بسم الله الرحمن الرحيم
MUQADDIMAH:
Ayat-ayat yang lalu berbicara tentang sikap dan perlakuan orang-orang kafir menghadapi kaum muslimin. Tetapi apa yang diuraikan itu lebih banyak bersifat sikap batin, dan ucapan-ucapan, atau dengan kata lebih banyak bersifat perang urat saraf yang bertujuan melemahkan umat Islam. Nah, sesudah uraian itu, maka dalam kelompok ini dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan perang fisik yang mereka alami.
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقاعِدَ لِلْقِتالِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (121) إِذْ هَمَّتْ طائِفَتانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلا وَاللَّهُ وَلِيُّهُما وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (122) وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (123)
Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dan (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, ketika dua golongan dari kalian) ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian (saat itu) adalah orang-orang yang lemah). Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri. (Q.S. Ali-Imran {3}: 121-123)
TAFSIR MUFRADAT:
Peperangan yang disebutkan di dalam ayat ini menurut pendapat jumhur ulama adalah Perang Uhud. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri bahwa peperangan yang disebut dalam ayat ini adalah Perang Ahzab. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, tetapi pendapat ini garib dan tidak dapat dijadikan sebagai rujukan.
Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu, bulan Syawwal, tahun ketiga Hijriah.
Penyebab utama meletusnya Perang Uhud ialah setelah banyaknya orang-orang terhormat kaum musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar, sedangkan kafilah perniagaan mereka yang dipimpin oleh Abu Sufyan selamat dengan membawa keuntungan yang banyak. Maka anak-anak orang-orang yang gugur dalam Perang Badar dan pemimpin-pemimpin lainnya yang masih hidup berkata kepada Abu Sufyan, "Aku menunggu-nunggu hasil perniagaan ini untuk memerangi Muhammad, maka belanjakanlah oleh kalian untuk tujuan tersebut!"
Kemudian mereka menghimpun semua golongan dan orang-orang Habsyah, lalu mereka berangkat dengan pasukan yang terdiri atas tiga ribu personel, hingga mereka turun istirahat di suatu tempat dekat Bukit Uhud yang menghadap ke arah kota Madinah.
Rasulullah Saw. salat pada hari Jumat. Setelah selesai dari salat Jumatnya, maka beliau menyalati seorang lelaki dari kalangan Bani Najjar yang dikenal dengan nama Malik ibnu Amr (yakni menyalati jenazahnya). Lalu Rasulullah Saw. melakukan musyawarah dengan orang-orang untuk mengambil keputusan, apakah beliau berangkat menghadapi mereka ataukah tetap tinggal di Madinah menunggu penyerangan mereka. Lalu Abdullah ibnu Ubay mengemukakan pendapatnya, bahwa sebaiknya tetap tinggal di Madinah. Jika mereka (pasukan kaum musyrik) menunggu kedatangan pasukan kaum muslim, berarti mereka menunggu yang tak kunjung tiba. Jika mereka memasuki Madinah, mereka akan dihadapi oleh kaum laki-lakinya dan akan dilempari oleh kaum wanita dan anak-anak dengan batu-batuan dari atas mereka. Jika mereka kembali, niscaya mereka kembali dalam keadaan kecewa.
Orang-orang lain dari kalangan sahabat yang tidak ikut dalam Perang Badar mengisyaratkan untuk berangkat menghadapi mereka. Lalu Rasulullah Saw. masuk dan memakai baju besinya, kemudian keluar menemui mereka; sedangkan sebagian dari kalangan mereka merasa menyesal, dan mengatakan, "Barangkali kami memaksa Rasulullah Saw." Lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, jika engkau suka untuk tetap tinggal, kami setuju." Maka Rasulullah Saw. menjawab:
«مَا يَنْبَغِي لِنَبِيٍّ إِذَا لَبِسَ لَأْمَتَهُ أَنْ يَرْجِعَ حَتَّى يَحْكُمَ الله له»
Tidak layak bagi seorang nabi, bila telah memakai baju besinya mundur kembali, sebelum Allah memberikan keputusan baginya.
Lalu Rasulullah Saw. berangkat bersama seribu orang sahabatnya. Ketika mereka berada di Asy-Syaut, maka kembalilah Abdullah ibnu Ubay dengan sepertiga pasukan dalam keadaan marah karena pendapatnya tidak dipakai. Lalu dia dan teman-temannya berkata, "Sekiranya kami mengetahui pada hari ini akan terjadi peperangan, pastilah kami akan mengikuti kalian. Tetapi kami tidak menduga bahwa kalian akan berperang (sehingga kami tidak membuat persiapan)."
Rasulullah Saw. melanjutkan perjalanannya hingga turun istirahat di lereng Bukit Uhud, yaitu pada lembahnya. Dan beliau menjadikan posisi punggungnya -juga pasukannya- membelakangi Bukit Uhud. Lalu beliau bersabda:
«لَا يُقَاتِلَنَّ أَحَدٌ حَتَّى نَأْمُرَهُ بِالْقِتَالِ»
Jangan sekali-kali seseorang memulai berperang sebelum kami memerintahkannya untuk perang.
Rasulullah Saw. mengatur barisannya untuk menghadapi peperangan, jumlah pasukan beliau terdiri atas tujuh ratus orang sahabatnya. Beliau Saw. mengangkat Abdullah ibnu Jubair (saudara lelaki Bani Amr ibnu Auf) untuk memimpin pasukan pemanah. Saat itu pasukan pemanah terdiri atas lima puluh personel, lalu beliau Saw. bersabda kepada mereka:
«انْضَحُوا الْخَيْلَ عَنَّا وَلَا نُؤْتَيَنَّ مِنْ قِبَلِكُمْ وَالْزَمُوا مَكَانَكُمْ إِنْ كَانَتِ النَّوْبَةُ لَنَا أَوْ عَلَيْنَا، وَإِنْ رَأَيْتُمُونَا تَخَطَّفُنَا الطَّيْرُ فَلَا تَبْرَحُوا مَكَانَكُمْ»
Bendunglah pasukan berkuda (musuh) dari kami (dengan anak panah kalian), dan jangan sekali-kali kalian biarkan kami diserang dari belakang. Dan tetaplah kalian pada posisi kalian, baik kami mengalami kemenangan atau kami terpukul mundur; dan sekalipun kalian melihat kami disambar oleh burung-burung, maka janganlah kalian meninggalkan posisi kalian.
Rasulullah Saw. muncul dengan memakai dua lapis baju besi, dan memberikan panji kepada Mus'ab ibnu Umair (saudara lelaki Bani Abdud Dar). Pada hari itu Rasulullah Saw. memperbolehkan ikut berperang sebagian anak remaja dan menangguhkan sebagian yang lainnya, hingga beliau memperbolehkan mereka ikut semua dalam Perang Khandaq sesudah kejadian tersebut, yakni kurang lebih dua tahun kemudian. Pasukan Quraisy yang terdiri atas tiga ribu personel yang antara lain terdiri atas seratus orang pasukan berkuda yang posisinya agak dijauhkan dari medan perang. Mereka menjadikan pasukan sayap kanan berkuda di bawah pimpinan Khalid ibnul Walid, sedangkan pada sayap kirinya di bawah pimpinan Ikrimah ibnu Abu Jahal, lalu mereka menyerahkan panjinya kepada Bani Abdud Dar.
Kemudian mengenai hal yang terjadi di antara kedua belah pihak, In sya Allah akan diterangkan pada tempatnya.
Allah Swt. berfirman:
{وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ}
Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. (Ali Imran: 121)
Yakni kamu atur mereka pada posisinya masing-masing, ada yang di sayap kanan dan ada pula yang di sayap kiri, serta posisi yang lainnya menurut perintahmu.
{وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Ali Imran: 121)
Yaitu Maha mendengar semua apa yang kalian katakan, dan Maha Mengetahui semua isi hati kalian.
Ibnu Jarir sehubungan dengan pembahasan ini mengajukan sebuah pertanyaan yang kesimpulannya mengatakan: Mengapa kamu mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi Saw. berangkat ke medan Perang Uhud pada hari Jumat, yaitu sesudah menunaikan salat Jumat. Padahal Allah Swt. telah berfirman: Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. (Ali Imran: 121), hingga akhir ayat. Kemudian jawaban yang dikemukakan darinya menyatakan bahwa keberangkatan Nabi Saw. pada pagi harinya untuk menempatkan mereka pada posisinya masing-masing, tiada lain hal tersebul terjadi pada hari Sabtu pada permulaan siang hari.
Firman Allah Swt.:
إِذْ هَمَّتْ طائِفَتانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلا
ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut. (Ali Imran: 122)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang mengatakan, Umar pernah bercerita bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan sehubungan firman-Nya: ketika dua golongan dari kalian ingin (mundur) karena takut. (Ali Imran: 122), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami. Jabir ibnu Abdullah mengatakan, "Kamilah yang dimaksud dengan dua golongan tersebut, yaitu Bani Harisah dan Bani Salamah. Kami sama sekali tidak senang -terkadang Sufyan mengatakan- dan kami sama sekali tidak gembira bila ayat ini tidak diturunkan, karena pada firman selanjutnya disebutkan: 'padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu (Ali Imran: 122)."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah dengan lafaz yang sama. Demikian pula apa yang dikatakan oleh yang lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa mereka yang dua golongan itu adalah Bani Harisah dan Bani Samalah.
Firman Allah Swt.:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ
Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar. (Ali Imran: 123)
Perang Badar terjadi pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Ramadan, tahun kedua Hijriah. Hari itu merupakan hari pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Pada hari itulah Allah memenangkan Islam dan para pemeluknya, membungkam kemusyrikan dan menghancurkan semua sarana dan golongannya. Padahal saat itu bilangan pasukan kaum muslim sedikit, mereka hanya terdiri atas tiga ratus tiga belas personel; dua orang di antara mereka berkuda dan tujuh puluh orang berunta, sedangkan yang lainnya adalah pasukan jalan kaki. Mereka tidak memiliki semua senjata dan perlengkapan yang diperlukan.
Pasukan musuh pada hari itu terdiri atas kurang lebih antara sembilan ratus sampai seribu personel. Semuanya memakai baju besi, bertopi baja disertai dengan senjata lengkap dan kuda-kuda yang terlatih dengan semua perhiasan yang berlebih-lebihan.
Kemudian Allah memenangkan Rasul-Nya dan menampakkan wahyu serta bala tentara yang diturunkan-Nya, dan membuat wajah Nabi serta bala tentaranya putih berseri. Allah membuat setan serta bala tentaranya terhina. Karena itulah Allah Swt. berfirman seraya menyebutkan anugerah-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin dan bala tentara-Nya yang bertakwa:
{وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ}
Sungguh Allah telah menolong kalian dalam peperangan Badar, padahal kalian adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. (Ali Imran: 123)
Yang dimaksud dengan adzillah ialah jumlah pasukan kaum muslim sedikit. Allah sengaja berbuat demikian kepada kalian agar kalian mengetahui bahwa kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah, bukan karena banyaknya pasukan dan persenjataan. Karena itu, dalam ayat yang lain disebut melalui firman-Nya:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً- إلى- غَفُورٌ رَحِيمٌ
dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun. (At-Taubah: 25) sampai dengan firman-Nya: Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taubah: 27)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Iyad Al-Asy'ari menceritakan asar berikut: Bahwa ia ikut dalam Perang Yarmuk yang saat itu kami dipimpin oleh lima orang panglima, yaitu Abu Ubaidah, Yazid ibnu Abu Sufyan, Ibnu Hasanah, dan Khalid ibnul Walid serta Iyad. Iyad yang menjadi panglima ini bukan Iyad yang menceritakan asar dari Sammak. Umar r.a. berpesan, "Apabila perang terjadi, kalian harus mengangkat Abu Ubaidah menjadi panglima (kalian)." Maka kami menulis surat kepada Abu Ubaidah yang isinya menyatakan bahwa maut sedang menggerogoti kami, dan kami minta bantuan kepadanya. Lalu Abu Ubaidah menulis surat kepada kami yang isinya menyatakan, "Sesungguhnya surat kalian telah kuterima yang isinya meminta bantuan kepadaku, dan sesungguhnya sekarang aku tunjukkan kalian kepada yang lebih kuat bantuan dan pertolongannya. Dia adalah Allah Swt., maka minta tolonglah kalian kepada-Nya. Karena sesungguhnya Muhammad Saw. pernah ditolong-Nya dalam Perang Badar, padahal bilangan pasukan beliau lebih sedikit daripada jumlah kalian sekarang. Karena itu, apabila suratku ini datang kepada kalian, maka perangilah mereka dan janganlah kalian meminta pendapat dariku lagi." Akhirnya kami berperang menghadapi orang-orang kafir, dan kami dapat memukul mereka mundur sejauh empat farsakh. Dalam perang tersebut kami memperoleh banyak harta ganimah. Kami bermusyawarah untuk pembagiannya, maka Iyad mengisyaratkan kepada kami agar kami memberi sebanyak sepuluh kepada tiap yang berkepala. Abu Ubaidah berkata, "Siapakah yang mau bertaruh denganku (dalam balapan kuda)?" Ada seorang pemuda berkata, "Aku, jika engkau tidak marah." Ternyata pemuda itu dapat menyusulnya. Aku melihat kedua kepangan rambut Abu Ubaidah awut-awutan, sedangkan Abu Ubaidah berada di belakang pemuda itu dengan mengendarai kuda Arab.
Sanad asar ini sahih. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadis Bandar, dari Gundar dengan lafaz yang semisal. Asar ini dipilih oleh Al-Hafiz Ad-Diya Al-Maqdisi di dalam kitabnya.
Badar adalah nama sebuah tempat yang terletak di antara Mekah dan Madinah, terkenal dengan sumurnya. Nama tempat (kampung) ini dikaitkan dengan nama seorang lelaki yang mula-mula menggali sumur tersebut, nama lelaki yang dimaksud adalah Badar ibnun Narain.
Asy-Sya'bi mengatakan bahwa Badar adalah nama sebuah sumur milik seorang lelaki yang dikenal dengan sebutan 'Badar'.
Firman Allah Swt.:
فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian men-syukuri-Nya. (Ali Imran: 123)
Yakni agar kalian dapat mengerjakan ketaatan kepada-Nya.
TAFSIR AYAT:
Pada ayat ini Allah mengingatkan Umat Islam akan kisah Perang Uhud. Dan ingatlah, ketika engkau wahai Nabi Muhammad, berangkat pada pagi hari Jum'at, meninggalkan keluargamu, yaitu istrimu Aisyah untuk mengatur strategi perang, dan pada hari Sabtu kamu menempatkan orang-orang beriman pada pos-pos strategis untuk pertempuran. Allah Maha Mendengar pembicaraan lagi Maha Mengetahui isi hati semua orang.
Orang-orang munafik telah menghasut kaum Muslimin agar jangan ikut berperang. Dalam perjalanan ke medan pertempuran mereka berhasil membawa kembali ke Medinah sepertiga dari tentara yang dipersiapkan untuk menghadapi kaum musyrikin. Berkat pertolongan Allah, ketabahan hati dan kesabaran menghadapi segala percobaan dan taat serta patuh menjalankan perintah Rasulullah saw yang telah membagi pasukan muslim menjadi beberapa bagian dan menempatkan mereka pada posisi-posisi yang strategis di medan perang. Sebagai buah ketaatan itu kaum Muslimin dapat terhindar dari kehancuran.
Ketika itu ada dua golongan dari pihak kamu, yakni Bani Salamah dari suku Khazraj dan Bani Harisah dari suku Aus, ingin mundur dan membatalkan niatnya untuk ikut berperang karena takut mati, setelah mengetahui orang-orang munafik yang dipimpin 'Abdullah bin Ubay yang jumlahnya sepertiga dari pasukan Islam telah batal berangkat berperang, padahal Allah adalah penolong mereka, yaitu kedua suku tersebut. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal, tidak mengandalkan jumlah prajurit dan perlengkapan perang.
Dalam suasana yang sulit dan tidak menguntungkan itu ada dua golongan di antara kaum Muslimin yang hampir patah semangatnya setelah mengetahui bahwa tiga ratus orang dari pasukan kaum Muslimin tidak mau ikut bertempur dan telah kembali ke Medinah. Mereka yang hampir patah semangatnya itu ialah Bani Salamah dari suku Khazraj dan Bani Haritsah dari suku Aus masing-masing sayap kanan dan kiri.
Mereka terpengaruh oleh suasana yang amat mencemaskan dan merasa daripada dihancurkan oleh musuh yang demikian besar lebih baik mundur. Untunglah perasaan patah semangat itu tidak lama mempengaruhi mereka karena mereka adalah orang-orang yang penuh tawakal kepada Allah dan tetap berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang bersabar dan bertakwa kepada-Nya.
Kejadian dalam perang Uhud membuat sebagian orang mukmin ragu akan kepastian pertolongan Allah, oleh karena itu Allah meyakinkan mereka dan menegaskan bahwasannya sungguh Allah telah menolong kamu dalam perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyyah, padahal ketika itu kamu dalam keadaan lemah, karena jumlah kamu sedikit dan perlengkapan perang kamu sangat sederhana. Karena kamu meyakini datangnya pertolongan Allah, maka kamu mendapat kemenangan. Karena itu bertakwalah kepada Allah dalam segala urusan, agar dengannya kamu mensyukuri semua anugerah-Nya.
Sebagai penambah kekuatan jiwa dan ketabahan hati dalam menghadapi segala bahaya dan kesulitan, Allah mengingatkan mereka kepada perang Badar ketika mereka berada dalam keadaan lemah dan jumlah yang amat sedikit dibanding dengan kekuatan dan jumlah musuh.
Berkat pertolongan Allah, mereka berhasil memporak-porandakan musuh hingga banyak diantara pembesar Quraisy yang jatuh menjadi korban dan banyak pula yang ditawan dan tidak sedikit harta rampasan yang diperoleh kaum muslimin. Karena mereka ingat pada perintah Allah agar mereka bersabar dan bertakwa kepada-Nya dan dengan sabar dan takwa itu mereka akan mendapat pertolongan daripada-Nya dan akan mendapatkan kemenangan.
PELAJARAN YANG BISA DIPETIK DARI PERANG UHUD:
Pertama: Ketika surat Al-‘Abbas sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana orang Quraisy, Rasulullah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk merahasiakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya menyembunyikan sesuatu yang apabila disebarkan beritanya akan berdampak negatif sehingga diketahui oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِسْتَعِيْنُوا عَلَى إِنْجَاحِ الحَوَائِجِ بِالكِتْمَانِ، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ.
“Sukseskanlah penyelesaian hajat kalian dengan menyembunyikan (hajat tersebut), karena setiap orang yang memiliki nikmat pasti akan mendapatkan sikap hasad (dari orang lain)”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5:215, 6:96. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir dan tambahannya, 1:320, hadits no. 956)
Apabila seseorang memiliki agenda atau informasi yang apabila diketahui oleh orang lain akan menimbulkan mudarat, maka sebaiknya ia merahasiakannya serta tidak menceritakannya kepada siapa pun. Karena menceritakan kepada orang lain seperti misalnya kasus surat Al-‘Abbas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana Quraisy, maka akan dapat membuat orang Yahudi dan munafik senang dan membuat kaum muslimin menjadi sedih dan takut, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan persiapan yang matang untuk menghadapinya tanpa diketahui oleh pihak musuh bahwa beliau sudah mengetahui rencana mereka.
Kedua: Musyawarahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat, apakah keluar Madinah untuk menyongsong musuh ataukah tetap di Madinah dan keinginan sebagian besar sahabat untuk keluar menyongsongnya dan kemudian beliau mengambil pendapat ini menunjukkan bahwa suara mayoritas dapat dipertimbangkan, tetapi tidak mutlak.
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang telah mengenakan baju perangnya untuk menanggalkannya kembali sehingga Allah memutuskan antara dia dengan musuhnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad harus dilakukan apabila telah direncanakan. Terutama apabila pakaian perang sudah dikenakan dan siap untuk berangkat. Tidak boleh pulang atau kembali sampai ia bertemu musuh dan memeranginya.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:211)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Berdasarkan hal ini, maka berlakulah suatu tradisi bahwa apabila sudah berencana untuk belajar dan berjihad, maka harus dilaksanakan sebagaimana berencana untuk berhaji.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 186-187)
Keempat: Persiapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berperang yang mengenakan dua baju perang secara berlapis menunjukkan disyariatkannya bertawakal dan berupaya maksimal. Tawakal itu tidak cukup hanya dengan pasrah tanpa melakukan usaha.
Kelima: Desersi (pergi dari perang tanpa permisi) yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya serta sikap senang mereka terhadap apa yang menimpa umat Islam bahwa mukmin sejati berbeda dengan munafik pendusta. Ketika Allah memberi kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar dan kaum muslimin menjadi terkenal, banyak orang yang masuk Islam secara lahiriyah saja. Sementara batinnya tidak.
Sudah menjadi hikmah Allah bahwa dengan adanya ujian, maka akan terlihat siapa yang benar-benar mukmin dan munafik. Tokoh-tokoh munafik memantau perang ini dan mereka berbicara dan menampakkan apa yang selama ini mereka sembunyikan, sehingga manusia pun terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kafir, mukmin, dan munafik. Kaum mukmin menjadi tahu bahwa di dalam negeri mereka sendiri terdapat musuh yang selalu bersamanya sehingga mereka semakin hati-hati dan waspada. Allah berfirman:
مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلْخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى ٱلْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجْتَبِى مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُ ۖ
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)
Dalam kesusahan akan terlihatlah dengan jelas antara kawan dan lawan. Di antara nikmat yang besar adalah mengenal dan mengetahui lawan sehingga bisa berhati-hati dan waspada dari kejahatan dan tipu dayanya.
Keenam: Dalam perjalanan ke Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, ternyata terdapat beberapa anak muda yang masih dianggap terlalu kecil oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun menolaknya. Mereka sedih dengan penolakan tersebut, tetapi mereka tetap berlomba-lomba agar diizinkan dan diberi kesempatan untuk bergabung dalam jihad.
Hal ini merupakan pengaruh dari didikan (tarbiyah) islamiyah pada diri mereka ketika itu. Mendidik mereka dengan baik merupakan pekerjaan yang mulia, mengingat para pemuda adalah tiang umat dan kemajuan Islam ada pada mereka. Para pemuda harus mendapatkan didikan dan arahan yang baik dan benar.
Ketujuh: Sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa di antara kalian yang dapat menunjukkan jalan terdekat” dan perjalanan mereka yang melintasi kebun seorang munafik yang bernama Murabba’ bin Qaizhi, menunjukkan kemaslahatan umum harus didahulukan atas kemaslahatan pribadi. Kemaslahatan tentara muslimin dalam memotong jalan didahulukan atas kemaslahatan kebun orang tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hal ini bahwa dibolehkan menggunakan jalan milik orang lain bagi pemimpin dan pasukannya sekalipun pemimpinnya tidak rela selama hal tersebut diperlukan.
Kedelapan: Pembangkangan mayoritas pasukan pemanah terhadap pemimpin mereka ‘Abdullah bin Jubair dengan meninggalkan posnya sehingga menimbulkan dampak negatif yang serius dapat kita jadikan pelajaran, bahwa pentingnya taat kepada pemimpin. Karena taat kepada pemimpin memiliki nilai dan kedudukan yang sangat penting yang akan berdampak sangat besar.
Kesembilan: Teriakan pemanah “Hai kaum, lihat ghanimah (harta rampasan perang)!” dan segala risiko yang terlihat, maka hal ini memberi pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dari sikap ambisi terhadap dunia. Allah Ta’ala berfirman:
مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْأَخِرَةَ
“Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat.” (QS. Ali Imran: 152)
Dalam hadits dari ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَوَاللَّهِ ما الفَقْرَ أخْشَى علَيْكُم، ولَكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا، وتُهْلِكَكُمْ كما أهْلَكَتْهُمْ.
“Demi Allah, kefakiran bukanlah yang kukhawatirkan menimpa kalian. Namun, yang kukhawatirkan adalah dunia dibuka untuk kalian sebagaimana telah dibuka seluas-luasnya untuk orang sebelum kalian. Maka berlomba-lombalah raih dunia sebagaimana orang sebelum kalian melakukannya. Lihatlah, dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana mereka sebelumnya telah hancur karena dunia.” (HR. Bukhari, no. 4015 dan Muslim, no. 2296)
Padahal apa yang dilakukan oleh sahabat dalam ambisi dunia hanya sedikit dan sesaat. Lantas bagaimana dengan orang yang sepanjang waktunya dan seluruh ambisinya hanya untuk dunia.
Kesepuluh: Pembicaraan tentang dunia, ambisi dan dampaknya, seyogyanya kita mengingat firman Allah tentang Yahudi:
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ ٱلنَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٍ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِۦ مِنَ ٱلْعَذَابِ أَن يُعَمَّرَ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 96)
Ambisius (hirsh syadid) adalah alasan yang membedakan Yahudi begitu tamak pada dunia. Orang Yahudi disejajarkan dengan sifat orang musyrik yang begitu rakus pula pada dunia. Orang yang punya ambisi kuat pada dunia pasti akan mencampakkan agamanya demi memperoleh dunia, lalu berani melakukan dosa dan kemungkaran demi dunia.
Kesebelas: Ucapan sebagian pasukan pemanah, “Apa yang kalian tunggu? Teman-teman kalian telah menang!” Padahal, sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan untuk tidak meninggalkan posnya, baik di kala menang maupun kalah. Kita dapat mengambil pelajaran, betapa pentingnya berpegang teguh dengan syariat dan bahayanya ijtihad pribadi apabila bertentangan dengan dalil-dalil syariat. Selama masih ada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka harus berpegang teguh dengannya dan jangan menukar dengan pendapat dan ijtihad pribadi.
Kedua belas: Dari Abu Uqbah, ia adalah mantan budak keturunan Persia, berkata, “Aku ikut perang Uhud bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku pun sempat membunuh seorang musyrik sambil berkata, “Rasakan ini dariku budak Persia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling kepadaku seraya berkata, “Coba yang kamu katakan rasakan ini dariku Budak Anshar.”
Dari sini, kita bisa mengambil pelajaran tentang membetulkan ungkapan yang salah sekalipun dalam kondisi yang sangat genting. Selain itu, sikap loyalitas hakiki seorang muslim adalah harus ditujukan kepada Islam dan tidak boleh fanatik pada golongan, suku, ras, dan kebangsaan. Untuk itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka dengan ungkapan orang tersebut yang menisbatkan dirinya kepada bangsa Persia karena mereka adalah orang kafir kemudian mengarahkannya untuk menisbatkannya kepada Anshar dan meninggalkan segala bentuk penisbatan kepada nama Jahiliyah.
Ketiga belas: Isu terbunuhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan dampak negatif bagi sebagian kaum muslimin. Sebagian dari mereka membuang senjatanya sambil berkata, “Tidak ada lagi gunanya berperang.” Sebagian yang lain pulang ke Madinah, sebagian yang lain mencari ‘Abdullah bin Ubay bin Salul untuk meminta perlindungan dari kemenangan Abu Sufyan.
Dari sini dapat kita ambil pelajaran pentingnya kehati-hatian dalam membenarkan sebuah isu. Karena, para musuh menggunakan berbagai isu, terutama di masa sekarang ini dengan berbagai media informasi dari luar.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6).
Orang yang tergesa-gesa menerima suatu berita, maka akan menimbulkan penyesalan karena banyak mengandung kekeliruan.
Keempat belas: Kita juga mendapat pelajaran lain dari sikap sahabat yang menyikapi isu dengan positif. Mereka tidak membenarkan dan tidak terpengaruh. Bahkan isu tersebut sebaliknya menambah semangat juang dan pengorbanan mereka seperti yang dilakukan Anas bin Nadhar. Padahal, musuh menginginkan dengan isu tersebut agar bisa melemahkan semangat juang kaum muslimin, tetapi justru sebaliknya. Anas memahaminya sebagai penyemangat jihadnya dan pembelaannya terhadap agama ini serta semangatnya untuk membunuh musuh, bukan meletakkan senjata dan menyerah.
Ini sama seperti isu terbunuhnya ‘Utsman dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah justru menimbulkan solidaritas dengan adanya Bai’atur Ridhwan tidak seperti yang diinginkan kaum musyrikin.
Kelima belas: Pertanyaan Abu Sufyan setelah berkahirnya perang “Apakah Ibnu Abu Quhafah (Abu Bakar) masih hidup? Apakah Umar masih hidup?” Ia tidak menanyakan sahabat yang lain, kecuali keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sahabat itu sangat terkenal dan memiliki kedudukan istimewa sekalipun di kalangan musuh. Keduanya adalah sahabat dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekaligus penolong dan teman diskusinya. Keduanya adalah manusia yang layak menempati posisi khilafah sepeninggalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keenam belas: Ketika Abu Sufyan berkata, “Hidup Hubal”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jawablah!” lalu sahabat bertanya, “Apa yang harus kami katakan”, maka dalam hal ini terdapat pelajaran yang dapat kita ambil yaitu merujuk atau bertanya kepada ahli ilmu (ulama) dalam hal-hal yang tidak diketahui. Begitulah seharusnya manusia dibiasakan untuk merujuk kepada ulama dan bertanya kepada mereka dalam berbagai persoalan yang dihadapinya. Tidak mengandalkan hanya pada pandangannya dan dirinya saja. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ahludz dzikri dalam ayat ini adalah orang yang berilmu yang memahami wahyu yang diturunkan pada para nabi.” (Miftah Daar As-Sa’aadah, 1:220)
Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ
“Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.” (HR. Abu Daud, no. 336; Ibnu Majah, no. 572 dan Ahmad, 1:330. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat Shahih Al-Jaami’, no. 4363)
Ketika membawakan hadits ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kebodohan dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang berilmu).” (Ighotsah Al-Lahfaan min Mashoid Asy-Syaithon, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 1:19, Dar Al-Ma’rifah, cetakan kedua, tahun 1395 H)
Ketujuh belas: Islam itu tidak mengenal fanatik kepada individu, Islam itu mengikuti wahyu. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ ۚ أَفَإِي۟ن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ ٱنقَلَبْتُمْ عَلَىٰٓ أَعْقَٰبِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيْـًٔا ۗ وَسَيَجْزِى ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)
Kedelapan belas: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguburkan syuhada dan mendahulukan orang yang banyak hafalan Al-Qur’an, ini menunjukkan:
Keagungan Al-Qur’an dan orang yang menghafalnya.
Parameter keutamaan seorang muslim dengan muslim lainnya adalah komitmennya terhadap Islam, bukan suku, harta, dan jabatan. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Bentuk kebijaksanaan Allah dalam melebihkan di antara manusia adalah berdasarkan usahanya dalam hal ketakwaan dan amal saleh bukan karena faktor suku dan bangsa. Sebab, adanya suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Kesembilan belas: Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dari peristiwa perang Uhud, mereka mengetahui dampak buruk akibat bermaksiat kepada perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kegagalan dan pertikaian yang menimpa mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ ٱللَّهُ وَعْدَهُۥٓ إِذْ تَحُسُّونَهُم بِإِذْنِهِۦ ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَٰزَعْتُمْ فِى ٱلْأَمْرِ وَعَصَيْتُم مِّنۢ بَعْدِ مَآ أَرَىٰكُم مَّا تُحِبُّونَ ۚ مِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ ۚ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ ۖ وَلَقَدْ عَفَا عَنكُمْ ۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ
“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 152). Yakni memaafkan mereka setelah melihat dampak dari kemaksiatan kepada beliau, yakni pertikaian dan kegagalan. Setelah itu, mereka sangat berhati-hati dan waspada terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan kalah dan hina. Lihat Zaad Al-Ma’ad, 3:218-219.
Kedua puluh: Berikut adalah beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan syuhada Uhud.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun dua orang syuhada dalam satu kafan, kemudian beliau bertanya, “Siapakah di antara keduanya yang paling banyak hafalan Al-Qur’an?” Ketika ditunjukkan kepada salah satu dari keduanya, maka beliau pun mendahulukannya ke liang lahat dan berkata, “Aku menjadi saksi mereka kelak pada hari kiamat.” Beliau memerintahkan agar mereka dikubur bersama darahnya, tidak dishalatkan dan dimandikan. (HR. Bukhari, no. 4079; Fath Al-Baari, 7:374)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika ayahku terbunuh, aku pun menangisi dan membuka kain penutup wajahnya. Namun, para sahabat melarangku untuk melakukan itu, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, seraya berkata, “Janganlah kamu menangisinya selama malaikat menaungi dengan sayap-sayapnya hingga diangkat.” (HR. Bukhari, no. 4080 dan Muslim, no. 2471)
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia pernah ditanya tentang firman Allah:
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 169). Ia berkata, “Kami dulu juga pernah menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab, “Sesungguhnya arwah mereka berada dalam perut burung hijau yang memiliki sarang-sarang yang tergantung pada ‘Arsy, terbang dari surga ke arah yang diingikan kemudian kembali lagi ke sarangnya. Lalu Rabb mereka memperhatikan dengan seksama seraya berfirman, “Adakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka menjawab, “Apa lagi yang harus kami inginkan?” Sedangkan kami dapat terbang dalam surga sekehendak kami.” Allah menanyakan hal itu sampai tiga kali. Ketika mereka melihat bahwa mereka tidak dibiarkan tanpa permintaan, mereka berkata, “Duhai Rabbku, kami ingin ruh-ruh kami dikembalikan ke jasad kami, sehingga kami dapat lagi berperang di jalan-Mu. Ketika Allah melihat bahwa mereka tidak ada lagi keinginan, mereka pun dibiarkan.” (HR. Muslim, no. 1887)
Umar bin Syabah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi kuburan para syuhada lalu ia berkata:
سَلَٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى ٱلدَّارِ
“Salamun ‘alaikum bima shabartum (salam keselamatan untuk kalian karena kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’du: 24). Kemudian setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar juga melakukan hal yang sama, begitu pula ‘Umar dan ‘Utsman. (Asy-Syami, Subulul Huda, 4:369).
SAUDARA KU…
PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).
Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan