بسم الله الرحمن الرحيم
"عثمان بن عفان"
“UTSMAN BIN AFFAN”
Oleh: Faqih Aulia (14.3887)
MUQADDIMAH:
Apa saja keutamaan dari Utsman bin ‘Affan?
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata:
وَيُقَالُ بِفَضْلِ خَلِيْفَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِيْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَهُوَ أَفْضَلُ الخَلْقِ وَأَخْيَرُهُمْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُثَنِّي بَعْدَهُ بِالفَارُوْقِ وَهُوَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ فَهُمَا وَزِيْرَا رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَجِيْعَاهُ فِي قَبْرِهِ وَنُثَلِّثُ بِذِي النُّوْرَيْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ثُمَّ بِذِي الفَضْلِ وَالتُّقَى عَلٍّي بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
“Dan dikatakan tentang keutamaan Khalifah (pengganti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah manusia terbaik dan terpilih sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita sebutkan di urutan kedua setelahnya adalah Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Keduanya adalah orang dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bersebelahan kuburnya, dan teman duduk di surga. Kemudian kita sebutkan yang ketiga adalah Dzun Nuurain (pemilik dua cahaya) ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, kemudian (setelahnya) adalah pemilik kemuliaan dan ketakwaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum ‘ajma’iin (semoga Allah meridhai mereka berempat).
Beliau adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan. Nama kunyahnya adalah Abu Amr dan Abu ‘Abdillah.
Amirul mukminin, dzun nurain, telah berhijrah dua kali, dan suami dari dua orang putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabiah bin Hubaib bin Abdu Asy-Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Al-Baidha binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah dari pihak bapak. Dari sisi nasab, orang Quraisy satu ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain sebagai keponakan Rasulullah, Utsman juga menjadi menantu Rasulullah dengan menikahi dua orang putri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan keutamaan ini saja, sulit bagi seseorang untuk mencelanya, kecuali bagi mereka yang memiliki kedengkian di hatinya. Seorang tokoh di masyarakat kita saja akan mencarikan orang yang terbaik menjadi suami anaknya, apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentulah beliau akan memilih orang yang terbaik untuk menjadi suami putrinya.
Utsman bin Affan termasuk di antara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, beliau juga menjadi enam orang anggota syura, dan salah seorang khalifah al-mahdiyin, yang diperintahkan untuk mengikuti sunahnya.
CIRI FISIK DAN AKHLAK UTSMAN:
Utsman adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai janggut yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendian yang besar, berbahu bidang, rambutnya lebat, dan bentuk mulutnya bagus.
Az-Zuhri mengatakan, “Beliau berwajah rupawan, bentuk mulut bagus, berbahu bidang, berdahi lebar, dan mempunyai telapak kaki yang lebar.”
Amirul mukminin Utsman bin Affan terkenal dengan akhlaknya yang mulia, sangat pemalu, dermawan, dan terhormat. Terlalu panjang untuk mengisahkan kedermawanan beliau pada kesempatan yang sempit ini. Untuk kehidupan akhirat, menolong orang lain, dan berderma seolah-olah hartanya seringan buah-buah kapuk yang terpecah lalu kapuknya terhembus angin yang kencang.
Utsman bin ‘Affan masuk Islam di awal mula melalui dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
KRONOLOGI MASUK ISLAMNYA UTSMAN BIN AFFAN:
Mayoritas sahabat Rasulullah menjadi muallaf setelah berumur dewasa, bahkan ada beberapa yang sudah berusia senja, melalui serangkaian peristiwa yang berbeda-beda. Hanya Ali bin Abi Thalib yang sejak kecil telah menjadi Muslim. Karena memang beliau berada dalam asuhan Nabi Muhammad. Di antara sahabat adalah Utsman bin Affan. Ada dua versi tentang kronologi masuk Islamnya Utsman bin Affan.
VERSI PERTAMA: Suatu hari, Utsman bin Affan memimpin kafilah dagang yang menempuh perjalanan ke Mekkah dari Syam. Utsman mewarisi kafilah itu dari ayahnya yang sering melakukan perjalanan niaga dengan menelusuri lembah-lembah di wilayah Mekkah, Syam dan Irak. Cuaca saat itu sangat panas, sehingga Utsman pun memerintahkan kafilah menghentikan perjalanan dan beristirahat.
Utsman beristirahat di bawah pohon. Keteduhannya membuatnya mengantuk dan tertidur. Beliau mendengar suara bahwa Muhammad telah menjadi Nabi. Setelah terjaga, beliau teringat bibinya, Su’da binti Kuraiz, seorang paranormal yang pernah meramal bahwa kelak akan datang seorang Nabi di Mekkah.
Hati Utsman berbisik, tak diragukan lagi bahwa Muhammad adalah Nabi yang diramalkan oleh Su’da. Beliau lalu menceritakan hal itu kepada Thalhah bin Ubaidillah yang juga sedang berteduh di sampingnya. Kedua orang itu tampak gembira.
Kafilah kembali melanjutkan perjalanan. Setibanya di Mekkah, mereka disambut sanak keluarga masing-masing, kemudian bertawaf di Ka’bah sebagai ungkapan syukur atas keselamatan rombongan dan keuntungan berniaga.
Setelah itu, Utsman langsung menemui Abu Bakar dan menceritakan apa yang beliau dengar. Abu Bakar mengatakan itu kabar gembira bahwa Muhammad telah menjadi Nabi yang menyerukan tauhid. Setelah itu, Utsman segera menemui Rasulullah SAW dan menyatakan diri masuk Islam.
VERSI KEDUA: Berawal ketika Utsman sedang berada di halaman Ka’bah. Ketika itu, beliau mendapat kabar bahwa Nabi Muhammad SAW telah menikahkan Ruqayyah, putrinya yang sangat cantik dengan Utbah bin Abu Lahab.
Mendengar kabar itu, Ustman menyesal karena telah didului Utbah. Utsman pun kembali pulang ke rumah. Di rumah, beliau mendapati bibinya Su’da binti Kuraiz sedang duduk-duduk bersama keluarganya. Su’da adalah seorang paranormal untuk kaumnya. Setelah melihat Utsman, Su’da berkata:
Berbahagialah, engkau akan mendapatkan kemuliaan tiga kali berturut-turut
Kemudian tiga kali, dan tiga lagi
Kemudian tiga lagi, sampai sempurna sepuluh
Engkau akan mendapat kebaikan, dan dijaga dari kejahatan
Demi Allah, engkau akan menikahi gadis suci nan cantik
Engkau masih jejaka dan menemukan perawan
’Utsman heran mendengar kata-kata bibinya, sehingga beliau pun bertanya, ”Bibi, apa yang baru saja anda ucapkan?”. Bibinya menjawab:
’Utsman, ’Utsman, ’Utsman
Engkau orang bijak dan fasih
Ia adalah seorang nabi dengan beberap bukti
Ia diutus membawa agama yang haq
Ia datang membawa al-Tanzil dan al-Furqan
Ikutilah dia, janganlah kamu menyembah berhala
Su’da berkata lagi, “Muhammad bin ’Abdullah adalah utusan Allah yang datang membawa Al-Qur’an untuk mengajakmu menyembah Allah. Pusatnya lentera, ucapannya benar, agamanya membawa keberuntungan, perintahnya menjadi keselamatan, tanduknya menyerunduk, semua musuh akan tunduk padanya, teriakan karena terluka oleh tombak tidaklah guna, batu akan hancur, dan tombak-tombak akan terpasang.”
Setelah itu, Su’da pergi, sementara mendengar perkataan bibinya itu, Utsman segera memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh bibinya tadi. Selasa pagi, Utsman menemui Abu Bakar untuk berkonsultasi mengenai apa yang telah diberitahukan bibinya tentang Muhammad. Melihat Utsman seakan sedang memikirkan sesuatu, Abu Bakar pun mulai bertanya.
Segera Utsman memberitahu kabar dari bibinya itu. Mendengar cerita dari Ustman, Abu Bakar berkata, “Celaka engkau Utsman! Demi Allah, engkau adalah seorang yang bijak yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebathilan. Berhala-berhala yang disembah oleh kaummu bukankah terbuat dari batu yang tuli, tidak bisa mendengar dan melihat, juga tidak bisa memberi madharat dan manfaat?”
‘Utsman pun menjawab, “Benar, demi Allah seperti itulah keadaannya.” Abu Bakar berkata, “Demi Allah, apa yang telah dikatakan bibimu benar. Dia adalah Muhammad bin ‘Abdullah. Allah telah mengirimnya sebagai utusan untuk semua makhluk. Apa engkau ingin mendatanginya dan mendengarkan sesuatu darinya?” Utsman menjawab, “Baiklah,” mereka pun berangkat untuk menemui Nabi Muhammad SAW.
Saat itu, Nabi sedang lewat bersama dengan Ali bin Abi Thalib yang membawakan baju beliau. Melihat Nabi, Abu Bakar segera mendekat lalu berbisik ke telinga beliau. Maka, beliau kemudian duduk dan menyambut Utsman.
Rasulullah SAW langsung bersabda, “Utsman, sambutlah Allah untuk mendapatkan surga-Nya. Aku adalah utusan Allah yang dikirim kepadamu dan kepada semua makhluk-Nya.” Utsman berkata, “Demi Allah, begitu aku mendengarkan sabda beliau, maka aku segera memeluk Islam dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
SERANGAN SYUBHAT TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN:
Keutamaan para sahabat yang menyaksikan Bai’atur Ridhwan sangatlah besar. Dan tidak hadirnya Utsman bin Affan dalam peristiwa ini sama sekali tidak menafikan keutamaan beliau dari sahabat lainnya yang mengikuti Bai’atur Ridhwan.
Imam Muhibbuddin menyebutkan keutamaan Utsman pada saat Perjanjian Hudaibiyah ini, di antaranya Rasulullah mengkhususkan pembai’atan Utsman dengan tangan beliau sendiri. Utsman juga ditugaskan oleh Rasulullah untuk menyampaikan pesan beliau pada kaum dhuafa di Mekah. Dan juga tindakan Utsman menolak tawaran thawaf dari kaum Quraisy karena Rasulullah pun belum thawaf.
Syubhat di atas menjadi serangan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya untuk menjelek-jelekkan Utsman, terlebih lagi saat Utsman menjadi khalifah.
Ada salah seorang penduduk Mesir yang datang ke Mekah untuk melaksanakan haji. Ia melewati sekumpulan orang Quraisy, ia pun bertanya, “Siapa pemimpin mereka?” Mereka menjawab, “Abdullah bin Umar.” Ia kemudian bertanya pada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, aku ingin bertanya sesuatu padamu, jawablah (dengan benar). Apakah engkau tahu bahwa Utsman lari ketika perang Uhud?” Ibnu Umar menjawab, “Ya.” Ia bertanya lagi, “Apakah engkau tahu bahwa Utsman tidak ikut serta dalam perang Badar?” Ibnu Umar menjawab, “Ya.” Kemudian ia bertanya kembali, “Apakah engkau tahu bahwa Utsman tidak ikut Bai’atur Ridhwan? Ibnu Umar kembali menjawab, “Ya.” Maka orang itu pun bertakbir atas jawaban Ibnu Umar.
Ibnu Umar kemudian melanjutkan jawabannya, “Adapun ketika Utsman lari saat perang Uhud, maka sebenarnya Allah telah memaafkan orang-orang yang lari ketika itu. Adapun ketika Utsman tidak ikut perang Badar, maka pada saat itu ia sedang mengurus istrinya (putri Rasulullah) yang sedang sakit. Rasulullah pun bersabda padanya, ‘Bagimu pahala orang yang ikut perang Badar dan bagian (ghanimahnya).’ Adapun ketika engkau (Utsman) tidak ikut Bai’atur Ridhwan, maka saat itu jika ada seorang yang lebih mulia dari Utsman dari kalangan penduduk Mekah, niscaya Rasulullah akan mengutusnya sebagai ganti Utsman.
Saat itu Rasulullah mengutus Utsman ke Mekah dan Bai’atur Ridhwan terjadi setelah pengutusan Utsman ke Mekah. Rasulullah mengangkat tangan kanan beliau dan berkata, ‘Ini tangan Utsman’ lalu menepukkannya ke tangan satunya lagi dan berkata, ‘Bai’at ini untuk Utsman.’ (Ibnu Umar melanjutkan), sekarang pulanglah, bawa kabar ini bersamamu.”
BEGINILAH UTSMAN BIN AFFAN BERSEDEKAH:
Para shahabat berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan, diantaranya dalam sedekah. Salah satu shahabat yang dikenal kaya dan sangat dermawan adalah Utsman bin Affan, dijuluki dzu nuraini, khalifah ar-Rasyidin ke-tiga, orang yang malaikat malu kepadanya dan shahabat yang dijamin masuk surga. Beliau adalah saudagar yang tidak tanggung-tanggung dalam bersedekah. Tak terhitung jasa-jasa beliau dalam membantu kaum muslimin dengan kedermawanannya. Di antara kedermawanan beliau adalah sebagai berikut:
1. Semenjak masuk Islam, beliau selalu memerdekakan budak setiap hari jum’at. Kurang lebih jumlah budak yang telah dimerdekakannya sekitar 2400 orang.
2. Ketika kaum muslimin harus membeli air dari sumur milik orang Yahudi dan Rasulullah mendoakan kebaikan bagi siapa yang membelinya. Maka beliau membeli sumur tersebut 200 dirham lalu menyedekahkannya untuk kaum muslimin.
Jika 595 gr perak = 85 gr emas atau 20 dinar = 200 dirham
35.000/200 = 175 x 20 = 3500 dinar x 4,25 gr x 590.000 = 8.776.250.000
3. Ketika pada masa Abu Bakar ash-Shidiq terjadi paceklik, Utsman baru pulang dari berdagang di Syam dengan 100 unta yang penuh bahan makanan. Kemudian beliau menyedekahkan seluruhnya untuk kaum muslimin.
Jika harga unta sekitar 14 juta. Maka 100 x 14.000.000 = 1.400.000.000
4. Utsman bin Affan saat perang Tabuk menyumbang 300 ekor unta serta dana sebesar 1000 dinar emas.
300 unta x 14.000.000 = 4.200.000.000.
Jika 1 dinar = 4,25 gr emas maka 1000 dinar x 4.25 gr = 4250 gr x 590.000 = 2.507.500.000
5. Ubaidillah bin Uthbah memberitahukan ketika terbunuh, Utsman masih memiliki harta yang disimpan penjaga gudangnya sebesar 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. 595 gr perak = 85 gr emas
100.000 dinar x 4.25 gr emas x 590.000 = 250.750.000.000
30.500.0 20/200 = 3.050.000 dinar x 4.25 gr = 12.962.500 x 590.000 = 7.647.875.000.000
6. Beliau mengikhlaskan hutang Thalhah bin Ubaidilah sebesar 50.000, saat Thalhah akan melunasinya.
Demikianlah sedekah yang dikeluarkan shahabat Utsman bin Affan dan masih banyak lagi selain yang belum disebutkan di sini. Itu membuktikan bahwa sedekah tidaklah mengurangi harta tapi terus bertambah. Semoga kisah shahabat Utsman menjadi motivasi untuk gemar bersedekah. Bahwa sedekah tidaklah membuat seseorang menjadi miskin, namun sebaliknya.
KHUTBAH UTSMAN BIN AFFAN KETIKA DIBAI'AH:
Khutbah pertama beliau di hadapan kaum muslimin, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Saif bin Umar dari Badr bin Utsman dari bapa saudaranya berkata, "Ketika dewan syura membai'at Utsman bin Affan, dengan keadaan orang yang paling sedih di antara mereka, beliau keluar dan menaiki mimbar Rasulullah S.a.w dan memberikan khutbahnya kepada orang ramai.
Beliau memulai dengan memuji Allah dan bersalawat kepada Nabi S.a.w dan berkata, "Sesungguhnya kalian berada di kampung persinggahan dan sedang berada pada sisa-sisa usia, maka segeralah melakukan kebaikan yang mampu kalian lakukan. Kalian telah diberi waktu pagi dan petang. Ketahuilah bahawa dunia dilapisi dengan tipu daya, oleh karena itu maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kalian, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kalian dalam (mentaati) Allah. Ambillah pelajaran dari kejadian masa lalu kemudian bersungguh-sungguhlah dan jangan lalai, kerana syaitan tidak pernah lalai terhadap kalian. Mana anak-anak dunia dan temannya yang terpengaruh dengan dunia akan menghabiskan usianya untuk bersenang-senang. Tidakkah mereka jauhi semua itu!! Buanglah dunia sebagaimana Allah membuangnya, carilah akhirat kerana sesungguhnya Allah telah membuat permisalan dengan yang lebih baik. Allah Swt berfirman:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
"Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur kerananya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang di terbangkan oleh angin, dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." [Surah Al-Kahfi: 45-46]
Maka berdatanganlah manusia untuk membai'ahnya.
TELADAN KEPEMIMPINAN UTSMAN BIN ‘AFFAN RADHIALLAHU’ANHU:
Kepemimpinan bukanlah suatu perkara yang ringan sebagaimana anggapan sementara sebahagian orang. Bahkan kepemimpinan merupakan suatu tanggungjawab besar yang hanya bisa dibawa oleh orang-orang tangguh yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri sebelum datangnya hari di mana ia ditunjuk sebagai pemimpin umat. Tampuk kepemimpinan juga tidak bisa diberikan pada sembarang orang dan tidak pula bisa diwariskan turun temurun kecuali jika keriteria yang menerima sudah dipandang cukup dan matang. Pada umumnya, orang yang diberi kursi kepemimpinan sebuah negeri tidak lain merupakan orang yang paling hebat dan mulia di zamannya sehingga secara umum tidak ada yang lebih berhak menerima tanggungjawab besar ini kecuali dirinya. Demikian ini merupakan corak kepemimpinan Khulafa’ Rasyidin. Namun nampaknya hal semacam ini jarang terjadi di masa sekarang.
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu merupakan salah satu dari empat khulafa’ rasyidin tersebut. Berbagai sifat terpuji membuat semua orang tidak ragu memberikannya tampuk kepemimpinan setelah sepeninggalan khalifah kedua, ‘Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu.
‘Utsman merupakan satu dari sekian banyak lulusan terbaik dari madrasah Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Darinya lah kepribadian ‘Utsman yang tangguh itu terbentuk. Berbagai keilmuan beliau serap dari sang nabi terakhir itu. Sebuah berkah dari kebersamaannya bersama Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, baik ketika masih di Madinah maupun ketika sudah berhijrah ke Makkah.
Satu contoh kongkrit bagaimana ‘Utsman menerima pengajaran dari madrasah kenabian itu ialah kealimannya tentang Al-Quran. Darinya, beliau meriwayatkan sebuah hadits masyhur yang selalu dijadikan sebagai syiar ahli Quran, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”.
Tentang bagaimana ‘Utsman beserta shahabat lain mempelajari Al-Quran dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka mari kita dengarkan penuturan Abu ‘Abdurrahman As-Sulami. Beliau bercerita, “Orang-orang yang mengajari kami Al-Quran –seperti ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya- menceritakan, bahwa jika mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, maka mereka tidak akan melampaunya sampai mereka mempelajari ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, ‘Jadi kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amalnya sekaligus”.
Sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ‘Utsman sempat menyetorkan hafalan Al-Quran dari awal hingga akhir kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Diceritakan bahwa ‘Utsman radhiallahu’anhu mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rekaat, yaitu rekaat witir. Dan ini merupakan salah satu kebiasaanya.
Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (VII/215), Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Hal seperti ini telah diriwayatkan dari selain jalur ini, bahwa beliau shalat satu rekaat dengan Al-Quran di sisi Hajar Aswad, di waktu haji. Ini merupakan salah satu kebiasaannya. Semoga Allah meridhainya”.
‘Utsman pernah berkata, “Dari dunia ini aku diberi kecintaan pada tiga hal, yaitu memberikan kekenyangan pada orang-orang yang kelaparan, memberikan pakaian pada orang-orang yang tidak punya pakaian, dan membaca Al-Quran”.
Beliau juga pernah menyatakan, “Seandainya hati kita suci, tentulah kita belum lagi merasa kenyang terhadap kalam Rabb kita. Dan sesungguhnya diriku merasa benci ada hari di mana aku tidak melihat mushaf Al-Quran.”
Dari sini nampaklah bagaimana kepribadian dan akhlak ‘Utsman terbentuk menyatu dalam dirinya. Sesungguhnya itu semua dari berkah kebersamaannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan kebiasaannya menjaga Al-Quran yang menjadikannya kuat menerima tampuk kepemimpinan sepeninggalan ‘Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu.
Baiklah. Kiranya beberapa hal di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana sosok kepribadian ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu. Mari sekarang kita lihat ketekadannya dalam memimpin umat.
Dalam masa kepemimpinannya, ‘Utsman menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai pijakan kemudian apa saja yang telah digariskan dan diwariskan oleh dua khalifah pendahulunya, Abu Bakar dan ‘Umar. Ini pulalah yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana yang diketengahkan At-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Al-Albani, “Ikutilah dua orang sepeninggalanku,” seraya menunjuk Abu Bakar dan ‘Umar.
Metode kepemimpinan ‘Utsman ini juga sudah beliau sampaikan di awal khutbah kepemimpinannya. Yaitu dengan menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman kemudian petunjuk dua khalifah yang mendahuluinya. Kenyataan ini tentu mengingatkan kita pada sebuah kaidah kepemimpinan yang masyhur, yaitu sebuah ungkapan, “Mulailah dengan apa yang sudah dilakukan orang-orang terdahulu. Jangan memulai dari apa yang telah dimulai orang-orang terdahulu.” Maksudnya ketika memimpin atau aktifitas lainnya hendaknya dilakukan dengan meneruskan apa yang sudah dilakukan orang-orang terdahulu, bukan malah memulai sebagaimana orang-orang terdahulu memulai.
Dari sekian banyak corak kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan ialah perhatiannya terhadap keadaan orang-orang yang dipimpinnya. Keadaan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan antara diri seorang hamba dengan Rab-nya dengan selalu memperhatikan batasan-batasan yang telah digariskan-Nya dan tidak melampauinya. Dengan demikian, kehidupan akan berjalan lurus dan kejayaan akan dapat dengan mudah digapai.
Abu Bakar bin ‘Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam meriwayatkan, dari ayahnya, ia berkata, “Aku mendengar ‘Utsman bin Affan menyampaikan khutbah di hadapan orang-orang. Beliau berkata, ‘Jauhilah khamr oleh kalian. Sebab, khamr merupakan porosnya segala kejelekan…’ Pada akhirnya beliau berkata, ‘Jauhilah khamr. Demi Allah, iman dan candu khamr tidak akan pernah bersatu dalam diri seseorang’”.
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aku menyaksikan ‘Utsman dalam khutbahnya menyuruh agar anjing dapat dibunuh dan merpati dapat disembelih.” Sementara itu Zubaid bin Ash-Shalt mengatakan, “Aku mendengar ‘Utsman berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, jauhilah perjudian –maksudnya dadu. Sebab ada yang mengabariku bahwa ada dadu di rumah beberapa orang di antara kalian. Oleh sebab itu apabila ada dadu di rumahnya, hendaklah ia membakarnya atau menghancurkannya”.
Di lain kesempatan ‘Utsman juga berkata di atas mimbar, “Wahai manusia, aku sudah mengajak kalian bicara tentang dadu ini. Namun aku tidak melihat kalian membuangnya. Sungguh aku sudah berkeinginan agar kayu-kayu bakar itu dikumpulkan lantas kekirimkan ke rumah-rumah yang menyimpan dadu sehingga aku membakarnya di hadapan mereka”.
Jual-beli merupakan aktifitas mutlak yang tidak bisa ditinggalkan oleh siapa pun. Dari aktifitas ini orang dapat memenuhi kebutuhannya. Ia salah satu kegiatan penting masyarakat. Oleh karena itu Utsman juga sangat memperhatikan aktifitas jual beli ini. Salah satunya mengenai harga barang-barang di pasaran. Sebab harga kerap kali menjadi keluhan masyarakat, terutama di masa sekarang ini. Semakin tinggi harga kebutuhan di masyarakat, maka asumsi kemiskinan semakin bertambah akan semakin nampak jelas. Yang miskin bertambah miskin, sementara yang kaya lambat laun berubah miskin. Demikian teori yang dinyatakan sebagian pakar. Oleh sebab itu tolak ukur harga hendaknya diberikan sepenuhnya pada pemerintah yang sah agar orang-orang pasar tidak sembarangan menentukan harga dagangannya yang pada gilirannya hanya akan menimbulkan keresahan masyarakat.
Dalam riwayat lain, sebagaimana yang dinukil As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’ hlm. 163 yang dinukilnya dari Thabaqat Ibnu Sa’d, selain menanyakan harga-harga di pasaran, ‘Utsman juga menanyakan tentang orang-orang yang tengah tergeletak sakit.
Dalam Hilyah Al-Auliya (I/61), tersebut bahwa Abu Masyja’ah menuturkan, “Kami pernah mengunjungi orang sakit bersama ‘Utsman. Ia pun berkata pada orang yang sakit itu, ‘Ucapkanlah la ilaha illallah.’ Maka orang yang sakit itu mengucapkannya. Utsman berkata, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya dia telah melemparkan seluruh kesalahannya denga kalimat itu sehingga kesalahan-kesalahannya itupun hancur lebur.’
Aku bertanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau katakan? Atau engkau pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’
Utsman menjawab, ‘Bahkan aku telah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, hal semacam ini keutamaan untuk orang yang sakit, lalu bagaimana untuk orang yang sehat?’ Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab, ‘Untuk orang yang sehat lebih bisa lagi meleburkan kesalahan.’”.
Jika ditelusuri lebih dekat lagi bagaimana perhatian besar Utsman terhadap rakyat yang dipimpinnya, tentu akan lebih sangat menakjubkan. Sebuah sikap yang patut diteladani setiap orang yang bertindak memimpin suatu negeri. Perhatiannya itu beliau tunjukkan dalam banyak kesempatan. Baik melalui surat-surat yang sampai padanya maupun dengan cara bertanya langsung kepada tamu-tamu Allah di musim haji. Selain itu beliau juga kerap menghubungi kepala-kepada daerah yang ditugaskannya untuk menanyakan keadaan rakyatnya.
Walaupun mungkin dalam setiap urusan masyarakat ada orang-orang tertentu yang sudah ditunjuk kepala negara sebagai penanggungjawab, namun hal tersebut sebaiknya tidak menghalangi seorang pemimpin negara mencari tahu sendiri aktifitas yang tengah berlangsung. Tidak seperti sebagian pemimpin hanya karena sudah menugaskan orang tertentu sebagai penanggungjawab lalu jika ditanya tentang hal tersebut dengan mudah menjawab, “Bukan urusan saya”. Sebuah ungkapan ‘jitu’ untuk lari dari tanggungjawab besar seorang pemimpin negara.
Hal rendah seperti ini tidak terjadi pada diri ‘Utsman bin ‘Affan Shallallahu’alaihi Wasallam saat dirinya menjabat sebagai kepala negara. Beliau bahkan dengan sendiri mencari tahu harga-harga barang di pasaran. Musa bin Thalhah bin ‘Ubaidullah menceritakan, “Aku melihat ‘Utsman bin ‘Affan beserta seorang penyeru. Beliau mengajak orang-orang berbicara dan bertanya dan mencari tahu dari mereka tentang harga-harga dan berita-berita.”
Dalam kesempatan itulah ‘Utsman mencari tahu tentang kebutuhan apa sajakah yang masih kurang di tengah rakyat yang dipimpinnya. Maka jika ia mengetahui tentang kebutuhan yang diperlukan rakyat, ia akan segera memenuhi kubutahan tersebut. Salah satu yang sering ia lakukan adalah memberikan biaya orang yang tengah melahirkan beserta nafkah untuk bayinya yang diambilnya dari baitul maal.
Ibnu Qutaibah dalam Al-Mushannaf fi Al-Hadits (III/1023) melaporkan dari ‘Urwah bin Az-Zubair, ia menuturkan, “Aku telah menjumpai zaman kepemimpinan ‘Utsman. Tidak ada jiwa muslim pun kecuali memiliki hak dari baitul maal”.
Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (X/386) menceritakan bahwa suatu saat ‘Utsman merasa kehilangan wanita yang biasa membantunya. Beliau diberi tahu bahwa ternyata wanita tersebut tengah melahirkan bayi. Maka beliaupun mengirimkan 50 dirham dan kain dari Sunbulani. Utsman berkata, “Pemberian dan pakaian ini untuk anakmu. Apabila dia sudah berusia setahun, kami akan menambahnya menjadi 100”.
Demikian juga di antara kegiatan ‘Utsman demi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dengan penuh kesejahteraan ialah memberikan arahan pada orang-orang yang diberinya tugas memimpin suatu daerah tertentu. Hal tersebut beliau sampaikan dalam bentuk tulisan (surat) yang beliau kirimkan kepada setiap orang yang bertanggungjawab atas daerah-daerah yang dipimpinnya. Dalam surat tersebut, sebagaimana yang termaktub dalam Tarikh Ath-Thabari (V/244), ‘Utsman mengingatkan kewajiban mereka terhadap rakyat. Beliau mengatakan bahwa tugas mereka bukanlah mengumpulkan harta zakat, namun lebih kepada kepentingan serta kemaslahatan masyarakat umum. Oleh karena itu beliau menyebutkan langkah-langkah politik yang baik, yaitu dengan memberikan hak maysrakat sepenuhnya dengan tetap mengambil kewajiban yang semestinya mereka tunaikan. Dengan demikian, keadaan masyarakat akan menjadi stabil. Namun jika sebaliknya, perhatian pemimpin hanya berpusat pada penarikan zakat dari masyarakat, maka berarti sudah tidak ada lagi rasa malu pada diri mereka, amanah menjadi terlantarkan, dan tidak ada lagi sikap menunaikan janji.
Sementara itu, beliau juga mengirim surat pada para panglima perang beserta pasukannya. Isinya pun berupa arahan dan petunjuk bagaimana menjadi panglima yang baik dan apa saja tugas yang semestinya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Beliau menulis, “Amma ba’d… Sesungguhnya kalian adalah penjaga kaum muslimin dan pembela mereka. ‘Umar telah menggariskan tugas untuk kalian yang masih kami ingat, bahkan beliau sampaikan di hadapan para pembesar kita. Oleh karena itu jangan sampai aku dengar dari salah seorang kalian ada yang mengubah dan menggantinya, sehingga Allah akan mengubahnya dengan kalian dan menjadikan orang lain menggantikan posisi kalian. Maka perhatikanlah masa depan kalian, aku pun akan memperhatikan apa saja yang telah Allah wajibkan atas diriku tentang apa saja yang semestinya kuperhatikan dan apa yang seharusnya kulakukan”. Demikian yang tercatat dalam Tarikh Ath-Thabari (V/244).
Begitu pula surat edaran yang beliau tulis untuk masyarakat umum. Isinya pun berupa arahan dan anjuran bagaimana sebaiknya menjadi rakyat yang baik. Surat tersebut, seperti yang dicatat dalam Tarikh Ath-Thabari (V/245), antara lain menekankan agar umat selalu berada di dalam koridor agama yang dibangun berdasarkan ittiba’ (mencontoh dan meneladani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) dan agar tidak memberatkan diri serta melakukan perkara-perkara yang dibuat-buat (bid’ah).
Sibuknya memimpin umat negara yang sudah hampir memasuki Eropa tidak kemudian membuat ‘Utsman melalaikan akan kewajibannya sebagai seorang hamba Allah ‘Azza wa Jalla. Justru dalam kepemimpinannya ini beliau lebih memperbanyak beribadah kepada Allah dan bermunajat pada-Nya. Ia begitu sadar bahwa amanat serta tanggungjawab yang diembannya bukanlah perkara ringan. Oleh sebab itu hubungan antara dirinya dengan Rabb-nya kiranya dapat lebih dipererat lagi agar dalam menjalankan tugas mendapat petunjuk dari-Nya.
Gambaran banyaknya ibadah yang menjadi rutinitas Utsman salah satunya sudah kita sebutkan di atas. Ya. Beliau Biasa mengkhatamkan Al-Quran dalam satu rekaat shalat di sisi Hajar Aswad.
Oleh karena itu ketika menafsirkan ayat kesembilan dari surat Az-Zumar yang berbunyi:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (QS. Az-Zummar: 9).
‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhu mengatakan, “Dia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”
Sementara itu ketika menafsirkan ayat:
هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَن يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ ۙ وَهُوَ عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (An-Nahl: 76).
Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu menyatakan, “Dia adalah ‘Utsman”.
Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu juga terkenal biasa melakukan puasa sepanjang masa dan pada malam harinya mengerjakan shalat sepanjang malam kecuali di awal malam yang digunakannya untuk memejamkan mata sejenak. Demikian seperti yang ‘terekam’ dalam Shifah Ash-Shafwah I/302.
Selain itu Utsman juga dikenal sebagai sosok yang berkepribadian dermawan dan tawadhu’ meski sebagai orang nomor satu di zamannya. Mubarak bin Fadhalah meriwayatkan dari Al-Hasan, ujarnya, “Aku pernah melihat Utsman tidur di Masjid sedangkan selendangnya (kain yang biasa dikenakan untuk menutupi bagian atas badan) berada di bawah kepalanya. Orang-orang pun mulai berdatangan duduk di sisinya sehingga seakan-akan beliau bagian dari mereka.”
Demikianlah sekelumit riwayat hidup Utsman radhiallahu’anhu di masa-masa kepemimpinannya. Tentu di sana masih banyak lagi potret kebijaksanaan dan keteladanan Utsman dalam memimpin yang kiranya perlu dicontoh oleh siapa saja yang tengah memegang tampuk kepemimpinan, sekecil apa pun kepemimpinan yang dipegangnya.
Jika kita terus menelusuri sejarah Islam beserta tokoh-tokohnya, tentu kita akan merasa cukup mencari sosok dan pelajaran untuk masa depan yang lebih baik. Tidak ada tokoh dan keindahan sejarah mana pun yang dapat menandingi sejarah Islam serta para pelaku sejarah itu. Maka tidak ada teladan kecuali keteladanan dalam Islam. Namun sayang seribu sayang, kenyataan justru berkata sebaliknya. Banyak orang yang lebih mendahulukan sejarah dan ketokohan orang-orang Barat dibandingkan ketokohan umat Islam sendiri. Padahal jika sedikit saja mereka mau membuka matanya membaca sejarah Islam, tentu mereka akan merasa lebih daripada cukup.
KABAR TENTANG KEKHALIFAHAN DAN ORANG-ORANG YANG AKAN MEMBERONTAKNYA:
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah pernah mengutus seseorang untuk memanggil Utsman. Ketika Utsman sudah datang, Rasulullah menyambut kedatangannya. Setelah kami melihat Rasulullah menyambutnya, maka salah seorang dari kami menyambut kedatangan yang lain. Dan ucapan terakhir yang disampaikan Rasulullah sambil menepuk pundak Utsman adalah “Wahai Utsman, mudah-mudahan Allah akan memakaikanmu sebuah pakaian (mengamanahimu jabatan khalifah), dan jika orang-orang munafik ingin melepaskan pakaian tersebut, jangalah engkau lepaskan sampai engkau bertemu denganku (meninggal).” Beliau mengulangi ucapan ini tiga kali. (HR. Ahmad).
Dan akhirnya perjumpaan yang disabdakan Rasulullah pun terjadi. Dari Abdullah bin Umar bahwa Utsman bin Affan berbicara di hadapan khalayak, “Aku berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di dalam mimpi, lalu beliau mengatakan, ‘Wahai Utsman, berbukalah bersama kami’.” Maka pada pagi harinya beliau berpuasa dan di hari itulah beliau terbunuh. (HR. Hakim dalam Mustadrak, 3:103).
Katsir bin Ash-Shalat mendatangi Utsman bin Affan dan berkata, “Amirul mukminin, keluarlah dan duduklah di teras depan agar masyarakat melihatmu. Jika engkau lakukan itu masyarakat akan membelamu. Utsman tertawa lalu berkata, ‘Wahai Katsir, semalam aku bermimpi seakan-akan aku berjumpa dengan Nabi Allah, Abu Bakar, dan Umar, lalu beliau bersabda, ‘Kembalilah, karena besok engkau akan berbuka bersama kami’. Kemudian Utsman berkata, ‘Demi Allah, tidaklah matahari terbenam esok hari, kecuali aku sudah menjadi penghuni akhirat’.” (Ibnu Saad dalam ath-Thabaqat, 3:75).
KEUTAMAAN UTSMAN BIN ‘AFFAN:
PERTAMA: UTSMAN ADALAH PENDUDUK SURGA YANG HIDUP DI BUMI.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ حَائِطًا وَأَمَرَنِى بِحِفْظِ بَابِ الْحَائِطِ ، فَجَاءَ رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ ، فَقَالَ« ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ » . فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ يَسْتَأْذِنُ فَقَالَ « ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ » . فَإِذَا عُمَرُ ، ثُمَّ جَاءَ آخَرُ يَسْتَأْذِنُ ، فَسَكَتَ هُنَيْهَةً ثُمَّ قَالَ « ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى سَتُصِيبُهُ» . فَإِذَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke sebuah kebun dan memerintahkanku untuk menjaga pintu kebun tersebut. Kemudian datang seorang lelaki untuk masuk, beliau bersabda, “Izinkan dia masuk, kemudian beritakan kepadanya bahwa ia masuk surga.” Ternyata laki-laki tersebut adalah Abu Bakar. Setelah itu datang laki-laki lain meminta diizinkan masuk, beliau bersabda, “Izinkan dia masuk, kemudian beritakan kepadanya bahwa ia masuk surga.” Ternyata lelaki itu adalah Umar bin Al-Khaththab. Lalu datang lagi seorang lelaki meminta diizinkan masuk, beliau terdiam sejenak lalu bersabda, “Izinkan ia masuk, kemudian beritakan kepadanya bahwa ia masuk surga disertai dengan cobaan yang menimpanya.” Ternyata lelaki tersebut adalah Utsman bin Affan. (HR. Bukhari, no. 3695)
KEDUA: KEDUDUKAN UTSMAN DIBANDING UMAT ISLAM LAINNYA.
Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku melihat bahwa aku di letakkan di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi daun timbangan lainnya, ternyata aku lebih berat dari mereka. Kemudian diletakkan Abu Bakar di satu daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi yang lainnya, ternyata Abu Bakar lebih berat dari umatku. Setelah itu diletakkan Umar di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi yang lainnya, ternyata dia lebih berat dari mereka. Lalu diletakkan Utsman di sebuah daun timbangan dan umatku diletakkan di sisi lainnya, ternyata dia lebih berat dari mereka.” (Al-Ma’rifatu wa At-Tarikh, 3: 357).
Hadis yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalur Umar bin al-Khattab.
Hadis ini menunjukkan kedudukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman dibandingkan seluruh umat Nabi Muhammad yang lain. Seandainya orang-orang terbaik dari umat ini dikumpulkan, lalu ditimbang dengan salah seorang dari tiga orang sahabat Nabi ini, niscaya timbangan mereka lebih berat dibanding seluruh orang-orang terbaik tersebut.
KETIGA: UTSMAN ITU PRIA PEMALU.
Dari Utsman [ibnu Affan] dan ‘Aisyah, keduanya menceritakan:
أن أبا بكر استأذن على رسول الله صلى الله عليه وسلم – وهو مضطجعٌ على فراش عائشة، لابساً مرط عائشة- فأذن لأبي بكر وهو كذلك، فقضى إليه حاجته، ثم انصرف. ثم استأذن عمر رضي الله عنه، فأذن له وهو كذلك، فقضى إليه حاجته، ثم انصرف. قال عثمان: ثم استأذنت عليه، فجلس. وقال لعائشة: “اجمعي إليك ثيابك”. فقضيت إليه حاجتي ثم انصرفتُ.قال: فقالت عائشة: يا رسول الله! لم أرك فزعت لأبي بكر وعمر رضي الله عنهما كما فزعت لعثمان؟ قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “إن عثمان رجل حيي، وإني خشيت أن أذنتُ له- وأنا على تلك الحال- أن لا يبلغ إليّ في حاجته
“Suatu ketika Abu Bakar meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika itu beliau sedang berbaring di tempat tidur Aisyah sambil memakai kain panjang istrinya-. Beliau lalu mengizinkan Abu Bakar dan beliau tetap dalam keadaan semula. Abu Bakar lalu mengutarakan keperluannya lalu pergi. Setelah itu datanglah Umar ibnul Khaththab radliallahu ‘anhu meminta izin dan beliau mengizinkannya masuk sedang beliau masih dalam kondisi semula. Umar lalu mengutarakan keperluannya lalu setelah itu ia pun pergi. Utsman [ibnu Affan] berkata, “Lalu saya meminta izin, beliau lalu duduk”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Aisyah, “Tutupkanlah bajumu padaku”. Lalu kuutarakan keperluanku lalu saya pun pergi. Aisyah lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, tindakanmu terhadap Abu Bakar dan ‘Umar radliallahu ‘anhuma kok tidak seperti tindakanmu pada Utsman [?]” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menjawab, “Sesungguhnya Utsman adalah seorang pria pemalu dan saya khawatir jika dia kuizinkan dan saya dalam keadaan demikian, dia lalu tidak mengutarakan keperluannya.” (Shahih)-Ash Shahihah (1687): [Muslim: 44-Kitab Fadhoil Ash Shohabah, hal. 26-27]
Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga mengatakan tentang Utsman:
أَلاَ أَسْتَحِى مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِى مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ
“Apakah aku tidak malu pada seseorang yang para Malaikat saja malu kepadanya.” (HR. Muslim, no.6362)
UTSMAN BIN AFFAN BERSAHABAT DENGAN AL-QUR’AN:
Para sahabat adalah generasi yang terdidik dengan Alquran. Allah turunkan kitab-Nya yang mulia di masa mereka. Dan Rasul-Nya ﷺ mendidik generasi mulia ini secara langsung. Menjelaskannya dalam perkataan dan perbuatan.
Di antara sahabat Nabi ﷺ yang terdidik dengan bimbingan Alquran itu adalah Dzu Nurain, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Kedua telinga Utsman mendengar langsung ayat Alquran yang dilantunkan oleh sayyidul anbiya wal mursalin. Ayat-ayat tersebut meninggalkan kesan yang begitu dalam di hatinya. Terpraktikkan pada kepribadiannya. Menyucikan hatinya dan menahbiskan jiwanya. Kemudian mempengaruhi ruhnya. Jadilah ia manusia baru -karena memeluk Islam- dengan jiwa yang mulia. Tujuan hidup yang agung. Dan perangai yang istimewa.
Dari Abi Abdurrahman as-Sulami, ia berkata, “Para pembaca Alquran –semisal Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dll- bercerita kepada kami bahwa mereka belajar dari Rasulullah ﷺ 10 ayat. Mereka tidak menambahnya sampai memahami makna kandungannya dan mengamalkannya. Mereka berkata, ‘Kami mempelajari Alquran; memahaminya, sekaligus mempraktikkannya’. Oleh karena itu, para sahabat butuh beberapa waktu untuk menghafalkan satu surat. Semua itu karena Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).”
Dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengamalkannya.” (HR. Bukhari).
Di antara murid-murid Utsman bin Affan yang paling terkenal adalah Abu Abdurrahman as-Sulami, al-Mughirah bin Abi Syihab, Abu al-Aswad, dan Wazir bin Hubaisy (Tarikh al-Islami oleh Imam adz-Dzahabi, 1: 467).
Sejarah telah mencatat kalimat-kalimat penuh hikmah dari Utsman bertutur tentang Alquran. Ia berkata, “Jika hati kita suci, maka ia tidak akan pernah puas dari kalam Rabb nya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, bab al-Adab wa at-Tasawwuf).
Beliau juga mengatakan, “Sungguh aku membenci, satu hari berlalu tanpa melihat (membaca) Alquran.” (al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 10: 388).
Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Bagian dunia yang kucintai ada tiga: (1) mengenyangkan orang yang lapar, (2) memberi pakaian mereka yang tak punya, dan (3) membaca Alquran”. (Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad, Hal: 88).
Dalam kesempatan lainnya, Utsman berkata, “Ada empat hal ketika nampak merupakan keutamaan. Jika tersembunyi menjadi kewajiban. (1) Berkumpul bersama orang-orang shaleh adalah keutamaan dan mencontoh mereka adalah kewajiban. (2) Membaca Alquran adalah keutamaan dan mengamalkannya adalah kewajiban. (3) Menziarahi kubur adalah keutamaan dan beramal sebagai persiapan untuk mati adalah kewajiban. (4) Dan membesuk orang yang sakit adalah keutamaan dan mengambil wasiat darinya adalah kewajiban”. (Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad, Hal: 90).
Utsman juga berkata, “Ada 10 hal yang disia-siakan: Orang yang berilmu tapi tidak ditanyai. Ilmu yang tidak diamalkan. Pendapat yang benar namun tidak diterima. Senjata yang tidak digunakan. Masjid yang tidak ditegakkan shalat di dalamnya. Mush-haf Alquran yang tidak dibaca. Harta yang tidak diinfakkan. Kendaraan yang tidak dipakai. Ilmu tentang kezuhudan bagi pencinta dunia. Dan usia panjang yang tidak menambah bekal untuk safarnya (ke akhirat).” (Irsyadul Ibad li Isti’dadi li Yaumil Mi’ad, Hal: 91).
Tidak jarang, Allah al-Hakim mewafatkan seseorang sedang melakukan kebiasaannya ketika hidup. Demikian pula yang terjadi pada Utsman. Ia amat dekat dan selalu bersama Alquran. Hingga ia wafat pun sedang membaca Alquran.
Dialah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Salah seorang khalifah rasyid yang diikuti sunnahnya. Persahabatanya begitu dengan Nabi yang mulia, Muhammad ﷺ. Ia adalah di antara sahabatnya yang paling istimewa. Dan ia pula laki-laki yang menikahi dua putri Rasulullah ﷺ. Cukuplah sebuah riwayat dari Sufyan bin Uyainah berikut ini untuk mengetahui kedudukan Utsman di sisi Rasulullah ﷺ. Dari Sufyan bin Uyainah, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah ﷺ apabila duduk, maka Abu Bakar duduk di sebelah kanannya, Umar di sebelah kirinya, dan Utsman di hadapannya. Ia menulis rahasia Rasulullah ﷺ.” (Tarikh Dimasy oleh Ibnu Asakir, 26: 344).
SEJARAH KODIFIKASI AL-QURAN PADA MASA UTSMAN BIN AFFAN:
Kitab suci Al Quran merupakan sumber hukum dan pedoman hidup bagi umat Islam. Saat ini, umat Islam memiliki kitab Al Quran yang sama dan seragam berkat adanya upaya kodifikasi Al Quran yang dimulai sejak zaman Rasulullah. Pengumpulan dan penulisan atau kodifikasi Al Quran berlangsung selama tiga periode, yakni periode Nabi Muhammad, periode Khalifah Abu Bakar, dan periode Khalifah Utsman bin Affan. Ketiga periode tersebut secara estafet saling melanjutkan dan menyempurnakan program kodifikasi Al Quran. Bagaimana proses kodifikasi Al Quran pada masa Khalifah Utsman bin Affan?
LATAR BELAKANG KODIFIKASI AL QURAN ERA UTSMAN BIN AFFAN:
Kodifikasi mushaf Al Quran yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan dilatarbelakangi oleh adanya keragaman cara pembacaan Al Quran (qiraat). Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, Islam semakin menyebar di sepanjang jazirah Arab.
Penduduk di suatu daerah umumnya mengambil sekaligus menggunakan bacaan Al Quran (qiraat) dari para sahabat terkemuka. Penduduk Suriah misalnya, memakai qiraat versi Ubay bin Ka'b, penduduk Kufah menggunakan qiraat versi Abdullah bin Mas'ud, dan sebagainya. Ragam qiraat ini akhirnya menimbulkan perselisihan, bahkan saling menganggap qiraatnya yang paling benar. Kemelut tersebut diketahui oleh Hudzaifah bin Yaman, yang turut serta dalam misi penaklukkan Armenia dan Azerbaijan. Hudzaifah bin Yaman melaporkan hal itu kepada Khalifah Utsman, agar segera diambil tindakan.
PROSES KODIFIKASI AL QURAN ERA UTSMAN BIN AFFAN:
Pada akhir pemerintahan Abu Bakar, proses kodifikasi menghasilkan ayat Al Quran yang tersusun secara rapi dalam satu mushaf. Mushaf tersebut awalnya disimpan oleh Abu Bakar, kemudian berpindah ke Umar bin Khattab, dan akhirnya jatuh ke tangan putri Umar, Hafshah binti Umar. Setelah mendapat laporan dari Hudzaifah bin Yaman, Khalifah Utsman meminjam mushaf yang dibawa oleh Hafshah binti Umar. Utsman kemudian membentuk tim pembukuan Al Quran yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Mereka diminta menduplikasi mushaf dari Hafshah menjadi beberapa mushaf agar tidak terjadi lagi perbedaan dalam cara membaca serta huruf Al Quran. Dalam misi tersebut, Utsman berpesan apabila ditemukan perbedaan pendapat tentang ragam dialek, maka sebaiknya ditulis dalam dialek Quraisy karena Al Quran diturunkan dalam bahasa mereka.
Mushaf-mushaf yang selesai ditulis oleh tim Zaid bin Tsabit dikenal sebagai Mushaf Utsmani, yang kemudian dikirimkan ke seluruh pelosok wilayah Islam. Setelah itu, Khalifah Utsman bin Affan mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafshah. Khalifah Utsman bin Affan juga memerintahkan agar mushaf versi lain yang beredar sebelum terbit Al Quran Mushaf Utsmani dibakar. Langkah pembakaran tersebut terpaksa diambil supaya tidak ada perbedaan lagi yang membingungkan dan dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Hingga saat ini, Al Quran yang dibaca oleh umat Islam di seluruh dunia merupakan Al Quran dengan Mushaf Utsmani.
PERBEDAAN PENGUMPULAN AL-QURAN OLEH ABU BAKAR DAN UTSMAN RADIYALLAHU ‘ANHUMA:
Pengumpulan Al-Quran pada masa kekhalifahan Abu Bakar r.a berbeda dengan yang dilakukan oleh Utsman Bin ‘Affan r.a pada masa kekhalifahannya. Pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar ash-shiddiq r.a adalah memindahkan ayat-ayat suci Al-Quran dari pelepah kurma, kulit hewan, daun, tulang-tulang ke dalam satu mushhaf. Sementara sebab pengumpulannya adalah karena gugurnya para huffadz pada masa kekhalifahan beliau.
Adapun pengumpulan Al-Quran pada masa kekhalifahan Utsman Ibn ‘Affan r.a adalah sekedar memperbanyak salinan mushhaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar ash-shiddiq menjabat sebagai khalifah untuk dikirimkan ke berbagai wilayah islam. Sementara sebab pengumpulan Al-Quran adalah terjadinya perbedaan qira’ah dalam membaca Al-Quran.
MUTIARA NASEHAT DZUN NURAIAN UTSMAN BIN AFFAN RADHYALLAHU ANHU:
Adapun mutiara mutiara yang diriwayatkan darinya sangatlah banyak. Barangkali kita memulai dengan nasehat yang menggambarkan bagi kita sedikit dari kehidupan Utsman Radhiyalllahu ‘anhu bersama Kitab yang turun dari langit, di mana dia berkata: ‘Jikalau hati kalian suci niscaya tidak pernah kenyang dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala (al-Qur`an).’ Sesungguhnya ia adalah nasehat yang sangat indah, menggambarkan penyakit yang menghalangi di antara mayoritas manusia dan tidak mendapatkan manfaat dari al-Qur`an. Sesungguhnya ia adalah penyakit hati: berupa riya, (iri dengki), dendam, dan berbagai penyakit lainnya yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan manfaat yang haq dari al-Kitab yang haq (al-Qur`an). Sesungguhnya hati bagaikan bejana, apabila sudah penuh dengan sesuatu ia tidak bisa menerima yang lain. Apabila ia dipenuhi berbagai penyakit ini niscaya lemahlah pengaruh al-Qur`an terhadapnya, kecuali ia membacanya dengan tujuan mengobati dan menyembuhkannya, maka ini termasuk tujuan diturunkannya al-Qur`an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَاهُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ [الإسراء: 82]
Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman [al-Isra`/17:82]
Sesungguhnya Utsman Radhiyalllahu ‘anhu dengan katanya: (tidak kenyang) merupakan ungkapan yang sangat tepat. Di dalam hati ada rasa lapar yang tidak bisa ditutupi oleh sesuatu sebagaimana ditutupi oleh bergantung dengan al-Qur`an, membaca, mendengar, tadabbur.
Utsman Radhiyalllahu ‘anhu mengungkapkan kecintaannya terhadap Kalam Rabb-nya dan tidak pernah kenyang dengannya dengan ungkapannya: Aku tidak suka bahwa datang kepadaku satu hari dan satu malam kecuali aku melihat kepada Kalamullah (firman Allah Subhanahu wa Ta’ala).’ Dan dalam satu lafazh: ‘Kepada perjanjian Allah Subhanahu wa Ta’ala’. Maksudnya adalah membaca mushhaf (al-Qur`an).
Ia mengatakan hal ini, sedangkan dia seorang khalifah kaum muslimin, yang di masa pemerintahannya terjadi penaklukan berbagai negeri yang sangat luas. Maka di manakah orang orang yang berlalu atasnya malam dan siang, sementara ia tidak sempat membuka selembar pun dari al-Qur`an, sedangkan ia tidak terikat tanggung jawab apa apa?
Di antara mutiara nasehat yang disampaikannya dalam khutbah menjelang akhir hayatnya adalah: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan (kenikmatan) dunia kepadanya untuk mencari akhirat dengannya dan Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikannya kepadamu agar kamu menjadi cenderung kepadanya. Sesungguhnya dunia adalah fana, janganlah yang fana membuatmu sombong dan jangan sampai membuat engkau lupa dari yang kekal (akhirat). Utamakannya sesuatu yang kekal terhadap yang fana, karena sesungguhnya dunia akan terputus dan sungguh tempat kembali adalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sesungguhnya taqwa kepada-Nya merupakan perisai dari siksa-Nya, memberi kedudukan yang tinggi di sisi-Nya. Tetaplah kamu berada dalam jama’ah (kaum muslimin, jangan memberontak) dan janganlah kamu menjadi berkelompok kelompok:
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا [آل عمران: 103]
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [ali Imran/3:103]
Dan karena sudah begitu jelasnya pengertian yang disebutkannya Radhiyalllahu ‘anhu dalam bab zuhud di dunia, maka tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar.
Namun perlu dipertegas tentang nasehatnya yang terkait keharusan bersama jama’ah kaum muslimin, dia sudah melihat benih benih fitnah (kekacauan) sudah mulai bersemai, dia juga pernah merasakan pahitnya perpecahan di masa jahiliyah dan menikmati manisnya persatuan di dalam Islam lewat kedua tangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah orang orang yang terlahir dalam umat yang bersatu memahami makna ini dan ingin memecah belah jama’ah umat Islam serta menggali lobang neraka –karena kebodohan mereka-.?
Di antara mutiara nasehatnya adalah: “Tidak ada seorangpun yang melakukan amal perbuatan kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepadanya selendang amal perbuatannya.’
Dan diriwayatkan darinya bahwa ia berkata: ‘Tidak ada seseorang yang menyembunyikan rahasia kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkanya lewat raut wajahnya dan gerakan lisannya.’
Dan ia juga berkata: ‘Jikalau seorang hamba memasuki rumah yang paling tersembunyi, lalu ia menekuni satu amal perbuatan di sana, tidak berselang waktu lama manusia akan membicarakannya. Tidak ada seorangpun yang melakukan amal perbuatan kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepadanya selendang amal perbuatannya, jika baik maka balasannya juga baik dan jika buruk maka balasannya juga buruk.’
Sesungguhnya yang disebutkan oleh Amirul Mukminin Utsman bin Affan Radhiyalllahu ‘anhu dalam mutiara nasehatnya, merupakan petunjuk untuk kita agar bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kesendirian kita, hendaklah kita beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan jujur dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, karena tidak ada keselamatan di dunia dan akhirat kecuali dengannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ اللهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [المائدة:119]
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. [al-Maidah/5:119]
Dan sebaliknya, jika seseorang berusaha menyembunyikan sesuatu yang berbeda dengan penampilan lahiriyahnya, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menampakkannya, jika baik maka baiklah hasilnya dan jika buruk maka buruklah hasilnya, seperti yang dikatakan oleh Khalifah Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Renungkanlah yang disebutkan Allah Subhanahu wa ta’ala tentang orang orang munafik:
وَلَوْ نَشَآءُ لأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُم بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ [محمد:30]
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya.Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.[Muhammad/47:30]
Orang munafik ini berusaha menyembunyikan sifat nifaqnya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan menampakkan perkara mereka dalam kesalahan ucapan mereka. Demikian pula seorang mukmin yang berusaha menyembunyikan imannya, seperti seorang mukmin dari keluarga Fir’aun dan istri Fir’aun, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menampakkan imannya lewat lisannya di hadapan orang orang yang menyimpang, maka celakalah bagi orang orang munafik dan bergembiralah bagi orang orang yang jujur.!
Di antara obat untuk menangani kekurangan dalam urusan rahasia, yaitu yang disebutkan oleh Salman Radhiyalllahu ‘anhu: ‘Apabila engkau melakukan keburukan dalam kesendirian maka lakukanlah kebaikan dalam kesendirian, dan apabila engkau melakukan keburukan secara terang terangan maka lakukanlah kebaikan secara terbuka, agar hal ini sebanding dengan hal ini.’
Di antara mutiara nasehatnya dalam persoalan jawaban kepemimpinan: ‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat takut dengan kekuasan sesuatu yang tidak menjadi takut dengan al-Qur`an.’
Maksudnya ungkapan ini adalah: bahwa sebagian orang ada yang tidak terpengaruh dengan perintah dan larangan, rangsangan dan ancaman, akan tetapi tidak membuatnya berubah dengan ancaman penguasa/pemerintah dengan cambuk atau pedangnya, menurut kondisinya! Dari sinilah disyari’atkan hudud (hukuman), karena sebagian orang ada yang tidak bisa menerima nasehat, maka hukumanlah yang membuatnya berhenti, untuk menahan keburukannya dari dirinya dan manusia lainnya.
Di antara mutiara nasehatnya tentang minuman keras adalah ‘Hindarilah minuman keras, sesungguhnya ia adalah kunci segala keburukan! Dibawa seorang laki laki, lalu dikatakan kepadanya: ‘(Kamu harus melakukan salah satu dari beberapa perkara ini), bisa jadi membakar kitab ini, membunuh anak kecil ini, memperkosa wanita ini, meminum gelas berisi minuman keras ini dan sujud kepada salib ini! Ia berkata: maka ia tidak melihat padanya sesuatu yang paling ringan selain meminum arak. Tatkala ia meminumnya, ia sujud kepada salib, membunuh anak kecil, memperkosa wanita, dan membakar kitab!
Sesungguhnya ia adalah nasehat yang sarat pesan pesan penting, jikalau direnungkan oleh mereka yang biasa meminum induk segala keburukan, maka ia merusak agama, akal, dan harta mereka dan mencerai beraikan perkara mereka, niscaya mereka mendapatkan diagnosa untuk penyakit…cukuplah bagi seorang mukmin bahwa ia merenungkan dampak buruknya agar ia meninggalkannya, terlebih lagi dari ancaman al-Qur`an dan sunnah, yang jikalau peminumnya memikirkan bahwa ia dikutuk lewat lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya ia akan berhenti melakukannya.
Dikatakan kepada Utsman Radhiyalllahu ‘anhu: apakah yang menghalangimu meminum arak di masa jahiliyah, padahal tidak mengapa melakukannya di masa itu? Ia menjawab: ‘Sesungguhnya aku melihatnya menghilangkan akal secara menyeluruh, dan aku tidak melihat sesuatu yang menghilangkan secara menyeluruh dan kembali lagi secara menyeluruh.
Dan kita tutup dengan ungkapan yang dikatakannya dalam salah satu khuthbahnya: “Wahai manusia, bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah keberuntungan, sesungguhnya manusia paling cerdas adalah yang menghisab dirinya dan beramal untuk sesudah kematian, serta berusaha untuk mendapatkan cahaya untuk kegelapan di alam kubur dari nur Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hendaklah hamba merasa takut bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggiringnya dalam kondisi buta padahal sebelumnya dia melihat. Ketahuilah, sesungguhnya siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berpihak padanya niscaya ia tidak takut sesuatu, dan siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memurkainya, maka siapakah yang bisa diharapkannya sesudah-Nya?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَحِيرٍ عَنْ هَانِئٍ مَوْلَى عُثْمَانَ قَالَ كَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ إِذَا وَقَفَ عَلَى قَبْرٍ يَبْكِي حَتَّى يَبُلَّ لِحْيَتَهُ فَقِيلَ لَهُ تَذْكُرُ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ وَلَا تَبْكِي وَتَبْكِي مِنْ هَذَا قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ قَالَ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq telah menceritakan kepadaku Yahya bin Ma’in telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Bahir dari Hani` bekas budak ‘Utsman dia berkata; “Jika Utsman bin ‘Affan berhenti di suatu kuburan, dia menangis sehingga janggutnya basah. Di tanyakan kepadanya; “Apakah kamu ingat Syurga dan Neraka? Janganlah kamu menangis, apakah kamu menangis hanya kerana ini?” dia menjawab; “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kuburan adalah tempat persinggahan pertama Akhirat. Jika selamat darinya, maka setelahnya pun ia akan lebih mudah (urusannya) namun jika ia tidak selamat darinya, maka sesudahnya pun ia akan lebih sulit lagi.” Utsman berkata; Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Aku tidak pernah melihat suatu pemandangan melainkan kuburan itu lebih mengerikan dari segalanya.”
TERBUNUHNYA ‘UTSMAN BIN AFFAN RADHIYALLAHU ANHU:
Munculnya fitnah pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum terjadi setelah terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu; masa sebelum wafat beliau ibarat sebuah pintu yang terkunci dari berbagai fitnah. Ketika beliau Radhiyallahu anhu terbunuh, muncullah berbagai fitnah yang besar, dan muncullah orang-orang yang berseru kepadanya (fitnah) dari kalangan orang yang belum tertanam keimanan dalam hatinya, dan dari kalangan orang-orang munafik yang sebelumnya menampakkan kebaikan di hadapan manusia, padahal mereka menyembunyikan kejelekan dan makar terhadap agama ini.
Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ كَمَا قَالَ. قَالَ: هَاتِ؛ إِنَّكَ لَجَرِيءٌ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَـارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ، قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ وَلَكِنِ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ. قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لاَ بَأْسَ عَلَيْكَ مِنْهَا، إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا. قَالَ: يُفْتَحُ الْبَـابُ أَوْ يُكْسَرُ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ يُكْسَرُ. قَالَ ذَلِكَ أَحْرَى أَنْ لاَ يُغْلَقَ. قُلْنَا: عُلِمَ الْبَابُ؟ قَالَ نَعَمْ، كَمَا أَنَّ دُونَ غَدٍ اللَّيْلَةَ إِنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِاْلأَغَالِيطِ. فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ، وَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا، فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَنِ الْبَابُ؟ قَالَ: عُمَرُ.
“Siapakah di antara kalian yang hafal sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah?” Lalu Hudzaifah berkata, “Aku hafal seperti yang beliau sabdakan.” (‘Umar) berkata, “Kemarilah, engkau memang berani.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Fitnah seorang laki-laki (yang ada) pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya, bisa dihapus dengan shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar.” Beliau (‘Umar) berkata, “Bukan yang ini, akan tetapi yang bergelombang seperti gelombang ombak di lautan.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Hal itu tidak jadi masalah bagimu, sesungguhnya di antara engkau dengannya ada pintu yang tertutup.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Pintu itu dibuka atau dirusak?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan dirusak.” Beliau berkata, “Pintu itu pantas untuk tidak ditutup.” Kami (Syaqiq) bertanya, “Apakah beliau tahu apakah pintu itu?” Dia menjawab, “Betul, sebagaimana (dia tahu) bahwa setelah esok hari ada malam, sesungguhnya aku meriwayatkan hadits dan bukan cerita bohong.” Lalu kami sungkan untuk bertanya kepadanya, dan kami memerintahkan Masruq agar ia bertanya kepada beliau, lalu dia berkata, “Siapakah pintu itu?” Dia (Hudzaifah) menjawab, “‘Umar.”
Itulah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar telah ter-bunuh, pintu telah dirusak, muncullah berbagai fitnah dan terjadilah banyak musibah. Fitnah yang pertama kali muncul adalah terbunuhnya Khalifatur Rasyid, Dzun Nuraini, ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu oleh para penyeru kejelekan, yang berkumpul untuk menghadapinya dari Irak dan Mesir. Mereka memasuki Madinah dan membunuhnya sementara beliau berada di rumahnya Radhiyallahu anhu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada ‘Utsman bahwa musibah akan menimpa-nya, karena itulah beliau bersabar dan melarang para Sahabat agar tidak memerangi orang-orang yang membangkang kepadanya, sehingga tidak ada pertumpahan darah karenanya Radhiyallahu anhu.
Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:
خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَـى حَائِطٍ مِنْ حَوَائِطِ الْمَدِينَةِ… فَجَاءَ عُثْمَـانُ، فَقُلْتُ: كَمَا أَنْتَ؛ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ لَكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ مَعَهَا بَلاَءٌ يُصِيبُهُ.
“Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke sebuah kebun dari kebun-kebun Madinah… lalu datang ‘Utsman, aku berkata, ‘Tunggu dulu! Sehingga aku memohon izin (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) untukmu,’ kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Izinkanlah ia, berilah kabar kepadanya dengan Surga, bersamanya ada musibah yang menimpanya.’”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ‘Utsman dengan menyebutkan musibah yang akan menimpanya, padahal ‘Umar pun meninggal dengan terbunuh. Hal itu karena ‘Umar tidak mendapatkan cobaan sebesar yang didapatkan oleh ‘Uts-man; berupa sikap kaumnya yang lancang dan memaksanya untuk melepaskan jabatan kepemimpinan atas tuduhan kezhaliman dan ketidakadilan yang dinisbatkan kepadanya, dan ‘Utsman memberikan penjelasan yang lugas serta bantahan atas pernyataan-pernyataan mereka.
Dengan terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu kaum muslimin menjadi berkelom-pok-kelompok, terjadilah peperangan antara para Sahabat, berbagai fitnah dan hawa nafsu menyebar, banyaknya pertikaian, pendapat menjadi berbeda-beda, dan terjadilah berbagai pertempuran yang membinasakan pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum. Sebelumnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengetahui fitnah yang akan terjadi pada zaman mereka. Dijelaskan dalam sebuah hadits:
فَإِنَّهُ أَشْـرَفَ عَلَى أُطُمٍ مِنْ آطَامِ الْمَدِينَةِ، فَقَالَ: هَلْ تَرَوْنَ مَا أَرَى؟ قَالُوْا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي لأَرَى الْفِتَنَ تَقَعُ خِلاَلَ بُيُوتِكُمْ كَوَقْعِ الْقَطْرِ.
“(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah memperhatikan sebuah bangunan tinggi dari beberapa bangunan tinggi di Madinah, lalu beliau berkata, ‘Apakah kalian melihat fitnah yang aku lihat?’ Para Sahabat menjawab, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku melihat fitnah-fitnah terjadi di antara rumah-rumah kalian bagaikan kucuran air hujan.’”
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Penyerupaan dengan kucuran air hujan terjadi pada sesuatu yang banyak dengan cakupannya yang umum, artinya fitnah tersebut banyak dan tidak khusus menimpa satu kelompok. Ini merupakan isyarat adanya peperangan yang terjadi antara mereka, seperti perang Jamal, Shiffin, Hurrah (daerah berbatu), pembunuhan ‘Utsman dan al-Husain Radhiyallahu anhuma… dan yang lainnya. Hadits tersebut juga menunjukkan adanya mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang nampak.
AYAT AL-QURAN YANG DISENTUH UTSMAN BIN AFFAN KETIKA DIBUNUH:
Sejarah mencatat terbunuhnya Utsman bin Affan oleh tangan-tangan orang-orang keras dan kasar.
Utsman bin Affan dikepung terlebih dahulu sebelum terbunuh. Para pembunuh memanjati rumahnya, dan membunuhnya ketika dia sedang meletakkan mushaf di depannya. Mereka adalah orang-orang yang keras dan kasar.
Dikutip dari buku Inilah Faktanya karya Utsman bin Muhammad al-Khamis, seseorang bertanya kepada al-Hasan al-Bashri, ketika itu dia sudah lahir, karena dia termasuk Tabiin senior, "Apakah ada di antara mereka yang membunuh Utsman itu seorang dari kalangan Muhajirin dan Anshar?" Al-Hasan menjawab, "Para pembunuh Utsman adalah orang-orang keras dan kasar dan berasal dari penduduk Mesir." (Tarikh Khalifah).
Meski demikian, orang-orangnya bisa dikenali. Mereka adalah, Kinanah bin Bisyr, Ruman al-Yamani, seorang yang mempunyai panggilan Jabalah, Sudan bin Humran, dan seorang yang dijuluki kematian hitam dari Bani Sadus. Ada yang mengatakan, di antara mereka juga adalah, Malik bin al-Asytar an-Nakha'i.
Mereka itulah tokoh penggerak fitnah yang menimpa Utsman bin Affan. Adapun orang yang membunuhnya secara langsung, menurut pendapat yang masyhur, dia adalah orang Mesir yang bernama Jabalah.
Dari Amrah binti Arthah, dia menuturkan, "Aku keluar bersama Aisyah menuju Makkah pada tahun Utsman terbunuh. Kami kemudian melewati Madinah. Saat itu, kami sempat melihat mushaf yang berada di pangkuannya saat dia dibunuh. Kami melihat juga bahwa tetesan darah pertama yang menimpa mushaf itu adalah pada awal ayat:
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al- Baqarah: 137).
Amrah melanjutkan, "Maka, tidak seorang pun di antara para pembunuh itu yang mati secara wajar." (Riwayat Ahmad)
رحم الله أمير المؤمنين عثمان بن عفان وجزاه عن الإسلام و أهله خير الجزاء
SAUDARA KU…
PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH, MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).
Wallahu A'lam, Al-Ustadz Faqih Aulia, Bidang Jam'iyyah PC Pemuda Persis Batununggal Kota Bandung.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan