1. ZIARAH KUBUR MENGINGATKAN MATI DAN MENZUHUDKAN
TERHADAP DUNIA
Imam Muslim
telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dia berkata, Nabi saw. pernah
berziarah ke kubur ibundanya, tiba-tiba beliau menangis, dan membuat
orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Beliau bersabda,
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ
فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ.
“Aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampun untuk
ibuku, tetapi tidak diizinkan. Dan aku telah meminta izin untuk menziarahi
kuburnya, maka Dia mengizinkan aku. Maka dari itu, berziarah kuburlah kamu
sekalian, karena ziarah kubur itu mengingatkan mati.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 2304)
Ziarah kubur
pada awal Islam hadir adalah penuh dengan praktik-praktik kemusyrikan dengan
cara menyembah kuburan orang-orang shalih dan meminta-minta kepadanya, namun
seiring waktu berjalan disertai dengan dakwah Rasulullah saw. kepada
umat manusia khususnya orang-orang Islam, maka ziarah kubur versi orang-orang
Islam telah bersih dari praktik-praktik kemusyrikan. Imam Ibnu Majah
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ، فَزُورُوهَا ؛ فَإِنَّهَا
تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا ، وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ.
“Aku
pernah melarang kamu sekalian menziarahi kubur. Maka, ziarahilah, karena ziarah
kubur itu menyebabkan sikap zuhud terhadap dunia dan mengingatkan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no.
1571. Hadis Hasan)
Shahabat Ali
bin Abi Thalib ra. pernah menasihati orang-orang sekelilingnya agar
zuhud terhadap kehidupan dunia. Diriwayatkan bahwa Ali ra. pernah keluar
ke kuburan. Setelah dekat dari kuburan, maka dia berkata, “Hai ahli kubur,
beritahu kami tentang keadaan kalian, atau kami yang memberi kabar kepada
kalian? Adapun kabar dari kami bahwa hartamu telah dibagi-bagi, istri-istrimu
telah menikah lagi, tempat-tempat tinggalmu telah dihuni orang-orang lain.” Kemudian
Ali ra. berkata, “Demi Allah, andaikan mereka bisa bicara, niscaya
mereka berkata, ‘Kami tidak melihat bekal yang lebih baik daripada takwa’.” (Al-Qurthubi,
At-Tadzkirah, hlm. 29)
Zuhud adalah kurang berambisi
terhadap sesuatu. Atau mungkin anda artikan: membenci sesuatu. Menurut istilah
orang-orang hakikat: membenci dan berpaling dari kenikmatan dunia. Ada juga
yang berpendapat: meninggalkan kesenangan dunia demi meraih kesenangan akhirat.
Ada yang mengatakan: meninggalkan kenikmatan dan syahwat dunia demi mendapatkan
kenikmatan dan kelezatan akhirat. Pendapat lain: mengosongkan hati seperti
mengosongkan apa yang ada di kedua tangamu. Pendapat lain: mengorbankan apa
yang kamu miliki dan tidak terpengaruh dengan apa yang telah berhasil kamu
peroleh. Pendapat lain: tidak kecewa terhadap sesuatu yang tidak dimiliki dan
tidak terlalu gembira terhadap sesuatu yang telah dimiliki. Demikian yang
disebutkan oleh Al-Manawi dalam kitabnya At-Ta'rifaat.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
Ibnu Majah dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu Alaihi zva Sallam pernah bersabda,
«الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إضَاعَةِ الْمَالِ، وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْك بِمَا فِي يَدَيْك وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إذَا أَنْتَ أُصِبْت بِهَا أَرْغَبَ مِنْك فِيهَا لَوْ أَنَّهَا بَقِيَتْ لَك»
"Zuhud terhadap dunia bukan
berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud adalah
kamu lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah dari pada apa yang ada di
tanganmu. Kamu menginginkan pahala musibah yang sedang menimpamu sehingga kamu
ingin kalau musibah tetap menimpamu.” [HR. At-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, no. 2340] Demikian tafsir zuhud yang diambil dari hadits.
Di dalam kitab At-Ta'rifaat
karya Al-Manawi disebutkan, wara' adalah menghindarkan diri dari
keinginan hawa nafsu karena takut terjatuh pada perkara yang diharamkan.
Pendapat lain: meninggalkan apa yang kamu ragukan dan menghindar dari perkara
yang membuat aib pada dirimu. Pendapat lain: mengambil yang paling kuat dan
bersabar dalam menghadapi perkara yang tersulit. Pendapat lain: memperhatikan
makanan dan pakaian serta meninggalkan sesuatu yang hukumnya syubhat. Pendapat
lain: menjauhkan diri dari syubhat dan berhati-hati terhadap larangan-larangan. (Ash-Shan’ani, Subulus Salam
syarh Bulughul Maram: Kitab al-Jami’: Bab Zuhdi wal Waraiq)
Kata para
ulama rahimakumullah, tidak ada nasehat yang lebih efektif terhadap hati
manusia selain ziarah kubur, terutama terhadap hati yang keras. Ada empat cara
bagi orang yang berhati keras, bila hendak mengobatinya;
Pertama,
menghentikan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk, dan beralih menuju
majlis-majlis ilmu.
Kedua, mengingat
mati.
Ketiga, menyaksikan
orang yang akan meninggal dunia.
Keempat, menziarahi kubur orang yang meninggal dunia. (Al-Qurthubi, At-Tadzkirah, hlm. 30-31)
2. DOA KETIKA MEMASUKI WILAYAH PEKUBURAN
Imam Ibnu
Majah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ، فَزُورُوهَا ؛ فَإِنَّهَا
تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا ، وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ.
“Aku
pernah melarang kamu sekalian menziarahi kubur. Maka, ziarahilah, karena ziarah
kubur itu menyebabkan sikap zuhud terhadap dunia dan mengingatkan akhirat.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no.
1571. Hadis Hasan)
An-Nasa’i
menyebutkan dari Buraidah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda,
«من أراد أن يزور قبرا فليزره و لا تقولوا هجرا».
"Barang siapa hendak berziarah
kubur, maka berziarahlah, tapi jangan berkata-kata buruk.”
[Al-Qurthubi, At-Tadzkirah, hlm. 38]
Adapun mengenai doa yang diucapkan
saat memasuki wilayah pekuburan, maka menurut riwayat Muslim dari Aisyah ra.,
dia berkata, Saya pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku
ucapkan jika aku masuk pekuburan?”. Beliau menjawab, “Ucapkanlah,
السَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ
، يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ ، وَإِنَّا
إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ.
“Salam
sejahtera semoga senantiasa dicurahkan kepada penduduk negeri ini, dari kaum
mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang terdahulu dan
orang-orang yang datang kemudian. Sesungguhnya kami -jika Allah menghendaki-
juga akan menyusul kamu sekalian.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 947)
Hadis ini
telah dikeluarkan pula oleh Muslim dari Buraidah, dengan tambahan,
أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
“Aku
memohon kepada Allah kesentosaan bagi kami dan bagi kamu sekalian.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 975)
Adapun
mengenai hukum menangis di sisi kubur, maka dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim
ada riwayat mengatakan, bahwa Nabi saw. melewati seorang wanita yang
sedang menangis di sisi kubur. Maka kata beliau kepadanya,
اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي.
“Bertakwalah
kepada Allah, dan bersabarlah.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, no. 1283)
Jadi, boleh
saja menangis di sisi kubur keluargamu yang telah mati, karena sedih atau
kasihan atas apa yang tengah dia alami, sebagaimana dibolehkan menangis pada
saat dia meninggal.
Adapun menangis
dalam tradisi orang Arab, memang ada yang berupa tangisan biasa yang baik-baik,
dan ada pula yang disertai teriakan (niyahah), bahkan terkadang disertai
pula jeritan, memukul-mukul pipi dan merobek-robek saku baju. Tangisan model
kedua inilah yang diharamkan secara ijma’ oleh para ulama. Dan tangisan ini
pula yang diancam oleh sabda Nabi saw.,
“Aku berlepas diri dari orang yang mencukur rambutnya, berguling-guling
dan merobek-robek baju.” (HR. Muslim,
Shahih Muslim, no. 104)
Adapun
tangisan tanpa teriakan, maka ada hadis yang membolehkannya, baik di kuburan
maupun ketika seseorang baru meninggal, yaitu tangisan kasih-sayang yang sulit
dihindari oleh manusia. Bahkan Nabi saw. sendiri pernah menangis ketika
putra beliau, Ibrahim, meninggal. Begitu pula Umar berkata,
دَعْهُنَّ يَبْكِينَ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ أَوْ
لَقْلَقَةٌ.
“Biarkan
para wanita itu menangis atas meninggalnya Abu Sulaiman selama tidak disertai
teriakan, atau teriakan terus-menerus.” (Shahih Al-Bukhari: Bab maa yukrahu min an-niyaahah
‘alaa al-mayyit)
“Naq’u” artinya
suara keras. “Laqlaqah” artinya, tangisan terus-menerus. Dan ada pula
yang mengatakan, “naq’u” artinya, menaburkan tanah di atas kepala. Wallaahu
A’lam.
Wallaahu A’lam, abu akyas syaddad al-fatih.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan