MAKAN-MAKAN DI RUMAH ORANG KEMATIAN
Soal: Apakah perkataan yang saya bacakan ini, hadis Nabi atau tidak? Dan
bagaimanakah sanad-sanadnya? Adakah sah? Dan apakah maksudnya?.
Perkataan itu, yaitu:
كُنَّا نَعُدُّ
الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ المَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ
مِنَ النِّيَاحَةِ.
Adalah kami menganggap, bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan
mereka membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, setengah dari meratap.*
*Ratapan atas mayit itu, ialah menangis dengan menyebut-nyebut kebaikan
si mati.
Jawab: Adapun perkataan itu, diriwayatkan oleh Ahmad daripada Jabir bin
Abdullah al-Bajali, dan sanad dari riwayat itu, adalah shahih.
Perkataan itu bukan hadis, hanya menunjukkan, bagaimana anggapan
shahabat dan tabi’in tentang hal itu. Maksud perkataan ini, bahwa
berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan untuk orang
yang datang itu, oleh shahabat-shahabat dan tabi’in, dianggap meratap.
Alhasil bikin kenduri yang dikatakan oleh orang sebelah sini, malam dua,
tiga, tujuh, seratus hari, dan lain-lainnya, adalah masuk dalam ratapan yang
diharamkan oleh Nabi sendiri, dan diriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ، قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا
فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ.
Berkata Abdullah bin Ja’far: Tatkala datang khabar, bahwa Ja’far telah
terbunuh, bersabda Nabi saw., “Bikinlah makanan untuk ahli rumah Ja’far,
karena sesungguhnya telah datang kepada mereka itu, satu perkara yang menduka
citakan mereka.” (H.S.R. Syafi’i dan Ahmad)
Maksud hadis ini, bahwa tatkala datang khabar kematian Ja’far, maka Nabi
saw menyuruh supaya orang lain membuat makanan untuk ahli rumah Ja’far,
bukanlah ahli mayit itu, yang akan memberi makanan-makanan buat orang-orang
yang datang.
H.M.A. [Haji
Mahmud Aziz]; SOAL-JAWAB A. HASSAN, Jilid 1, hlm. 215-216; Bandung: CV.
Diponegoro, cet. Ke-15, 2007.
TAHLIL DAN MAKAN-MAKAN DI RUMAH ORANG KEMATIAN
Soal: Bagaimanakah hukum berdzikir (tahlilan), dan selamatan di rumah
ahli mayit pada tiga harinya dan seterusnya?
Jawab: Berdzikir atau tahlil itu maksudnya di sini ialah membaca “Laa
ilaaha illallaah.” Bacaan itu baik sekali, tetapi tidak selamanya barang baik
itu menjadi baik bilamana dikerjakannya bukan pada tempatnya.
Shalat itu baik, tetapi jikalau dikerjakan bukan di masanya yang
tertentu, niscaya menjadi tidak baik. Adapun berdzikir di rumah orang kematian
itu Nabi kita saw dan shahabatnya tak pernah menjalankannya atau memerintah
supaya dikerjakannya.
Hal ini tidak ada khilafnya, di antara sekalian ulama-ulama ahlulfiqh
yang masyhur, terlebih-lebih imam yang empat. Maka keterangan ini menunjukkan
bahwa berdzikir dengan cara yang tersebut itu adalah bid’ah belaka.
Mengerjakan selamatan sebagaimana yang biasa berlaku di tanah Indonesia
ini, hukumnya bid’ah; dan bid’ah yang tersebut itu sering kali mencelakakan
orang-orang yang tiada mampu yang terkadang menjual barang-barangnya atau
menggadaikannya atau meminjam uang guna mengadakan selamatan, sehingga dengan
hal ini mereka bisa menjadi tambah susah dan tambah miskin.
Sesungguhnya menurut fikiran yang waras, bahwa orang yang susah itu
tidak boleh dibikin tambah kesusahannya, tetapi harus diberi kesenangan yang
bisa menghilangkan kesusahannya. Lantaran itu Nabi saw. menyuruh supaya
ahlulmayit itu diberi makanan yang cukup.
عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ حِيْنَ قُتِلَ، قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا
فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ.
Berkata Abdullah bin Ja’far: Tatkala datang khabar, bahwa Ja’far telah
terbunuh, bersabda Nabi saw., “Bikinlah makanan untuk ahli rumah Ja’far,
karena sesungguhnya telah datang kepada mereka itu, satu perkara yang menduka
citakan mereka.” (H.S.R. Syafi’i dan Ahmad, Abu Daud, at-Turmudzi, Ibnu
Majah, ath-Thabrani)
Hadis ini menunjukkan, bahwa menurut sunnah, hendaklah ahlulmayit itu
diberi makanan, bukan mereka yang mesti memberi makanan, sebagaimana keadaan
yang berlaku sekarang ini.
Adapun orang-orang yang bersama makan di rumahnya ahlul mayit, hukumya
sebagaimana yang tersebut di bawah ini:
كُنَّا نَعُدُّ
الإِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ المَيِّتِ وَصَنْعَهُمُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ
مِنَ النِّيَاحَةِ.
Adalah kami menganggap, bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan
mereka membuat makanan sesudah ditanam mayit itu, setengah dari meratap. (R. shahih oleh Ahmad, dan Ibnu Majah)
رُوِيَ أَنَّ
جَرِيْرًا وَفَدَ عَلى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ:
لَا. قَالَ: وَهَلْ يَجْتَمِعُوْنَ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ وَيَجْعَلُوْنَ
الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ذَالِكَ النَّوْحُ.
Telah diriwayatkan, bahwa Jarir datang kepada Umar, lalu Umar bertanya:
“Adakah diratapkan atas mayit di kaum kamu?” menjawab dia: “Tidak!”. Lalu
bertanya pula: “Adakah orang-orang berkumpul di rumah ahlulmayit dan membuat
makanan?” menjawab dia: “Ya”, maka Umar berkata: “Yang demikian itu ratapan.” (Mughni Ibnu Qudamah)
Telah terbukti dari dua riwayat ini, bahwa sekalian shahabat telah
mufakat atas melarang orang-orang berkumpul dan makan-makan di rumah ahli
mayit, keadaan yang sedemikian itu dinamakan oleh mereka ratapan, sedang
meratap itu, hukumnya haram.
Md. Mm. [Muhammad Ma’sum]; SOAL-JAWAB A. HASSAN, Jilid 1, hlm.
216-217; Bandung: CV. Diponegoro, cet. Ke-15, 2007.
TAHLIL
Soal: Saya setuju sekali dengan pendirian tentang bid’ahnya tahlil,
tetapi saya dengar orang-orang yang suka kepada tahlil itu beralasan dengan
ayat:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوا اللّٰهَ
ذِكْرًا كَثِيْرًاۙ
Hai orang-orang beriman, berdzikirlah kepada Allah
dzikir yang banyak. (Qs. Al-Ahzab: 41)
Jawab: Sabda Nabi saw.
إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا
رَكْعَتَيْنِ كَانَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِنَ الذَّاكِرِينَ اللهَ وَالذَّاكِرَاتِ.
Apabila seorang laki-laki bangunkan istrinya pada
malam, lalu dua-duanya shalat dua raka’at, maka dua laki-istri itu, dinamakan
orang-orang yang berdzikir banyak kepada Allah di malam itu. (H.R. Abu
Daud, an-Nasa-i dan Ibnu Majah)
Kata Ibnu Katsir, 6: 569,
قَالَ قَتَادَةُ: الذّكْرُ الكَثِيْرُ اَنْ لاَتَنْسَاهُ اَبَدًا.
Qatadah berkata: Dzikir yang banyak itu, maksudnya
ialah jangan engkau lupakan kepadaNya selama-lamanya.
Dengan itu nyatalah bahwa dzikir-dzikir yang
dimaksudkan sungguh-sungguh oleh Quran ialah ingat kepada Allah. ingat kepada
Allah itu, ialah ingat kepada larangan-laranganNya buat dijauhi, dan ingat
kepada perintah-perintahNya buat dikerjakan, dan berdoa kepadaNya supaya Ia
selamatkan kita dari pada bahaya dunia dan akhirat.
Walaupun dzikir-dzikir dengan mulut itu dapat
dimasukkan dalam ayat tersebut, tetapi dengan itu tidak berarti bahwa boleh
kita adakan satu acara yang tertentu dan teratur sebagaimana tahlil yang biasa
dikerjakan.
Karena Quran dan Sunnah tidak menerangkan cara
berdzikir dengan mulut sebagaimana dikerjakan oleh ahli tahlil, sedang perbuatan
itu suatu ibadah, maka tidak syak [ragu] lagi tentang bid’ahnya.
Kita boleh berdzikir dengan mulut bila kita mau,
tetapi tidak boleh dengan cara dan waktu yang tertentu, kecuali kalau
Rasulullah ajarkan caranya.
Adapun perkataan:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ.
Itu bukan Quran, bukan hadis.
A. H. [Ahmad Hassan]; SOAL-JAWAB A. HASSAN, Jilid 2, hlm. 505-506; Bandung:
CV. Diponegoro, cet. Ke-15, 2007.
Wallaahu A’lam bish-showab, abu akyas.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan