalas kejahatan orang lain,
tetapi memaafkan dan memperlakukan dengan baik orang yang berbuat jahat kepada
kita karena Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang memaafkan
kesalahan orang lain, selain itu memaafkan orang lain adalah penebus dosa.
Firman Allah: Dan luka-luka (pun) ada qisas-nya (balasan yang sama).
Barangsiapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya.
(al-Ma'idah/5: 45)
Ayat
40 ini ditutup dengan satu penegasan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim yang melampaui batas di dalam melakukan pembalasan atas kejahatan
yang pernah dialaminya.
KELIMA
DAN KEENAM: AL-MUKHTALUN WAL MUTAKABBIRUN (ORANG YANG SOMBONG DAN
MEMBANGGAKAN DIRI).
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam surah An-Nisa ayat 36, Luqman ayat 18 dan
An-Nahl ayat 23:
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36)
Sembahlah Allah dan
janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat. anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan
hamba sahaya yang kalian miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Q.S. An-Nisa {4}: 36)
Keterangan:
Ayat-ayat
di atas yang berbicara tentang aturan dan tuntunan kehidupan rumah tangga dan
harta waris, memerlukan tingkat kesadaran untuk mematuhinya. Ayat ini
menekankan kesadaran tersebut dengan menunjukkan perincian tempat tumpuan
kesadaran itu dipraktikkan. Dan sembahlah Allah Tuhan yang menciptakan kamu dan
pasangan kamu, dan janganlah kamu sekali-kali mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah dengan sungguh-sungguh kepada kedua orang
tua, juga kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat dan tetangga jauh walaupun tetangga itu nonmuslim, teman sejawat, ibnu
sabil, yakni orang dalam perjalanan bukan maksiat yang kehabisan bekal, dan
hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai dan tidak
melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang sombong dan
membanggakan diri di hadapan orang lain.
Mengabdi
dan menyembah kepada Allah dinamakan ibadah. Beribadah dengan penuh keikhlasan
hati, mengakui keesaan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, itulah
kewajiban seseorang kepada Allah. Dalam kata lain, ibadah dan mengesakan Allah
merupakan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban manusia untuk menunaikannya.
Melakukan ibadah kepada Allah tampak dalam amal perbuatan setiap hari, seperti
mengerjakan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah dan telah dicontohkannya,
seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya, dinamakan ibadah khusus.
Kemudian ibadah umum, yaitu semua pekerjaan yang baik yang dikerjakan dalam
rangka patuh dan taat kepada Allah saja, bukan karena yang lainnya, seperti
membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, mengajar orang,
menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan
hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya. Ibadah
harus dikerjakan dengan ikhlas, memurnikan ketaatan kepada-Nya dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan yang lain.
Ada
bermacam-macam pekerjaan manusia yang menyebabkan dia bisa menjadi musyrik, di
antaranya menyembah berhala sebagai perantara agar permohonannya disampaikan
kepada Allah. Mereka bersembah sujud di hadapan berhala untuk menyampaikan
hajat dan maksud mereka. Perbuatan manusia yang seperti itu banyak disebutkan
Allah dalam Al-Qur'an. Allah berfirman: Dan mereka menyembah selain Allah,
sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana kepada mereka dan tidak (pula)
memberi manfaat, dan mereka berkata, "Mereka itu adalah pemberi syafaat
kami di hadapan Allah." Katakanlah, "Apakah kamu akan memberitahu
kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui-Nya apa yang di langit dan tidak (pula)
yang di bumi?" Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka
persekutukan itu. (Yunus/10:18).
Ada
pula golongan lain yang termasuk musyrik, sebagaimana yang disebutkan Allah
dalam Al-Qur'an, yaitu orang Nasrani yang menuhankan Nabi Isa, putra Maryam. Di
samping mereka menyembah Allah, juga mereka mengakui Isa a.s. sebagai Tuhan
mereka. Allah berfirman: Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan
rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra
Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada
tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan.
(at-Taubah/9:31).
Orang
musyrik semacam ini banyak terdapat pada masa sekarang, yaitu orang yang
memohon dan meminta syafaat dengan perantaraan orang-orang yang dianggapnya
suci dan keramat, baik orang-orang yang dianggapnya suci itu masih hidup maupun
sudah mati. Mereka mendatangi kuburannya, di sanalah mereka menyampaikan hajat
dan doa, bahkan mereka sampai bermalam di sana. Mereka berwasilah kepadanya dan
dengan berwasilah itu, maksudnya akan berhasil dan doanya akan makbul. Tidak
jarang terjadi manusia berdoa meminta kepada batu, pohon kayu, roh nenek
moyang, jin, hantu dan sebagainya. Semua ini digolongkan perbuatan syirik.
Kewajiban seseorang kepada Allah ialah menyembah-Nya dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Rasulullah saw bersabda: "Dari Mu'az
bin Jabal, Rasulullah saw bersabda, "Ya Muaz, tahukah engkau apakah hak
Allah atas hamba-Nya, dan apa pula hak hamba atas Allah?" Saya menjawab,
"Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah berkata, "Hak
Allah atas hamba-Nya ialah agar hamba-Nya menyembah-Nya dan jangan
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Hak hamba atas Allah ialah bahwa Allah
tidak akan mengazab hamba-Nya yang tidak mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dalam
ayat ini Allah mengatur kewajiban terhadap sesama manusia. Sesudah Allah
memerintahkan agar menyembah dan beribadah kepada-Nya dengan tidak
mempersekutukan-Nya dengan yang lain, selanjutnya Allah memerintahkan agar
berbuat baik kepada ibu-bapak. Berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Perintah mengabdi kepada
Allah diiringi perintah berbuat baik kepada ibu-bapak adalah suatu peringatan bahwa
jasa ibu bapak itu sungguh besar dan tidak dapat dinilai harganya dengan apa
pun. Selain ayat ini ada lagi beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan
agar berbuat baik kepada ibu-bapak seperti firman Allah: Dan Kami perintahkan
kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya
kepada Aku kembalimu. (Luqman/31:14).
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik. (al-Isra'/17:23).
Berbuat
baik kepada ibu-bapak mencakup segala-galanya, baik dengan perkataan maupun
dengan perbuatan yang dapat menyenangkan hati mereka keduanya. Berlaku lemah
lembut dan sopan santun kepada keduanya termasuk berbuat baik kepadanya.
Mengikuti nasihatnya, selama tidak bertentangan dengan ajaran Allah juga
termasuk berbuat baik. Andaikata keduanya memerintahkan sesuatu yang
bertentangan dengan ajaran Allah, perintahnya boleh tidak dipatuhi, tetapi
terhadap keduanya tetap dijaga hubungan yang baik. Allah berfirman: "Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau
tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku
beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (Luqman/31:15).
Termasuk
pula berbuat baik mendoakan keduanya agar Allah mengampuni dosanya, sebab
keduanya telah berjasa banyak, mendidik, memelihara dan mengasuh semenjak
kecil.
Perintah
agar selalu berbuat baik kepada ibu bapak selama hayat masih dikandung badan,
karena ibu bapak adalah manusia yang paling berjasa, diperintahkan pula agar
berbuat baik kepada karib kerabat. Karib kerabat adalah orang yang paling dekat
hubungannya dengan seseorang sesudah ibu bapak, baik karena ada hubungan darah
maupun karena yang lainnya.
Kalau
seseorang telah dapat menunaikan kewajibannya kepada Allah dengan
sebaik-baiknya, maka dengan sendirinya akidah orang itu akan bertambah kuat dan
amal perbuatannya akan bertambah baik. Kemudian bila dia telah menunaikan
kewajibannya kepada kedua ibu bapaknya dengan ikhlas dan setia, akan
terwujudlah rumah tangga yang aman dan damai dan akan berbahagialah seluruh
rumah tangga itu.
Rumah
tangga yang aman dan damai akan mempunyai kekuatan untuk berbuat baik kepada
karib kerabat dan sanak famili. Maka akan terhimpunlah suatu kekuatan besar
dalam masyarakat. Dari masyarakat yang seperti ini akan mudah terwujud sifat
tolong-menolong dan bantu-membantu, berbuat baik kepada anak-anak yatim dan
orang miskin.
Berbuat
baik kepada anak yatim dan orang miskin, bukan hanya didorong oleh hubungan
darah dan famili, tetapi semata-mata karena dorongan perikemanusiaan yang
ditumbuhkan oleh rasa iman kepada Allah. Iman kepada Allah yang menumbuhkan
kasih sayang untuk menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang miskin, sebab
banyak terdapat perintah Allah di dalam Al-Qur'an yang menyuruh berbuat baik
kepada anak yatim dan orang miskin itu. Tangan siapa lagi yang dapat diharapkan
oleh mereka itu untuk menolongnya, selain dari orang yang dadanya penuh dengan
sifat kasih sayang, yaitu orang yang beriman yang mempunyai rasa
perikemanusiaan.
Anak
yatim itu tidak mempunyai bapak yang mengurus dan membelanjainya dan orang
miskin itu tidak mempunyai daya untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Mungkin
karena lemah badannya atau oleh karena tidak cukup pendapatannya dari sehari ke
sehari. Agar mereka tetap menjadi anggota masyarakat yang baik jangan sampai
terjerumus ke lembah kehinaan dan nista, setiap manusia yang mempunyai rasa
perikemanusiaan dan mempunyai rasa kasih sayang, haruslah bersedia turun tangan
membantu dan menolong mereka, sehingga lambat laun derajat hidup mereka dapat
ditingkatkan.
Allah
juga menyuruh berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
kepada teman sejawat, ibnussabil dan hamba sahaya. Tetangga dekat dan yang jauh
ialah orang-orang yang berdekatan rumahnya, sering berjumpa setiap hari,
bergaul setiap hari, dan tampak setiap hari keluar-masuk rumahnya. Tetapi ada
pula yang mengartikan dengan hubungan kekeluargaan, dan ada pula yang
mengartikan antara yang muslim dan yang bukan muslim.
Berbuat baik kepada tetangga adalah penting. karena pada hakikatnya tetangga itulah yang menjadi saudara dan famili. Kalau terjadi sesuatu, tetanggalah yang paling dahulu datang memberikan pertolongan, baik siang maupun malam.
Saudara
dan sanak famili yang berjauhan tempat tinggalnya, belum tentu dapat diharapkan
dengan cepat memberikan pertolongan pada waktu diperlukan, seperti halnya
tetangga. Oleh karena itu, hubungan yang baik dengan tetangga harus dijaga,
jangan sampai terjadi perselisihan dan pertengkaran, walaupun tetangga itu
beragama lain. Nabi Muhammad saw pernah melayat anak tetangganya yang beragama
Yahudi.
Ibnu
Umar pernah menyembelih seekor kambing, lalu dia berkata kepada pembantunya,
"Sudahkah engkau berikan hadiah kepada tetangga kita orang Yahudi
itu?" Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Malaikat Jibril tidak
henti-henti menasihati aku, (agar berbuat baik) kepada tetangga,sehingga aku
menyangka bahwa Jibril akan memberikan hak waris kepada tetangga."
(Riwayat al-Bukhari dari Ibnu Umar).
Banyak
hadis yang menerangkan kewajiban bertetangga secara baik di antaranya: "Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik
kepada tetanggannya" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Dari
Jabir bin Abdullah dia berkata, Rasulullah saw bersabda, "Tetangga itu ada
tiga macam, tetangga yang mempunyai satu hak saja, dan ia merupakan tetangga
yang haknya paling ringan. Ada tetangga yang mempunyai dua hak dan ada tetangga
yang mempunyai tiga hak, inilah tetangga yang paling utama haknya. Adapun
tetangga yang hanya mempunyai satu hak saja, ialah tetangga musyrik, tidak ada
hubungan darah dengan dia, dia mempunyai hak bertetangga. Adapun tetangga yang
mempunyai dua hak, ialah tetangga Muslim, baginya ada hak sebagai Muslim dan
hak sebagai tetangga. Tetangga yang mempunyai tiga hak ialah tetangga Muslim
yang ada hubungan darahnya. Baginya ada hak sebagai tetangga, hak sebagai Muslim
dan hak sebagai famili." (Riwayat Abu Bakar al-Bazzar).
"Demi
Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah, tidak
beriman." Rasulullah ditanya orang, "siapa ya Rasulullah?"
Rasulullah menjawab, "Ialah orang yang kejahatannya tidak membuat aman
tetangganya." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Rasulullah
saw bersabda: "Ya Abu Zar, kalau engkau membuat maraq (sop) banyakkanlah
kuahnya, kemudian berilah tetanggamu." (Riwayat Muslim dari Abu dzarr).
Yang
dimaksud berbuat baik kepada teman sejawat, ialah teman dalam perjalanan, atau
dalam belajar, atau dalam pekerjaan yang dapat diharapkan pertolongannya dan
memerlukan pertolongan, sehingga hubungan berkawan dan berteman tetap
terpelihara. Setia-kawan adalah lambang ukhuwah Islamiyah, lambang persaudaraan
dalam Islam.
Berbuat
baik kepada ibnu sabil, ialah menolong orang yang sedang dalam perjalanan bukan
untuk tujuan maksiat, atau dalam perantauan yang jauh dari sanak famili dan
memerlukan pertolongan, pada saat dia ingin kembali ke negerinya. Termasuk ibnu
sabil ialah anak yang diketemukan yang tidak diketahui ibu bapaknya. Orang yang
beriman wajib menolong anak tersebut, memeliharanya atau menemukan orang tuanya
atau familinya, agar anak itu jangan terlunta-lunta hidupnya yang akibatnya
akan menjadi anak yang rusak rohani dan jasmaninya.
Berbuat
baik kepada hamba sahaya, ialah dengan jalan memerdekakan budak. Apakah tuannya
sendiri yang memerdekakannya atau orang lain dengan membelinya dari tuannya,
kemudian dimerdekakannya. Pada zaman sekarang ini tidak terdapat lagi hamba
sahaya, sebab perbudakan bertentangan dengan hak asasi manusia. Agama Islam pun
tidak menginginkan adanya perbudakan. Karena itu semua hamba sahaya yang
ditemui sebelum Islam datang, berangsur-angsur dimerdekakan dari tuannya,
sehingga akhirnya habislah perbudakan itu.
Yang dimaksud dengan orang yang sombong dan membanggakan diri dalam ayat ini, ialah orang yang takabur yang dalam gerak-geriknya memperlihatkan kebesaran dirinya, begitu juga dalam pembicaraannya tampak kesombongannya melebihi orang lain, dialah yang tinggi dan mulia, orang lain rendah dan hina. Orang yang sombong dan membanggakan diri tidak disukai Allah. Sebab orang-orang yang seperti itu termasuk manusia yang tak tahu diri, lupa daratan dan akhirnya akan menyesal. Sifat takabur itu adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa yang mempunyai sifat sombong dan takabur berarti menantang Allah. Biasanya orang yang sombong dan takabur itu kasar budi pekertinya dan busuk hatinya. Dia tidak dapat menunaikan kewajiban dengan baik dan ikhlas, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban terhadap sesama manusia.
Banyak
hadis yang mencela orang-orang yang sombong dan takabur, di antaranya,
Rasulullah saw bersabda: "Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat
takabur walaupun sedikit." Berkata seorang sahabat, "Seseorang itu
ingin memakai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus." Berkata
Rasulullah saw, "Sesungguhnya Allah itu indah dan senang kepada keindahan.
Sifat takabur itu ialah menolak yang benar dan memandang rendah kepada orang
lain." (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud).
Apakah
yang akan disombongkan manusia, padahal semua yang ada padanya adalah kepunyaan
Allah yang dititipkan kepadanya buat sementara. Lambat laun semuanya akan diambil
Allah kembali, berikut nyawa dan tubuhnya yang kasar dan semuanya akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah nantinya.
وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ
مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18)
Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri. (Q.S. Luqman {31}: 18)
Keterangan:
Dan
janganlah kamu sombong. Janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia secara
congkak dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Bersikaplah tawaduk
dan rendah hati kepada siapa pun. Sungguh, Allah tidak menyukai dan tidak pula
melimpahkan kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.
Ayat
ini menerangkan lanjutan wasiat Lukman kepada anaknya, yaitu agar anaknya
berbudi pekerti yang baik, dengan cara:
1. Jangan
sekali-kali bersifat angkuh dan sombong, membanggakan diri dan memandang rendah
orang lain. Tanda-tanda seseorang yang bersifat angkuh dan sombong itu ialah:
a)
Bila berjalan dan bertemu dengan orang lain, ia
memalingkan mukanya, tidak mau menegur atau memperlihatkan sikap ramah.
b)
Berjalan dengan sikap angkuh, seakan-akan ia
yang berkuasa dan yang paling terhormat. Firman Allah: Dan janganlah engkau
berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan
dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.
(al-Isra'/17: 37). Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: Janganlah kamu
saling membenci, janganlah kamu saling membelakangi dan janganlah kamu saling
mendengki, dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara. Tidak boleh bagi
seorang muslim memencilkan (tidak berbaik) dengan temannya lebih dari tiga
hari. (Riwayat Malik dari Anas bin Malik)
2. Hendaklah
berjalan secara wajar, tidak dibuat-buat dan kelihatan angkuh atau sombong, dan
lemah lembut dalam berbicara, sehingga orang yang melihat dan mendengarnya
merasa senang dan tenteram hatinya. Berbicara dengan sikap keras, angkuh, dan
sombong dilarang Allah karena gaya bicara yang semacam itu tidak enak didengar,
menyakitkan hati dan telinga. Hal itu diibaratkan Allah dengan suara keledai
yang tidak nyaman didengar.
Yahya
bin Jabir ath-tha'i meriwayatkan dari Gudhaif bin haris, ia berkata, "Aku
duduk dekat 'Abdullah bin 'Amr bin al-'ash, maka aku mendengar ia berkata,
'Sesungguhnya kubur itu akan berbicara dengan orang yang dikuburkan di
dalamnya, ia berkata, 'Hai anak Adam apakah yang telah memperdayakan engkau,
sehingga engkau masuk ke dalam liangku? Tidakkah engkau mengetahui bahwa aku
rumah tempat engkau berada sendirian? Tidakkah engkau mengetahui bahwa aku
tempat yang gelap? Tidakkah engkau mengetahui bahwa aku rumah kebenaran? Apakah
yang memperdayakan engkau sehingga engkau masuk ke dalam liangku? Sesungguhnya
engkau waktu hidup menyombongkan diri."
Sederhana
atau wajar dalam berjalan dan berbicara bukan berarti berjalan dengan
menundukkan kepala dan berbicara dengan lunak. Akan tetapi, maksudnya ialah
berjalan dan berbicara dengan sopan dan lemah lembut, sehingga orang merasa
senang melihatnya. Adapun berjalan dengan sikap gagah dan wajar, serta berkata
dengan tegas yang menunjukkan suatu pendirian yang kuat, tidak dilarang oleh
agama.
Menurut suatu riwayat dari 'Aisyah r.a. bahwa beliau melihat seorang laki-laki berjalan menunduk lemah, seakan-akan telah kehilangan kekuatan tubuhnya, maka beliau pun bertanya, "Mengapa orang itu berjalan terlalu lemah dan lambat?" Seseorang menjawab, "Dia adalah seorang fuqaha yang sangat alim." Mendengar jawaban itu 'Aisyah berkata, "Umar adalah penghulu fuqaha, tetapi apabila berjalan, ia berjalan dengan sikap yang gagah, apabila berkata, ia bersuara sedikit keras, dan apabila memukul, maka pukulannya sangat keras."
لَا جَرَمَ أَنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْتَكْبِرِينَ (23)
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong. (Q.S. An-Nahl {16}: 23)
Keterangan:
Tidak
diragukan lagi bahwa Allah Yang Maha Esa mengetahui apa yang mereka rahasiakan
dan sembunyikan dalam hati berupa kebohongan, dan apa yang mereka lahirkan
dalam bentuk sikap dan perbuatan. Sesungguhnya Dia Yang Maha Pengasih dan
Penyayang tidak menyukai orang yang sombong dan tidak menganugerahkan ganjaran
kepada orang yang congkak dalam ucapan dan tingkah laku mereka.
Allah
swt menjelaskan bahwa Tuhan yang wajib disembah dan ditaati oleh seluruh
manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Penegasan dengan Yang Maha Esa, memberikan
pengertian yang pantas disembah hanyalah Dia. Oleh sebab itu, Dia pulalah yang
wajib ditaati oleh seluruh manusia dan tidak boleh mengangkat tuhan-tuhan yang
lain sebagai sekutu-Nya.
Sesudah
itu, dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang kafir mempersekutukan Allah
dengan tuhan-tuhan yang lain karena tidak mau mengakui keesaan Allah, janji dan
ancaman-Nya, serta terjadinya hari akhir. Itulah sebabnya maka mereka
membangkang terhadap apa saja yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, meskipun
berita yang disampaikan itu mengandung berita tentang kekuasaan dan kebenaran
Allah serta luasnya nikmat yang diberikan kepada manusia. Hati mereka telah
tertutup, meskipun telah diberitakan kepada mereka bahwa peribadatan mereka itu
tidak benar. Seharusnya yang berhak disembah ialah Allah Yang Maha Esa, namun
mereka tetap tidak mau percaya.
Di
akhir ayat, Allah swt menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang sombong dan
tidak mau menerima kebenaran. Mereka tidak mau tunduk kepada kebenaran, tetap
mengingkarinya, dan bertaklid buta mengikuti nenek moyang mereka.
Allah
swt berfirman: Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja?
Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan. (shad/38: 5)
Dan
apabila yang disebut hanya nama Allah, kesal sekali hati orang-orang yang tidak
beriman kepada akhirat. Namun apabila nama-nama sembahan selain Allah yang
disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergembira. (az-Zumar/39: 45)
Bahkan
mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut
suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka." Dan
demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau
(Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu)
selalu berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut
suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka."
(az-Zukhruf/43: 22-23)
KETUJUH:
AL-KHAINUN (PENGKHIANAT).
Sebagaimana
firman Allah subhanahu wa taala dalam surah Al-Anfal ayat 58 dan an-Nisa ayat
107:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ
قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْخَائِنِينَ (58)
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. (Q.S. Al-Anfal {8}: 58)
Keterangan:
Dan
jika engkau, wahai Nabi Muhammad, khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari
suatu golongan, baik dari Yahudi Bani Quraidhah maupun lainnya, dengan melihat
tanda-tandanya yang cukup jelas, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dan kamu jangan melakukan hal yang sama, serta tetap konsistenlah dalam
memegang janji dengan cara yang jujur dan tidak berkhianat seperti mereka.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat.
Jika
kaum Muslimin merasa ada tanda-tanda pengkhianatan dari satu golongan yang
mengadakan perjanjian pertahanan, haruslah dikembalikan perjanjian itu kepada
mereka dan hendaklah mereka berusaha untuk menghalangi terjadinya pengkhianatan
itu, dengan jalan mengembalikan perjanjian itu secara jujur disertai peringatan
bahwa setelah adanya pengkhianatan itu pihak kaum Muslimin tidak terikat lagi
dengan janji apa pun dengan mereka. Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat, dan juga tidak membolehkan pengkhianatan secara mutlak.
Kaum
Muslimin dilarang memerangi mereka sebelum ada pemberitahuan, bahwa perjanjian
antara mereka dengan pihak lawan tidak berlaku lagi, karena adanya
pengkhianatan. Hal ini perlu diumumkan, agar tidak ada tuduhan dari musuh bahwa
orang Islam telah memerangi mereka tanpa sebab atau melanggar perjanjian. Allah
memberi peringatan pula kepada orang-orang yang berkhianat dengan azab yang
akan menimpa diri mereka sebagai akibat dari pengkhianatannya.
وَلا تُجادِلْ عَنِ
الَّذِينَ يَخْتانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ
خَوَّاناً أَثِيماً (107)
Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa. (Q.S. An-Nisa {4}: 107)
Keterangan:
Dan
janganlah kamu, wahai Nabi Muhammad dan umatmu, berdebat untuk membela
orang-orang yang sengaja dan terus-menerus mengkhianati diri mereka. Sungguh,
Allah tidak menyukai, yakni tidak menurunkan rahmat-Nya, kepada orang-orang
yang selalu mengulangi perbuatan berkhianat dari waktu ke waktu, dan bergelimang
dosa.
Nabi
Muhammad saw dilarang membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri,
seperti thu'mah dengan kaum kerabatnya yang berusaha menutupi kesalahannya.
Mereka dikatakan mengkhianati diri sendiri sedang yang dikhianati sebenarnya adalah
orang lain karena akibat pengkhianatan itu akan menimpa diri mereka sendiri.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat, berdosa dan
mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti thu'mah yang
ternyata setelah kedok kejahatannya terbuka dia murtad dan melarikan diri ke
Mekah bergabung dengan orang-orang musyrik.
KEDELAPAN:
AL-MUJAHIR BIS SUU’ (ORANG-ORANG YANG MEMAMERKAN KEBURUKAN).
Sebagaimana
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surah An-Nisa ayat 148:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ
الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا
عَلِيمًا (148)
Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan
terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (Q.S. An-Nisa {4}: 148)
Keterangan:
Pada ayat sebelumnya Allah menerangkan orang-orang munafik dan keburukan sifat mereka. Uraian itu dapat menimbulkan kebencian dan mengundang caci maki dari kalangan kaum muslim. Maka ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum muslim terkait dengan kata-kata yang buruk. Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang, kecuali diucapkan secara terpaksa oleh orang yang dizalimi; dalam keadaan itu dibenarkan baginya mengucapkannya dalam batasbatas tertentu. Dan Allah Maha Mendengar, ucapan yang baik maupun yang buruk, yang diucapkan secara rahasia maupun terang-terangan, lagi Maha Mengetahui, segala sesuatu yang diperbuat hamba-Nya.
Allah
tidak menyukai hamba-Nya yang melontarkan kata-kata buruk kepada siapa pun.
Kata buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara anggota
masyarakat dan jika berlarut-larut dapat menjurus kepada pengingkaran hak dan
pertumpahan darah, dan dapat pula mempengaruhi orang yang mendengarnya untuk
meniru perbuatan itu, terutama bila perbuatan itu dilakukan oleh pemimpin.
Allah tidak menyukai sesuatu, berarti Allah tidak meridainya dan tidak
memberinya pahala.
Dalam
hal ini dikecualikan orang yang dianiaya. Jika seseorang dianiaya, dia
diperbolehkan mengadukan orang yang menganiayanya kepada hakim atau kepada
orang lain yang dapat memberi pertolongan dalam menghilangkan kezaliman. Jika
seseorang dianiaya lalu ia menyampaikan pengaduan, tentu saja pengaduan itu
dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. Maka dalam hal
ini ada dua kemungkinan. Pertama, orang yang teraniaya melontarkan
ucapan-ucapan buruk terhadap seseorang yang menganiayanya. Hal ini dapat
menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Kedua, bila
orang yang dianiaya itu mendiamkan saja, maka kezaliman akan tambah memuncak
dan keadilan akan lenyap. Karena itu Allah mengizinkan dalam ayat ini bagi
orang yang teraniaya melontarkan ucapan dan tuduhan tentang keburukan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang menganiaya walaupun akan
mengakibatkan kebencian, karena membiarkan penganiayaan adalah lebih buruk
akibatnya, sesuai dengan kaidah: "Melakukan yang lebih ringan mudaratnya
di antara dua kemudaratan."
Orang
yang dianiaya wajib menyampaikan pengaduannya kepada hakim atau lainnya.
Seseorang yang zalim jika tidak diambil tindakan yang tegas terhadapnya,
kezalimannya akan bertambah luas. Tetapi jika tidak ada maksud untuk
menghilangkan kezaliman, seseorang dilarang keras melontarkan ucapan-ucapan
yang buruk. Dalam ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui setiap ucapan yang dikeluarkan oleh orang yang zalim dan orang yang
dianiaya, terutama jika mereka melampaui batas sampai melontarkan pengaduan
yang dusta atau bersifat menghasut dan mengadu domba.
KESEMBILAN:
AL-ATSIM (ORANG YANG BERGELIMANG DOSA).
Sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat
276, dan An-Nisa ayat 107:
يَمْحَقُ اللَّهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa. (Q.S.
Al-Baqarah {2}: 276)
وَلا تُجادِلْ عَنِ
الَّذِينَ يَخْتانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كانَ
خَوَّاناً أَثِيماً (107)
Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa. (Q.S. An-Nisa {4}: 107)
KESEPULUH:
AL-MUSRIFUN (PARA PEMBOROS).
Sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam surah Al-An’am ayat 141 dan Al-A’raf
ayat 31:
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ
جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا
أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا
مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya), tetapi tidak sama (rasanya). Makanlah dari
buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin), dan janganlah kalian berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S.
Al-An’am {6}: 141)
Keterangan:
Pada
ayat-ayat yang lalu diterangkan bagaimana kaum musyrik Mekah telah membuat
ketetapan dan peraturan yang hanya berdasarkan pada keinginan hawa nafsu
sendiri, bahkan mereka mengklaim bahwa peraturan itu berasal dari Allah. Pada
ayat-ayat ini Allah menjelaskan lagi nikmat dan karunia-Nya yang diberikan
kepada hambaNya. Dan Dialah, Allah, yang menjadikan dua jenis tanaman, yaitu
tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat. Allah pun menciptakan
untuk manusia berbagai macam pepohonan seperti pohon kurma, tanaman yang
beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak serupa (rasanya). Wahai manusia! Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan
jangan lupa berikanlah haknya, berupa zakat, pada waktu memetik hasilnya, tapi
janganlah berlebih-lebihan, dalam arti tidak terlalu pelit dan tidak terlalu
boros, tetapi berada di antara keduanya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan, yaitu dengan mengeluarkan harta bukan pada
tempatnya.
Dengan
ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan kebun-kebun yang
menjalar dan yang tidak menjalar tanamannya. Dialah yang menciptakan pohon
kurma dan pohon-pohon lain yang buahnya beraneka ragam bentuk warna dan
rasanya. Seharusnya hal itu menarik perhatian hamba-Nya dan menjadikannya
beriman, bersyukur dan bertakwa kepada-Nya. Dengan pohon kurma saja mereka
telah mendapat berbagai macam manfaat. Mereka dapat makan buahnya yang masak
tapi masih segar, yang manis rasanya dan dapat pula mengeringkannya sehingga
dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama dan dapat dibawa ke mana pun dalam
perjalanan serta tidak perlu dimasak lagi seperti masakan lainnya.
Bijinya
dapat dijadikan makanan unta. Batang, daun, pelepah dan seratnya, dapat diambil
manfaatnya. Kalau dibandingkan dengan pohon-pohon di Indonesia pohon kurma itu
seperti pohon kelapa. Allah mengaruniakan pula pohon zaitun dan delima, ada
yang serupa bentuk tapi beda rasanya. Allah membolehkan hamba-Nya menikmati
hasil dari berbagai macam pohon dan tanaman itu sebagai karunia dari Allah.
Maka tidak ada hak sama sekali bagi hamba-Nya untuk mengharamkan apa yang telah
dikaruniakan-Nya. Karena Allah-lah yang menciptakan, Allah-lah yang memberi,
maka Allah pulalah yang berhak mengharamkan atau menghalalkannya. Kalau ada di
antara hamba-hamba-Nya yang mengharamkannya maka ia telah menganggap dirinya
sama kedudukannya dengan Allah, dan orang-orang yang menaatinya berarti telah
menyekutukan Allah dan inilah syirik yang tak dapat diragukan lagi. Maksud
mengharamkan makanan di sini ialah menjadikannya haram untuk dimakan, bila
dimakan tentu berdosa. Adapun melarang makanan karena alasan kesehatan,
dilarang dokter atau karena sebab-sebab lain yang membahayakan, tidaklah
termasuk syirik, karena kita diperintahkan Allah untuk menjauhkan diri dari
bahaya.
Kemudian
Allah memerintahkan untuk memberikan sebagian dari hasil tanaman diwaktu panen
kepada fakir miskin, kaum kerabat dan anak yatim, untuk mensyukuri nikmat Allah
yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia. Ibnu Mundzir, Abu Syaikh dan Ibnu
Mardawaih meriwayatkan dari Abi Sa'id al-Khudri bahwa Rasulullah saw
menafsirkan firman Allah: (al-An'am/6: 141) dengan, "berikan hak fakir
miskin dari apa yang gugur dari tangkainya." Artinya gugur ketika dipanen.
Dalam
hal ini, Mujahid berkata, "Apabila kamu sedang panen dan datang
orang-orang miskin, maka pukullah tangkai buah yang kamu panen itu dan berilah
mereka apa yang jatuh dari tangkainya; apabila kamu telah memisahkan biji dari
tangkainya maka berilah mereka sebagian dari padanya. Apabila engkau telah
menampi membersihkan dan mengumpulkannya serta telah diketahui berapa banyak
kadar nilai dari hasil panen itu, maka keluarkanlah zakatnya."
Maimun
bin Mihran dan Zaid bin al-A'sham meriwayatkan bahwa penduduk kota Madinah,
bila mereka memanen kurma mereka membawa tangkai-tangkai kurma ke mesjid, lalu
mereka letakkan di sana, maka berdatanganlah fakir miskin, lalu dipukulkannya
tangkai kurma itu dan diberikannya kepada mereka kurma yang berjatuhan dari
tangkainya. Menurut Sa'id bin Jubair, hal ini berlaku sebelum turunnya perintah
zakat. Orang-orang Arab selalu memberikan sebagian dari hasil tanamannya untuk
makanan binatang, sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin. Kebiasaan ini
dilestarikan oleh Islam ketika memberlakukan wajib zakat (pada tahun kedua
Hijriah dimana zakat hasil pertanian harus diberikan atau dikeluarkan segera
begitu mereka panen, tanpa ditangguhkan).
Selanjutnya
Allah melarang makan berlebih-lebihan, karena hal itu sangat berbahaya bagi
kesehatan dan dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit yang mungkin membahayakan
jiwa. Allah Yang Maha Pengasih kepada hamba-Nya tidak menyukai hamba-Nya yang
berlebih-lebihan itu.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا
زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ
لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31)
Hai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al-A’raf {7}: 31)
Keterangan:
Pada
ayat yang lalu Allah memerintahkan agar manusia berlaku adil dalam semua
urusan, maka pada ayat ini Allah memerintahkan agar memakai pakaian yang baik
dalam beribadah, baik ketika salat, tawaf, dan ibadah lainnya. Allah juga
memerintahkan manusia untuk makan dan minum secukupnya tanpa berlebih-lebihan.
Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus yaitu pakaian yang dapat
menutupi aurat kalian atau bahkan yang lebih dari itu ketika kalian beribadah,
sehingga kalian bisa melakukan salat dan tawaf dengan nyaman, dan lakukanlah
itu pada setiap memasuki dan berada di dalam masjid atau tempat lainnya di muka
bumi ini. Dalam rangka beribadah, Kami telah menyediakan makanan dan minuman,
maka makan dan minumlah apa saja yang kamu sukai dari makanan dan minuman yang
halal, baik dan bergizi, tetapi jangan berlebihan dalam segala hal, baik dalam
beribadah dengan menambah cara atau kadarnya, ataupun dalam makan dan minum.
Karena sungguh, Allah tidak menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat dan
ganjaran-Nya kepada orang yang berlebih-lebihan dalam hal apa pun.
Dalam
ayat ini Allah memerintahkan agar manusia memakai zinah (pakaian bersih yang
indah) ketika memasuki masjid dan mengerjakan ibadat, seperti salat, thawaf dan
lain-lainnya.
Yang
dimaksud dengan memakai zinah ialah memakai pakaian yang dapat menutupi aurat
dengan memenuhi syarat-syarat hijab. Lebih sopan lagi kalau pakaian itu selain
bersih dan baik, juga indah yang dapat menambah keindahan seseorang dalam
beribadah menyembah Allah, sebagaimana kebiasaan seseorang berdandan dengan
memakai pakaian yang indah di kala akan pergi ke tempat-tempat undangan dan
lain-lain. Maka untuk pergi ke tempat-tempat beribadah untuk menyembah Allah
tentu lebih pantas lagi, bahkan lebih utama. Hal ini bergantung pada kemauan
dan kesanggupan seseorang, juga bergantung pada kesadaran. Kalau seseorang
hanya mempunyai pakaian selembar saja, cukup untuk menutupi aurat dalam
beribadah, itu pun memadai. Tetapi kalau seseorang mempunyai pakaian yang agak
banyak, maka lebih utama kalau ia memakai yang bagus. Rasulullah telah bersabda:
"Apabila salah seorang di antaramu mengerjakan salat hendaklah memakai dua
kain, karena untuk Allah yang lebih pantas seseorang berdandan. Jika tidak ada
dua helai kain, maka cukuplah sehelai saja untuk dipakai salat. Janganlah
berkelumun dalam salat, seperti berkelumunnya orang-orang Yahudi".
(Riwayat ath-thabrani dan al-Baihaqi dari Ibnu 'Umar)
Diriwayatkan
dari Hasan, cucu Rasulullah, bahwa apabila ia akan mengerjakan salat, ia
memakai pakaian yang sebagus-bagusnya. Ketika ia ditanya orang dalam hal itu,
ia menjawab, "Allah itu indah, suka kepada keindahan, maka saya memakai
pakaian yang bagus."
Dalam
ayat ini, Allah mengatur urusan makan dan minum. Kalau pada masa Jahiliyah,
manusia yang mengerjakan haji hanya makan makanan yang mengenyangkan saja,
tidak makan makanan yang baik dan sehat yang dapat menambah gizi dan vitamin
yang diperlukan oleh badan, maka dengan turunnya ayat ini, makanan dan minuman
itu harus disempurnakan gizinya dan diatur waktu menyantapnya dengan
terpelihara kesehatannya. Dengan begitu manusia lebih kuat mengerjakan ibadat.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa memakai pakaian yang bagus, makan makanan yang
baik dan minum minuman yang bermanfaat adalah dalam rangka mengatur dan memelihara
kesehatan untuk dapat beribadah kepada Allah dengan baik. Karena kesehatan
badan banyak hubungannya dengan makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang
berlebihan berakibat terganggunya kesehatan. Karena itu, Allah melarang
berlebihan dalam makan dan minum.
Larangan
berlebihan itu mengandung beberapa arti, di antaranya:
1. Jangan
berlebihan dalam porsi makan dan minum itu sendiri. Sebab, makan dan minum
dengan porsi yang berlebihan dan melampaui batas akan mendatangkan penyakit.
Makan kalau sudah merasa lapar, dan kalau sudah makan, janganlah sampai terlalu
kenyang. Begitu juga dengan minuman, minumlah kalau merasa haus dan bila rasa
haus hilang, berhentilah minum, walaupun nafsu makan atau minum masih ada.
2. Jangan
berlebihan dalam berbelanja untuk membeli makanan atau minuman, karena akan
mendatangkan kerugian. Kalau pengeluaran lebih besar dari pendapatan, akan
menyebabkan hutang yang banyak. Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha
agar jangan besar pasak dari tiang.
3. Termasuk
berlebihan juga adalah makan dan minum yang diharamkan Allah. Dalam hal ini
Rasulullah telah bersabda: "Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan
berpakaianlah dengan cara yang tidak sombong dan tidak berlebihan. Sesungguhnya
Allah suka melihat penggunaan nikmat-Nya kepada hamba-Nya." (Riwayat
Ahmad, at-Tirmidzi dan al-hakim dari Abu Hurairah)
Perbuatan
berlebihan yang melampaui batas selain merusak dan merugikan, juga Allah tidak
menyukainya. Setiap pekerjaan yang tidak disukai Allah, kalau dikerjakan juga,
tentu akan mendatangkan bahaya.
KESEBELAS:
AL-FARIHUN BIL MA’ASHI (ORANG YANG SENANG DAN BANGGA DENGAN MAKSIAT).
Sebagaimana
dalam surat Al-Qashas ayat 76:
إِنَّ قَارُونَ كَانَ
مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ
مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ
لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ (76)
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku
aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan
harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang
kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya,
"Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” (Q.S. Al-Qashas {28}: 76)
Keterangan:
Kekuatan dan kekuasaan akan berakhir
dengan kebinasaan karena kedurhakaan dan kezaliman, seperti yang terjadi pada
Fir'aun. Begitu juga dengan kekuatan harta dan pengetahuan yang juga berakhir
dengan kebinasaan saat disertai dengan kedurhakaan dan keangkuhan, seperti yang
menerima Karun. Sesungguhnya Karun termasuk kaum Musa yang hidup semasa
dengannya dan konon adalah anak Nabi Musa. Akan tetapi meski berasal dari
keluarga terhormat, dia melampaui batas dengan berlaku zalim terhadap mereka
dan sombong. Ia adalah seorang yang Kami beri nikmat dengan memasukkannya ke
dalam kelompok kaum Nabi Musa, dan Kami telah menganugerahkan pula kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kunci gudang tempat penyimpanan hartanya itu sungguh
sangat banyak sehingga terasa berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
Itu baru kuncinya, ada pun harta kekayaannya, tidak mungkin dapat dipikul oleh
orang yang sangat banyak sekali pun. Ingatlah ketika ia terpedaya oleh nikmat
Allah yang dikaruniakan kepadanya dengan mengingkari dan tidak mensyukurinya,
kaumnya menasihatinya dengan berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu
bangga dengan harta kekayaan yang engkau miliki, kebanggaan yang menjadikanmu
melupakan Allah yang menganugerahkan nikmat itu sehingga tidak bersyukur
kepada-Nya. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.”
Orang-orang kafir Mekkah yang menentang Nabi Muhammad telah tertipu oleh harta
mereka, sebab kekayaan mereka digunakan untuk menindas kaum Muslim. Padahal,
harta benda mereka sangat sedikit jika dibandingkan dengan harta Karun. Orang
kaya yang angkuh dan zalim akan berakhir dengan kebinasaan.
Ayat ini menerangkan bahwa Karun
termasuk kaum Nabi Musa, dan masih terhitung salah seorang pamannya. Karun juga
mempunyai nama lain, yaitu "al-Munawar" (bercahaya) karena wajahnya
yang tampan. Ia paling banyak membaca kitab Taurat di antara teman-temannya
dari Bani Israil, hanya dia munafik seperti halnya Samiri. Ia berlaku aniaya
dan sombong terhadap sesama Bani Israil.
Dan sekiranya Allah melapangkan
rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di
bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia
Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat. (asy-Syura/42: 27)
Kekayaan melimpah ruah dan
perbendaharaan harta yang banyak yang diberikan Allah kepadanya, sehingga
kunci-kunci tidak sanggup dipikul oleh sejumlah orang-orang yang kuat karena
beratnya, menyebabkan ia sangat bangga, berlaku aniaya, dan sombong terhadap
sesamanya serta memandang remeh dan hina mereka. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa
kunci-kunci perbendaharaan harta Karun dapat dibawa oleh empat puluh laki-laki
yang kuat.
Sekalipun ia diperingatkan oleh
kaumnya agar jangan terlalu membanggakan hartanya yang berlimpah-limpah dan
kekayaan yang bertumpuk-tumpuk itu, karena Allah tidak menyukai orang yang
membanggakan diri, tetapi ia tidak menggubrisnya sama sekali. Ia tetap bangga
dan menyombongkan diri. Peringatan dan larangan terlalu gembira dan bangga atas
pemberian Allah itu ditegaskan juga dalam ayat lain, sebagaimana firman Nya:
Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan
pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. (al-hadid/57: 23)
Allah tidak menyukai orang yang
sombong dan membanggakan diri. (an-Nisa'/4: 36)
Wallaahu A'lam, al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan