UPACARA KEMATIAN TAHLILAN
(DARI AGAMA YANG HINGGA TRADISI TAHLILAN)
Al-Ustadz A.D. EL. Marzdedeq (wafat 14 Januari 2012) yang bernama
lengkap Ahmed Dien El Marzdedeq, DIM, AV. seorang Doctor Islamic Medicine (Dokter
Pengobatan Islam) dan Avasinolog, beliau juga merupakan guru besar beladiri
Islam bernama Thifan Pokhan dan penulis bidang akidah dan Yahudilogi pada buku fenomenalnya
yang berjudul Parasit Akidah (Perkembangan Agama-Agama Kultur dan
Pengaruhnya terhadap Islam di Indonesia), hlm. 31-38, Bandung: PT Syaamil
Cipta Media, Desember 2005 menjelaskan tentang Upacara Kematian dari Agama Yang
hingga tradisi tahlilan.
Al-Ustadz pada buku yang beliau ajarkan langsung di Pesantren PERSIS
Pajagalan Kota Bandung tersebut menjelaskan, kebanyakan aliran-aliran Yang tidak
mengakui adanya surga dan neraka, walaupun mereka percaya akan adanya
pembalasan di alam akhirat. Di alam akhirat terdapat hukuman dan tempat kebahagiaan.
Tempat hukuman itu bukan api pembakar tetapi semacam penjara yang di dalamnya
ada berbagai macam siksaan. Tempat kebahagiaan itu ialah ketenteraman kembali
hidup di alam akhirat, tidak terganggu, dan serba cukup. Antara dunia dan
akhirat terletak sebuah lautan luas membentang. Di ujung lautan itu terletak
sebuah pulau bertanah emas dan berpasir permata, di situlah terletak istana
Raja Akhirat Yang Lao. Orang China menamakan Raja Akhirat itu Tiong Gwan Tie
Kuan. Penjaga akhirat itu berupa manusia berkepala binatang, bersenjatakan
tombak bergerigi, bersula banyak dan sebagainya.
Jika ada seorang penjahat mati, maka ketika sampai ke akhirat ia akan
diadukan roh orang baik-baik kepada penjaga akhirat atau dipukuli beramai-ramai
oleh keluarga orang yang pernah disakitinya di dunia. Penjaga akhirat pun mengusirnya
dengan kejam atau memasukkannya ke dalam penjara siksaan. Sebagian roh terpaksa
lari kembali ke dunia. Roh penjahat akan masuk kembali ke dalam badannya, tetapi
jasad itu telah rusak. Jadilah roh gelandangan yang mencari makan di tempat
penyembelihan babi dan menjilat-jilati darah yang tumpah atau makan sari-sari
makanan dan sayuran yang terbuang. Ia sangat gembira jika ada seseorang sudi
memanggilnya dalam upacara Cay Lan Tse. Jika ia senang bertempat dalam badan
baru itu, ia enggan keluar untuk pulang.
Manusia yang baik-baik akan senang hidup di akhirat karena dibekali
keluarganya di dunia, sehingga ia di akhirat hidup berkecupunan, dapat membeli
tanah, mendirikan rumah kembali dan mempunyai kendaraan pribadi; atau jika seorang
petani, ia dapat bertani kembali dan berhasil menjadi petani kaya. Ada kalanya
ia menerima pula kiriman keluarganya di dunia. Yang bernasib malang adalah
seorang bujang atau gadis jika mati. Tatkala sampai di akhirat, penjaga gerbang
akhirat bertanya, “Manakah pasanganmu?” karena gadis atau bujang itu tak
dapat menjawab, ia kembali ke dunia, tetapi jasadnya sudah rusak. Seekor belalang
molek menyediakan dirinya untuk ditumpangi roh gadis atau bujang itu. Belalang molek
pun terbang ke rumah orang tua si gadis atau bujang itu. Ia menjerit-jerit
tetapi yang terdengar hanya bunyi belalang.
Mati menurut ajaran Yang ialah jika roh yang masih mempunyai selapis bungkus
lagi yakni badan halus, merasa tidak puas berbadan kasar yang rusak, seperti
karena celaka, dibunuh, bunuh diri, penyakit, karena tua, dan sebagainya. Lalu,
roh yang berbadan halus itu keluar dan jasad kasar pun membusuk.
Jasad manusia menurut ajaran Yang
terdiri atas:
a.
Jasad kasar, makanannya pun makanan kasar
b.
Jasad halus, makanannya pun halus
c.
Roh.
Jika hanya jasad halus yang
keluar, orang itu hanya mimpi. Jika jasad halus itu keluar dari tubuh, berbentuk
serupa shio orang itu; ada berupa kambing, harimau, naga, kera dan sebagainya. Jika
kebetulan seorang melihat binatang jadi-jadian itu lalu dibunuhnya, orang itu
pun akan mati.
A.
SEHARI KEMATIAN
Bantal bekas tidur si mati
dilemparkan ke atas atap. Pada orang kaya, mulutnya langsung diberi Mutiara agar
pandai menjawab di akhirat. Mayat dimandikan, air bekas memandikannya dijadikan
air pencuci muka oleh keluarga terdekat sebagai penangkal bayangannya.
Lepas dimandikan, mayat didandani
pakaian bekas kawin lengkap tirai-tirai di ruangan dan pakaian keluarga
berganti putih-putih. Digantungkanlah lampu lilin putih berlilit kain putih di
luar rumah, dinyalakanlah lilin putih, hio, atau kemenyan di ruangan dalam. Putih
adalah lambang Yin, karena kematian kembali ke bumi.
Makanan disajikan untuk ruhnya
yang dianggap masih ada di sekitar ruangan dan sebagai sesajian untuk roh
penjemput. Adakalanya disajikan makanan untuk tali ari-ari dan santan yang
dianggap saudara si mati. Santan dan tali ari-ari menjelma makhluk halus yang
mirip dengan si mati. Wanita kelenteng dipanggil untuk meratapinya dan
mempermainkan api dengan tarian pengusir hantu-hantu jahat. Ketika itu juga
seorang pendeta melemparkan buah semangka di jalan.
Mayat yang didandani lengkap
dengan segala perhiasannya itu dimasukkan ke dalam peti. Dasar peti dilapisi daunt
eh dan obat pengawet mayat. Mayat ditidurkan telentang berkasur kecil,
berbantal putih, dan berbantal guling sepasang kiri kanan. Di belakang kakinya
tersedia bekal hidup di akhirat. Wanita peratap meratapinya dengan tangis buatan.
Tabuh-tabuhan logam dibunyikan diiringi tari dan nyanyian duka. Keluarga dekat
meletakkan patung-patung kecil di kaki mayat sebagai pengganti kepala manusia.
Pada suku Dayak, terdapat
kebiasaan mengayau untuk galang lungun, pada bangsa China purba pun terdapat
kebiasaan yang sama.
Peti mati ditutup setelah semua keluarga
menyaksikannya, diberi perekat dan dipaku dengan paku-paku besar. Peti mati ditaruh
di tengah ruangan dan dijaga siang malam. Maka agar penjaga tidak mengantuk,
diadakan judi berseling makan kuaci semalam suntuk.
Penjaga mayat itu harus duduk
dekat kepala mayat atau di sampingnya. Ia tidak boleh duduk di dekat kaki mayat,
karena jika datang kucing langit lalu melangkahi mayat, mayat itu akan bangkit
kembali dan memeluk siapa pun yang duduk dekat kakinya (disebut “mayat gila”).
Dalam dongen China: Tersebutlah
seorang penjaga mayat mengantuk di kaki mayat. Tiba-tiba masuklah kucing langit
melalui lubang kecil jendela dan langsung dilangkahinya mayat itu. Mayat pun
bangkit. Ia mengerang dan mengangkat tutup peti yang berat itu. Ia langsung
turun hendak memeluk si penjaga, tetapi penjaga itu segera lari. Akhirnya,
penjaga mayat itu berlindung pada sebatang pohon. Mayat pun mengejarnya dan
memeluk pohon itu. Mayat itu langsung mati kembali, sehingga untuk
melepaskannya pohon itu digergaji.
B.
TIGA HARI KEMATIAN
Diadakan pesta kematian,
sementara roh masih ada di sekitar peti dan makan sari makanan yang tersedia. Pada
suku Tsen purba di arah Tenggara negeri China, diadakan pembantaian kerbau
dengan menebas leher kerbau dari depan ketika kerbau tengah dilarikan, ada
kalanya sampai berpuluh ekor. Adat tersebut kini masih berbekas pada suku
Toraja.
C.
TUJUH HARI KEMATIAN
Peti tetap ada di tengah ruangan,
sajian besar disediakan untuk mengantar keberangkatan roh meninjau tempat
tinggalnya yang baru di akhirat, hanya belum diperkenankan menetap. Ketika ia
meninjau itu, lilin di rumah dipadamkan sementara dengan ditiup atau dikipas
sambil mengucapkan jampi-jampi, agar roh dapat melihat di akhirat karena cahaya
lilin (seneiliu/ rie liau). Rumah-rumahan, perahu-perahuan, kereta kecil mulai
dibakar lalu disusul dengan pembakaran uang-uangan sebagai pengganti uang asli.
Semula, uang asli itu sebagian besar dimasukkan ke dalam peti dan sebagian
dibakar, tetapi setelah sering terjadinya pembongkaran kuburan, uang asli itu
diganti dengan uang-uangan.
Mengarak peti ke kuburan atau ke
dalam gua penyimpangan mayat dilakukan pada hari ketujuh, kesembilan, atau
kelima belas.
Ketika peti diangkat, saudara
muda dan anak-anaknya harus segera masuk ke bawah peti itu. Mayat diarak dengan
iringan keluarga mayat berpakaian serba putih selama seribu hari, termasuk
berpita hitam pada lengan baju.
Peti ditaburi bunga-bunga atau bung
aitu dirangkai indah disimpan di atas tutup peti. Keluarga dekat memayungi peti
dengan payung upacara. Di belakang iring-iringan peti terdapat alat-alat
kesenian dan di muka peti berjalanlah tukang menyebarkan kertas perintis jalan
dan pembakar mercon. Ketika peti mulai ditanam, mercon pun disulut dan keluarga
melemparkan tanah ke kuburan. Di atas kuburan dibangunlah rumah kubur. Ditanamnya
juga anjuang untuk penjaga roh dari gangguan roh jahat. Adakalanya peti itu
tidak ditanam tetapi disimpan dalam gua mayat.
Pada makan raja-raja dan kaum
bangsawan ditemukan perhaisan-perhiasan yang mahal terbuat dari emas, intan, Mutiara,
batu jade, keramik, keramik istimewa, patung-patung, dan sebagainya. Makam Kaisar
Shih Huang Ti seluas enam setengah kilo meter persegi dan dilengkapi enam ribu tantara
patung setinggi manusia sebagai penjaga.
D.
SEMBILAN HARI KEMATIAN
Biasanya jika peti mayat tidak dikubur pada hari kesembilan, Sembilan hari kematian
hanya berupa pesta kecil dengan menyajikan: Kue, buah-buahan, dan ayam
panggang.
E.
LIMA BELAS HARI KEMATIAN
Ada pula sebagian keluarga yang
merayakannya dengan menyalakan lima batang hio dan menyajikan ayam panggang,
buah-buahan, dan air teh. Sebagian keluarga bersiap mengantarkan peti mayat ke
kuburan atau ke tempat penyimpanan mayat.
F.
EMPAT PULUH HARI KEMATIAN
Menurut kepercayaan ajaran Yang,
roh yang beraga halus itu pergi sementara ke akhirat. Jika ia orang baik-baik,
penduduk akhirat datang dengan menjemputnya. Serunai dan genderang dibunyikan, buah-buahan
disajikan, dan ia dipersilakan melihat-lihat keadaan rumah, toko, dan kebun
yang belum selesai.
Setelah itu roh kembali ke bumi
dan ia mendapat tantangan dan godaan, tetapi karena ia diantar pengawal Yang
akhirat, segala godaan itu dapat diatasinya. Di rumah, ia makan segala sari
makanan dan minuman yang disediakan untuknya dalam pesta empat puluh hari
kematian.
Konon pengawal akhirat pulang
kembali dan roh selama sehari semalam tinggal dalam ruang tempat penyimpanan peti.
Keesokan harinya, roh pulang ke akhirat, dalam perjalanan ia pun mendapat
godaan di lautan antara dunia dan akhirat. Ketika ia melewati bulan, si Bongkok
yang nakal mengulurkan tali kailnya untuk mengail perahu yang ditumpangi roh. Roh
memberi kue-kue pada tikus sehingga tikus memutuskan tali kail itu setiap kali
diulurkan si Bongkok.
G.
SERATUS HARI KEMATIAN
Konon roh sudah mempunyai rumah
sendiri dan sudah bekerja kembali seperti pekerjaannya di dunia. Pada seratus hari
kematiannya itu, roh kembali ke bumi untuk memberi kabar bahwa ia telah menjadi
penduduk akhirat. Keluarganya di dunia menyambutnya dengan pesta seratus hari
kematian.
Roh berterima kasih pada
keluarganya di dunia, karena telah bersusah payah mendirikan rumah untuknya di
akhirat, mengirimkan hamba sahaya, memberi modal, dan sebagainya. Sewaktu-waktu,
roh kembali ke dunia untuk melihat-lihat keluarganya di dunia, apakah mereka
yang ditinggalkan itu berbuat baik atau berbuat jahat. Pada masa itu kuku-kuku
mayat menjelma menjadi kunang-kunang.
H.
SETAHUN KEMATIAN
Memperingati setahun kematian
dilakukan dengan acara sembahyang, menyajikan makanan dan minuman untuk roh
mendiang. Setelah itu roh mendiang dipanggil untuk hadir. Diundang pula
tetangga untuk makan minum dan dituliskan nama mendiang pada papan arwah.
I.
TIGA TAHUN KEMATIAN
Tiga tahun kematian atau seribu
hari kematian termasuk pesta besar yang diadakan di rumah dan kuburan.
Keluarga melakukan sembahyang
bersama-sama, menyajikan makanan dan minuman yang mewah, membakar kertas
sembahyang, membakar sebagian pakaian mendiang dan memberikan sebagian pakaian
itu kepada orang lain yang bukan keluarga.
Sejak upacara sembahyang sehari
kematian sampai seribu hari, abu hio dibiarkan pada tempat pembakaran hio dan
dianggap abu pusaka. Di atas meja sembahyang disimpan gambar mendiang. Setiap tahun,
hari kematiannya tetap diperingati. Selepas upacara seribu hari kematian. Keluarga
yang ditinggalkan melepaskan pakaian berkabung “putih-putih” dan kembali
berpakaian sehari-hari.
J.
HAN SIT CIAT DAN CING BING
Di China, tiga hari menjelang
Cing Bing, dirayakan upacara memperingati Menteri Kai Cu Cui dari negeri Chin
yang mati terbakar bersama ibunya dalam hutan.
Tersebutlah Kai Cu Cui, seorang Menteri
yang sangat setia kepada Raja Chin, tetapi sang raja seolah mengacuhkannya. Maka
Kai Cu Cui bersembunyi bersama ibunya di dalam hutan. Raja Chin membakar hutan
itu agar ia keluar, tetapi Kai Cu Cui rela terkabar bersama ibunya. Raja Chin
menyesal, lalu ia mengadakan upacara sembahyang bagi Kai Cu Cui dan ibunya
selama tiga hari pada bulan kedua atau ketiga, api dapur dimatikan dan hanya
makanan dingin yang dimakan. Agar selalu ingat kepada jasa-jasa Kai Cu Cui,
Chin membuat alas kaki dari kayu yang diambilnya dari hutan itu dan dinamakannya
bakiak, lalu dipakainya sehari-sehari.
Cing Bing dirayakan pada bulan
kedua atau ketiga (Sa Gwi), tetapi pada umumnya bulan ketiga. Pesta diadakan di
kuburan. Cing Bing merupakan pesta arwah, dilakukan sembahyang bersama dan
disajikan makanan minuman untuk arwah orang tua dan nenek moyang. Di China,
pesta dilakukan pada permulaan musim semi.
Upacara sembahyang/ pesta arwah
ditemukan pula dalam ajaran Yang di Mongolia, Korea, Jepang, Vietnam, Laos, Kamboja,
Birma, Thailand, Indonesia, dan sekitarnya. Di Kalimantan dinamakan Samyang
Marua dan di Jawa disebut sedekah rewah (dinamakan demikian setelah masa Islam,
dari kata Sidqah dan Arwah).
K.
CIO KO-SEMBAHYANG REBUTAN
Pada tanggal 15 Cit Gwi, diadakan
sembahyang untuk arwah dan peringatan kelahiran Tiong Guan Tie Kuan, Raja
Akhirat. Di kelenteng-kelenteng, genderang pemanggil arwah dibunyikan, berbagai
jenis makanan dan minuman disajikan.
Konon arwah yang tersiksa di akhirat,
selama setelah bulan dibebaskan dan mereka turun ke bumi dan pada hari kelima
belas Cit Gwi kembali ke tempat siksaannya itu. Selepas upacara sembahyang,
semua makanan dan minuman dibagikan sehingga menjadi rebutan orang miskin.
L.
PADA MASA HINDU DAN BUDHA
Di China, Korea dan Jepang, bagi
pemeluk agama Budha, upacara kematian dan pesta arwah disesuaikan dengan agama
Budha.
Di Asia Tenggara, upacara
kematian disesuaikan dengan agama Hindu atau Budha. Seribu hari kematian dibaurkan
dalam upacara Syraddha, pelepasan roh dari ikatan dunia.
M.
PADA MASA ISLAM
Setelah Islam berkembang ke Asia
Tenggara dan sekitarnya, upaca kematian dan pesta arwah tetap dilakukan, tetapi
disadur dengan warna Islam. Isi bacaannya digantikan tahlil, salawat dan
surat-surat pendek dari al Quran, pahala bacaannya itu dihadiahkan kepada
arwah. Acara ditutup dengan makan-minum dan sebagian dibekalkan untuk lebai.
Di Jawa, bulan Sya’ban dinamakan
bulan Rewah (Arwah). Pada tanggal lima belas Rewah, diadakan sedekah arwah
dengan menyajikan makan-minum bagi arwah. Konon pada bulan Rewah, arwah yang
tersiksa dalam neraka dilepaskan selama lima belas hari dan mereka turun ke
bumi. Pada tanggal lima belas Rewah, mereka kembali lagi ke neraka (kepercayaan
Kejawen).
Sesungguhnya dalam Islam tidak
ada upacara kematian 1-3-7-9-15-40-100-1000 hari, tidak ada haul, peringatan
hari kematian dan tidak ada sidkah arwah, upacara ini hanya merupakan sisa dari
agama Yang.
Dalam Islam, mengurus mayat cukup
seperti yang tercantum dalam sunah Nabi saw. yaitu memandikan, menshalatkan,
menguburkan, dan mendoakannya.
N.
ETIKA DALAM AGAMA YANG
Di antaranya: dilarang sombong,
dilarang berbuat jahat seperti mencela orang menyakiti tubuh atau hatinya,
mencuri, berzina, berjudi (kecuali judi yang dibolehkan), dan sebagainya. Manusia
harus berbuat baik, harus berbakti pada negara, raja, bangsawan, guru, dan
orang tua, walaupun orang tua itu sudah tiada (Hsiao). Manusia harus patuh pada
undang-undang diri, alam, udara, dan langit. Manusia harus waspada dan berpegang
pada Wu-wi, harus jujur, sopan, dan rendah hati, menghormati orang-orang lanjut
usia dan sebagainya.
Seorang pemuda harus berani
berkurban dan seorang gadis harus sanggup mengubarkan diri jika gunung Meletus,
terjadi gempa hingga tanah membelah, banjir besar, dan sebagainya atau menemani
kematian seorang raja bersama hamba sahaya dan seorang pelawak jika ada. Seorang
istri harus patuh pada perintah suami dan dilarang membantah. Segala bentuk
kejahatan, jika dilakukan dapat mempengaruhi langit dan menimbulkan kemurkaan
Thian/ Tuh, sehingga timbullah mara bahaya, penyakit, bencana alam, gerhana,
angin rebut, dan sebagainya.
Wallaahu A’lam bish-showab, abu akyas.
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar, kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan